Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Menik Wijiyanty
"Penelitian mengenai interferensi bunyi bahasa Jepang dalam bahasa Indonesia telah dilakukan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok pada bulan September-Oktober 1998, tujuannya ialah untuk mengkaji kesalahan-kesalahan fonologis apa saja yang dilakukan oleh orang Jepang yang sedang belajar bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan perbedaan sistem bunyi bahasa Indonesia dan sistem bunyi bahasa Jepang. Pengumpulan data dilakukan melalui perekaman suara responden yang melafalkan kata-kata bahasa Indonesia yang akan diteliti, yang telah penulis persiapkan sebelumnya. Proses perekaman suara hingga pengelompokan bunyi dijelaskan.
Hasilnya menunjukkan bahwa orang Jepang yang sedang mem_pelajari bahasa Indonesia ada kecenderungan memasukkan kaidah-_kaidah bunyi bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia, sehingga terjadi beberapa kesalahan pelafalan yang dinamakan interferensi bunyi yang disebabkan pengaruh bahasa ibu yang sangat besar. Interferensi bunyi yang dilakukan oleh responden terdiri dari: 1. Under-differentiation of phonemes (pembedaan fonem yang ber_kekurangan) yang disebabkan dua buah bunyi yang berbeda dalam bahasa Indonesia tidak dibedakan dalam bahasa Jepang. 2. Phone Substitution (penggantian bunyi) yang disebabkan bunyi-bunyi yang nampak sama dalam kedua bahasa, dilafalkan dengan cara berbeda. Penggantian bunyi ini terjadi terdiri dari: a) Substitusi bunyi bahasa Indonesia dengan bunyi bahasa Jepang karena perbedaan kaidah bunyi bahasa masing-masing, b)Penambahan bunyi untuk mempermudah bunyi yang tidak lazim dalam bahasa Jepang, dan Pelesapan bunyi yang tidak lazim dalam bahasa Jepang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S13595
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilya Murwanto
"Penulis tertarik pada masalah yang menyangkut perkembangan kemampuan berbahasa anak-anak. Dari pengamatan dalam kehidupan sehari-hari ditemukan adanya perkembangan kemampuan berbahasa seorang anak yang berbeda dengan perkembangan bar_bahasa anak yang lain. Kenyataaa ini menimbulkan beberapa per-tanyaan: seberapa jauhkah perbedaan tersebut masih dalam batas normal dan mana yang sudah berada di bawah normal; faktar_-faktor apa yang menyebabkan keterbelakangan itu; dan apa yang kira-ki.ra dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Hal-hal inilah yang mendorong penulis memilih topik perkembang_am berbahasa, khususnya pada anak belajar lambat. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1984
S14086
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Yanti Br
"ABSTRAK
Defisit fonologis merupakan penyebab utama atas ketidakmampuan anak disleksia dalam membaca Lyon, Stanovich, 1999 . Saat anak disleksia memiliki gangguan fonologis dan gangguan penamaan cepat, maka anak disleksia tersebut dianggap memiliki defisit ganda Wolf dan Bowers, 1999 . Berkaitan dengan hal tersebut, Pennington et al. 2001 menginvestigasi defisit pada anak disleksia Amerika dan menemukan bahwa gangguan membaca pada anak disleksia berasal dari defisit fonologis. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan karakteristik defisit yang dimiliki oleh anak disleksia penutur jati bahasa Indonesia, tesis ini membahas tentang karakteristik fonologis penyandang disleksia dengan membandingkan hipotesis defisit fonologis dan hipotesis defisit ganda. Penelitian melibatkan 5 anak disleksia yang berasal dari Sekolah Dasar Inklusif Pantara, Jakarta. Kemampuan anak disleksia dibandingkan dengan 25 anak grup kontrol yang berasal dari SD Kwitang 8 PSKD, Depok. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan studi kasus kontrol. Instrumen yang digunakan mengadaptasi instrumen penelitian Pennington et al. 2001 . Tes yang dilakukan adalah tes persepsi ujaran, kesadaran silabel, membaca dan akses leksikal. Kata-kata yang digunakan sebagai tes berasal dari 10,000 kata yang memiliki frekuensi tertinggi dalam korpus linguistik bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan anak disleksia memiliki kemampuan fonologis lebih rendah dari grup kontrol. Hal ini ditandai oleh kecenderungan anak disleksia dalam melakukan penyulihan fonem dan jenis silabel. Penyulihan fonem terjadi pada bunyi hambat dan cenderung terjadi dari bunyi bersuara menjadi tak bersuara. Pertukaran jenis silabel cenderung terjadi pada suku kata KVK dan KKV menjadi KV. Anak disleksia juga memperlihatkan kemampuan penamaan cepat 3 kali lebih lambat daripada grup kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung hipotesis defisit fonologis Wagner and Torgersen, 1987 dan hipotesis defisit ganda oleh Wolf dan Bowers 1999 .

ABSTRACT
Phonological deficit is defined as the core deficit of dyslexic children to read Lyon, Stanovich, 1999 . As the dyslexics show phonological deficit and rapid naming deficit, they probably have double deficit Wolf and Bowers, 1999 . In line with that result, Pennington et al. 2001 investigated the American dyslexic children and found that phonological deficit was the core deficit of the dyslexics. Therefore, the current study discussed the phonological characteristics of Indonesian Dyslexics by comparing the phonological deficit hypothesis and double deficit hypothesis. Five dyslexic children DC age 7 9 3 males and 2 females and 25 chronological age matched controls CA were administered speech perception, syllable awareness, words reading and lexical access test. Most of the instruments were adapted from Pennington et al. 2001 . The instruments for all task were taken from the 10.000 highest frequent words of the linguistic corpus of bahasa Indonesia in 2013. The study results suggested that Indonesian dyslexic children performed significantly worse than their CA controls in all phonological tasks. The study showed that dyslexics tended to substitute phonem and syllable. They tended to substitute voice to voiceless phoneme. The substitution of syllable also happened from CVC or CCV to CV. As for the naming speed deficit, the result showed that three out of five dyslexics were significantly slower than that of their CA controls. Therefore, the result are broadly consistent with earlier conclusions that support the phonological deficit Wagner Torgersen, 1987 and for the double deficit hypothesis of Wolf and Bowers 1999 "
2017
T49579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irsan
"Tesis ini membahas kajian geografi dialek dengan pusat kajian bahasa Besemah di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatra Selatan. Fokus kajian penelitian ini mencakupi variasi-variasi dialektal bahasa Besemah, status variasi kosakata, dan daerah persebarannya. Variasi yang dibahas meliputi variasi leksikal dan fonologis. Data yang digunakan bersumber dari kuesioner survey kebahasaan yang dilakukan oleh Tim Pemetaan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Palembang dengan mewawancarai empat belas informan di empat belas titik pengamatan. Data diolah berdasarkan penyusunan berkas isoglos dan perhitungan dialektometri. Variasi-variasi itu diuraikan berdasarkan pengelompokan jumlah etimon dan medan makna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara leksikal variasi-variasi yang muncul merupakan perbedaan subdialek yang terdiri atas empat subdialek utama, yaitu subdialek Saling, Kikim, Muara Pinang, dan Lematang, sedangkan secara fonologis menunjukkan jarak yang tinggi.

This Thesis discusses a study of dialect geography on the variants of Pasemah (Besemah) language in Lahat, South Sumatra. The study focuses on the analysis of the dialect variants, the status of lexical variants, and the distribution area. The variants consists of lexical and phonological variants. The data used in this study are taken from fourteen questionnaires of the regional language survey conducted by the research team of Pusat Bahasa and Balai Bahasa Palembang. The data were gathered by interviewing fourteen informants within fourteen research areas. The data is analyzed based on the bundles of isogloss and dialectometry. The lexical variants are analyzed by the classification of the number of etymon and field of meaning. The result of the study reveals that lexically, the variants of Pasemah are only subdialects which consist of four: Saling, Kikim, Muara Pinang, and Lematang. Phonologically, the variants show high different variants."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T25902
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Supriatnoko
"Basa Cerbon menjadi menarik untuk diteliti berlandaskan fakta kehadirannya sejak abad ke-14 di lingkungan Bahasa Sunda. Kondisi ini memunculkan permasalahan penelitian dialektologi untuk menelisik distribusi variasi bahasa dan penetapan status. Penelitian ini menggunakan ancangan kualitatif dan kuantitatif. Satuan unit penelitian adalah desa. Titik Pengamatan ditetapkan 55 desa dengan teknik sampling pemercontoh bertujuan (purposive sample) atau disebut criterion-based selection. Informan diperlakukan sebagai sumber data. Data bahasa dijaring dengan menggunakan kuesioner yang berisi daftar tanyaan, dikumpulkan dari 55 TP dengan menggunakan metode pupuan lapangan dengan teknik bersemuka dan perekaman, dianalisis dengan menggunakan metode berkas watas kata dan penghitungan jarak kosakata menggunakan metode dialektometri melalui teknik segitiga antardesa dan Polygones de Thiessen.
Hasil analisis data disajikan secara deskriptif. Temuan-temuan hasil penelitian adalah sebagai berikut: dari jumlah 558 peta, ditemukan 209 peta variasi leksikal dan 349 peta variasi fonologis. Ditemukan pula 3 kelompok penutur Basa Cerbon, yaitu kelompok penutur Basa cerbon yang mengucapkan fonem vokal terbuka /a/ sebagai [a], yang mengucapkan fonem vokal terbuka /a/ sebagai [ɔ], yang mengucapkan fonem vokal terbuka /a/ sebagai [a], [ɔ]. Ditemukan kosakata khas dan hibrida dalam Basa Cerbon. Hasil analisis data menemukan distribusi kosakata serapan dari Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, dan Bahasa Indonesia dari jangkauan satu TP ke jangkauan 54 TP. Hasil penghitungan dialektometri berkesimpulan Basa Cerbon belum dapat disebut sebagai sebuah "bahasa tersendiri" karena capaian variasi leksikal menurut kriteria Guiter (1973) adalah "Beda Wicara", variasi fonologis dalam kriteria "Beda Dialek". Walaupun sebagai bagian dari Bahasa Jawa, Basa Cerbon memiliki frekwensi penggunaan kata gramatikal yang tinggi, sehingga Basa Cerbon tidak mudah dipahami oleh penutur jati Bahasa Jawa dari daerah lain, maka dalam hal ini kata gramatikal dapat menjadi penanda jatidiri penuturnya di Cirebon.

Basa Cerbon becomes interesting to be researched as the fact of its existence since 14 century in Bahasa Sunda environment. The condition brings up the problem in dialectology to research the distribution of language variations and the status of it. The research uses qualitative and quantitative approach. Desa is treated as research unit. 55 desa are treated as the sample by using criterion-based selection or purposive sample technique. Informans are treated as sources of data. Data are collected by using questionnaire which contains list of questions in it, obtained through participative observation method, face-to face conversation and recording techniques. Data are analysed by isogloss and dialectometry methods, using triangular interregional and polygones de Thiessen techniques.
The result of analysis is presented descriptively. The findings of the research are as follows: From 558 maps, it is discovered 209 maps of lexical variation and 349 maps of phonological variation. It is found 3 groups of Basa Cerbon speakers, that is the group who pronounces the open vocal phoneme /a/ as [a], who pronounces the open vocal phoneme /a/ as [ɔ], who pronounce the open vocal phoneme /a/ as [a], [ɔ]. It is found special vocabularies and hybrid in Basa Cerbon, the distribution of vocabulary absorption of the language of Javanesse, Sundanesse and Indonesia from the range of one to fifty four points of observation. From the dialectometry counting it can be concluded that Basa Cerbon has not been able to state as "separate language" because the achieving of lexical variaton?according to Guiter (1973)?is "speech different", the achieving of phonological variation is "dialect different". Although Basa Cerbon is the part of Javanesse language, it has high frequency in using gramatical vocabulary, so it causes to be uneasy to understand by the javanesse speakers from other areas, so in this case, Basa Cerbon gramatical vocabulary can be the indication of its speakers identity in Cirebon.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2045
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahari
"Ajektiva Bahasa Arab yang diistilahkan dengan al-nabtu atau al-sifatu memiliki fungsi atributif atau predikatif. Kedua fungsi itu ditandai oleh ciri morfem gramatikalnya: kasus, jenis, jumlah, dan ketakrifan. Para ahli Bahasa Arab berbeda pendapat dalam menetap_kan ajektiva dalam kerangka kategori gramatikal. Ada yang mengatakan ajektiva sebagai kategori gramatikal dan ada pula yang menetapkan ajektiva sebagai sub-kategori gramatikal nomina. Kesamaan pandangannya terletak dalam menganalisis ajektiva. Mereka ahli Bahasa Arab, seperti Ibn Aqil dan Peter F. Abboud mengatakan bahwa ajektiva dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan sintaksis dan morfologis. Ujud morfologis yang berfungsi sebagai atributif ditandai oleh kesarnaan makna dan morfem gramatikalnya de_ngan nomina, yakni jenis, kasus, jumlah, dan ketakrifan. Sedangkan ujud morfologis yang berfungsi sebagaii predika_tifditandai oleh bentuknya derivatif dan dapat menempati fungsi atributif. Ujud morfologis yang memperlihatkan perilaku semacam itu diklasifikasikai ke dalam ajektiva."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Laksman-Huntley
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Alma Mandjusri
"Kata-kata onomatope cukup banyak digunakan dalam kegiatan bahasa di Indonesia, baik dalam langgam bahasa sehari-hari maupun dalam langgam bahasa sastra, dan pembahasan mengenai kata-kata onomatope kebanyakan berkisar pada masalah fonologis dan semantik, sementara gejala-gejala lain di luar bidang tersebut kurang mendapat perhatian. Pembahasan mengenai kata-kata onomatope dalam skripsi ini ditujukan untuk melengkapi deskripsi kata-kata onomatope bahasa Indonesia dalam bidang morfologi dan sintaksis. Analisis dalam bidang morfglogi ditujukan untuk mencari kaidah-kaidah morfologis yang berlaku pada onomatope, khususnya proses pemhentukan onomatope sebagai kata, disertai dengan analisis morfofonemik yang timbul akibat proses tersebut, sedang analisis dalam bidang sintaksis ditujukan untuk menempatkan kata-kata onomatope dalam penggolongan kelas kata bahasa Indonesia. 1. Onomatope sebagai kata terbentuk melalui proses morfologis, berupa (1) afiksas&; (2) reduplikasi; (3) terdapatnya bentuk-bentuk lain yang memiliki arti berulang-ulang atau jamak, tetapi secara morfologis tidak bisa digolongkan sebagai reduplikasi. 2. Prefiks pada onomatope mempunyai fungsi tertentu sebagai unsur pembentuk akar onomatope menjadi sebuah kata yang terdiri dari dua suku kata atau lebih. 3.Dalam proses pembentukan kata, khususnya proses afiksasi, terjadi perubahan morfofonemik berupa proses asimilasi yang tidak bersifat mutlak tetapi manasuka. 4. Reduplikasi pada onomatope terdiri atas tiga tips: (1) reduplikasi penuh berupa gabungan antara prefiks dengan morfem dasar; (2) reduplikasi penuh dengan perubahan fonem; (3) bentuk-bentuk lain. 5. Onomatope sebagai kata tidak bisa dimasukkan ke kelas interjeksi, tetapi bisa digolongkan ke (1) kelas nomina; dan (2) kelas ajektiva"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S10805
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoses Antonius A.
"Proses peminjaman tidak terpaku pada bentuk kata yang harus mirip dengan bentuk aslinya. Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa banyak kata yang digunakan setiap hari merupakan basil dari peminjaman dari bahasa lain. Selain peminjaman kata-kata tunggal, ternyata ada juga bentuk peminjaman dari kata-kata majemuk. Peminjaman tersebut berbentuk pinjam terjemah, contohnya kata luar negeri dan dalam negeri yang berasal dari kata binnenland dan buitenland; pinjam campur, contohnya kata air ledeng yang berasal dari kata waterleiding; dan pinjam ubah, contohnya pispot yang berasal dari kata piespot.
Dengan bentuk peminjaman tersebut, kata-kata tersebut disesuaikan dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Hasilnya ada yang tetap berbentuk sebagai kata majemuk atau menjadi satu kata tunggal saja. Bila hasilnya merupakan kata majemuk, pembentuk kata tersebut dapat berupa kata pinjaman juga atau hanya basil penerjemahan biasa. Kesulitannya adalah untuk menentukan bahwa kata-kata tersebut merupakan basil peminjaman karena mungkin memang sudah ada sejak dulu dala bahasa Indonesia dan mungkin terdapat juga dalam bahasa lain selain dalam bahasa Indonesia. Begitu juga dengan frekuensi pemakaian kata-kata tersebut yang sangat tinggi, sehingga sudah dianggap kata-kata asli, misalnya kata kepala sekolah berasal dari kata hoofdschool yang merupakan bentuk pinjam terjemah, begitu juga uang sekolah atau whoa/geld.
Dalam skripsi saya ini saya menganalisis perubahan dan penyesuaian yang ada dalam peminjaman kata-kata majemuk bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Skripsi ini saya bagi dalam empat bab, yaitu Bab I berisi pendahuluan; Bab II berisi kerangka teori, secara semantis dan fonologis, serta sosiolinguistik; Bab III berisi analisis kata-kata bahasa Indonesia basil peminjaman dari kata-kata majemuk bahasa Belanda dilihat secara fonoIogis dan semantis; serta Bab IV berisi kesimpulan dari analisis sebelumnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S15834
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>