Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gotfridus Goris Seran
"Ditinjau dari aspek pemberian suara pemilih dalam pemilihan umum, tingkat partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum 1992 di Dati II Belu boleh dikatakan tinggi. Dari keseluruhan pemilih di Belu sebanyak 120.978 orang terdapat 118.590 pemilih (98,03 %) yang secara sah berpartisipasi memberikan suaranya dalam pemilihan umum 1992. Dari suara sah tersebut, Golkar mampu menguasai partisipasi politik pemilih dalam bentuk pemberian dukungan suara sebanyak 111.685 suara (94,18 %). Partisipasi politik pemilih ini terutama berasal dari segmen massa pemilih yang belum begitu memadai tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi, dan sistem komunikasinya. Masyarakat pemilih dengan kondisi obyektif demikian gampang dimobilisasi. Mobilisasi dalam rangka penguasaan partisipasi politik pemilih oleh Golkar Dati II Belu tersebut ditempuh melalui elite yang direkrut dalam menghadapi pemilihan umum 1992.
Analisis mengenai rekrutmen elite dalam rangka penguasaan partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum 1992 oleh Golkar Dati II Belu menunjukkan setidak-tidaknya tiga hal. Pertama, dalam rangka penguasaan partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum 1992 Golkar Dati II Belu menempuh pola rekrutmen elite secara patrimonial. Pola patrimonial dalam rekrutmen elite ini ditempuh dengan dasar pemahaman bahwa setiap elite memiliki pengaruh besar terhadap massa pengikutnya sehingga elite yang direkrut oleh Golkar Dati II Belu untuk dicalonkan menjadi anggota DPRD dapat mempengaruhi dan menggalang massa pengikutnya untuk memberikan dukungan suaranya kepada Golkar. Dalam rangka pemilihan umum 1992 rekrutmen elite dalam Golkar (36 elite) secara konvensional ditempuh melalui jalur-jalur politik yang telah tersedia dengan Jalur A 3 elite (8,33 %), Jalur B 26 elite (72, 22 %), dan Jalur C 7 elite (19,45 %). Rekrutmen elite melalui jalur-jalur politik ini pada gilirannya dapat membentuk suatu keterikatan patrimonial-klientelistik antara elite dan massa pemilih sehingga dalam masyarakat patrimonial seperti masyarakat Dati II Belu elite dipandang sebagai tokoh panutan dimana himbauan, saran, dan nasehat seorang tokoh panutan dipakai oleh massa pemilihnya sebagai rujukan dalam berperilaku, termasuk perilaku memilih dalam pemilihan umum.
Kedua, dalam rekrutmen elitenya Golkar Dati II Belu juga menempuh pola korporatis. Dalam rangka pemilihan umum 1992 rekrutmen elite dalam Golkar yang ditempuh melalui jalur-jalur politik konvensional terutama didominasi oleh elite yang memposisikan diri sebagai aparat personifikasi kepentingan negara sebanyak 32 elite (88,89 %) dengan rincian 3 elite KBA atau Jalur A (8,33 %), 26 elite birokrasi atau Jalur B (72,22 %), dan 3 elite ormas pimpinan birokrat atau Jalur C (8,33 %). Sedangkan sisanya sebanyak 4 elite (11,11 %) berasal dari 1 elite ormas bukan pimpinan birokrat (2,78 %) dan 3 elite informal (8,33 %) yang merepresentasikan kepentingan massa rakyat. Konfigurasi rekrutmen elite seperti ini pada dasarnya menunjukkan bahwa Golkar yang memposisikan diri sebagai partai penguasa berupaya untuk mengkooptasikan berbagai kekuatan dalam rangka menjaga kekuasaan secara internal melalui pembentukan kekuasaan dalam Golkar dan melakukan pengendalian dan penguasaan massa rakyat secara eksternal melalui Golkar sebagai partai korporatis. Dalam pola korporatis ini, elite direkrut dari posisi-posisi penting dalam organisasi dan kelompok sosial yang hegemonik. Rekrutmen elite demikian dapat juga mencerminkan perwakilan kepentingan dan korporatisasi melalui organ-organ pendukung Golkar seperti ditunjukkan melalui jalur-jalur politik yang pada dasarnya berwujud ormas-ormas afiliasi.
Ketiga, elite, baik dari Jalur A, Jalur B, maupun Jalur C, yang direkrut menurut mekanisme penunjukan oleh Golkar Dati II Belu dalam pemilihan umum 1992, melakukan penggalangan berbagai kekuatan untuk dapat memberikan dukungan suaranya kepada Golkar. Penggalangan ini ditempuh melalui setidak-tidaknya tiga cara, yaitu (1) merangkul kalangan birokrat termasuk KBA, (2) merangkul elite ormas dan elite informal, dan (3) membangun hubungan dialogis antara Golkar dan massa rakyat melalui elite, formal maupun informal, yang direkrut tersebut. Intensnya penggalangan ini didukung pula dengan setidak-tidaknya tiga bentuk rekayasa politik, yaitu (1) meregulasi birokrasi termasuk ABRI dalam bentuk penggalangan anggota-anggotanya ke dalam wadah tunggal KORPRI, pensterilan birokrasi dari kekuasaan partai politik, dan pengaturan monoloyalitas termasuk melalui sumpah jabatan, (2) melekatkan struktur organisasi kepengurusan Golkar pada struktur birokrasi kekuasaan, dan (3) menyediakan dua jalur politik sekaligus, yaitu Jalur A dan Jalur B, di dalam Golkar yang pada dasarnya merepresentasikan kepentingan negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helmi Putra Perdana
"Penelitian ini membahas mengenai pengaruh identitas sosial terhadap dorongan untuk memilih masyarakat Kecamatan Cinere, Kota Depok. Hal ini berangkat dari rendahnya partisipasi pemilih masyarakat Kecamatan Cinere, Kota Depok, dalam tiga pelaksanaan pilkada terakhir seperti Pilgub Jabar tahun 2013, Pilwalkot tahun 2015, dan Pilgub Jabar tahun 2018. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui signifikansi pengaruh identitas sosial terhadap dorongan untuk memilih masyarakat Kecamatan Cinere, Kota Depok, sehingga memiliki partisipasi pemilih yang rendah dalam tiga pilkada terakhir. Penelitian ini menggunakan teori identitas sosial oleh Tracey Raney dan Loleen Berdahl, dan kemudian dipadukan dengan konsep identitas sosial perkotaan oleh Marco Lalli dan dorongan untuk memilih oleh Blais dan Galais. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan analisis uji kekuatan hubungan antar variabel Somers’D. Hasil dari temuan ini memperlihatkan bahwa dalam uji kekuatan hubungan terdapat pengaruh antara identitas sosial terhadap dorongan untuk memilih masyarakat Kecamatan Cinere, Kota Depok, meskipun dengan nilai Somers’D 0.327 atau bernilai lemah. Namun, temuan tersebut sudah mampu digeneralisasi ke tingkat populasi karena nilai signifikansi 0.000 < α (0,05). Temuan lain dalam penelitian ini menemukan bahwa dalam masyarakat yang tidak menggunakan hak suara dalam pilkada terakhir terakhir yakni Pilgub Jabar tahun 2018, terdapat pengaruh antara identitas sosial terhadap dorongan untuk memilih dengan nilai Somers’D 0.600 atau bernilai sedang. Temuan dalam penelitian ini pada akhirnya sesuai dengan argumen peneliti, yakni terdapat pengaruh antara identitas sosial terhadap dorongan untuk memilih masyarakat Kecamatan Cinere, Kota Depok.

This research discusses the impact of social identity toward the sense of duty to vote of the people in Cinere Subdistrict during the 2013 gubernatorial elections, the 2015 mayoral elections, and the 2018 gubernatorial elections. The purpose of this research is to measure the impact of social identity toward the sense of duty to vote of the people in Cinere Subdistrict. This research adopts the social identity theory developed by Tracey Raney and Loleen Berdahl, that is combined with the urban related identity concept developed by Blais and Galais. This research used a quantitative method and its variables are tested using the Somers’D method. Based on the findings of this research, social identity has, in fact, impacted the sense of duty to vote of the people in Cinere Subdistrict, even though it shows a 0.327 Somers’D value, which is considered relatively weak. Nonetheless, the findings of this research can still be generalized to the population level, as the significance is valued at 0.000 < α (0,05). In addition to that, this research also finds that based on the voters that didn’t use their voting rights during the 2018 gubernatorial elections, social identity has impacted the sense of duty to vote of the people in Cinere Subdistrict, that shows a 0.600 Somers’D value. The findings of this research clearly indicates that social identity does have an impact on the sense of duty to vote of the people in Cinere Subdistrict."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Azhiim Yudha Prawira
"Penelitian ini membahas mengenai penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu DPR RI tahun 2019 di Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Adapun tujuan penelitian ini untuk mencari alasan mengapa partisipasi pemilih pada pemilu DPR RI tahun 2019 di Kelurahan Penjaringan rendah. Studi ini menggunakan teori psikologi politik yang dikemukakan oleh Kuklinski (2002) dan Sears (2003), yang meliputi kepribadian, sikap, nilai/value, keyakinan, (afeksi, emosi, dan mood) dan identitas sosial. Studi ini juga menggunakan teori Voting Behavior yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo (2008). Pada teori ini, terdapat empat faktor psikologis yang memengaruhi seseorang untuk menggunakan hak pilihnya, yakni karakteristik/kualitas personal kandidat, performa pemerintah (yang berkuasa), permasalahan/isu yang di angkat oleh kandidat, dan kesetiaan/ketertarikan terhadap partai atau party identification (PID). Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam kepada 20 informan dari 18 Rukun Warga (RW) yang ada di Kelurahan Penjaringan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa penyebab rendahnya partisipasi pemilih pada pemilu DPR RI 2019 di Kelurahan Penjaringan adalah pertama, karakteristik/kualitas personal kandidat berkaitan dengan rekam jejak yang kurang baik dan tidak adanya wibawa sebagai anggota legislatif. Kedua, performa pemerintah yang sedang berkuasa (tepatnya saat pengambilan keputusan di DPR RI) juga menjadi faktor seseorang apakah memutuskan ingin memilih atau tidak. Menurut para informan, performa pemerintah dalam mengambil keputusan di DPR RI belum baik, belum cukup memberikan pengaruh kepada informan, serta janji yang ditawarkan kandidat tidak terealisasi. Ketiga, permasalahan/isu yang diangkat oleh para calon legislatif juga menjadi faktor yang memengaruhi seseorang untuk memilih atau tidak. Berdasarkan temuan, informan tidak tertarik dengan isu/permasalahan yang diangkat oleh para calon legislatif. Selain itu, kandidat dianggap tidak mewakili kepentingan pemilih. Studi ini juga menemukan faktor lain, yaitu adanya apatisme yang ditunjukkan dengan ketidakpedulian terhadap proses politik.

This research discusses the causes of the low level of voter participation in the 2019 DPR RI elections in Penjaringan Subdistrict, North Jakarta. The aim of this research is to find the reasons why voter participation in the 2019 DPR RI elections in Penjaringan Subdistrict was low. This study uses the political psychology theory put forward by Kuklinski (2002) and Sears (2003), which includes personality, attitudes, values, beliefs (affection, emotions and mood) and social identity. This study also uses the Voting Behavior theory proposed by Miriam Budiardjo (2008). In this theory, there are four psychological factors that influence a person to exercise their right to vote, namely the personal characteristics/qualities of the candidate, the performance of the government (in power), the problems/issues raised by the candidate, and loyalty/interest in the party or party identification (PID ). To answer these research questions, this research used a qualitative approach with data collection techniques through in-depth interviews with 20 informants from 18 Rukun Warga (RW) in Penjaringan Subdistrict. The results of this research found that the causes of low voter participation in the 2019 DPR RI elections in Penjaringan Subdistrict were first, the candidate's personal characteristics/qualities related to a poor track record and lack of authority as a member of the legislature. Second, the performance of the government in power (precisely when decisions are made in the DPR RI) is also a factor in whether someone decides whether they want to vote or not. According to informants, the government's performance in making decisions in the DPR RI has not been good, it has not had enough influence on informants, and the promises offered by candidates have not been realized. Third, the problems/issues raised by legislative candidates are also a factor that influences someone to vote or not. Based on the findings, the informant was not interested in the issues/problems raised by the legislative candidates. In addition, candidates are considered not to represent voters' interests. This study also found another factor, namely apathy which is shown by indifference to the political process."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library