Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bontrissa Lesmana
Abstrak :
Reksadana mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1990-an. Tetapi mulai meningkat dengan pesat pada sekitar tahun 2003 hingga 2005. Pertumbuhan yang cepat ini antara lain dipengaruhi oleh rendahnya tingkat suku bunga SBI yang berada di level 7% sampai dengan 8%. Dalam waktu singkat, reksadana telah menjadi primadona alternatif investasi baru di masyarakat pada periode tersebut. Hal ini terlihat dari pertumbuhan dana kelolaan yang sangat pesat yaitu dari hanya 46 trilyun pada tahun 2002 meningkat pesat menjadi 69,5 trilyun rupiah pada tahun 2003 dan bahkan puncaknya mencapai lebih dari 120 trilyun rupiah pada bukan Januari 2005. Pada masa ini reksadana pendapatan tetap adalah jenis reksadana yang paling bersinar. Jumlah dana kelolaannya meningkat sangat pesat. Dui dana kelolaan 57 trilyun rupiah pada tahun 2003, meningkat pesat hainpir 50 % menjadi 85 triltun pada tahun 2004. Peningakatan dana kelolaan pada reksadana pendapatan tetap ini sangat jauh jika dibandingkan dengan jenis reksadana lainnya. Pada tahun 2004 dari total dana kelolaan sebesar 100 trilyun, 85%nya adalah reksadana pendapatan tetap. Bapepam mulai tanggal 1 Januari 2005 menerapkan peraturan tentang penetapan harga obligasi sesuai dengan harga pasar (marked to market), dimana harga pasar tersebut mengacu pada referensi tertentu. Dengan berlakunya harga referensi untuk acuan harga wajar obligasi, pencatatan aset-aset obligasi dari manajer investasi tidak boleh dicatata berdasarkan harga histories atau harga teoritis lagi, namun berdasarkan harga referensi, sehingga naik turunnya harga obligasi di pasar, akan langsung tercermin di dalam Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksadana. Penelitian ini berusaha untuk melihat kinerja dan volatilitas NAB reksadana sebelum dan sesudah kebijakan marked to market diberlakukan, khususnya reksadana pendapatan tetap di Indonesia. Waktu penelitian yang dipilih adalah dengan membandingkan kinerja dan volatilitas NAB reksadana pendapatan tetap selama setahun sebelum dan sesudah penerapan kebijakan marked to market tanggal 1 Januari 2005. Hasil yang didapat penulis ternyata kinerja reksadana pendapatan tetap, setelah penerapan marked to market ternyata mengalami penurunan tajam, terlihat dari hasil kinerja Sharpe positif reksadana yang sebelum penerapan marked to market terdiri dari 13 reksadana, menurun menjadi hanya 2 reksadana yang memiliki kinerja Sharpe positif. Sedangkan dengan menggunakan metode Treynor, kinerja reksadana pendapatan tetap, setelah penerapan marked to market ternyata juga mengalami penurunan tajam, terlihat dari hasil kinerja Treynor positif reksadana yang sebelum penerapan marked to market terdiri dari 12 reksadana, menurun menjadi hanya 5 reksadana yang memiliki kinerja Treynor positif. Sedangkan volatilitas reksadana pendapatan tetap mengalami peningkatan setelah diterapkannya marked to market. Dianalisa dengan menggunakan standar deviasi, ternyata olatilitas reksadana pendapatan tetap setelah penerapan marked to market menjadi lebih tinggi dibanding sebelum penerapan marked to market. Jika diuji dengan F test, hasilnya adalah hanya dua reksadana yang volatilitas setelah marked to market dipengaruhi secara signifikan oleh volatilitas sebelum /narked to market. Artinya terjadinya volatilitas yang tinggi pada sebagian besar reksadana yang diteliti, bukan dipengaruhi oleh data historis volatilitas reksadana yang bersangkulan, namun lebih disebabkan oleh faklor-faktor lain yang terjadi pada saat itu.
Mutual Fund was introduced in Indonesia in early 1990's. The growth rate of mutual fund in Indonesia started to increases significantly in 2003 to 2005. The low interest rate played a big role in the booming of mutual fund. Mutual fund became a favorite alternative investment in this period, where mutual fund could give the investors with return more than 10% while the interest rate can only offers 7% return. The most popular mutual fund on this period is the fixed income mutual fund. Started from 1 January 2005, Bapepam implemented the policy about marked to market value, where the mutual fund price refers to certain reference price based on the market price quotation results. Therefore, all the bond assets owned by the mutual fund has to be recorded based on the price reference and not by historical or theoretical price anymore. This research aims to analyze the performances and volatilities of Mutual Fund's Net Asset Value (NAV) before and after the implementation of the marked to market regulation. Furthermore, this research will focus on the performances and volatilities of the fixed asset type of mutual fund. The time period of this research will be one year before and after 1 January 2005. The results of this research support the arguments that the performances of mutual fund are declining, while the volatilities are increasing. This research is using the Sharpe and Treynor methods for performance measurement and standard deviation as well as f-test method for volatility measurement. The f-test result shows that the volatilities of mutual fund after the implementation of marked to market regulations are not affected by the volatilities before the marked to market regulations implemented, however, significantly influenced by other factors.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T19776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caecilia Zilvia Suzanna
Abstrak :
Salah satu internal model yang digunakan dalam pengukuran risiko kredit adalah CreditRisk+, yang dikembangkan oleh Credit Suisse First Boston. Dalam penelitian ini metode CreditRisk dipilih untuk mengukur risiko kredit atas portofolio pembiayaan yang disalurkan oleh Permodalan Nasional Madani (PNM) kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPRJS). Metode CreditRisk+ yang dipakai adalah pendekatan dengan distribusi Gamma, yang merupakan distribusi dua parameter yang menggambarkan mean (ditunjukkan oleh default rates) dan standard deviation (ditunjukkan oleh default rate volatilities). Metode ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa default rate bersifat variable, tidak konstan sepanjang waktu, sehingga default rates volatilities tersebut diperhitungkan ke dalam model. Output dari pengaktivasian program model CreditRisk+ memperlihatkan kecenderungan risiko kredit yang semakin meningkat atas portofolio pembiayaan kepada BPR/S, yaitu sebesar Rp 12.428.363.221 pada Januari 2005 hingga mencapai Rp 35.426.390.490 pada Desember 2005 atau hampir tiga kali lipatnya. Dengan mengetahui credit Value at Risk (VaR) yang semakin meningkat, diharapkan pengelolaan atas portofolio pembiayaan kepada BPR/S tersebut harus lebih baik dan efektif, terutama dalam mengantisipasi bertambahnya pembiayaan yang bermasalah. Namun demikian PNM dinilai masih dapat menanggung risiko kredit tersebut, terlihat dari kecukupan modal yang dibutuhkan (economic capital) atas portofolio pembiayaan kepada BPR/S sepanjang tahun 2005 tersebut berkisar antara 2% - 8% dari jumlah modal PNM. Model CreditRisk+ dapat diterima sebagai model yang akurat untuk pengukuran risiko pembiayaan kepada BPRJS. Hal ini dihuktikan dari basil pengujian Likelihood Ratio (LR) pada tingkat kepercayaan 95%, di mana nilai LR masih di bawah ambang batas nilai kritikal yang dapat ditolerir.
One of internal model used for measuring credit risk is CreditRisk+, developed by Credit Suisse First Boston. In this research, CreditRisk+ method was selected to measure credit risk on PNM's lending portfolio to rural banks. The CreditRisk+ method being used is the one with Gamma distribution, a two parameters distribution that shows mean (shown by default rates) and standard deviation (shown by default rates volatilities). This method is selected based upon assumption that default rate is variable, not constant through the period so default rates volatilities is incorporated into the model. Output from CreditRisk+ model program activation showed increased credit risk on lending to rural banks, a mere of Rp 12, 428, 363, 221 in January 2005 up to Rp 35, 426, 390, 490 in December 2005, representing an almost three-fold increase. By finding increased credit Value at Risk (VaR), it is hoped that rural bank lending portfolio be managed better and more effective in the future, especially in anticipating the growing non performing portfolio. Nevertheless, PNM still covers credit risk that is shown by required capital adequacy (economic capital) on rural banks lending portfolio in 2005, which range between 2 to 8 percent of total PNM capital. CreditRisk+ model can be viewed as accurate model for rural banks lending risk measurement. This is back-testing by Likelihood Ratio (LR) test at the 5 percent level of significance, which the LR figure is still below the critical value.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18321
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library