Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyu Indra Pramadhana
"Saat ini, video call sudah tidak asing lagi digunakan dalam sehari-hari. Layanan video call tersebut diberikan oleh banyak layanan aplikasi OTT seperti WhatsApp, Line dan aplikasi berbasi client-server lainnya. Jumlah layanan video call berbasis end-to-end atau peer-to-peer seperti VoIP jauh lebih sedikit daripada layanan video call berbasis client-server. Hal tersebut dikarenakan adanya limitasi yang dirasakan baik oleh developer maupun user. Developer harus mengeluarkan biaya besar untuk membangun sistem VoIP, sedangkan user harus mempunyai perangkat khusus untuk bisa menggunakan layanan VoIP. Limitasi ini mampu ditangani oleh standar baru yaitu WebRTC yang menggabungkan teknologi web dengan VoIP, sehingga menghasilkan teknologi komunikasi baru yaitu komunikasi peer-to-peer berbasis web yang dapat dibangun dengan biaya yang jauh lebih rendah dan tidak membutuhkan perangkat khusus dalam penggunaannya.
......Nowadays, video call are commonly used in daily life. The video call service is provided by many OTT application services such as WhatsApp, Line, and other client server based applications.The number of end to end or peer to peer video call service like VoIP are lesser in number than client server based video call service, due to the limitation felt by both developer and user. Developer have spend a large sum of money to build VoIP system, while user must have a special equipment to be able using VoIP service. The new standard WebRTC could overcome this limitation by incorporating web techologies with VoIP, which create new communications technology that is web based peer to peer communications that can be built with cheaper cost and does not require a special equipment to be used."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S68893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alif Saddid
"Aplikasi kolaboratif berbasis real-time menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia, terutama di masa pandemi ketika setiap orang sulit untuk bertemu secara langsung. Salah satu aplikasi tersebut adalah aplikasi collaborative whiteboard, yang bisa digunakan untuk menggambar secara bebas. Salah satu implementasi dari sistem collaborative whiteboard adalah Tldraw. Tldraw yang semula dikembangkan menggunakan arsitektur client-server kemudian diimprovisasi menggunakan arsitektur peer-to-peer yang memanfaatkan teknologi WebRTC, menghasilkan aplikasi Tldraw yang rendah latensi. Namun, aplikasi Tldraw tersebut dinilai tidak bersifat scalable, karena arsitektur peer-to-peer tersebut menggunakan topologi full-mesh. Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, penelitian ini mengusulkan optimasi aplikasi Tldraw menggunakan topologi random peer sampling. Usulan optimasi tersebut dinilai memiliki pertumbuhan penggunaan sumber daya yang lebih landai apabila dibandingkan dengan Tldraw P2p, meskipun memiliki sedikit overhead.
......
A real-time based collaborative applications are taking part in human daily life, especially in the pandemic era when it is prohibited to directly meet other people. One example of those kind of application is collaborative whiteboard application, which can be use to draw things freely. Tldraw previously developed using client-server architecture, which later improved using peer-to-peer architecture using WebRTC technology, resulting a low-latency Tldraw application. Nevertheless, those improvisations seem to be not scalable, since the peer-to-peer architecture use full-mesh network topology. Motivated by that, this research propose optimization for Tldraw application using random peer sampling topology. Those optimizations resulting in lower growth of cpu, memory, and bandwidth usage with little overhead."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Eka Setiawan
"Komunikasi real-time merupakan komunikasi yang dilakukan tanpa adanya waktu transmisi yang signifikan. VoIP dan video telephony merupakan beberapa teknologi komunikasi real-time dimana aliran media dilewatkan dalam jaringan IP. webRTC sebagai teknologi baru, membawa teknologi seperti VoIP dan Video Telephony ke dalam web. Untuk menjamin keamanan data yang dikirimkan, webRTC mengharuskan implementasi dengan menggunakan enkripsi. Namun, RTP yang merupakan protokol komunikasi real-time, tidak menggunakan enkripsi dalam implementasinya sehingga perlu penggunaan protokol yang lebih aman yaitu SRTP. SRTP menggunakan kunci simetris untuk melakukan enkripsi data dalam komunikasi real-time. SRTP menggunakan DTLS untuk melakukan manajemen kunci, pertukaran kunci dan autentikasi. DTLS menggunakan sertifikat digital dan mekanisme tanda tangan digital dalam skema autentikasinya. Kriptografi dengan kunci asimetris diimplementasikan pada skema autentikasi DTLS. Dua algoritma yang pada umumnya digunakan untuk melakukan autentikasi tersebut adalah RSA dan ECDSA. Pendekatan perhitungan antara kedua algoritma tersebut berbeda. RSA menggunakan faktorisasi bilangan prima yang besar sedangkan ECDSA menggunakan perhitugnan pada kurva eliptis. Perbedaan tersebut menghasilkan parameter komputasi yang berbeda. Dalam tulisan ini dilakukan perbandingan algoritma RSA dan ECDSA dalam hal penggunaan sumber daya dan implikasinya dalam webRTC. Tulisan ini menggunakan dua pendekatan dalam percobaan perbandingan. Pendekatan pertama melakukan komputasi langsung dalam sebuah perangkat untuk melihat penggunaan sumber daya yang diperlukan. Perdekatan kedua dilakukan dalam sistem panggilan video sehingga perbedaan terlihat dalam implementasi webRTC. Dari hasil pengujian pada dua pendekatan tersebut, didapatkan bahwa RSA memiliki peningkatan kebutuhan sumber daya dan waktu penyelesaian autentikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ECDSA. Rasio waktu CPU ECDSA terhadap RSA terus berkurang seiring peningkatan tingkat keamanan. Rasio menurun dari 0.2 menjadi 0,0002 pada pembuatan kunci, 2,6 menjadi 0,01 pada pembuatan signature, dan 62,0 menjadi 0,02 pada verifikasi signature untuk tingkat keamanan 80 dan 256. Alokasi memori RSA mendekati sepuluh kali lipat dibandingkan ECDSA pada tingkat keamanan 256 dan diprediksi meningkat seiring meningkatnya tingkat keamanan. Besar kunci yang digunakan mempengaruhi besar sertifikat dan verifikasi yang kirimkan. DTLS dengan maximum transmission unit sebesar 1500 byte memerlukan mekanisme fragmentasi untuk mengirimkan keseluruhan informasi. RSA dengan panjang kunci 15360 bit mengirimkan tiga puluh fragmen untuk sertifikat dan lima belas fragmen untuk verifikasi yang mempengaruhi waktu penyelesaian DTLS.Komunikasi real-time merupakan komunikasi yang dilakukan tanpa adanya waktu transmisi yang signifikan. VoIP dan video telephony merupakan beberapa teknologi komunikasi real-time dimana aliran media dilewatkan dalam jaringan IP. webRTC sebagai teknologi baru, membawa teknologi seperti VoIP dan Video Telephony ke dalam web. Untuk menjamin keamanan data yang dikirimkan, webRTC mengharuskan implementasi dengan menggunakan enkripsi. Namun, RTP yang merupakan protokol komunikasi real-time, tidak menggunakan enkripsi dalam implementasinya sehingga perlu penggunaan protokol yang lebih aman yaitu SRTP. SRTP menggunakan kunci simetris untuk melakukan enkripsi data dalam komunikasi real-time. SRTP menggunakan DTLS untuk melakukan manajemen kunci, pertukaran kunci dan autentikasi. DTLS menggunakan sertifikat digital dan mekanisme tanda tangan digital dalam skema autentikasinya. Kriptografi dengan kunci asimetris diimplementasikan pada skema autentikasi DTLS. Dua algoritma yang pada umumnya digunakan untuk melakukan autentikasi tersebut adalah RSA dan ECDSA. Pendekatan perhitungan antara kedua algoritma tersebut berbeda. RSA menggunakan faktorisasi bilangan prima yang besar sedangkan ECDSA menggunakan perhitugnan pada kurva eliptis. Perbedaan tersebut menghasilkan parameter komputasi yang berbeda. Dalam tulisan ini dilakukan perbandingan algoritma RSA dan ECDSA dalam hal penggunaan sumber daya dan implikasinya dalam webRTC. Tulisan ini menggunakan dua pendekatan dalam percobaan perbandingan. Pendekatan pertama melakukan komputasi langsung dalam sebuah perangkat untuk melihat penggunaan sumber daya yang diperlukan. Perdekatan kedua dilakukan dalam sistem panggilan video sehingga perbedaan terlihat dalam implementasi webRTC. Dari hasil pengujian pada dua pendekatan tersebut, didapatkan bahwa RSA memiliki peningkatan kebutuhan sumber daya dan waktu penyelesaian autentikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ECDSA. Rasio waktu CPU ECDSA terhadap RSA terus berkurang seiring peningkatan tingkat keamanan. Rasio menurun dari 0.2 menjadi 0,0002 pada pembuatan kunci, 2,6 menjadi 0,01 pada pembuatan signature, dan 62,0 menjadi 0,02 pada verifikasi signature untuk tingkat keamanan 80 dan 256. Alokasi memori RSA mendekati sepuluh kali lipat dibandingkan ECDSA pada tingkat keamanan 256 dan diprediksi meningkat seiring meningkatnya tingkat keamanan. Besar kunci yang digunakan mempengaruhi besar sertifikat dan verifikasi yang kirimkan. DTLS dengan maximum transmission unit sebesar 1500 byte memerlukan mekanisme fragmentasi untuk mengirimkan keseluruhan informasi. RSA dengan panjang kunci 15360 bit mengirimkan tiga puluh fragmen untuk sertifikat dan lima belas fragmen untuk verifikasi yang mempengaruhi waktu penyelesaian DTLS.

Real time communication RTC is a communication type without any significant transmission delay. VoIP and Video Telephony is an example of RTC technology where media streams are passed on IP networks. webRTC as a new technology brings VoIP and Video Telephony technologies into the web. To ensure the security data, webRTC requires implementation with encryption. RTP which is an RTC protocol does not implement encryption, so it needs to use a more secure protocol which is SRTP. SRTP uses symmetric keys to perform data encryption in the RTC. SRTP uses DTLS to perform key management, key exchanges and authentication. DTLS uses digital certificates and digital signature mechanisms to authenticate. Cryptography with asymmetric keys is implemented in the DTLS authentication mechanism. Two commonly used algorithms for authentication are RSA and ECDSA. The calculation approach between those two algorithms is different. RSA uses prime factorization while ECDSA uses elliptical curve computation. These differences produce different computational parameters. In this paper we compare the RSA and ECDSA algorithm in terms of resources and its implication in webRTC. This paper uses two approaches for comparative experiments. The first approach is do direct computing in a device to see the use resources. The second approach is done in a video call system so that differences are seen in webRTC implementation. From the test results in both approaches, it was found that RSA has higher resource requirements and process completion times compared to ECDSA. The ratio for CPU time of ECDSA to RSA continues to decrease as security levels increase. The ratios decreases from 0.2 to 0.0002 in key generation, 2.6 to 0.01 in key generation, and 62.0 to 0.02 in key generation for security levels of 80 and 256. RSA memory allocation approximately ten times higher than ECDSA at 256 security level and predicted to increases with increasing of security level. Size of key affect the size of the certificate and the verification in DTLS. DTLS with a maximum transmission unit of 1500 bytes requires a fragmentation mechanism to send whole information. RSA with a key length of 15360 bits sends thirty fragments for certificates and fifteen fragments for verification which affect DTLS completion time."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Walangadi, Dennis Al Baihaqi
"Aplikasi kolaboratif adalah jenis perangkat lunak yang dirancang untuk memfasilitasi kerja sama dan komunikasi antara pengguna secara daring. Umumnya, aplikasi kola- boratif dirancang dengan menggunakan arsitektur yang terpusat. Namun, arsitektur ini memiliki beberapa isu seperti rentan terhadap penyensoran dan menjadi titik tunggal terjadinya serangan yang bisa berakibat pada kebocaran data pengguna. Arsitektur peer-to-peer bisa menjadi solusi untuk isu tersebut. Implementasi arsitektur peer-to-peer perlu memenuhi kebutuhan menyimpan dan memuat data pengguna tanpa adanya otoritas terpusat. IPFS bisa menjadi salah satu alternatif untuk menyimpan data pengguna secara terdistribusi. Namun, data yang disimpan di IPFS bersifat publik sehingga memerlukan adanya lapisan keamanan untuk menjaga kerahasiaan data yang disimpan. Dilatarbelakangi oleh permasalahan tersebut, penelitian ini memperkenalkan sebuah arsitektur terdistribusi yang aman berbasis IPFS. Terdapat 3 aspek yang dievaluasi yaitu aspek latensi pada waktu nyata, aspek kinerja transfer data pada tempat penyimpanan, dan aspek kerahasiaan pada saat sesi kolaborasi serta pada data yang diunggah ke IPFS. Penelitian ini menemukan bahwa implementasi WebRTC berbasis IPFS memiliki kinerja latensi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan arsitektur terpusat. Selain itu, dalam arsitektur peer-to-peer, algoritma CRDT dibuktikan mampu untuk menangani resolusi konflik pada sebuah sesi kolaborasi dengan banyak peer. Penelitian ini juga menunjukan bahwa IPFS mampu mendukung kebutuhan aplikasi kolaboratif untuk menyimpan, memuat, dan berbagi dokumen secara peer-to-peer. Kinerja transfer data pada IPFS cenderung lebih baik daripada solusi terpusat, baik dengan jumlah data yang berbeda maupun jumlah node yang terhubung. Selain itu, penggunaan enkripsi mampu menjaga aspek kerahasiaan data yang diunggah ke IPFS. Selain itu, UUID sebagai identitas sebuah ruangan dalam aplikasi kolaboratif mampu memberikan lapisan kerahasiaan untuk pengguna aplikasi.
......Collaborative apps are a type of software designed to facilitate cooperation and commu- nication between users online. Generally, collaborative applications are designed using a centralized architecture. However, this architecture has several issues such as being vulnerable to censorship and being a single point of attack that can result in the leakage of user data. Peer-to-peer architecture can be a solution to these issues. The implementation of peer-to-peer architecture needs to meet the needs of storing and loading user data without a centralized authority. IPFS can be one of the alternatives to store user data in a distributed manner. However, the data stored in IPFS is public so it requires a security layer to maintain the confidentiality of the stored data. Against this background, this research introduces a secure distributed architecture based on IPFS. There are 3 aspects evaluated, namely the latency aspect in real time, the data transfer performance aspect on the storage, and the confidentiality aspect during collaboration sessions as well as on data uploaded to IPFS. This research found that IPFS-based WebRTC implementation has better latency performance when compared to centralized architecture. In addition, in a peer-to-peer architecture, the CRDT algorithm is proven to be able to handle conflict resolution in a collaboration session with multiple peers. This research also shows that IPFS is able to support the needs of collaborative applications to store, load, and share documents on a peer-to-peer basis. Data transfer performance on IPFS tends to be better than centralized solutions, both with different amounts of data and the number of connected nodes. In addition, the use of encryption is able to maintain the confidentiality aspect of the data uploaded to IPFS. In addition, UUID as the identity of a room in a collaborative application is able to provide a layer of confidentiality for application users."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thalia Teresa
"Dalam menghadapi abad ke-21, peserta didik diharapkan memiliki skill dalam critical thinking and problem solving, communication, collaboration, dan creativity. Pengembangan skill tersebut dapat dilakukan melalui penerapan metode pembelajaran Cooperative Problem Based Learning (CPBL) yang banyak dilakukan menggunakan aplikasi video conference pada masa pandemi COVID-19. Dalam praktiknya, beberapa aspek CPBL belum dipenuhi oleh aplikasi video conference yang marak digunakan saat ini, khususnya pemberian evaluasi kinerja peserta didik, interaksi fasilitator dengan peserta didik, dan aksesibilitas informasi diskusi. Penelitian ini melibatkan empat dosen dan enam belas peserta didik dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia sebagai responden wawancara. Pertanyaan wawancara disusun berdasarkan kerangka kerja PBL dan hasilnya digunakan untuk pemetaan usulan solusi pengembangan aplikasi video conference bernama Wiyata. Usulan solusi diterapkan dalam rancangan desain yang dimulai dengan pembuatan user journey, benchmarking, serta pembuatan desain antarmuka. Sementara pengembangan sistem berdasarkan usulan solusi dimulai dengan perancangan implementasi sistem menggunakan diagram UML, pemilihan teknologi, perancangan arsitektur aplikasi, pengembangan bagian backend dan frontend, hingga deployment. Setelah perancangan desain dan pengembangan sistem, pengujian dan evaluasi dilakukan. Pengujian rancangan desain menggunakan metode Usability Testing dan SUS dan menghasilkan skor rata-rata sebesar 78.75 atau nilai B. Sementara pengujian implementasi sistem dilakukan dengan functional testing. Hasil functional testing menunjukkan keberhasilan implementasi aplikasi dari sisi fasilitator dan peserta didik berturut-turut adalah 92% dan 93%.
......In facing the 21st century, students are expected to have skills in critical thinking and problem solving, communication, collaboration, and creativity. These skills can be developed through the application of the Cooperative Problem Based Learning (CPBL) method which is frequently done using video conferencing applications during the COVID-19 pandemic. Several aspects of CPBL have not been supported by video conferencing applications that are widely used today, in particular providing evaluations of student performance, interaction of facilitators with students, and accessibility of discussion information. This research involved four lecturers and sixteen students from the Faculty of Computer Science, University of Indonesia as respondents. The interviews question were arranged based on PBL framework and the results were used to map the proposed video conference application development solution called Wiyata. The proposed solution was implemented in the design, starting with creating user journeys, benchmarking, and building the user interface. Meanwhile, the system development based on the proposed solution began with system design using UML diagrams, technology selection, application architecture design, backend and frontend development, and deployment. After designing the user interface and developing the application, testing and evaluation are carried out. The design was tested by using the Usability Testing and SUS methods and resulted in an average score of 78.75 or a B value. Meanwhile, the system implementation was tested by functional testing. The results of functional testing show that the success rate of the application from the facilitator's and student's point of view are 92% and 93%, respectively."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hocky Yudhiono
"Penelitian ini memaparkan sebuah aplikasi editor kode kolaboratif local-first berbasis peer-to-peer yang diimplementasi dengan WebRTC dan CRDT. Selain itu, aplikasi ini menyertai shell bersama yang dapat dijalankan oleh salah satu pengguna dan digunakan oleh setiap pengguna lain dalam suatu kelompok jaringan. Terdapat beberapa variasi arsitektur backend pada aplikasi yang dibandingkan dalam penelitian ini. Dari segi algoritma dalam menjaga konsistensi dokumen, dua pendekatan berbeda yang diteliti ialah algoritma OT (operational transformation) dan metode yang memanfaatkan struktur data CRDT (conflict-free replicated data types). Dari segi arsitektur jaringan, penelitian ini mengevaluasi CRDT berbasis client-server, CRDT berbasis peer-to-peer, serta OT berbasis client-server. Keterbatasan OT yang diimplementasi pada penelitian ini membutuhkan suatu sumber kebenaran berupa server, sehingga OT berbasis peer-to-peer tidak dievaluasi. Penelitian ini menemukan bahwa variasi implementasi CRDT peer-to-peer yang diujikan memiliki performa lebih baik untuk sejumlah pengguna n≤8. Selain itu, signalling server pada variasi ini menggunakan resource yang minim, sehingga lebih optimal untuk kelompok jaringan yang lebih banyak. Sementara itu, variasi CRDT client-server dapat dipertimbangkan penggunaannya ketika terjadi masalah saat melakukan inisialiasi jaringan peer-to-peer atau jumlah pengguna dalam suatu kelompok jaringan jauh lebih banyak dari eksperimen yang dilakukan pada penelitian ini.
......This research presents a peer-to-peer and local-first collaborative code editor application implemented with WebRTC and CRDT. In addition, the application includes a shared shell that can be run by one user and used by every other user in a network group. There are several variations of architecture in the applications compared in this study. In terms of algorithms for maintaining document consistency, two different approaches were evaluated, OT (operational transformation) algorithm and CRDT (conflict-free replicated data types) data structure. In terms of network architecture, this study assessed client-server based CRDT, peer-to-peer based CRDT, and client-server based OT. The limitation of OT implemented in this research is that it requires a single source of truth in the form of a server, so peer-to-peer-based OT was not evaluated. This study found that the peer-to-peer based CRDT variation tested performed better for a number of users n <= 8. Moreover, the signaling server in this variation uses minimal resources, making it more optimal for larger network groups. However, the client-server CRDT variation’s usage can be considered when there are problems initializing a peer-to-peer network or the number of users in a network group is much larger than the experiments conducted in this study."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azkiya Hanna Rofifah
"Dalam menghadapi abad ke-21, peserta didik diharapkan memiliki skill dalam critical thinking and problem solving, communication, collaboration, dan creativity. Pengembangan skill tersebut dapat dilakukan melalui penerapan metode pembelajaran Cooperative Problem Based Learning (CPBL) yang banyak dilakukan menggunakan aplikasi video conference pada masa pandemi COVID-19. Dalam praktiknya, beberapa aspek CPBL belum dipenuhi oleh aplikasi video conference yang marak digunakan saat ini, khususnya pemberian evaluasi kinerja peserta didik, interaksi fasilitator dengan peserta didik, dan aksesibilitas informasi diskusi. Penelitian ini melibatkan empat dosen dan enam belas peserta didik dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia sebagai responden wawancara. Pertanyaan wawancara disusun berdasarkan kerangka kerja PBL dan hasilnya digunakan untuk pemetaan usulan solusi pengembangan aplikasi video conference bernama Wiyata. Usulan solusi diterapkan dalam rancangan desain yang dimulai dengan pembuatan user journey, benchmarking, serta pembuatan desain antarmuka. Sementara pengembangan sistem berdasarkan usulan solusi dimulai dengan perancangan implementasi sistem menggunakan diagram UML, pemilihan teknologi, perancangan arsitektur aplikasi, pengembangan bagian backend dan frontend, hingga deployment. Setelah perancangan desain dan pengembangan sistem, pengujian dan evaluasi dilakukan. Pengujian rancangan desain menggunakan metode Usability Testing dan SUS dan menghasilkan skor rata-rata sebesar 78.75 atau nilai B. Sementara pengujian implementasi sistem dilakukan dengan functional testing. Hasil functional testing menunjukkan keberhasilan implementasi aplikasi dari sisi fasilitator dan peserta didik berturut-turut adalah 92% dan 93%.
......In facing the 21st century, students are expected to have skills in critical thinking and problem solving, communication, collaboration, and creativity. These skills can be developed through the application of the Cooperative Problem Based Learning (CPBL) method which is frequently done using video conferencing applications during the COVID-19 pandemic. Several aspects of CPBL have not been supported by video conferencing applications that are widely used today, in particular providing evaluations of student performance, interaction of facilitators with students, and accessibility of discussion information. This research involved four lecturers and sixteen students from the Faculty of Computer Science, University of Indonesia as respondents. The interviews question were arranged based on PBL framework and the results were used to map the proposed video conference application development solution called Wiyata. The proposed solution was implemented in the design, starting with creating user journeys, benchmarking, and building the user interface. Meanwhile, the system development based on the proposed solution began with system design using UML diagrams, technology selection, application architecture design, backend and frontend development, and deployment. After designing the user interface and developing the application, testing and evaluation are carried out. The design was tested by using the Usability Testing and SUS methods and resulted in an average score of 78.75 or a B value. Meanwhile, the system implementation was tested by functional testing. The results of functional testing show that the success rate of the application from the facilitator's and student's point of view are 92% and 93%, respectively."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library