Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Andhika
Abstrak :
Pada era modern ini, kekayaan intelektual menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh, dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022, kekayaan intelektual dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh pembiayaan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa praktik bisnis yang tidak adil terkait kekayaan intelektual sering terjadi. Di Indonesia saat ini, terdapat 2 (dua) jenis pelanggaran merek, yaitu merek yang identik dan yang serupa secara substansial. Dalam kasus pelanggaran merek (baik untuk merek yang identik maupun serupa secara substansial) pemohon/pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan ke pengadilan perdagangan untuk meminta pengadilan mewajibkan pemilik merek yang terakhir untuk mencabut pendaftaran mereknya. Penelitian ini berfokus pada penelitian yuridis deskriptif yang berfokus pada fenomena hukum berdasarkan literatur seperti jurnal dan/atau buku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa jenis pelanggaran merek namun dengan dasar hukum yang sama, yaitu untuk memperoleh keuntungan kompetitif yang tidak adil terhadap merek terdaftar lainnya. Selain itu, dalam kasus pembatalan merek terkenal dan merek terdaftar, gugatan pembatalan dapat diajukan ke pengadilan perdagangan yang berada di pengadilan negeri. Para pihak juga dapat mengajukan banding jika tidak puas dengan pertimbangan dari majelis hakim. ......In this modern day, intellectual property becomes an important aspect of human's lives. For instance, with the Promulgation of Government Regulation Number 24 Year 2022, an intellectual property could be put up as a collateral/security in order to receive financing. However, it could not be denied that unfair business practices regarding intellectual property is a regular occurence. In Indonesia now, there are 2 (two) types of trademark infringement which are identical mark and substantially mark. In an event that a trademark infringement has been done (both for identical marks as well as substantially similar mark) the plaintiff/owner of a registered trademark could file to the commercial court in order to ask the court to oblige the owner of the later mark to cancel the registration of mark. This research focuses on the descriptive juridical research which focuses on phenomenoms about the law basing it on literatures such as journals and/or books. Based on the research done, there are a few types of trademark infringement but with the same legal reasoning which is to gain unfair competitive advantage regarding other registered trademark. Other than that, in a case of dismissal towards a well-known trademark and registered mark, a dismissal claim could be submitted to the commercial court located in the district court. The parties could also file an appeal if they are not satisfied with the deliberation/consideration from the panel of judges.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kur, Annette
Abstrak :
Summary: The first of its kind, this textbook has been carefully designed to give students and non-specialist practitioners a clear understanding of the fundamentals of European intellectual property law
Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2013
346.404 8 KUR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arianne Astrinia
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai perbandingan konsep pelanggaran paten yang diatur di Indonesia dengan Amerika Serikat. Bentuk pelanggaran paten yang diatur di Indonesia mengacu kepada ketentuan yang menyebutkan hak-hak pemegang paten dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Sementara Amerika Serikat mengatur bentuk pelanggaran paten ke dalam pasal tersendiri, serta membaginya ke dalam dua jenis yakni pelanggaran paten langsung dan tidak langsung. Penelitian ini menunjukan bahwa ruang lingkup perlindungan paten yang diatur di Indonesia, tidak sekomprehensif pengaturan paten di Amerika Serikat, dengan tidak diaturnya bentuk pelanggaran paten tidak langsung di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Adapun dalam rangka mempertajam perbedaan konsep pelanggaran paten, objek yang dianalisa adalah sengketa pelanggaran paten obat. ......This thesis compares the concept of patent infringement regulated in Indonesia and United States of America. Indonesia patent infringement's concept refers to clauses of patent holder's rights as stated in Article 16 Law Number 14 of 2001. In the other hand, United States of America regulates patent infringement in a specific article that distinguish direct infringement and indirect infringement. This research discovered that the scope of patent protection in Indonesia does not as comprehensive as United States. Drug patent infringement is also analized in order to exacerbating the difference of patent infringement in Indonesia and United States.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57093
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dindadari Arum Jati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini berkaitan dengan tuturan yang dihasilkan penderita skizofrenia tipe hebefren di Indonesia, khususnya di kota Yogyakarta. Tuturan tersebut akan dianalisis dengan prinsip kerja sama dari Grice 1975 yang terdiri atas empat maksim, yaitu maksim kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara, serta jenis pelanggaran prinsip kerja samanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pelanggaran maksim dan mengklasifikasi jenis pelanggaran prinsip kerja sama yang mendominasi tuturan penderita skizofrenia tipe hebefren. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara berbentuk tanya jawab yang dilakukan peneliti kepada 6 informan, 3 fase akut dan 3 fase tenang . Data rekaman audio yang telah didapat akan ditranskrip dan dianalisis dengan teori prinsip kerja sama Grice 1975 . Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penderita skizofrenia fase akut lebih banyak melakukan pelanggaran maksim dari pada fase tenang dan maksim yang paling banyak dilanggar adalah maksim relevansi yang mencapai 57 kali kemunculan pada fase akut dan 23 kali kemunculan pada fase tenang. Selain itu, jenis pelanggaran prinsip kerja sama yang mendominasi tuturan penderita skizofrenia tipe hebefren adalah jenis infringing dengan total temuan 70 kali kemunculan. Rincian dari temuan adalah fase akut melakukan 47 dan fase tenang melakukan 23 pelanggaran jenis infringing.
ABSTRACT
This research observes how hebephrenic schizophrenia patients conduct a communication toward others. This research uses the theory from Grice 1975 , cooperative principles which consist of four maxims, they are the maxim of quality, quantity, relation, and manner. More over, this research also observes the type of the violation of cooperative principles. The data collection technique of this research is interviewing the six hebephrenic skizofrenia patients three acute phase patients and three quiet phase patients . The audio recorded which is obtained will be transcribed and analized based on the coopreative principles theory from Grice. The findings of this research shows that acute phase hebephrenic skizophrenia patients commited more violation toward cooperative principles than quiet phase hebephrenic skizophrenia patients. Furthermore, maxim which is usually violated is maxim of relation which reach up to 57 times occurance in acute phase and 23 times occurance in quiet phase. Then the findings of the type which is usually violated is infringing type with 47 times occurance for the acute phase and 23 times occurance for the quiet phase.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dinda Soraya
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan perekonomian dan ilmu pengetahuan yang pesat telah menimbulkan perubahan cepat pada produk-produk kosmetik, obat asli Indonesia dan alat kesehatan. Dewasa ini pendirian dan perkembangan industri-industri kosmetik terlihat semakin terasa signifikan. Terdapat beberapa regulasi yang seringkali digunakan dalam pengakan hukum kasus pemalsuan kosmetik di Indonesia, yakni Undang-Undang Merek (UU Nomer 20 Tahun 2016), Undang-Undang Kesehatan (Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009) dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU Nomer 8 Tahun 1999). Pemalsuan kosmetik melanggar merek kosmetik lainnya yang telah terdaftar, Dalam kasus pemalsuan kosmetik, Undang-Undang Merek merupakan regulasi utama yang seharusnya digunakan dikarenakan pemalsuan sendiri merupkan bentuk pelanggaran merek. Apalagi dengan adanya perubahan terhadap Undang-Undang Merek pada Pasal 100 Ayat (3) yang mengatur mengenai pemberatan sanksi pidana terhadap pelanggaran merek yang menyebabkan gangguan kesehatan dan/atau kematian. Skripsi ini menyimpulkan bahwa tidak semua kasus pemalsuan kosmetik dianggap sebagai bentuk Pelanggaran Merek karena mayoritas kasus yang dianilisis masih dianggap sebagai bentuk pelanggaran Undang-Undang Kesehatan. Permasalahan utama Undang-Undang Merek masih jarang digunakan adalah karena adanya ketentuan mengenai delik aduan pada Undang-Undang k. Untuk itu, seharusnya terdapat pengecualian terhadap Pasal 100 ayat (3) Undang-Undang Merek ini agar lebih dapat digunakan secara efektif.
ABSTRACT
Rapid economic and scientific developments have led to massive changes in cosmetic products, Indonesian traditional medicine and medical devices. Today, the establishment and development of the cosmetic industries seems increasingly significant. There are several regulations that are often used in law enforcement against cosmetic counterfeiting. These regulations come from different laws, such as the Mark Law (Law No. 20 of 2016), the Health Law (the Law No 36 of 2009) and the Consumer Protection Law (the Law No. 8 of 1999). As counterfeit cosmetics is infringing a registered trademark, Mark Law is one of the main regulation. Especially, the new Mark Law (No. 20 of 2016) imposes heavier penalties to trademark infringer that caused health problems and/or the death of human beings This research analyzes 50 court decisions on the case of illegal/counterfeit cosmetics from 2010-2018 in Indonesia. This article concludes that in Indonesia, not every problem of counterfeit cosmetics treated as Trademark Infringement because majority of the cases still treated as Health Law Infringement. The provision of Mark Law that require the trademark owner to initiate the legal process of the infringement of their trademark is the most used reason why counterfeiting cosmetics in Indonesia cannot easily be treated as trademark infringement This article recommends that the infringement of article 100 paragraph (3) on the Mark Law should be treaded as a regular offences not based on complaint.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Azzahra Abdul Kadir Said Alwini
Abstrak :
"upcycling" dalam tren fesyen untuk mendukung kehidupan yang lebih berkelanjutan. Upcycling adalah kegiatan mengubah atau memodifikasi barang bekas menjadi barang baru dengan nilai tambah. Diharapkan upcycling dapat memperlambat produksi limbah fashion yang mencemari lingkungan dan mengurangi fast fashion. Dalam industri fesyen, upcycling dianggap sebagai tren yang revolusioner karena produk upcycling menawarkan nilai keunikan dan kreativitas. Meskipun gerakan upcycling dianggap bermanfaat bagi lingkungan dan industri fesyen, tetapi muncul isu hukum kekayaan intelektual ketika barang bekas merek terkenal digunakan untuk upcycling. Penggunaan barang bekas bermerek terkenal dianggap dapat merusak citra, reputasi, dan kredibilitas merek terkenal. The Agreement on Trade-Related of Intellectual Property Rights Pasal 6 mengatur bahwa negara anggota dapat menggunakan prinsip exhaustion untuk menyelesaikan sengketa kekayaan intelektual. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif untuk menganalisis apakah kegiatan upcycling terhadap barang bekas merek terkenal dapat berakibat pelanggaran merek terkenal dan apakah doktrin exhaustion dapat digunakan sebagai pembelaan oleh penjual produk upcycling untuk mempertahankan kedudukannya.Melemahnya kemampuan bumi untuk menampung pertumbuhan populasi dunia telah mendorong munculnya gerakan "upcycling" dalam tren fesyen untuk mendukung kehidupan yang lebih berkelanjutan. Upcycling adalah kegiatan mengubah atau memodifikasi barang bekas menjadi barang baru dengan nilai tambah. Diharapkan upcycling dapat memperlambat produksi limbah fashion yang mencemari lingkungan dan mengurangi fast fashion. Dalam industri fesyen, upcycling dianggap sebagai tren yang revolusioner karena produk upcycling menawarkan nilai keunikan dan kreativitas. Meskipun gerakan upcycling dianggap bermanfaat bagi lingkungan dan industri fesyen, tetapi muncul isu hukum kekayaan intelektual ketika barang bekas merek terkenal digunakan untuk upcycling. Penggunaan barang bekas bermerek terkenal dianggap dapat merusak citra, reputasi, dan kredibilitas merek terkenal. The Agreement on Trade-Related of Intellectual Property Rights Pasal 6 mengatur bahwa negara anggota dapat menggunakan prinsip exhaustion untuk menyelesaikan sengketa kekayaan intelektual. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif untuk menganalisis apakah kegiatan upcycling terhadap barang bekas merek terkenal dapat berakibat pelanggaran merek terkenal dan apakah doktrin exhaustion dapat digunakan sebagai pembelaan oleh penjual produk upcycling untuk mempertahankan kedudukannya. ......The declining capability of the earth to support the world's population has led to the emergence of the sustainable fashion trend of "upcycling". Upcycling involves modifying used goods to create new ones with added value, with the goal of slowing down the fashion industry's disposal of waste and reducing the fast fashion movement. Although upcycling is considered revolutionary, there is a legal issue when using second-hand goods from well-known trademarks. Although the upcycler legally owns the product, the use of goods from well-known trademarks in their upcycling product could damage the well-known trademark reputation and cause consumer confusion when they sell it. The exhaustion principle is outlined in the Agreement on Trade-Related of Intellectual Property Rights Article 6 and said it may be used to settle intellectual property disputes. With juridical normative research method, this thesis will analyze whether there is a trademark infringement in the activity of upcycling using used goods from well-known trademarks. This thesis will also analyze whether the exhaustion doctrine can be used to solve the matter that arises. Moreover, can it be utilized as a defense argument for the upcycler in court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kris Henry Yohanes
Abstrak :
Impor paralel merupakan fenomena yang muncul karena perkembangan pasar yang saat ini dialami oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Produk impor paralel sendiri merupakan produk asli dan secara teoritis bukan merupakan pelanggaran merek, sesuai dengan prinsip exhaustion dalam hukum merek. Namun, pada praktiknya impor paralel dapat merugikan berbagai pihak. Salah satu pihak yang dinilai merasakan dampak terbesar dari impor paralel adalah pemegang lisensi merek. Sayangnya, hukum Indonesia tidak secara jelas dan eksplisit mengatur mengenai legalitas dan penanganan impor paralel, sehingga pemegang lisensi merek pun dapat merasa kesulitan untuk memulihkan kerugian yang timbul dari praktik tesebut. Oleh karena itu, skripsi ini bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait upaya yang tersedia bagi pemegang lisensi merek untuk menangani dampak yang timbul dari praktik impor paralel, serta membandingkannya dengan hukum yang berlaku di negara lain, yaitu Amerika Serikat dan Singapura. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru serta memberikan masukan kepada pembuat peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk memperjelas posisi hukum Indonesia dalam menanggapi dan menyelesaikan sengketa impor paralel yang terjadi di Indonesia. ......Parallel Importation is a phenomenon that rises as a consequence of globalization and market development that affect various countries across the globe, including Indonesia. The imported goods themselves are genuine goods, so theoretically, parallel importation is not classified as a trademark infringement, according to the exhaustion principle. Yet, in practice, parallel importation can cause a damage to various parties. One of the parties that potentially suffers the biggest loss is trademark licensee. Unfortunately, Indonesian law does not explicitly regulate the legality nor a mechanism to handle parallel importation, so a party that affected by the damage may find it difficult to recover from their loss. Therefore, this thesis will try to analyze the Indonesian trademark law to find an available procedure for trademark licensees to handle parallel importation, and will also compare such procedure with regulations in the United States of America and Singapore. The research method in writing this thesis is a juridical-normative method, using library materials that include primary, secondary, and tertiary legal materials. Hopefully, this thesis can give new insights to the readers, while also suggests the Indonesian lawmakers to clear up the position of Indonesian law on handling and resolving the parallel importation issues in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vita Hapsari
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai perbuatan melawan hukum dalam suatu tindak pelanggaran desain industri yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dan tipologi bersifat deskriptif. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bilamana penggunaan desain oleh pihak ketiga dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, bagaimana pengaturan perbuatan melawan hukum pada pelanggaran desain industri menurut hukum perdata, dan bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara perbuatan melawan hukum pada putusan Mahkamah Agung No. 435 K/Pdt-Sus-Hki/2013. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah suatu penggunaan desain oleh pihak ketiga dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila penggunaan desain tersebut sama persis atau sama secara substansial dan penggunaan tersebut dilakukan secara sengaja dan tanpa hak. Pengaturan perbuatan melawan hukum dalam pelanggaran hak desain industri terdapat pada Pasal 46 ayat (1) UU Desain Industri yang mengacu pada Pasal 9 ayat (1) UU Desain Industri dan Pasal 26 ayat (1) TRIPs. Perihal pertimbangan putusan Mahkamah Agung No. 435 K/Pdt-Sus-Hki/2013 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga tersebut terdapat sedikit kekuranglengkapan namun telah tepat dalam hal menentukan ganti rugi.
This thesis discusses the unlawful act in infringement of industrial design that has been regulated in Law No. 31 of 2000 about Industrial Design. In conducting this research, the writer uses juridicial-normative library research methods and the typology is descriptive. The problem in this thesis is when the use of the design by third parties can be regarded as an unlawful act, how the regulation, and how the consideration of judges in deciding the case on the Supreme Court Decision No. 435 K/Pdt-Sus-HKI/2013. The conclusion to these problems is a use of the design by third parties can be considered as an unlawful act when the design is exactly or substantially the same, and the use of the design has to be intentional and without right. The regulation for unlawful act in industrial design infringement contained in Article 46 (1) Industrial Design Act that refers to Art. 9 (1) Industrial Design Act and Art. 26 (1) TRIPs. Regarding consideration of the Supreme Court Decision No. 435 K/Pdt-Sus-HKI/2013 is a little sketchy, but has been precise in terms of determining the compensation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59668
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abiyyu Esmeraldana Putra
Abstrak :
ABSTRACT
Portrait is defined as an art which shows an individual or a group of people in which the personality of the person or people in the photo are reflected, a portrait is a work of photography which shows a person as the object portrayed. The law of copyright suggests that it is essential to obtain a written consent from the person portrayed in the portrait before the portrait is used commercially. However, practically, the portraits used commercially often ends up in the court. This research analyses The Difference in The Regulations and Applications Regarding Portrait Rights in Indonesia and The Netherlands (The Case of Edgar Davids vs Riot Games). Based on the analysis of the case, the author has meant to contribute ideal control of legal protection regarding commercially used portrait and compared the provision of copyright in Indonesia and The Netherlands. This research employed normative juridical method with statute, case, comparative, and conceptual approach. Based on the results of the research, it is known that Law of Copyright has not regulated the legal standing of person portrayed to demand compensation. Compared with the Law of Copyright of the Netherlands Year 2006 the person portrayed is hold the position as the owner of the portrait right (portretrecht). So, if there is a dispute over the use of portraits commercially, the person portrayed has the right to obtain compensation. The author recommend that Indonesia need to formulate the legal standing of person portrayed on Law of Copyright as the owner of the portrait right for legal certainty to be found.
ABSTRACT
Potret merupakan salah satu seni fotografi dengan menampilkan objek manusia baik secara individual maupun kelompok, yang menonjolkan unsur kepribadian objek foto tersebut, bahwa potret adalah karya fotografi dengan objek manusia. Dalam menggunakan potret seseorang untuk kepentingan komersial, Undang-Undang Hak Cipta mengamanahkan pengguna potret tersebut untuk mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari orang yang dipotret. Dalam prakteknya, penggunaan potret untuk kepentingan komersial dapat menjadi suatu perkara di pengadilan. Penulis akan menganalisis Perbedaan Regulasi dan Aplikasi Hak Potret di Indonesia dan Belanda (Studi Kasus Edgar Davids vs Riot Games). Berangkat dari analisis kasus pada putusan tersebut, penulis mencoba memberikan rekomendasi pengaturan yang ideal terkait perlindungan hukum atas karya potret yang digunakan secara komersial dengan membandingkan ketentuan hak cipta di Indonesia dan Belanda. Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan, serta pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa Undang-Undang Hak Cipta belum mengatur mengenai kedudukan hukum orang yang dipotret untuk menuntut ganti rugi. Jika dibandingkan dengan ketentuan hak cipta Belanda tahun 2006, orang yang dipotret berkedudukan sebagai pemilik hak potret (portretrecht). Sehingga, jika terjadi sengketa atas penggunaan potret secara komersial, maka orang yang dipotret berhak untuk memperoleh ganti rugi. Penulis merekomendasikan, Indonesia perlu untuk merumuskan kedudukan hukum orang yang dipotret pada Undang-Undang Hak Cipta sebagai pemilik hak potret agar kepastian hukum didapati.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhil Athallah Sakti
Abstrak :
Pengunaan dan pendaftaran/ pencatatan Logo yang tidak tepat marak menjadi sengketa antara pengguna hak cipta dan merek, hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai perlindungan dari kedua hak tersebut. Pada dasarnya Perlindungan Hak Cipta hanya diterapkan untuk komersialisasi Ciptaan. Sedangkan, perlindungan Merek pada dasarnya memiliki tujuan untuk melindungi produk berupa barang atau jasa. Adanya Pasal 65 dalam Undang-Undang Hak Cipta membuat sebuah hak cipta Logo tidak dapat didaftarkan menjadi Merek Terdaftar jika memiliki kesamaan. Pengaturan tidak memperbolehkan pedaftaran hak cipta logo yang memiliki kesamaan dengan merek terdaftar menghindari adanya pelanggaran merek persamaan pada pokoknya dengan sebuah Merek Terdaftar. Persamaan pada pokoknya sendiri merupakan adanya kesamaan arti, bunyi dan tampilan dengan tujuan membuat kebingungan konsumen secara nyata. Namun dalam pengenaan pelanggaran persamaan pada pokoknya sebuah merek harus digunakan terlebih dahulu oleh pihak lain. Tidak adanya pengaturan mengenai pengenaan sanksi persamaan pada pokoknya terhadap objek kekayaan intelektual lain mengakibatkan pemilik Merek Terdaftar mengalami kerugian yang besar dengan tidak dapat menjalankan periklanan dan promosi produk secara maksimal. Dalam praktiknya membuat pemilik hak cipta berbentuk logo dapat melakukan penyelewengan penggunannya dengan melakukan peniruan logo dalam bentuk tampilan dengan melakukan pemasaran ciptannya. Maka sebuah logo seharusnya tidak dapat dimiliki oleh pemilik hak cipta dan Merek secara bersamaan, perlu adanya pilihan yang harus ditentukan dengan pertimbangan yang tepat. Jika ingin melakukan untuk komersialisasi Ciptaan gunakanlah perlindungan hak Cipta. Namun gunakanlah perlindungan Merek bila yang ingin dilindungi adalah sebuah produk dari adanya peniruan, penjiplakan dan pemalsuan oleh pihak lain yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat karena merusak repurtasi produk. ......Inappropriate use and registration of Logos are rife in disputes between copyright and trademark users, this is due to a lack of understanding regarding the protection of these two rights. Copyright Protection only applies to the commercialization of Works. Meanwhile, trademark protection aims to protect products in the form of goods or services. The existence of Article 65 in the Copyright Act makes a Logo copyright cannot be registered as a Registered Mark if it has similarities. The arrangement of not obtaining a logo copyright registration that has similarities with a registered mark avoids any trademark infringement in essence with a Registered Mark. The similarity in essence is the similarity in meaning, sound, and appearance to create real consumer confusion. However, in the imposition of an equality violation, in essence, a mark must be used first by another party. The absence of regulations regarding the imposition of equal sanctions in principle against other intellectual property objects results in the owner of the Registered Mark experiencing a large loss by not being able to run product advertising and promotion to the fullest. In practice, creating a copyright owner in the form of a logo can misuse its use by imitating the logo in the form of a display by marketing the creation. So a logo should not be owned by the copyright owner and the Mark simultaneously, there needs to be a choice that must be determined with proper consideration. If you want to commercialize a work, use copyright protection. However, use Mark protection if you want to protect a product from imitation, plagiarism, and falsification by other parties which can lead to unfair business competition because it damages product's reputation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>