Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
899.221 1 KAJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurkhalis A. Ghaffar
Jakarta: Center for Research and Development of Religious Literature and Heritage Agency for Research & Development, and Training. Department and Religious Affairs of The Republic ofIndonesia, 2016
899.221 NUR r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Ilmi Idrus
"Tulisan ini mengkaji mengenai seks, gender, dan siri' dalam budaya Bugis. Tulisan memerikan bagaimana gender dan seksualitas dipengaruhi oleh norma-norma adat yang berasal daritradisi tulisan, pepatah dan nasihat, serta menunjukkan beberapa studi kasus hasil penelitian etnografi di Sulawesi Selatan. Siri' (kehormatan/rasa malu) merupakan sebuah konsep mendasar dalam kehidupan masyarakat Bugis. Bagi orang Bugis, perempuan dipandang sebagai simbol dari siri' keluarga dan berkaitan dengan konsep laki-laki yaitu ' bi' (perilaku yang tepat). Akibatnya, perempuan harus dipantau secara ketat dan perilaku mereka tidak hanya diawasi oleh orangtua, tetapi juga oleh anggota keluarga dekat dan jauh atau bahkan oleh anggota-anggota masyarakat sekitar, yang lebih tepat disebut sebagai tomasiri' (orang yang bertanggung jawab menjaga siri' keluarga). Kenyataan ini didukung oleh adat Bugis yaitu seorang perempuan harus selalu di bawah perlindungan seseorang. Jika ia lajang,berapa pun usianya, ia berada dalam pengasuhan dan perlindungan orangtuanya, saudara laki-laki (bila ada), dan/atau kerabat laki-laki lainnya; ketika ia menikah, ia berada dibawah perlindungan suaminya. Kekuasaan parental ditransformasikan menjadi kekuasaan konjugal dan dialihkan kepada suaminya. Tulisan ini menggali bagaimana siri' berinteraksi dengan dan memperkuat identitas-identitas gender dan hubungan kekuasaan yang membentuk seksualitas perempuan dan laki-laki Bugis."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fachruddin Ambo Enre
"Tulisan ini bukanlah karya yang pertama, apalagi untuk dikatakan satu-satunya menyangkut cerita Galigo. Telah ada beberapa usaha terdahulu, dimulai jauh di masa silam, baik untuk mencari dan mengumpulkan naskahnya, maupun untuk mengungkapkan isinya. Kesemuanya itu telah memberikan sumbangan menurut kadarnya masing-masing, dalam rangkaian suatu pekerjaan bersambung yang masih menunggu uluran pikiran, tenaga dan biaya yang tidak sedikit bila ia hendak dirampungkan.
Adapun orang yang pertama menulis tentang Galigo dan memperkenalkannya kepada dunia luar ialah Th. S. Raffles melalui bukunya The History of Java, terbitan tahun 1817. Ia mencatat sedikit tentang isinya serta cara membacanya, yang dikatakannya terdiri atas satuan lima suku kata yang diakhiri dengan jeda. Iramanya disebutnya rangkaian daktilus dan trokhaeus. Menurut dia puisi wiracarita ini adalah satu-satunya jenis pustaka di kalangan orang Bugis yang dikenal pengarangnya, yaitu I La Galigo putera Sawerigading.
Setengah abad kemudian barulah perkenalan tersebut disusul dengan minat untuk mengetahuinya secara bersungguh-sungguh. B.F. Matthes yang pernah tinggal di Makassar antara tahun 1848-1879-dengan diselingi dua-kali cuti panjang ke negeri Belanda menggunakan banyak waktu dan tenaganya untuk mendapatkan naskah dan keterangan mengenai ceritera Galigo. Koleksinya yang terdiri dari 26 buku yang diserahkannya kepada Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG), mencakup materi utama ceritera dari awal hingga ke akhirnya. Dia juga menamai ceritera ini puisi wiracarita. Episoda awalnya pernah ia terbitkan dengan menggunakan aksara lontaraq disertai keterangan anti beberapa kata. Agak berbeda dengan keterangan Raffles, ia hanya menyatakan bahwa ceritera itu dikenal di pedalaman Sulawesi Selatan dengan nama I La Galiga, yang juga merupakan nama salah seorang tokohnya yang memegang peranan penting. Ia sangat menyesalkan tidak dapatnya diperoleh kumpulan ceritera yang lengkap, sebab penduduk nampaknya sudah merasa puas dengan memiliki sebahagian kecil saja daripadanya untuk dibaca pada upacara tertentu. Mengenai iramanya dikatakannya sangat sederhana, berupa satu kaki sajak yang terdiri dari lima suku kata kalau tekanan jatuh pada suku kedua dari belakang, atau empat suku kata jika tekanan jatuh pada suku kata terakhir. Bahasanya, disebutnya bahasa Bugis kuno yang tidak terpakai lagi. Selanjutnya ia berpendapat, bahwa pustaka ini jelas mempunyai nilai sastra yang tinggi, tetapi kegunaannya akan lebih banyak bagi etnologi, karena di dalamnya terdapat berbagai kebiasaan penduduk yang masih berlaku.
Karya berikutnya juga berupa pengumpulan naskah yang dilakukan oleh Schoemann. Koleksinya yang terdiri dari 19 buku, kesemuanya merupakan naskah salinan, kemudian dibeli oleh Perpustakaan Negara Prusia di Berlin."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1983
D125
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachruddin Ambo Enre
"ABSTRAK
Tulisan ini bukanlah karya yang pertama, apalagi untuk dikatakan satu-satunya menyangkut cerita Galigo. Telah ada beberapa usaha terdahulu, dimulai jauh di masa silam, baik untuk mencari dan mengumpulkan naskahnya, maupun untuk mengungkapkan isinya. Kesemuanya itu telah memberikan sumbangan menurut kadarnya masing-masing, dalam rangkaian suatu pekerjaan bersambung yang masih menunggu uluran pikiran, tenaga dan biaya yang tidak sedikit bila ia hendak dirampungkan.
Adapun orang yang pertama menulis tentang Galigo dan memperkenalkannya kepada dunia luar ialah Th. S. Raffles melalui bukunya The History of Java, terbitan tahun 1817. Ia mencatat sedikit tentang isinya serta cara membacanya, yang dikatakannya terdiri atas satuan lima suku kata yang diakhiri dengan jeda. Iramanya disebutnya rangkaian daktilus dan trokhaeus. Menurut dia puisi wiracarita ini adalah satu-satunya jenis pustaka di kalangan orang Bugis yang dikenal pengarangnya, yaitu I La Galigo putera Sawerigading.
Setengah abad kemudian barulah perkenalan tersebut disusul dengan minat untuk mengetahuinya secara bersungguh-sungguh. B.F. Matthes yang pernah tinggal di Makassar antara tahun 1848-1879-dengan diselingi dua-kali cuti panjang ke negeri Belanda menggunakan banyak waktu dan tenaganya untuk mendapatkan naskah dan keterangan mengenai ceritera Galigo. Koleksinya yang terdiri dari 26 buku yang diserahkannya kepada Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG), mencakup materi utama ceritera dari awal hingga ke akhirnya. Dia juga menamai ceritera ini puisi wiracarita. Episoda awalnya pernah ia terbitkan dengan menggunakan aksara lontaraq disertai keterangan anti beberapa kata. Agak berbeda dengan keterangan Raffles, ia hanya menyatakan bahwa ceritera itu dikenal di pedalaman Sulawesi Selatan dengan nama I La Galiga, yang juga merupakan nama salah seorang tokohnya yang memegang peranan penting. Ia sangat menyesalkan tidak dapatnya diperoleh kumpulan ceritera yang lengkap, sebab penduduk nampaknya sudah merasa puas dengan memiliki sebahagian kecil saja daripadanya untuk dibaca pada upacara tertentu. Mengenai iramanya dikatakannya sangat sederhana, berupa satu kaki sajak yang terdiri dari lima suku kata kalau tekanan jatuh pada suku kedua dari belakang, atau empat suku kata jika tekanan jatuh pada suku kata terakhir. Bahasanya, disebutnya bahasa Bugis kuno yang tidak terpakai lagi. Selanjutnya ia berpendapat, bahwa pustaka ini jelas mempunyai nilai sastra yang tinggi, tetapi kegunaannya akan lebih banyak bagi etnologi, karena di dalamnya terdapat berbagai kebiasaan penduduk yang masih berlaku.
Karya berikutnya juga berupa pengumpulan naskah yang dilakukan oleh Schoemann. Koleksinya yang terdiri dari 19 buku, kesemuanya merupakan naskah salinan, kemudian dibeli oleh Perpustakaan Negara Prusia di Berlin."
1983
D1154
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Bini Fitriani B
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui subjektivitas dan agensi perempuan bangsawan Bugis dalam merespons budaya siri'melalui subjek dari dua generasi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, yang menggunakan kerangka analisis subjektivitas dan kritik budaya. Studi ini melakukan penelusuran riwayat hidup sepuluh perempuan bangsawan Bugis dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjektivitas perempuan Bugis terdiri dari dua bentuk subjektivitas yang saling berkelindan erat dan dalam konteks tertentu keduanya bekerja secara berlawanan. Dua bentuk subjektivitas tersebut adalah subjektivitas personal dan subjektivitas budaya. Dalam merespons budaya terkait siri’, subjektivitas personal yang inheren akan menguatkan agensi perempuan Bugis, namun subjektivitas budaya akan melemahkan agensinya karena menjauhi kebenaran dalam diri. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam diri para subjek penelitian, terdapat dua bentuk ekspresi diri perempuan Bugis sebagai subjek budaya dan subjek personal yang kompleks dan menyebabkan terbentuknya subjektivitas unik yang berkelindan erat yakni subjektivitas personal dan subjektivitas budaya sehingga menimbulkan ambiguitas dan paradoks perilaku, pemikiran dan perasaan. Di dalam penelitian ini saya menemukan bahwa untuk “Menjadi Perempuan Bugis” subjek penelitian saya menggunakan subjektivitas budaya mereka sebagai bentuk politis untuk bertahan, melawan, membebaskan diri dan melakukan perubahan bentuk kekuasaan ‘dari dalam’. Agensi para subjek tidak hanya berupa perilaku dalam keputusan-keputusan besar dalam hidup terkait relasi gender, seksualitas dan relasi ibu-anak antar subjek generasi pertama dan kedua, namun juga berupa narasi diri yang kompleks. Pengalaman hidup, domisili, perbedaan generasi, status pernikahan dan media sosial daring merupakan faktor terhadap kedalaman subjektivitas budaya/personal dan dominasinya dalam diri subjek.

This study aims to examine the subjectivity and agency of Bugis noble women in responding to siri'culture. This research is a qualitative research with a case study approach, which uses an analytical framework of subjectivity and cultural critique. This study traces the life herstory of ten Bugis noblewomen and in-depth interviews. The results show that the subjectivity of Bugis women consists of two forms of subjectivity that are closely intertwined and in certain contexts it work in opposite direction. The two forms of subjectivity are personal subjectivity and cultural subjectivity. In responding to culture related to siri', the inherent personal subjectivity will strengthen Bugis women's agency, but cultural subjectivity will weaken their agency because they are away from the truth within themselves. This study concludes that within the research subjects, there are two forms of self-expression of Bugis women as cultural subject and a personal subject that is complex and lead to the formation of a unique subjectivity that is closely intertwined, namely personal subjectivity and cultural subjectivity, giving rise to ambiguity and paradoxes in behavior, thoughts and feelings. In this research, I found that to "Become a Buginese Woman" means that the subject use their cultural subjectivity as a political form for resistance, liberation and a change in the form of power ‘from within’. The agency of the subjects is not only in the form of behavior in major life decisions related to gender relations, sexuality and mother-daughther relations between first and second generation subjects, but also in the form of complex self-narratives. Life experience, domicile, generational differences, marital status dan online social media are factors in the depth of cultural/personal subjectivity and its dominance in the subject."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library