Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heru Susetyo
Abstrak :
Internally Displaced Persons adalah salah satu fenomena sosial yang klasik di Indonesia juga di dunia internasional. Namun sedihnya belum banyak mendapat perhatian publik maupun penanganan yang serius dari pemerintah Indonesia. Padahal, pengungsi internal telah ada sejak Negara Republik Indonesia ada. Sejak perang kemerdekaan 1945 - 1950, perang sipil 1965 - 1966, hingga era konflik etnis dan konflik vertikal 1989 - 2002, dan entah sampai kapan lagi. Sejak pertengahan tahun 90-an, Indonesia didera konflik internal baik yang berskala vertikal maupun horisontal. Mulai dari kasus DOM di Aceh 1989 -- 1998 yang berlanjut dengan perang TNI versus GAM tahun 2003, kemudian kasus Timor Leste, Papua Barat, sampai yang berskala horisontal seperti konflik etnis dan konflik agama di Maluku, Maluku Utara, Poso, Sampit dan Sambas. Khusus tentang konflik Sambas tahun 1999 yang terjadi antara etnis Melayu Sambas dengan Madura Sambas, disamping telah berakibat tewasnya ratusan jiwa dan hancurnya sekian ratus rumah dan harta warga Madura, juga telah menimbulkan gelombang pengungsian dari Kabupaten Sambas dan Bengkayang yang begitu besar. Tujuan utama pengungsian adalah mengungsi sementara di tempat yang cukup aman sebelum kembali ke tempat asal. Maka, para pengungsi-pun berlabuh di kota Pontianak. Tak dinyana, sampai sekian bulan bahkan berbilang tahun, pengungsi warga Madura tetap tidak dapat kembali ke tempat asal di Sambas karena warga Melayu Sambas belum dapat menerima mereka kembali. Alias, rekonsiliasi antar etnis masih gagal. Merespon fenomena tersebut, pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang dibentuk melalui Keppres No. 3 tahun 2001 dan pemerintah daerah Kalimantan Barat melalui Tim Gabungan Penanggulangan Pengungsi Paska Kerusuhan Sosial Sambas (TGPPPKSS) menelurkan program alternatif yang kemudian disebut sebagai relokasi. Relokasi adalah pemindahan pengungsi dari tempat penampungan sementara menuju pemukiman permanen yang dibangun pemerintah di sekitar Kabupaten Pontianak. Konsepnya nyaris mirip dengan transmigrasi, namun lebih bersifat darurat karena sifatnya sebagai alternatif penanganan pengungsi setelah pemulangan pengungsi gagal dilakukan. Karena sifat daruratnya, juga karena pemerintah Republik Indonesia belum cukup punya pengalaman menyelenggarakennya, relokasi ini mengundang sejumnlah masalah, baik dalam proses perumusan kebijakannya, proses implementasinya, maupun dampaknya terhadap kehidupan warga pengungsi Madura. Penelitian ini mengkaji kebijakan relokasi pengungsi Madura korban kerusuhan Sambas dengan meminjam paradigma kebijakan sosial model Gilbert dan menggunakan pisau analisis model Smith, Sabatier dan Mazmanian. Secara normatif, implementasi dan dampak kebijakan relokasi ini dikaji kesesuaiannya dengan the Guiding Principles on Internal Displacement 1998, Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Bakornas PBP tahun 2001 dan Kebijaksanaan Nasional Percepatan Penanganan Pengungsi di Indonesia. Analisis kebijakan dan analisis data lapangan mengasumsikan bahwa kebijakan relokasi ini adalah program darurat yang tak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya seperti halnya program transmigrasi. Relokasi ini lahir karena gagalnya rekonsiliasi antara warga Melayu Sambas dengan warga pengungsi Madura. Artinya, rekonsiliasi yang dilanjutkan dengan pemulangan ke Sambas tetaplah menjadi pilihan utama. Maka, amatlah wajar apabila pelaksanaannya carut marut. Disamping, karena pemerintah pusat maupun daerah tak punya cukup pengalaman dalam menangani relokasi, juga karena masyarakat memiliki ekspektasi yang bertebihan tentang relokasi. Menurut Smith ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu (1) Idealized policy (2) Target group (3) Implementing Organization dan (4) Environmental Factors . Sedangkan Sabatier dan Mazmanian mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan harus memperhatikan ; (1) karakteristik masalah (2) daya dukung peraturan (3) variabel non peraturan (4) dan proses implementasinya. Idealized policy, dalam kebijakan relokasi ini kurang terumuskan secara baik. Policy yang ada adalah tentang pembagian kerja. Akan halnya kerjanya apa itu sendiri tak terumuskan dengan baik. Sama halnya dengan policy di tingkat pusat yang cenderung mengatur mekanisme kerja namun cenderung bersifat umum dan tak bermuatan perlindungan terhadap hak-hak pengungsi itu sendiri. Implementing organization, yaitu Tim Gabungan Penanggulangan Kerusuhan Sosial Sambas, kurang menunjukkan koordinasi yang baik-baik. Ada saat-saat setiap instansi berjalan secara terkoordinasi, namun sering juga mereka berjalan sendiri-sendiri. Kemudian, kebijakan relokasi juga tidak terumus secara jelas. Tidak ada acuan yang jelas dari atas, juga tidak ada contoh yang dapat diacu dari pengalaman daerah lain. Environmental factors dan variabel non peraturan cukup berpengaruh dalam pelaksanaan relokasi ini. Relokasi dijadikan alternatif bukan karena sejak awal telah direncanakan, melainkan karena desakan dari pihak luar. Karena rekonsiliasi yang gagal tercipta antara warga Melayu dan Madura Sambas. Juga karena desakan dari penduduk di sekitar penampungan yang sudah agak 'gerah' dengan para pengungsi. Anehnya, pemerintah juga turut memberikan ultimatum, bahwa pengungsi harus segera direlokasi pada tanggal tertentu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusnila
Abstrak :
Secara geografis Indonesia dikatakan sebagai negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Secara sosiologis bangsa Indonesia juga dikenal memiliki kebhinekaan dalam budaya, againa, Bahasa, suku yang melingkupinya. Keanekaan ini merupakan aset yang panting untuk menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, agar bangsa Indonesia tetap eksis dan tumbuh baik di lingkungan regional maupun Internasional. Pembangunan wilayah mempunyai strategi tersendiri mengingat pembangun wilayah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan nnelalui suatu pendekatan sektoral dan regional. Hal ini merupakan kekuatan dan perluasan kegiatan yang ditimbulkan oleh hubungan antar manusia dalam suatu wilayah tertentu disamping keterlibatan suatu bangsa dan pergaulan antar bangsa. Khusus pembangunan di Kalimantan Barat merupakan bagian kepentingan nasional dalam strategi kewilayahan tertentu. Wilayah Kalimantan Barat merupakan salah satu dari 27 propensi dan memiliki pemerintah daerah otonom yaitu daerah tingkat L Selanjutnya apabila dilihat dan segi geografi. Kalimantan Barat sebelah utara berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur) : sebelah barat berbatasan dengan Laut Natuna pada jalur selatan Karimata dan Cina Selatan; dan sebelah timur berbatasan dengan propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah; dan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa. Selain itu merupakan salah satu propinsi terdepan berinteraksi dengan negara-negara ASEAN maupun Asia Pasifik, dimana merupakan peluang pasar dunia dimasa-masa mendatang. Apabila dilihat dari batas-batas yang mengelilingi Kalimantan Barat, maka batas utara dan barat adalah merupakan letak strategis. Wilayah ini mempunyai batas yang terbuka. Kalimantan Barat merupakan salah satu pintu masuk baik berupa barang, jasa, orang, faham dan lain sebagainya. Dilihat dani sisi pembangunan nasional, seperti sernua wilayah lainnya Kalimantan Barat mengandung potensi kekuatan sentrifugal yang menuju kearah disintegrasi. Hal ini sangat terkait dengan kemajemukan masyarakat. Menurut Haviland (1988: 12), masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki berbagai kebudayaan khusus yang jelas sekali. Masyarakat seperti ini ditandai oleh masalah tertentu seperti adanya berbagai kelonpok dan berbagai variasi khusus di dalamnya. Semua pada hakekatnya berjalan menurut perangkat peraturan yang berbeda-beda. Dalam masyarakat yang majemuk menjadi sulit dipahami norma yang berbeda-beda yang menjadi dasar kehidupan sub-kelompok yang bebeda-beda itu?
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh Adib
Abstrak :
Dinas Kesehatan Kabupaten Pontianak dari tahun 1998 sampai tahun 2000 telah memperoleh Health Project IV dan melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan pendekatan jaminan mutu yaitu mulai dari seminar sadar mutu sampai ke pelaksanaan pemecahan masalah berdasarkan tim. Pendekatan jaminan mutu ini diutamakan untuk 4 PKD yaitu pelayanan antenatal, Imunisasi, Batuk dan Kesulitan Bernafas, dan Diare. Dukungan dana HP-IV sudah berakhir pada Desember 2000 sehingga perlu adanya strategi untuk membuat kesinambungan pendekatan jaminan mutu tahun 2001 sampai 2003. Sasaran dari analisis ini hanya satu PKD yaitu pelayanan antenatal dengan tujuan agar strategi yang dihasilkan lebih spesifik, disamping data tingkat kepatuhan bidan yang terus men ingkat dalam 3 tahun terakhir.
Untuk mengetahui strategi upaya mempertahankan kesinambungan penerapan pendekatan jaminan mutu pada pelayanan Antenatal tahun 2001 - 2003, dilakukan penelitiau terapan dengan berpedoman pads SUSTAINABILITY ANALYSIS dari Primary Health Care Management Advancement Programme yaitu menganalisis peluang - ancaman 10 faktor kesinambungan yang meliputi: Besaran target populasi - Tingkat Pengetahuan, sikap dan perilaku sasaran - Tingkat Kepatuhan petugas - Tingkat Kepuasan sasaran - Dukungan manajemen dan kapasitas organisasi - Komitmen politik - Sumber daya manusia Pemasukan - Pengeluaran - Lingkungan. Adapun tahapan yang dilalui yaitu: ldentifikasi pengguna, tujuan spesifik dan ruang lingkup kajian - Memperjelas sasaran kajian - Memutuskan tingkat ketelitian - Mengumpulkan data 10 faktor kesinambungan - Kajian strategik peluang dan ancaman 10 faktor kesinambungan melalui CDMG I - Memilih strategi dan membuat rumusan rencana kesinambungan melalui CDMG IL
Dari basil penelitian ini, diperoleh gambaran bahwa 5 faktor sebagai ancaman, 4 faktor sebagai peluang dan 1 faktor netraL Untuk menetralisasi ancaman dan memanfaatkan peluang yang ada, maka disusun 26 altematif strategi. Setelah dilakukan penelaahan maka dilakukan penggabungan beberapa alternatif strategi sehingga tinggal 16 strategi. Dad 16 strategi disepakati bahwa 10 strategi disusun rumusan rencana kesinambungannya untuk tahun 2001 dan 5 strategi akan dimulai tahun 2002 serta 1 strategi akan dimulai tahun 2003.
Penelitian ini memberi pengalaman bahwa SUSTAINABILITY ANALYSIS dari Primary Health Care Management Advancement Programme dapat diaplikasikan untuk membuat strategi kesinambungan penerapan pendekatan jaminan mutu pada peiayanan antenatal, walaupun berbagai data sulit didapat seperti pendapatan dan pengeluaran peiayanan antenatal secara rinci, sehingga membuat penelitian ini hanya membatasi did pada kajian strategik saja. Sedangkan untuk pengumpulan data yang lain relatif mudah bahkan beberapa data sekunder biasa tersedia di Dinas Kesehatan Kabupaten, sehingga penelitian ini juga memberi kesadaran bahwa sebetulnya banyak sekali data disekitar kita yang sernestinya dapat dioptimalkan untuk membuat suatu keputusan balk dalam rangka untuk menyelesaikan masalah maupun untuk membuat suatu perencanaan. Disamping itu penelitian ini juga memberi kita kesadaran bahwa bekerja secara tim, dapat dengan mudah/lebih ringan dalam memecahkan masalah yang komplek sekalipun.
Akhirnya peneliti menyarankan agar Tim Jaminan Mutu Dinas Kesehatan Kabupaten Pontianak betul-betul melaksanakan rumusan rencana kesinambungan yang telah disepakati bersama dan untuk memudahkan penerapan SUSTAINABILITY ANALYSIS pada program-program yang lain, agar ada laporan tentang tingkat kepuasan pelangganipasien secara berkala dari Puskesmas.
Analysis of Strategic Plan on the Sustainability of the Application of Quality Assurance Approach on Antenatal Service in Pontianak District West Kalimantan Province for the Year 2001 - 2003The Health Department of Pontianak District had been chosen to implement the Health Project IV of Ministry of Health since 1998 until 2000 and they had performed all series of activities of quality assurance approaches that ranged from awareness seminars to the implementation of team based problem solving. The quality assurance approach was mainly intended to improve 4 BHS, namely Antenatal Care, Immunization, Cough and Difficult Breathing, and Diarrhoea. Funding for HP-IV has been terminated since December 2000 so that now it is necessary to develop a strategy for the sustainability of quality assurance approach beginning 2001 until 2003. Analysis objective only antenatal care to get specific strategic, and data health workers' compliance rate through increase trend in three years ago.
To find out strategies or effort to sustain the application of quality assurance approach on Antenatal service for the year 2001 - 2003, an operational study was conducted by refereeing to SUSTAINABILITY ANALYSIS frame work of Primary Health Care Management Advancement Programme that analyzed opportunities and threats of 10 factors of sustainability including: Population size. Target group knowledge, attitudes and practice - Health workers' compliance rate - Clients satisfaction. Management support and organizational capacity - Political commitment - Personnel resources - Revenues - Expenditures ? Environment factors. The steps of study conducted were: Identify users, and specify the purpose and scope of the analysis - Clarify the objectives - Decide on the level of detail needed - Conduct strategic assessment on 10 factors of sustainability - Identify strategies for addressing threats and opportunities of 10 factors of sustainability by CDMG I and Select strategy and setting sustainability plan by CDMG II.
The result of study shows that there are 5 factors identified as threats, 4 factors identified as opportunities, and 1 neutral factor. To neutralize threats and utilize the existing opportunities, 26 alternative strategies were analyzed. Following the consensus of CDMG II, some strategies were combined that resulted in 16 strategies. Of the 16 agreed strategies, 10 strategies will bw implemented as inputs for setting the sustainability plan for 2001, 5 others shall commence in 2002, and I strategy shall be employed in 2003.
This study provides experience that SUSTAINABILITY ANALYSIS of Primary Health Care Management Advancement Programme is applicable for setting sustainable strategy of the application of quality assurance approach on Antenatal care, although more detailed data, including Antenatal care revenues and expenditures were hard to obtain. This will probably impact to the validity of the result. This study experienced a relatively easy data collection process. Data Inputs can be found in the existing system and it only process that similar studies/activities can be done where by existing local provider staff. This study also provides experience that teamwork helps to ease problem solving, even the complex one.
The researcher finally offers recommendations for Quality Assurance Team of Health Department of Pontianak District to execute the agreed sustainability plan and to utilize the SUSTAINABILITY ANALYSIS on other programs so that regular reports on client's level of satisfaction of Basic Health Services are available.
2001
T415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Tut Wuri Handayani
Abstrak :
Perencanaan kesehatan merupakan hal penting yang merupakan awal dari berbagai fungsi manajemen. Keluaran mutu perencanaan kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Pontianak masih belum baik. Kemampuan para perencana juga masih belum cukup mendukung. Studi ini meneliti proses perencanaan dalam kerangka pendekatan sistem untuk mengantisipasi pelaksanaan desentralisasi. Metode penelitian adalah kualitatif, dilakukan dengan wawancara mendalam dan didukung dengan telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan proses perencanaan membutuhkan perbaikan, karena tahapannya belum sesuai dengan teori. Belum ada petugas yang mendapat pelatihan perencanaan dan penganggaran secara khusus. Struktur Urusan Perencanaan tidak sesuai dengan beban kerjanya. Koordinasi lintas program dan lintas sektoral belum berjalan seperti yang diharapkan. Telaah dokumen menunjukkan terdapat inefisiensi antara program. Ditambah dengan kekakuan administrasi memperberat inefisiensi. Pemerataan (equity) telah tampak dalam telaah dokumen seperti pelayanan bagi keluarga miskin dan barang barang-barang publik. Kelangsungan JPKM sulit bertahan. Pembiayaan kesehatan di Kabupaten Pontianak didominasi oleh Pusat. Pada tahun 1999/2000 pembiayaan Pusat berkisar 88%, sedangkan Daerah hanya 11,89% terdiri dari 2,21% APBD tingkat II dan 9,68% dari APBD tingkat I. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekitar 2,76 milyar rupiah. Dana jaring pengaman sosial (JPS) membiayai sektor kesehatan sebesar 1,547 milyar rupiah. Bila diberlakukan konsensus Bupati mengenai pembiayaan kesehatan adalah 15% dari PAD, berarti pembiayaan kesehatan saat desentralisasi akan sangat menurun. Bandingkanlah dengan nilai pembiayaan saat ini. Bagaimana dapat mencapai dana seperti saat ini bila hanya megharapkan dari PAD saja. Mekanisme pembiayaan pra upaya dan rasionalisasi tarif pelayanan kesehatan selayaknya dijadikan sebagai sumber pendanaan. Pembiayaan pra upaya merupakan pilihan terbaik untuk mendanai sektor kesehatan. Dalam rangka rnenghadapi desentralisasi, Kepala Dinas telah melakukan advokasi kepada Pemerintah Daerah. Bupati pun telah menunjukkan perhatiannya kepada sektor kesehatan. Untuk merebut Dana Alokasi Umum (DAU) petugas Dinas Kesehatan harus memiliki kemampuan advokasi kepada Pemerintah Daerah dan instansi terkait serta DPRD, antara lain dengan memaparkan pentingnya pembiayaan bagi sektor kesehatan. Analisis situasi kesehatan berdasar data, haruslah disertai dalam advokasi tersebut. Perencanaan kesehatan berbasis data (evidence based health planning) akan dapat menggambarkan berapa besar dana yang diperlukan. Dengan anggaran yang terbatas, Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah haruslah memprioritaskan pada pelayanan bagi keluarga miskin dan hal yang berdimensi keadilan sosial (social justice) seperti barang-barang publik. Untuk itu sebaiknya dibikin suatu piagam saling pengertian untuk rnemilih kegiatan yang diprioritaskan serta jaminan atas pembiayaannya. Pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan bagi keluarga miskin merupakan prioritas tinggi agar tercapai pemerataan (equity) pelayanan kesehatan. Untuk memperbaiki perencanaan, peneliti menyarankan sebagai berikut : pelatihan perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT) bagi para perencana, meningkatkan eselon Urusan Perencanaan, meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor, melibatkan pemerintah daerah dan Bappeda dalam proses P2KT agar mempunyai persepsi yang sama dalam perencanaan kesehatan, serta melibatkan peneliti, ahli survei, ahli ekonomi kesehatan terutama dalam analisis situasi, penentuan prioritas, penilaian pilihan dan penyusunan program dan anggaran. Daftar bacaan : 54 (1984-2001)
Analysis of The Annual Health Planning in The District Health Office of Pontianak, Kalimantan Barat Province, During The Fiscal Year 1999/2000.Health planning is one of the most important functions, which have to be done first before doing the other management functions. The quality health planning output in the District Health Office (DHO) of Pontianak is still low. The capability's health planner in DHO of Pontianak is not good enough. This study was conducted to research process of health planning in a view of systemic approach frame for anticipating decentralization era. The qualitative method by using in-depth interview is used in this study. It is complemented by document observation. The result is that the process of the health planning in DHO of Pontianak needs more improving. Their steps are not in accordance with the theory of health planning. The causes are no officials have trained health planning and budgeting specifically. The structure of planning subdivision not in accordance with the workload. The mechanism of cooperation between cross program and cross sectoral do not function. The document observation result is inefficiency between programs. Budget absorption failure caused by restraint or inflexibility finance mechanism more weight inefficiency. Equity has been contained in document, just like poor family health services and public goods. Sustainability of managed care is difficult to be implemented. The composition of public finance is dominated by the central government. District figure for fiscal year 1999/2000 that approximately 88% of total government expenditure for health at district level, cone from the central government, and just about 2,21 % from the district income and expenditure budget and 9,68% from the province income and expenditure budget. District government revenue is 2,76 billion Rupiahs. Social Safety Net contributes 1,547 billon Rupiahs. According to District Head's consensus, local government health spending will be approximately 15% district government revenue. If this consensus is realized, public health spending will be reduced drastically. Compare with health expenditure this time; come from central and province budget 20,399 billion Rupiahs plus SSN 1,547 billion. How to afford the budget for health spending, if we just rely on district government revenue. It means we must strive for the public financing through pre payment mechanism, and rationalization user charge. For anticipating decentralization era, the head of DHO of Pontianak has advocated to Local Government. District Head has showed full attention in health sector. In order to get General Allocation Fund (GAF) so District Health Officials (DHOs) must have avocation capability to local government, other institution and local legislative body for introducing the importance of financing health services. Evidence based in analysis of the health situation must accompany avocation. Evidence based health planning is the way of finding out how much money will be needed. With restrictive budget, DHO and local government must priority the activity of program that has paradigm social justice and distributive justice (include public goods). So the local government must take the memorandum of understanding to choose the priority activities programs and convince that its financing is secure. Providing basic package and services for the poor are occupied on the high list of priorities to ensure equity. In order to produce a qualified health planning, the planning process requires considerable attention to the quality of human resources (planner) that need improving by training about integrated health planning and budgeting (IHPB). The other matters require considerable attention are the structure of planning organization in DHO of Pontianak needs straightening in accordance with the workload and output of health planning; the cooperation between cross program and cross sectoral needs supporting by using the authority of local government. The other important things are better for local government and its planning (Bappeda) to involve them in IHPB process (cross sectoral institute), in order to have a same perception in the health planning, DHOs collaborative with other institution must arrange the strategic planning for directing the future activities; recruitment patterns and developing decision making guidelines (the strategy) that based on situational analysis. Meanwhile it is better for DHO of Pontianak to involve surveyor, surveillance epidemiology expert and health economic expert especially in analysis of the health situation, the priority setting, option appraisal and programming-budgeting. References : 54 (1980-2001)
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T2505
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bustami
Abstrak :
Pendahuluan Latar BelakangPermasalahan Sejak menggunakan konsep Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang dimulai dengan Repelita I pada tahun 1969, pembangunan nasional telah menunjukkan banyak kemajuan yang dicapai, terutama bila dilihat dari pembangunan di bidang ekonomi. Sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi tersebut dapat dilihat dari segi peningkatan pendapatan per kapita masyarakat dan pencapaian laju pertumbuhan ekonomi. Dilihat dari segi pendapatan per kapita masyarakat, pembangunan nasional telah berhasil meningkatkyn pendapatan per kapita masyarakat dari berkisar ± US $ 70 sebelum Repelita I menjadi ± US $ 800 pada tahun 1994 (lihat Prijono Tjiptoherijanto,1997). Sedangkan bila dilihat dari pencapaian laju pertumbuhan ekonomi, maka pembangunan nasional menunjukkan keadaan yang mengagumkan, dimana pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu ± 30 tahun mencapai ± 7% per tahun. Karena laju pertumbuhan ekonomi tersebut, maka tidak mengherankan bila Indonesia mendapat pujian dari berbagai lembaga internasional. Kemajuan pembangunan di bidang ekonomi juga telah membawa dampak pada perubahan struktur perekonomian nasional, yaitu dengan semakin meningkatnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PD B). Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB sebesar 11,6% pada tahun 1980, meningkat menjadi 23,9% pada tahun 1994 (lihat Moh. Arsyad Anwar, 1995).
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanto Rivaie
Abstrak :
ABSTRACT.This research studies the local-based MDGs and ARG models of poverty eradication efforts in border areas in West Borneo. The aim is to map the psycho-social economic dimensions and identify the behavior of poverty-stricken groups. Poverty in border areas is getting higher compared to other areas since they are strategically and geographically different in characteristics. The purpose of the study is to improve the policy and budgeting system of poverty eradication programs. A qualitative approach is used through the concept of planning and developing. The result shows that the high income of some people does not reduce the number of poor family in border areas. Poor areas in Sambas District are spread in 164 locations, while its development is distributed among 6373 locations. The Gross Domestic Product of Sambas District is higher than two other districts, i.e. IDR 5,287,291.21 and its Per Capita Income is 163,773.00 per month. The profile of poor people: most of them work in agricultural sector, have low education, have improper house with no lavatory, and in average have four children.

ABSTRAK.Penelitian Model Millenium Development Goals (MDG?S) ini adalah untuk mengembangkan Anggaran Responsif Gender (ARG) Berbasis Lokal, yang merupakan upaya mengurangi kemiskinan daerah perbatasan. Tujuannya adalah membuat peta dimensi-dimensi psikososial ekonomi dan mengidentifikasi sikap perilaku kelompok miskin. Kemiskinan daerah perbatasan bergerak semakin tajam dibanding daerah lain, karena ia memiliki ciri-ciri yang bernilai strategis, dan berbeda secara geografis. Tujuan kajian ini adalah untuk memperbaiki kebijakan dan sistem pennganggaran.Pendekatan kualitatif digunakan melalui perencanaan, dan pengembangan. Hasil penelitian menunjukkan perolehan pendapatan yang tinggi pada sebagian masyarakat tidak mengurangi jumlah kelompok keluarga miskin. Daerah miskin di Kabupaten Sambas berjumlah 164 lokasi, dibanding 2 daerah lain, Sementara sebaran pembangunan sekitar 6373 tempat. PDB Kabupaten Sambas lebih tinggi dibanding 2 daerah yang lain yaitu sekitar Rp.5.287.291,21 dan pendapatan per kapita Rp.163.773,00 per bulan. Profil masyarakat miskin tersebut bekerja di sektor pertanian , berpendidikan rendah, rumah yang kurang layak huni, tidak ada toilet,sebagian besar beranak 4 orang.
Departement of Sosiology, FKIP, UniversitasTanjungpura, 2012
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Ladiawati
Abstrak :
Penelitian tentang pola komunikasi masyarakat Dayak dan pendatang ini berawal dari seringnya terjadi konflik antar masyarakat Dayak di Pontianak dan pendatang yang mengadu nasib di daerah tersebut. Konflik terbesar adalah antara masyarakat Dayak dan pendatang Madura tahun 1996, yang berhasil melumpuhkan roda perekonomian di beberapa tempat di Kalimantan Barat. Oleh sebab itu penelitian tentang komunikasi antara masyarakat Dayak dan pendatang menjadi menarik untuk dibahas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang pola komunikasi antara masyarakat Dayak dan pendatang; serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbukanya komunikasi di antara mereka. Landasan teoritis yang digunakan untuk mengkaji pola komunikasi tersebut yaitu dengan menggunakan teori-teori yang berkaitan erat dengan komunikasi antar budaya seperti teori konvergensi dan teori interaksi simbolik. Di dalam komunikasi antar budaya, pembuat pesan adalah anggota dari suatu budaya tertentu dan penerima pesan adalah anggota dari budaya lainnya, dalam penelitian ini adalah masyarakat Dayak dan pendatang Cina, Bugis, Melayu, Jawa dan Madura. Di dalam komunikasi antar budaya , berusaha mengungkapkan apa yang terjadi ketika anggota dari dua budaya yang berlainan bertemu untuk melakukan interaksi komunikasi. Apakah komunikasi berjalan lancar atau mengalami hambatan. Adanya perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya , merupakan suatu ciri dari komunikasi antar budaya. Teori lainnya yang digunakan adalah teori interaksi simbolik yang pada intinya membahas tentang suatu kemampuan manusia untuk menciptakan serta mempergunakan simbol-simbol sehingga manusia menjadi mahluk hidup yang unik, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selain itu penelitian ini juga dibahas dengan menggunakan teori konvergensi yang membahas adanya kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan dalam kelompok masyarakat. Adanya kesamaan dan perbedaan dalam kelompok masyarakat Dayak dan pendatang dalam hal keyakinan, nilai, perilaku dan sebagainya. Penelitian ini bersifat kualitatif dan menggunakan analisis deskriptif. Unit analisis yang digunakan adalah kpri unites Oita penelitian diperoleh dari key information melalui wawancara di lokasi penelitian. Temuan penelitian ini menegaskan bahwa terdapat komunikasi yang efektif antara masyarakat Dayak dan pendatang Cina, Melayu, Bugis, serta Jawa, tetapi komunikasi dengan pendatang Madura berjalan kurang efektif. Komunikasi di antara mereka cenderung diwarnai prasangka dan etnosentris. Adanya komunikasi efektif dan terhambat ini disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan komunikasi antara masyarakat Dayak dan pendatang yaitu kedekatan jarak fisik dan faktor kesamaan dalam karakteristik-karakteristik sosial budaya yang lebih berperan. Ditemukan bahwa tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, agama dan persepsi, memiliki peran yang cukup berarti dalam terjadi atau tidaknya komunikasi efektif di antara mereka.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T3916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library