Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dinda Anggiagita
Abstrak :
Dengan meningkatnya pembangunan yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, hal ini yang menjadi latar belakang lahirnya lembaga jaminan Hak Tanggungan. Skripsi ini menjelaskan mengenai adanya konflik norma di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan No.4 Tahun 1996 dan juga di dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengakibatkan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai Kreditor Separatis yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dapat tidak terwujud. Perlindungan dan kepastian hukum yang diberikan undang-undang kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 tentang hak preference seorang kreditor; Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 20 ayat (2) dan (3) tentang eksekusi Hak Tanggungan; Pasal 11 ayat (2) tentang janji yang harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk melindungi kreditor ketika debitor wanprestasi, serta ketentuan Pasal 7 tentang asas droit de suite yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap menjamin objeknya sekalipun beralih kepada pihak ketiga sehingga akan tetap menjamin pelunasan piutang kreditor dan Pasal 21 mengenai “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini. Kesimpulan dalam penelitian mengenai perlindungan dan kepastian hukum dalam Pasal-Pasal tersebut dapat tidak terwujud dikarenakan adanya konflik norma dalam Pasal 6 UUHT tentang kewenangan menjual sendiri jaminan kebendaan (Parate Eksekusi) dan ketentuan pada Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU tentang penangguhan eksekusi bagi kreditor separatis dalam hal kepailitan. Penelitian ini bermetodekan yuridis- normatif yang metode pengambilan data berfokus pada studi literatur hukum dan peraturan perundang-undangan terkait.
Along with the increasing development of economy, also required the provision of substantial funds that requires strong institutions which guarantee the rights and able to provide legal certainty for the concerned parties, in which also encourage the growth of community participation in the development, those are the background of the birth of mortgage guarantee agency. This thesis describes the conflict of norms in the Law No.4 of 1996 regarding Mortgage (UUHT) and also in the Law No 37 of 2004 regarding Bankruptcy Act and the Suspension of Payment (UUKPKPU) that may cause legal uncertainty to the protection of mortgage holder creditor as secure creditor based on Law No. 4 of 1996. The protection and legal certainty for mortgage holder creditor contains in Article 1 paragraph 1 regarding the preference right of a creditor; Article 6, Article 14 paragraph (1), (2), and (3) and Article 20 paragraph (2) and (3) of the mortgage execution; Article 11 paragraph (2) on the provision that must be included in the Deed of Granting Mortgage (APHT) to protect creditor when a debtor defaults, as well as the provision of Article 7 of the principle of droit de suite which states that the object remains guarantee, even if it will be switched to a third party, would still guarantee the repayment of creditors’ accounts and Article 21 that states “In the event of bankruptcy, the mortgage holder is authorized to perform any right acquired under the provisions of this law”. The elements of protection and legal certainty in these articles may not be realized due to conflict norms in Article 6 UUHT regarding the authority to sell collateral material (Parate Execution) and the provision of Article 56 paragraph (1) UUKPKPU regarding suspension of execution for the secure creditor in bankruptcy law. This study applies the juridical-normative method of data collection, focusing on the study of the literature of law and related legislation.
2014
S53488
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Budiman
Abstrak :
Dalam rangka menjamin adanya mekanisme penyelesaian sengketa hutang piutang antara kreditor dan debitor secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui lembaga peradilan, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-undang tersebut merupakan pengganti dari Peraturan Kepailitan (Faillissenient Verordening) Stb. 1905 - 217 jo. 1906 -- 348, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi Undang-Undang No. 4 tahun 1998. Kepailitan pada intinya adalah sitaan umum atas aset debitor yang ditandai dengan adanya suatu pemyataan pailit terhadap debitor yang dinyatakan dengan suatu putusan pengadilan. Kepailitan mempunyai peranan untuk menyelesaikan bermacam-macam tagihan yang diajukan oleh kreditor-kreditor kepada debitornya yang masing-masing mempunyai karakter, nilai dan kepentingan yang berbeda-beda. Proses dalam kepailitan dapat mengatur perbedan-perbedaan tersebut melalui mekanisme pengkolektifan penagihan piutang sehingga masing-masing kreditor tidak secara sendiri-sendiri menyelesaikan tagihannya. Dalam pelaksanaannya, banyak persoalan-persoalan hukum yang perlu memperoleh penegasan karena undang-undang tidak memberikan definisi secara tegas sehingga timbul penafsiran-penafsiran yang berbeda di antara praktisi hukum, bahkan pengadilan atau Mahkamah Agung sendiri yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Di samping itu, beberapa ketentuan di dalamnya dapat menimbulkan permasalahan berupa kemungkinan benturan-benturan dengan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan lainnya. Dalam proses kepailitan diatur bahwa setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun demikian, hak eksekusi kreditor dimaksud ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pemyataan pailit diucapkan. Ketentuan tersebut, dalam prakteknya kemungkinan akan menemui benturan khususnya dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan tersebut tentunya dapat memberikan dampak yang merugikan bagi kreditor-kreditor tersebut, termasuk kreditor pemegang hak tanggungan dalam melaksanakan hak-haknya selaku kreditor pemegang hak jaminan. Ketentuan kepailitan bahkah lebih jauh lagi telah tidak memberikan jaminan atau perlindungan bagi kreditor pemegang hak tanggungan dalam melaksanakan haknya.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus Abu Bakar
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjawab suatu pertanyaan tentang bagaimanana penjaminan dengan Hak Tanggungan dan eksekusinya pada lembaga sewa guna usaha (leasing). Sebagai bahan untuk menganalisa, diambil suatu putusan pengadilan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor : 16/PDT.BTH/2000/PN.TNG. Pertanyaan tersebut muncul lantaran banyaknya permohonan eksekusi yang ditolak atau ditunda pelaksanaanya oleh pengadilan atas penjaminan dengan Hak Tanggungan yang dimohonkan oleh suatu lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan terutama perusahaan leasing. Berdasarkan penelitian, kadangkala alasan majelis hakim menolak permohonan sita eksekusi atau mengabulkan penundaan eksekusi Hak Tanggugan tidak logis, seperti mengacu kepada salah satu Surat Ketua Muda Mahkamah Agung R.I. yang menegaskan/menjelaskan " Permohonan eksekusi hak tanggungan untuk pembayaran hutang lessee harus ditolak ". Sedangkan Undang-Undang tentang Hak Tanggungan [UU No. 4 Tahun 1996] sudah dengan jelas dan tegas mengatur tentang Hak Tangggunan ini. Sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut bahwa pemegang Hak Tanggungan bisa saja orang perorangan atau badan hukum yang bekedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dalam hal ini, perusahaan Leasing sebagai badan hukum yang punya piutang atas pelundaan pembayaran sewa, tentu saja diperbolehkan sebagai pemegang Hak Tanggugan. Apalagi, permintaan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan pasal 224 HIR semakin marak diajukan seiring dengan banyaknya dunia usaha yang collaps sehingga tidak sanggup membayar utangnya, seperti diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 14 jo Pasal 26 UUHT. Dalam melakukan penelitian ini, digunakan metode penelitian kepustakaan/studi dokumen (yuridis normatif) dengan mengumpulkan dan menganalisa data-data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier, dengan tipologi penelitian yang bersifat eksplanatoris kemudian dianalisa secara kualitatif. Metode kepustakaan ini dilakukan dalam menjelaskan teori-teori yang berhubungan dengan lembaga leasing dan eksekusi hak tanggungan tersebut dan kemudian diaplikasikan dengan menganalisa suatu kasus yang telah diputus oleh pengadilan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) sudah mengakomodir aspek-aspek hukum yang berhubungan dengan hak tanggungan. Bahkan untuk eksekusinya, UUHT telah mengembalikan tata cara eksekusi.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T18944
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Petronella Maytea Lantio
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aspek hukum dari keputusan dan pelaksanaan arbitrase di Indonesia dengan maksud untuk mempelajari penegakan arbitrase, upaya hukum terhadap putusan arbitrase serta kendala dalam pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia. Pasal 60 UU No. 30/1999 (UU Arbitrase dan APS) menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, artinya putusan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi dan peninjauan kembali. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 70 putusan arbitrase dapat dibatalkan. Selain itu, pelaksanaan putusan arbitase masih menghadapi kendala di dalam praktek. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya akan efektif jika para pihak yang terlibat sengketa adalah para pihak yang bona fide, pihak yang menang berusaha supaya putusan arbitrase didaftarkan pada pengadilan negeri agar memiliki kekuatan hukum, dan pihak yang kalah tetap menghormati dan tidak menghalanghalangi eksekusi. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh, terkait dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu dengan menganalisis putusan pengadilan serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang relevan dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh diolah dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab permasalahan yang diteliti.
ABSTRACT
This study aimed to find out how the legal aspects of the decision and enforcement of arbitration in Indonesia with a view to study the enforcement of arbitration, the legal effort against the decision of arbitration as well as constraints in the execution of arbitration decision in Indonesia. Article 60 of Law No. 30/1999 (Arbitration and ADR Law) states that arbitral award is final and legally binding the parties, which means that the award could not be corrected by an appeal, cassation and review. However, in accordance with the Article 70 of the arbitration law the arbitral award can be annulled. Furthermore, the decision of arbitration is very hard to be implemented. It is due to the settlement of disputes through arbitration that will only be effective if the parties involved in the dispute are bona fide parties. The winning party tried to keep the decision of the Arbitration filed in state court in order to have legal force, and the losing party still respects and does not hinder the execution. This research includes the study of normative and descriptive legal. The research which is descriptive of this study are intended to illustrate and describe all the data obtained, related to the problem being investigated. In this research, data collection techniques used are literature studies, namely by analyzing court decisions and make notes of books of literature, legislation, documents and other matters relevant to the issues being investigated.
2016
T46529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Amalia Yuliani
Abstrak :
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, kini perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dan dapat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Pengesahan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan dilakukan dengan cara melaksanakan pencatatan perjanjian perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, sedangkan pengesahan oleh Notaris dianggap membingungkan karena dianggap tidak jelas maksudnya. Hal ini menimbulkan permasalahan karena belum ada ketentuan mengenai tata cara pencatatan perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga pegawai pencatat perkawinan menolak melakukan pencatatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dan meminta adanya penetapan pengadilan negeri untuk pengesahan perjanjian perkawinan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif yang menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber data, dimana penulis dalam meneliti mengkaji aturan hukum mengenai perkawinan dan perjanjian perkawinan untuk dapat menjawab permasalahan secara dekriptif analitis. Melalui penelitian ini penulis menemukan jawaban bahwa pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan kini dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dengan berpedoman kepada Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil tanggal 19 Mei 2017 No. 472.2/5876/Dukcapil tentang petunjuk mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan. ......With the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015, postnuptial agreement can be done without any approval from the district court. It can also be legitimated by the marriage officer or the notary. The legalization of postnuptial agreement by the marriage officer is done by registering the postnuptial agreement to the Office of Population and Civil Registration Agency or the Office of Religious Affairs, while the legalization done by the notary is considered confusing as its main point is not that clear. It causes problem since there is no other regulation yet about the procedure of postnuptial agreement registration beside the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 so that the marriage officer refuses to accept the registration of postnuptial agreement and asks the approval from district court to legalize it. This research uses normative juridical method using primary and secondary data as the source as I examine the law of marriage and postnuptial agreement to find the descriptive and analytical answer for the problems occur. The findings reveal that the legalization and the registration of postnuptial agreement now can be done without any approval from the district court, based on the regulation on Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, May 19, 2017 No. 472.2/5876/Dukcapil about the guidance of postnuptial agreement registration.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Constantyn Adam
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang Implementasi Fiat Eksekusi Jaminan Fidusia di pengadilan negeri sebagai akibat hukum dari adanya amar Putusan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang mana setiap hukum atau peraturan perundangan tertulis seharusnya dapat memberikan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat sebagaimana tujuan dari amar putusan Mahkamah Konstitusi diatas. Namun setelah dilakukannya penelitian dengan metode analisis deskriptif pada subjek dan objek penelitian dapat disimpulkan jika implementasi fidusia di pengadilan negeri pasca amar putusan Mahkamah Konstitusi ternyata tidak dapat dimplementasikan dikarenakan masih terdapatnya keterbatasan pengaturan hukum acara perdata formil yang berlaku dalam Pasal 196 H.I. R.Bg/207 R.Bg , Pasal 197 H.I.R/208 R.Bg karena masih mempersamakan proses fiat eksekusi fidusia dengan permohonan fiat eksekusi hak tanggungan pada hal sifat kebendaan dari kedua hukum jaminan tersebut sangatlah berbeda, serta ditemukan jika yurisdiksi juru sita pengadilan negeri juga memiliki yuriskdiksi atau wilayah kerja yang limitasi area kerja untuk eksekusi objek fidusia yang merupakan benda bergerak, sehingga harus dilakukan pendelegasian eksekusi dari satu pengadilan negeri ke pengadilan negeri lainnya, jumlah SDM juru sita di pengadilan negeri yang terbatas dalam memberikan layanan eksekusi fidusia serta mahalnya biaya aanmaning dan biaya fiat eksekusi fidusia yang ditetapkan oleh masing-masing ketua pengadilan negeri secara berbeda-beda serta mahal juga menjadi kendala implementasi fiat eksekusi fidusia yang kesemua kendala tersebut akan dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini. ......This thesis discusses the implementation of the Fiat Execution of Fiduciary Guarantees in the district court as a legal consequence of the ruling of the Constitutional Court Number 18/PUU-XVII/2019, in which every written law or regulation should be able to provide legal certainty, legal justice, and benefits for the community. Society as the purpose of the above decision of the Constitutional Court. However, after conducting research using descriptive analysis methods on the subject and object of research, it can be concluded that the implementation of fiduciary in the district court after the decision of the Constitutional Court could not be implemented due to the limitations of the formal civil procedural law regulations that apply in Article 196 H.I. R.Bg/207 R.Bg, Article 197 H.I.R/208 R.Bg because they still equate the fiat execution process of fiduciary with a fiat application for mortgage execution in terms of the material nature of the two guarantee laws are very different, and it was found that the jurisdiction of the bailiff of the district court also has jurisdiction or work area that limits the work area for the execution of fiduciary objects which are movable objects, so it must be delegated implementation from one district court to another district court, the number of bailiff's human resources in the district court is limited in providing fiduciary execution services and the high cost Security and costs of fiat fiduciary executions set by each head of the district court are different and expensive are also obstacles to the implementation of fiat fiduciary executions, all of which will be discussed and described in this study.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arbani
Abstrak :
Sistem sanksi dalam pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan notaris yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan perilaku notaris yang diatur dalam Kode Etik Notaris, didasarkan kepada jenis sanksi yang menjadi kewenangan pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi dan jenis sanksi berdasarkan jenis pelanggaran norma hukum yang dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang Jabatan Notaris. Sanksi jabatan yang bersifat kumulatif tidak dikenal dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. dan eksekusi sanksi teguran tertulis dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI sedangkan eksekus jenis sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan tidak hormat dilakukan oleh Menteri. Ada tumpang tindih pengaturan jenis sanksi dan lembaga yang berwenang menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran Kode Etik Notaris yaitu Dewan Kehormatan Notaris yang berwenang menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik notaris yang bersifat internal (organisatoris) sedangkan Majelis Pengawas Notaris berwenang menjatuhkan sanksi jabatan terhadap pelanggaran Kode Etik Notaris.Penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah jenis sanksi yang bersifat kumulatif dan eksekui sanksi yang bersfat condemnatoir? Dengan menggunakan metode penelitian normatif, melalui pengaturan normative tentang sistem sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan peraturan pelaksanaanya, ditemukan adanya tumpng tindih (overlapping) jensi sanksi dan lembaga yang berwenang menjatuhkan sanksi, dan tidak adanya otonomi Majelis Pengawas Notaris yang seharusnya mandiri dan imparsialitas dengan ikut campur tangannya pemerintah dalam eksekusi sanksi ......The system of sanctions in the supervision of the implementation of the position of a notary as regulated in the Law on Notary Office and the behavior of notaries as regulated in the Notary Code of Ethics, is based on the types of sanctions which are the authority of the official authorized to impose sanctions and types of sanctions based on the types of violations of legal norms formulated in article -Article of the Law on the Position of Notary Public. Office sanctions that are cumulative in nature are not recognized in the Law on Notary Position. and the execution of the written reprimand sanction is carried out by the Head of the Regional Office of the Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia, while the execution of the type of sanction of temporary dismissal or dismissal is carried out with disrespect by the Minister. There are overlapping arrangements for the types of sanctions and the institution authorized to impose sanctions on violations of the Notary's Code of Ethics, namely the Notary's Honorary Council which has the authority to impose sanctions for violations of the notary's code of ethics which are internal (organizational) while the Notary Supervisory Council has the authority to impose occupational sanctions for violations of the Notary's Code of Ethics. This research was conducted to answer the problem of types of cumulative sanctions and condemnatory sanctions. By using the normative research method, through the normative regulation of the sanction system regulated in the Notary Office Law and its implementing regulations, it is found that there is overlapping of sanctions and institutions authorized to impose sanctions, and there is no autonomy of the Notary Supervisory Council which should be independent. and impartiality by interfering with the government in the execution of sanctions
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Anggraini
Abstrak :
Kapal laut merupakan benda bergerak. Kapal laut dengan ukuran paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor dapat didaftarkan di Indonesia. Kapal laut yang telah terdaftar di Indonesia berdasarkan ketentuan pasal 314 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dapat diletakkan jaminan hipotik. Jaminan hipotik atas kapal laut adalah salah satu hak kebendaan sebagai jaminan pelunasan hutang dengan obyek jaminan berupa kapal laut yang terdaftar. Jaminan hipotik atas kapal laut merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian utang-piutang. Akibat dari debitur yang tidak melunasi hutangnya adalah jaminan berupa kapal laut tersebut akan dieksekusi. Studi kasus penelitian ini didasarkan pada obyek jaminan kapal laut bernama Andara 2001 yang dimiliki PT Pelayaran Samudra Persada. Kapal laut ?Andara 2001 telah dieksekusi berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 18/EKS/2005/PN.JKT.UT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemasangan jaminan hipotik atas kapal laut pada PT Bank Agroniaga Tbk dan pelaksanaan eksekusinya. Penelitian ini merupakan analisis hukum yang menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hambatan yang dihadapi PT Bank Agroniaga selaku kreditur adalah obyek jaminan berupa kapal laut yang selalu berpindah tempat. Hal tersebut menyulitkan pelaksanaan penyitaan dan penjualan kapal laut. Hambatan yang lain adalah kelemahan peraturan-peraturan mengenai hipotik kapal laut yang belum terkodifikasi dan masih tersebar di beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ship is qualified as movable good. Ship under the Indonesia Commercial Code with size at least twenty meter cubic gross tonnage can be registered in Indonesia. Based on Article 314, third paragraph of The Indonesian Commercial Code, a ship which has been registered in Indonesia can be installed as hypothec guarantee. The ship's hypothec is as one of securities for securing the full payment of debt, which its object is ship. Hypothec is as additional agreement qualified of its loan agreement as main contract. The consequence of non-payment, ship will be executed. The study case for this research based on a ship called "Andara 2001" owned by PT Pelayaran Samudra Persada. The secured hypothec on ship of ?Andara 2001? has been executed by The Determination of The North Jakarta District Court No. 18/Eks/2005/PN.JKT.UT. The purposes of this research are to study the establishment process of hypothec on ship and its execution for the full payment of debt conducted by PT Bank Agroniaga. This research constitutes as a legal analysis research by using normative legal method. The obstacles faced by PT Bank Agroniaga as the creditor among others are ships always moving from one place to the other place. This matter creates problem or difficulty in seizing and selling the ship. The other handicaps are the existing weakness of the hypothec rules which are not codified and stipulated in several prevailing regulations.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24617
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, M. Yahya
Jakarta: Sinar Grafika, 2006
347.05 HAR r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Oudelaar, H.
Abstrak :
pengantar pada ekskusi dan hukuman
Deventer: Kluwer, 1995
R BLD 347.05 OUD r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>