Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Nanda Ayu Widyawati
"Dalam era globalisasi ini, identitas menjadi sesuatu yang penting. West Is West 2010 oleh Ayub Khan-Din sebagai corpus penelitian ini menawarkan cara unik dalam merepresentasikan isu identitas dalam film ini. Dengan memusatkan penelitian pada karakter Sajid sebagai remaja Inggris-Pakistan yang selalu merasa tidak cocok dengan budaya Pakistan datang ke negara itu untuk pertama kalinya, studi ini pertama membahas konsep Positioning dan Being Positioned serta Being and Becoming oleh Stuart Hall dalam teori Identitas Budaya yang dikaitkan dengan film.
Dengan menganalisa elemen film seperti dialog, adegan, dan kostum, disimpulkan bahwa karakter mengalami perubahan identitas. Tulisan ini menunjukkan bahwa West Is West memperlihatkan identitas budaya sebagai sebuah proses berkelanjutan dari relasi satu budaya dengan budaya lainnya.

In this globalization era, identity becomes something important. West is West 2010 by Ayub Khan Din as the corpus of this study offers unique ways in representing the issue of identity in this movie. By focusing on the character of Sajid as a British Pakistani boy who is unaccustomed to Pakistani culture comes to the county for the first time, this study first discusses the concepts 'Positioning and Being Positioned' as well as 'Being and Becoming' by Stuart Hall in relation to the issue of cultural identity in the movie.
By analyzing the elements of movie, such as dialogue, scene, and costume, this article concludes that the character experiences changes in identity. It shows that West is West exemplifies cultural identity as an ongoing process of the relation between one culture and other cultures."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Intan
"Tesis ini ingin menjawab permasalahan penelitian yaitu bagaimana representasi mitos femininitas di dalam film animasi Barbie (Barbie in the Nutcracker, Barbie as Rapunzel, dan Barbie of Swan Lake) dan bagaimana bentuk ideologi yang dihadirkan. Film-film ini menarik diteliti karena menggambarkan mitos feminitas yang dikonstruksi oleh Mattel. Film animasi yang teliti merupakan bentuk produk budaya mutakhir Mattel. Tesis ini dibuat untuk mengetahui cara bekerja ideologi dominan melalui mitos yang dikontruksi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode semiotik Barthes dan metode visual Dyer. Sedangkan dari aspek komunikasi menggunakan model dari van Zoonen.
Hasil penelitian menunjukan Mattel memakai mitos femininitas nilai Victoria pada ketiga film animasi Barbie seperti domestik (merawat, mengerjakan pekerjaan rumah), taat beribadah dan perawan. Nilai Victoria lainnya bahwa perempuan bersifat pasif digantikan dengan mitos girl power. Mitos girl power merupakan mitos yang popular sejak tahun 1990-an, menggambarkan bahwa seorang anak perempuan yang pemberani, aktif dan dapat menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi mitos girl power yang diambil Mattel hanya pada permukaan. Perjuangan perempuan untuk mendapatkan kebebasan dan otoritas diri `dihadiahi' sosok pangeran. Pada akhirnya film ini tidak jauh berbeda dengan dongeng Cinderella dan Putri Salju. Secara tersirat Mattel menyatakan bahwa heteroseksual sebagai orientasi seks yang satu-satunya. Mattel tidak ingin konstruksi perempuan yang dihadirkan dalam film ini menjadi ancaman para pemeluk ideologi dominan (orang tua, guru, pemuka agama dan kaum pemodal) sebagai pangsa pasar terbesarnya. Sedangkan melalui metode visual dari Dyer memperlihatkan bahwa Barbie masih merepresentasikan citra cantik perempuan yang bertubuh tinggi, putih dan langsing."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11401
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddline Kusuma Andani
"

Pemberdayaan perempuan sering digunakan dalam film untuk mengedepankan tokoh perempuan yang suara dan tindakannya sering tidak terlihat. Agensi, suara, dan kekuasaan adalah elemen yang saling terkait dalam membantu membentuk sosok perempuan yang berdaya. Film adaptasi The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) memakai pendekatan yang berbeda dalam menyampaikan cerita sehingga terdapat perbedaan yang siginifikan pada alur dan tokoh Susan Pevensie yang digambarkan lebih berdaya dalam film daripada di buku. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan, bahwa meskipun di dalam film Susan ditampilkan lebih berdaya, film ini tidak sepenuhnya memberdayakan Susan. Masih ada penggambaran yang memosisikan Susan sebagai tokoh yang inferior. Dengan menggunakan teori agensi oleh Trites (1997), teori representasi oleh Hall (1997), dan unsur-unsur analisis film oleh Bordwell dan Thompson (2013), penelitian ini akan mengidentifikasi perbedaan penggambaran Susan dibandingkan tokoh laki-laki dan memeriksa agensi, suara, dan kekuatannya dalam buku dan film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemosisian Susan di dalam film tidak terlalu jauh berbeda dari pemosisian Susan di dalam buku. Ia tetap diposisikan sebagai tokoh yang lebih rendah daripada tokoh laki-laki. Dengan demikian, meskipun film menggambarkan Susan sebagai tokoh perempuan yang berdaya melalui perubahan alur dan representasi visualnya, film masih jatuh ke dalam perangkap stereotip gender. Beberapa mise-en-scène dalam film masih mewakili sistem patriarki dalam penggambaran stereotip gendernya yang kontraproduktif dengan upaya film tersebut untuk memberdayakan Susan.

 

 


Women empowerment is often used in films to bring forward female characters whose voices and actions are often put in the background. Agency, voice, and power are inter-connected elements in helping to shape an empowered female figure. The film adaptation of The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) takes a different approach in delivering the story which results in significant differences in the plot and Susan Pevensie’s character who is portrayed to be more empowering in the film than in the novel. This research aims to show that although in the film Susan is portrayed to be more empowering, it still does not fully empower Susan. There are several depictions that position Susan as an inferior character. By using agency theory by Trites (1997), representation theory by Hall (1997), and elements of film analysis by Bordwell and Thompson (2013), this research aims to identify the differences in Susan’s depictions compared to the male characters and analyze her agency, voice, and power in the novel and film of The Chronicles of Narnia: Prince Caspian. The result shows that Susan’s positioning in the film is not so much different from her positioning in the novel. She is still positioned as a character who is inferior to the male characters. Although Susan is portrayed as an empowered female character through the changes of the plot and her visual representation, the film still falls into the trap of gender stereotyping. Some mise-en-scène in the film still represent the patriarchal system in its gender stereotyped portrayal which is counterproductive to the effort of the film to empower Susan.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Annisa Dhia Faisal
"Sekarang, representasi adalah hal penting dikarenakan semakin banyak orang yang menyadari seberapa berpengaruhnya sebuah penggambaran di media. Berbagai macam tuntutan sudah dilayangkan ke media mainstream agar produk dan artis yang mereka tampilkan lebih beragam, termasuk Hollywood. Dengan datangnya era kesadaran sosial yang baru, para sutradara dan eksekutif mulai berlomba-lomba untuk mengeluarkan film dengan cerita-cerita dan tipe-tipe penggambaran yang baru, salah satunya adalah Beyoncé dengan film dan visual album nya yang dirilis pada 2020 yang berjudul Black Is King. Artikel ini menganalisis bagaimana wanita kulit hitam dan hubungan antara wanita kulit hitam dan pria kulit hitam digambarkan di film ini. Artikel ini meneliti tiga aspek dari film ini, yaitu: 1) alur cerita; 2) lirik lagu; dan 3) aspek mise-en-scene-nya. Penulis menyimpulkan bagaimana wanita kulit hitam ditampilkan di film ini bertentangan dengan alur, karena film ini tidak merubah fitur patriarki yang mendominasi di alur cerita film dan memilih untuk fokus ke pihak pria dari pada mengubah fokus filmnya ke wanita kulit hitam.

Representation is now more important than ever as more people realize how impactful a portrayal can be. Various demands have been made to mainstream media to be more diverse with their talents and products, including Hollywood. With the new age of social consciousness, directors and executives are now churning movies with new stories and new types of portrayals, and one of them is Beyoncé with her 2020’s visual album and film, Black Is King. This paper attempts to analyse how black women are portrayed in this film and how the relationship between black men and black women is depicted. This paper examines three aspects of the film: 1) the storyline; 2) the lyrics and the narration; and 3) the mise-en-scene aspect. The writer concludes that the portrayal of black women in this film is at odds with the storyline because the movie keeps the dominant patriarchal features in its storyline and chooses to focus on the men instead of shifting the focus to black women.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Hotulinii Elizabeth
"Brave adalah film fantasi animasi tahun 2012 yang diproduksi oleh Pixar Animation Studios. Film ini menyajikan penggambaran yang bernuansa dan kompleks dari protagonis wanita feminis pertama, Merida, melampaui narasi tingkat permukaan dan menantang norma gender tradisional. Studi ini menganggap bahwa metode Merida menangani konfliknya dapat diterapkan dalam menggambarkan perubahan masyarakat dalam peran perempuan saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana Pixar merepresentasikan tokoh protagonis perempuan dengan nilai feminis melalui tanda-tanda dan simbolisme dalam film animasi Brave (2012). Kajian ini menggunakan pendekatan analisis semiotik, yang mengacu pada metodologi analisis film David Bordwell dan kerangka analisis semiotik Roland Barthes. Analisis ini berfokus pada adegan signifikan, pengembangan karakter, dialog, dan citra visual untuk mengungkap cara bernuansa feminisme dikomunikasikan melalui tanda-tanda dan simbolisme. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Brave (2012) memasukkan rangkaian tanda-tanda dan simbolisme yang memperlihatkan prinsip-prinsip feminis, antara lain rambut merah Merida yang merepresentasikan simbol penting atas otonomi dirinya, kekuatan dan independensi Merida dalam menantang konsep tradisional feminitas diilustrasikan dengan busur dan panah sebagai motif utamanya, dan dialog serta interaksi antar karakter menyoroti diskusi feminis dengan menguraikan nilai tekad diri sendiri dan penghapusan harapan patriarkal.

Brave is a 2012 animated fantasy film produced by Pixar Animation Studios. The film presents a nuanced and complex portrayal of the first feminist female protagonist, Merida, going beyond surface-level narratives and challenges traditional gender norms. The study suggests that the methods in which Merida deals with such conflict can be applicable in illustrating societal shifts in women's roles today. This study aims to examine how Pixar represents female protagonists with feminist values through signs and symbolism in the animated film Brave (2012). The study employs a semiotic analysis approach, drawing on David Bordwell's film analysis methodologies and Roland Barthes' semiotic analysis framework. The analysis focuses on key scenes, character development, dialogue, and visual motifs to uncover the nuanced ways in which feminism is communicated through signs and symbolism. The results of the study reveal that Brave (2012) incorporated an array of symbols and signs that highlight feminist principles, including Merida's red hair, which represents a strong symbol of her autonomy, Merida's strength and agency are illustrated with archery as the key motive, challenging traditional concepts of femininity, and the dialogue and interactions between characters highlight feminist discourse by outlining the value of self-determination and the eradication of patriarchal expectations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nurfirman
"Dominasi kelompok laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat menimbulkan diskriminasi gender di tempat kerja. Ketimpangan gender menunjukkan bagaimana perempuan tidak mampu berbicara lantang karena dibungkam oleh kelompok dominan. Akibat dari dominasi oleh laki-laki di tempat kerja adalah wanita tidak dapat mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Jika wanita mencoba untuk menyuarakan suara mereka, akan menghambat efektifitas kerja dan berujung pada mengundurkan diri dari pekerjaan. Kejadian ini menunjukan Teori Muted Group yang berfokus pada kurangnya suara dan juga perlawanan terhadap pembungkaman. What Men Want (2019) adalah film produksi Amerika yang disutradarai oleh Adam Shankman yang menggambarkan diskriminasi gender di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan analisis film naratif, yang bertujuan untuk menghubungkan teori Muted Group dengan keadaan lingkungan kehidupan nyata yang digambarkan dalam film What Men Want (2019). Studi ini digunakan untuk menunjukkan bahwa laki-laki terus mendominasi tempat kerja yang menghambat wanita untuk berkembang dalam pekerjaanya dan hal ini digambarkan dalam perfilman Amerika. Studi ini menemukan bahwa perempuan dianggap sebagai kelompok bisu karena perempuan tidak mendapatkan kesempatan promosi yang sama seperti laki-laki yang digambarkan dalam film What Men Want (2019) karena kebisuan dan ketidakmampuan mereka untuk tampil sesuai dengan pikiran dan bahasa mereka mengakibatkan diskriminasi di tempat kerja. oleh laki-laki. Film ini menggambarkan karakter perempuan sebagai sosok yang tidak berdaya di tempat kerja ketika pendapat mereka tidak didengar selama proses pengambilan keputusan karena laki-laki membungkam mereka sebagai kelompok dominasi. Untuk rekapitulasi, dominasi dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan di tempat kerja mengakibatkan pelecehan, penghinaan, dan merendahkan perempuan, seperti yang digambarkan dalam What Men Want (2019).

The domination of men over women in society creates gender discrimination in the workplace. Gender imbalance shows how women are unable to speak out loud because they are silenced by the dominant group. The result of domination by men in the workplace is that women cannot express themselves freely. If women try to voice their voices, it will hinder work effectiveness and lead to resigning from work. This would result in Muted Group Theory focuses on lack of voice as well as resistance to silencing. What Men Want (2019) is an American film directed by Adam Shankman that depicts gender discrimination in the workplace. This study uses narrative film analysis, which aims to connect Muted Group theory to the real-life environmental circumstance portrayed in the film What Men Want (2019). This study is used to show that men continue to dominate the workplace, which hinders women from developing in their jobs and this is depicted in American cinema. This study found that women are regarded as the muted group as women do not get equal promotion opportunities as men portrayed in the film What Men Want (2019) because of their silence and incapacity to perform in line with their thoughts and language results in workplace discrimination by males. The film illustrates women characters as powerless undervalued in the workplace when their opinion is unheard during the decision-making process because men are muting them as the domination group. To recapitulate, men's domination and discrimination towards women at work resulted in harassment, humiliation, and undervaluing women, as depicted in What Men Want (2019)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudistira Kurnia Ramadanu
"ABSTRAK
Memoirs of a Geisha 2005 adalah sebuah film drama romansa yang bercerita tentang kehidupan seorang gadis kecil yang tumbuh menjadi seorang geisha yang terkenal bernama Sayuri. Film ini menggambarkan perjuangan Sayuri dalam menjadi seorang geisha sejak pertama kali ia dijual ke okiya, sebutan untuk rumah geisha, sampai ia menjadi geisha yang paling terkenal. Film ini dapat dijadikan sumber analisis untuk mempelajari dikotomi dari geisha yang baik dan buruk dilihat melalui elemen visual dan naratif karakter-karakter dalam film. Khususnya, penelitian ini menganalisis beberapa bukti tekstual yang merepresentasikan dikotomi dari geisha yang baik dan buruk dengan menggunakan teori virgin/whore dichotomy oleh Bay-Cheng 2015 . Dalam menganalisis data, bukti-bukti tekstual tersebut kemnudian dibedakan menjadi dua kategori; penampilan fisik dan interaksi antarkarakter dalam film. Kategori-kategori tersebut kemudian digabungkan untuk menekankan dikotomi dari geisha yang baik dan buruk sepanjang film ini. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa dikotomi dari geisha yang baik dan buruk dari film Memoirs of a Geisha 2005 ditunjukkan dengan penampilan fisik dan karakteristik dari para karakter dari film ini.

ABSTRACT
Memoirs of a Geisha 2005 is a romance drama film about the life of a little girl who became a well-known geisha, Sayuri. This movie portrays Sayuri rsquo;s struggle in becoming a geisha since the first time she was sold to an okiya, a geisha house, until she became the most popular geisha. This movie can be used as a source of analysis to study the dichotomy of good and bad geisha by looking at the visual and narrative elements of the characters throughout the movie. In particular, the research analyzes several textual evidences representing the dichotomy of good and bad geisha by using Bay-Cheng rsquo;s theory of virgin/whore dichotomy. In analyzing the data, the textual evidences are divided into two categories; the physical appearances and the interaction of each characters in the movie. These categories are then combined to highlight the dichotomy of good and bad geisha throughout the movie. From the result of the analysis, it can be concluded that the dichotomy of good and bad geisha in the movie Memoirs of a geisha 2005 is pointed out by the physical appearance and the characteristic of the characters throughout the movie. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Faidania
"Closer (2004) menunjukkan betapa mudahnya orang modern bertemu dengan orang asing, baik secara online maupun secara langsung. Terlepas dari kemudahan yang dimiliki orang modern, kemungkinan tergoda oleh orang asing juga besar. Untuk dapat melihat korelasi antara orang asing dan godaan, tulisan ini menganalisis unsur-unsur film Closer (2004) tentang bagaimana mereka menggambarkan tema godaan dan mengkaji bagaimana keempat karakter dalam film tersebut merepresentasikan perjuangan manusia modern dalam mencari cinta melalui orang asing. Dengan menggunakan analisis struktural dan model aktan oleh Greimas, penulis menyimpulkan bahwa semua tokoh utama memiliki godaan yang ditempatkan di sisi lawan aktan. Berdasarkan diagram, karakter utama termotivasi untuk membuat hidup mereka lebih baik. Tidak ada yang bermaksud menyakiti orang lain sejak awal. Namun, tergoda oleh orang asing membuat mereka berbohong dan mengkhianati pasangannya. Oleh karena itu, kebenaran menjadi penghancur koneksi mereka ketika terungkap. Terjatuh dalam godaan membuat karakter semakin jauh dari objeknya, yaitu cinta. Seperti yang dikatakan Alice, satu-satunya cara untuk keluar dari godaan adalah dengan memiliki 'deep inner strength'.

Closer (2004) shows how easy it is for modern people to meet strangers, whether it is online or in person. Despite the convenience that modern people have, the probability of being tempted by strangers is also big. To be able to see the correlation between strangers and temptation, this paper analyzes the elements of the film Closer (2004) on how they portray the theme of temptation and examines how the four characters in the film represent modern people's struggles in seeking love through strangers. Using structural analysis and the actantial model by Greimas, the writer concludes that all of the main characters have temptations placed on the opponent’s side of the actant. Based on the diagrams, the main characters are motivated to make their lives better. No one intended to hurt the other person in the first place. However, being tempted by strangers made them lie and betray their partners. Therefore, truth becomes the destroyer of their connections when it comes out. Falling into temptations has made the characters further away from their object, which is love. Just like what Alice said, the only way to be out of temptation is by having ‘deep inner strength’."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Shebby Kharisma Dewi
"Film merupakan salah satu temuan budaya inovatif yang merupakan bagian dari seni. Film dapat menggarap rangkaian subjek yang hampir tak terbatas. Éléonore Pourriat mengembangkan film dengan ide fiksi menggunakan inversi dalam dunia paralel melalui film Je ne suis pas un homme facile. Adaptasi dari film pendek Majorité Opprimée membawa tema di mana tokoh Damien, seorang seksis, membanggakan superioritasnya dengan menunjukkan seksismenya kepada kaum perempuan. Keberadaan Damien di dunia inversi menunjukkan adanya pergeseran karakter terhadap stigma gender yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa gender tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki dengan karakteristik maskulinitasnya, namun karakteristik ini dapat diperankan baik oleh tokoh laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang didukung menggunakan analisis film dengan struktur naratif dan sinematografi Boggs dan Petrie, teori gender oleh Giddens untuk menganalisis konsep identifikasi gender, dan teori stereotip gender oleh Hentschel, Heilman dan Peus untuk menganalisis konsep asosiasi maskulinitas dalam film. Hasil analisis menunjukan bahwa Pourriat membawa dunia inversi untuk menimbulkan kesadaran bahwa terdapat suatu keganjilan dalam sistem masyarakat yang meninggikan posisi kaum laki-laki sebagai kaum dominan, serta menunjukkan bahwa maskulinitas tidak bergantung pada jenis kelamin seseorang, tetapi peran sosial dalam masyarakat.

Film is an innovative culture that falls under the umbrella of art. Films work on a collection of almost infinite subjects. Éléonore Pourriat develops the film Je ne suis pas un homme facile with a fictional idea using inversion as a parallel world. The adaptation of the short film Majorité Opprimée brings up a theme in which Damien, a sexist, boasts his superiority by exhibiting sexism toward women. Damien’s existence in an inverted world shows a character shift regarding the stigma of gender that exists in society. This research aims to show that gender is not only dominated by men with their masculine characteristics, as these characteristics can be embodied by both male and female characters. This research uses a qualitative method supported by film analysis using Boggs and Petrie’s narrative and cinematographic structures, Giddens’ gender theory to analyse the concept of gender identification, and gender stereotype theory by Hentschel, Heilman, and Peus to analyse the concept of the association of masculinity in film. The analysis shows that the inverted world is used to raise awareness of an oddity in the system of society that uplifts the position of men as the dominating group. The analysis also shows that masculinity does not depend on one’s sex, but rather on the roles within society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>