Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rivaldi Madyatama
Abstrak :
Dalam industri minyak dan gas, pipa dipaksa bekerja 24 jam sehari selama satu tahun, atau bahkan selama beberapa dekade. Karena digunakan untuk mendukung distribusi sejumlah besar minyak, gas, dan air dan bahkan dengan jarak yang sangat jauh, medan yang dilewati oleh jaringan pipa sangat beragam, mulai dari laut, dataran rendah, lembah, dan di tanah, kemudian di operasi akan ditemukan dalam berbagai macam masalah. Sangat penting untuk mendeteksi kegagalan di masa depan dari awal tahun atau di mana pipa baru saja dipasang. Penelitian ini memfokuskan pada analisis risiko, pipa yang akan dianalisis adalah pipa yang berusia di bawah 2 tahun, dan untuk melihat potensi risiko kegagalan pipa, akan menggunakan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) dengan penambahan Simulasi Monte Carlo di bagian FMEA (Severity, Occurrence, Detection). Untuk melihat potensi kegagalan dari struktur pipa, itu akan menganalisis kerugian dinding berdasarkan pada ketebalan dinding awal, di mana pipa dinding tidak boleh terdegradasi sebanyak 80% dari total dinding awal. Dengan semua metode ini, memungkinkan semua perusahaan pengguna pipa untuk memantau kegagalan pipa di masa depan, terutama untuk pipa yang baru dipasang.
In the oil and gas industry, pipeline is forced to work 24 hours a day for one year, or even for decades. Because it is used to support the distribution of large amounts of oil, gas, and water and even with very long distances, the terrain passed by pipelines is very diverse, starting from the sea, lowlands, valleys, and in the ground, then in the operation will be found in many kinds of problems. It is really important to detect future failures from early year or where the pipe has just been installed. This research is focusing on the risk analysis, the pipes to be analyzed are pipes that are under 2 years old, and to see the potential risk of pipe failure, will use the Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) method with the addition of a Monte Carlo simulation in the Occurence (Severity, Occurrence, Detection) section. To see the potential failure of the pipe structure, it will analyze wall loss based on the initial wall thickness, where the wall pipe should not be degraded as much as 80% of the total initial wall. With all of these methods, it allows all pipe user companies to monitor pipeline failures in the future, especially for newly installed pipes.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fachri Laudzaputra Athalla
Abstrak :
Inspeksi ketebalan dinding aktual menggunakan ultrasonic testing (UT) gauge dan inspeksi potensial katodik menggunakan cathodic protection (CP) gun merupakan contoh metode inspeksi yang umum digunakan dalam menilai kelayakan operasi pipa bawah laut. Namun hasil keluaran metode ini sering kali memiliki keterbatasan (Okyere, 2019; Langenberg, Marklein, & Mayer, 2012) sehingga diperlukan metode lain untuk mensimulasikan kelayakan operasi pipa bawah laut. Penelitian ini akan mengusulkan metode yang lebih sistematis dalam mensimulasikan kelayakan operasi pipa bawah laut milik KKKS. Variabel yang menentukan kelayakan pipa berdasarkan ketebalan dinding dalam penelitian ini adalah persentase kehilangan dinding, ketebalan dinding kebutuhan, dan umur sisa pipa, sedangkan variabel yang menentukan kelayakan sistem CP adalah potensial katodik pada pipa. Hasil penelitian menunjukan bahwa kedua pipa terseut masih dinilai aman untuk digunakan karena tebal dinding aktual masih berada diatas ketebalan dinding kebutuhan. Sistem proteksi katodik kedua pipa tersebut juga masih layak dikarenakan rentang potensial katodik yang dimiliki pipa utara dan selatan berada dalam rentang batas aman yakni 0,80 V hingga 1,10 V. Diharapkan hasil penelitian ini dapat mengantisipasi kegagalan pada jalur pipa bawah laut yang dapat mengakibatkan kerugian. ......Inspection of actual wall thickness using ultrasonic testing gauges (UT) and potential cathodic inspection using cathodic protection (CP) gun are examples of common inspection methods used in assessing the feasibility of underwater pipeline operation. However, the outputs of this method often have limitations (Okyere, 2019; Langenberg, Marklein, & Mayer, 2012), so other methods are needed to simulate the feasibility of underwater pipeline operations. This research will discuss more comprehensive methods in simulating the underwater pipeline operation which owned by KKKS. The variables that being used in determining the feasibility of the actual wall thickness of subsea pipe in this study are wall loss, wall thickness requirements, and the remaining life of the pipe, while the variable that determines the feasibility of the CP system is the cathodic potential of the pipe. The results showed that the two pipes were still safe to use because wall thickness was still needed. The cathodic protection system of the two pipes is also still worth considering based on the cathodic potential of the north and south pipelines within the safe limit range of -0.80 V to -1.10 V. It is expected that the results of this study can anticipate the failure of subsea pipeline.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purbadi Putranto
Abstrak :
Pada penelitian kali ini, dilakukan penilaian kelayakan, FFS Assessments, dari sepuluh jalur pipa, delapan di bagian compression section dan dua di flow section. Penilaian kelayakan dilakukan dengan melihat kemampuan pipa yang telah terkorosi dalam menahan tekanan. Data ketebalan yang didapat lewat metode ultrasonic testing akan dibandingkan dengan ketebalan nominal pipa pada desain untuk mendapatkan laju korosi. Dengan laju korosi maka akan dapat diperkirakan sisa usia pakai (remaining useful life, RUL) dari setiap jalur. Serangan korosi akan menyebabkan terjadinya penipisan dinding pipa yang menurunkan kekuatan pipa dalam menahan tekanan. Pipa yang nilai RUL-nya tidak mencapai interval inspeksi berikutnya harus diperiksa kekuatannya. Proses pemeriksaan kekuatan dilakukan dengan perangkat lunak RSTRENG. Laju korosi rata-rata tertinggi terdapat pada jalur PG-0110-XD-20? di flow section (0.760 mmpy). Sementara dari hasil pengukuran nilai RLA masing-masing jalur didapatkan bahwa dua jalur di compression section yaitu PG-0105-D-10? dan PG-0123-D-2? memiliki nilai dibawah expected life (10 tahun). Sementara jalur pada flow section yaitu PG-0021-D-16? juga berada dibawah nilai espected life (1 tahun). Dari ketiga jalur yang memiliki nilai RUL dibawah nilai expected life yang dihitung nilai kekuatannya, didapatkan nilai MAOP dari dua buah jalur yaitu PG-0105-D-10? (922 psig) dan PG-0021-D-16? (924 psig) dibawah tekanan desain 1200 psig. Sementara satu jalur lagi PG-0123-D-2? mendapatkan nilai MAOP 1253 psig. Dari hasil perhitungan MAOP dan analisa ketebalan, maka dua jalur yaitu PG-0105-D-10? dan PG-0021-D-16? disarankan untuk mengalami derating tekanan proses menjadi 922 psig dan 924 psig. Sementara jalur PG-0123-D-2? disarankan untuk mengalami perbaikan total (pergantian komponen). Perhitungan RSTRENG harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi profil dari korosi yang terjadi. Persamaan B31G konvensional adalah persamaan yang paling sederhana dan cenderung mengecilkan nilai kekuatan pipa, sementara persamaan 0.85 dL cenderung sejalan dengan effective area, namun terkadang berbeda saat terdapat satu cacat pitting yang jauh lebih dalam disbanding sekitarnya.
On this research, FFS Assessments were done in ten piping systems, eight in compression section and a pair in flow section. These assessments were carried on by observing corroded pipes abilities in providing enough strength to prevents leakage. The results from thicknesses measurements by UT compared to nominal thickness to get the corrosion rate of every piping system. From those calculated corrosion rate, we could predict the remaining useful life, RUL of each piping systems. For piping system which its calculated RUL is below the interval of next inspection should be checked for it strength by using RTSRENG software. The results of this research told us that the corrosion rate in M2 offshore oil platform were ranged from medium to severe with highest average corrosion rate were occur in flow section PG-0110-XD-20? (0.760 mmpy).From remaining life assessment, it is known that there were three piping system which it calculated remaining life is below the expected life. Two of them are in compression section, PG-0105-D-10? and PG-0123-D-2? and the other one is PG-0021-D-16? which located in flow section. The calculation of those three remaining wall thickness strength which is carried on by RTSRENG software resulted in conclusion that two piping system PG-0105-D-10? (922 psig) and PG-0021-D-16? (924 psig) were inadequate to hold off design pressure of 1200 psig. The other piping system PG-0123-D-2? is predicted having MAOP of 1253 psig. By combining the RSTRENG results and thickness analyses, it is concluded that two lines, PG-0105-D-10? and PG-0021-D-16? should be derated to new pressures which is equal to their RSTRENG MAOP calculation (922 and 924 psig), while the other line PG-0123-D-2? must be replaced. This research also notice that before verifying the results of RSTRENG calculation, one should also take consideration of corrosion profile which occur. The conventional B31G were the simplest and tends to create result which underestimate the strength of pipe, while 0.85 dL result were usually close to the effective area, except when there?s an unique shape where there?s a deep pit with penetration much higher than it surrounding area.
2008
S41638
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Farah Adibah
Abstrak :
Latar belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronis (PGK) adalah sebesar 13,4% dari seluruh populasi global. Sindrom kardiorenal (SK) tipe 4 menyebabkan 40% mortalitas pada pasien PGK. Salah satu mediator dalam patogenesis SK adalah stres oksidatif yang dapat mengakibatkan disfungsi endotel, fibrosis miokardial dan penebalan dinding ventrikel. Terapi obat golongan penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan statin mempunyai efek antiinfalamasi dan antioksidan terhadap jantung. Hal ini menjadi pertimbangan penggunaannya untuk memperbaiki kondisi stres oksidatif pada SK. Hingga saat ini belum banyak diketahui pengaruh pemberian ARB dan statin pada jantung dengan SK. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi ARB + statin terhadap fibrosis miokardial dan tebal dinding ventrikel jantung pada tikus PGK dengan metode 5/6 nefrektomi. Metode: Penelitian ini menggunakan organ jantung tersimpan dari tikus jantan Sprague-Dawley yang terdiri atas 5 kelompok perlakuan dan masing-masing terdiri atas 4 sampel: kelompok kontrol (sham), 5/6 nefrektomi (Nx), 5/6 nefrektomi dengan terapi irbersatan 20mg/kgBB/hari selama 4 minggu (Nx + Ir), 5/6 nefrektomi dengan terapi simvastatin 10mg/kgBB/hari selama 4 minggu (Nx + S), dan 5/6 nefrektomi dengan terapi irbersatan 20mg/kgBB/hari dan simvastatin 10mg/kgBB/hari selama 4 minggu (Nx + Ir-S). Sampel organ jantung tersimpan dipotong secara cross-sectional dan diamati gambaran histopatologinya (HE dan Masson’s trichrome) menggunakan aplikasi ImageJ. Data kemudian dianalisis secara statistik menggunakan One-Way Anova. Hasil: Pemberian terapi baik irbersatan, simvastatin, maupun kombinasi keduanya selama 4 minggu menunjukkan persentase luas area fibrosis miokardial dan tebal dinding ventrikel jantung yang cenderung lebih kecil dibanding kontrol namun tidak bermakna secara statistik. Terapi irbesartan, kombinasi irbesartan dan simvastatin, dan simvastatin menunjukkan persentase luas area fibrosis dan tebal dinding ventrikel jantung yang paling kecil secara berurutan. Kesimpulan: Pemberian kombinasi ARB dan statin selama 4 minggu belum dapat memperbaiki fibrosis miokardial dan hipertropi dinding ventrikel jantung pada tikus model PGK. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan dosis yang lebih besar, dengan perlakuan lebih lama serta jumlah sampel yang lebih banyak agar efek kombinasi lebih nyata terlihat ......Background: The prevalence of chronic kidney disease (CKD) is 13.4% of the entire global population. Cardiorenal syndrome (SK) type 4 causes 40% mortality in CKD patients. One of the mediators in the pathogenesis of SK is oxidative stress which can lead to endothelial dysfunction, myocardial fibrosis and ventricular wall thickening. Angiotensin receptor blocker (ARB) and statin inhibitor class drugs have anti-inflammatory and antioxidant effects on the heart. This is a consideration for its use to improve oxidative stress conditions in SK. Until now, it has not been widely known the effect of ARB and statin administration on the heart with SC. Objective: This study aims to determine the effect of ARB + statin combination on myocardial fibrosis and ventricular wall thickness in CKD rats using the 5/6 nephrectomy method. Methods: This study used stored heart organs from male Sprague-Dawley rats consisting of 5 treatment groups and each consisting of 4 samples: control group (sham), 5/6 nephrectomy (Nx), 5/6 nephrectomy with radiation therapy. 20mg / kgBW / day for 4 weeks (Nx + Ir), 5/6 nephrectomy with simvastatin therapy 10mg / kgBW / day for 4 weeks (Nx + S), and 5/6 nephrectomy with 20mg / kgBW / day irresistible therapy and simvastatin 10mg / kgBB / day for 4 weeks (Nx + Ir-S). Stored cardiac samples were cut cross-sectional and observed histopathologically (HE and Masson's trichrome) using ImageJ application. Data were then analyzed statistically using One-Way Anova. Results: The treatment of both irbers, simvastatin, and a combination of both for 4 weeks showed that the percentage of myocardial fibrosis area and the thickness of the heart ventricles tended to be smaller than the control but not statistically significant. Irbesartan therapy, a combination of irbesartan and simvastatin, and simvastatin showed the smallest percentage of fibrosis area and ventricular wall thickness, respectively. Conclusion: The combination of ARB and statin for 4 weeks has not been able to improve myocardial fibrosis and ventricular wall hypertrophy in CKD mice. Further research is needed using a larger dose, with a longer treatment and a larger number of samples so that the combined effect is more visible
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Partogi, Rynaldo
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Infark miokardium akut merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan membutuhkan diagnosis yang tepat untuk menentukan rencana tatalaksana. Modalitas diagnostik yang sering digunakan untuk menilai adanya infark adalah ekokardiografi dan MRI. Penelitian ini bertujuan menilai kesesuaian hasil pengukuran dari ekokardiografi dan MRI dalam evaluasi infark miokardium, serta menilai perubahan ketebalan dinding ventrikel kiri pascainfark. Metode : Dilakukan ligasi LCx pada 13 jantung babi untuk mengkondisikan infark miokardium. Setelah ligasi LCx dilakukan penilaian regional wall motion abnormality dan ketebalan dinding ventrikel kiri pada pemeriksaan ekokardiografi, dan penilaian area infark serta ketebalan dinding ventrikel kiri dari pemeriksaan MRI. Temuan regional wall motion abnormality diuji kesesuaiannya dengan temuan area infark di MRI menggunakan uji Kappa. Ketebalan dinding posterior ventrikel kiri dari ekokardiografi diuji kesesuaiannya dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri yang didapatkan dari pemeriksaan MRI menggunakan uji interclass correlation. Untuk perubahan ketebalan dinding ventrikel kiri diuji dengan ANOVA. Hasil: Perubahan LVPWd praligasi dengan pascaligasi memberikan hasil p = 0,703 yang menunjukkan tidak ada perubahan bermakna. Uji kesesuaian antara area regional wall motion abnormality dengan area infark memberikan hasil κ = 0,14 – 0,27 yang menunjukkan kesesuaian antara ekokardiografi dengan MRI masih kurang. Uji korelasi ketebalan dinding ventrikel kiri dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri memberikan hasil r = 0,573 dengan p = 0,029 yang menunjukkan bahwa pemeriksaan ekokardiografi memberikan hasil yang sama dengan MRI. Simpulan: Terdapat penurunan nilai ketebalan dinding ventrikel kiri setelah 6-8 minggu pascaligasi LCx. Penggunaan ekokardiografi terbukti dapat memberikan keyakinan bahwa akan menunjukkan hasil yang sama dengan MRI dalam menilai ketebalan dinding posterior ventrikel kiri. Namun, dalam evaluasi area infark, hasil pemeriksaan ekokardiografi memiliki reliabilitas yang rendah dibandingkan dengan MRI. ......Background: In Indonesia, myocardial infarction accounts for most deaths, and require immediate diagnosis to determine the treatment. The diagnostic modalities used to evaluate myocardial infarction is echocardiography and MRI. The aim of this study is to evaluate the compability between echocardiography and MRI in evaluating myocardial infarction, and to evaluate the changes of left ventricular posterior wall thickness post infarction. Method : A total of 13 pig heart had their LCx ligated to make the infarct heart model. Echocardiography and MRI were performed after the ligation of LCx. The compability between regional wall motion abnormality found in echocardiography compared to infarct area found in MRI was tested using Kappa test. The compability between left ventricular posterior wall thickness obtained from the echocardiography and MRI was tested using interclass correlation. The changes of left ventricular posterior wall thickness was tested using ANOVA. Result: The changes of left ventricular posterior wall thickness value showed p value = 0,703 which means that there is no significant changes in left ventricular posterior wall thickness post infarction. The compability test using Kappa in comparing the regional wall motion abnormality with infarct area showed κ = 0,14 – 0,27, which means that the level of compability is low. The correlation test between left ventricular posterior wall thickness with the left ventricular posterior wall thickness showed r = 0,573 with p value = 0,029 which means that the echocardiography gave the same result with MRI. Conclusion: There is a decline in left ventricular posterior wall thickness value after 6-8 weeks post ligation. The use of echocardiography in evaluating myocardial infarction showed that the echocardiography gave the same result with MRI in the measurement of the left ventricular posterior wall thickness. However, echocardiography was not reliable compared to MRI in evaluating the infarct area.
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library