Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F Strijbosch
Abstrak :
Pela adalah salah satu hukum adat di Indonesia, tepatnya hukum adat yang ada di Kepulauan Maluku yang berlaku pada orang-orang Maluku. Ada dua peneliti yang telah mengadakan penyelidikan secara mendalam tentang pela ini, yaitu C. Cooley dan D. Bartels. Cooley mengemukakan bahwa pela adalah suatu ikatan yang dilembagakan mengenai persahabatan atau persaudaraan antara semua penduduk pribumi dari dua desa atau lebih, yang dibentuk oleh nenek moyang menurut keadaan tertentu dan membawa kewajiban-kewajiban tertentu untuk semua pihak yang terkait didalamnya. Kewajiban ini penting dalam definisi ini mengenai eksogami desa. Bartel meninjau pola ini dari sisi sosialnya.[...] Aplikasi dari hukum adat pela dalam masalah perkawinan (intermarriage taboo) menimbulkan persoalan di antara para generasi muda Maluku di Negeri Belanda. Hal ini selanjutnya mengakibatkan konflik antara generasi tua dengan generasi muda. Di Negeri Belanda sendiri terdapat pluralisme hukum, ialah hukum yang resmi dan hukum yang kurang resmi yang berlaku diantara berbagai subgolongan yang ada. Salah satu subgolongan yang menerapkan hukum demikian adalah golongan pendatang Maluku di Negeri Belanda yang menerapkan adat pela dalam kelompok masyarakat mereka sendiri.
1989
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Nurhamzah Yusup
Abstrak :
Tulisan ini membahas mengenai dinamika adat, gereja, dan negara dalam kerangka pluralisme legal. Tulisan ini akan membahas dinamika dalam proses perkawinan masyarakat Dayak Punan di Malinau, dan bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan berbagai aturan perkawinan yang harus mereka ikuti agar perkawinan mereka diakui. Tulisan ini mengambil data dari dua desa yakni, masyarakat Punan dari Long Nyau yang mewakili komunitas Dayak Punan Sungai Tubu dan Long Jalan yang mewakili komunitas Dayak Punan Sungai Malinau. Dinamika tersebut akan dijelaskan melalui kombinasi deskripsi perubahan sosio-historis, penuturan etnografi perkawinan di desa Punan, serta wawancara mendalam. Tulisan ini menunjukkan bahwa dinamika ketiga lembaga tersebut terjebak dalam tarik-menarik satu sama lain dalam upaya untuk menyebarkan pengaruhnya di kalangan masyarakat Punan hal ini telah menciptakan permasalahan di kemudian harinya. Oleh karena itu, saya berpendapat perlunya kemudahan pencatatan sipil dalam perkawinan untuk meredam dampak pluralitas dalam perkawinan. ......This paper discusses the dynamic of adat, church, and state in a legal pluralism framework. The paper will discuss these dynamics inside the marriage process of the Dayak Punans in Malinau, and how they conform to differing rules of marriage that they need to follow in order to have their marriage recognized. The paper takes data mainly from two villages, Long Nyau representing the Tubu river and Long Jalan representing the Malinau River of Punans. The dynamics will be explained through the combination of, descriptive socio-historical changes, ethnographic recounts of marriages in the Punan villages,as well as an in-depth interview. The paper shows that the dynamics of the three institutions are stuck in a tug of war with each other trying to exert their influence over another amongst the Punans and have created problems down the line. Thus I argued for an ease of civil registry for marriage to dampen the impact of plurality in marriage.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lamech A.P., compiler
Abstrak :
ABSTRAK Kemajemukan hukum atau pluralisme hukum merupakan salab satu tema penting dalam nuansa kajian antropologi hukum (Rouland, 1992:2-4). Pluralisme hukum seperti dijelaskan oleh Hooker (1975:2-4) berkembang antara lain melalui pemerintahan kolonial dan berdirinya negara-negara baru. Di Indonesia misalnya, proses terjadinya pluralisme hukum berawal dari penerapan hukum oleh penjajah terutama pada masa kolonial Belanda ketika penduduk Indonesia (jajahan) digolongkan menjadi tiga golongan dimana masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan golongan Bumiputera (lihat: Arief, 1986:10-14; Ter Haar, 1980:21-25). Semenjak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, sistem hukum nasional diwarnai oleh koeksistensi hukum formal dari negara dan hukum adat dari kelompok-kelompok etnis di Indonesia. Dalam hal ini, corak pluralisme hukum di Indoensia diwarnai oleh hukum formal yang sebagian merupakan peninggalan hukum kolonial dan produk hukum baru pemerintah Indonesia di satu pihak dan di lain pihak adalah hukum adat dari masing-masing kelompok etnis yang diakui keberadaannya oleh negara. Eksistensi dan penerapan hukum yang berbeda-beda dalam kenyataan hidup bermasyarakat menimbulkan pandangan yang berbeda mengenai hukum mana yang menjadi pilihan utama untuk diterapkan. Salah satu aliran pendapat menyatakan bahwa bagaimanapun juga, dalam situasi pluralisme hukum, pada akhirnya yang menentukan adalah hukum dari negara. Pendapat yang dikenal dengan sebutan legal centralism ini ditentang oleh Griffiths (1986:4) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya hukum negara itu tidak sepenuhnya berlaku. Dalam masyarakat dapat dikenai lebih dari satu tatanan hukum. Di Indonesia kritik dari Griffiths ini didukung oleh kenyataan bahwa terdapat kasus-kasus dimana hukum nasional belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Alfian (1981:148), misalnya, menunjukkan peranan yang kurang berarti dari hukum nasional dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakat Aceh. Tingkah laku mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma atau nilai-nilai agama dan adat daripada peraturan-peraturan hukum yang seyogyanya harus berlaku. Pada sisi lainnya, terutama dalam kaitannya dengan proses penyelesaian sengketa, terdapat juga situasi dimana lembaga hukum formal untuk menyelesaikan konflik atau sengketa tidak mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan yang jauh terpencil. Contoh dari situasi seperti ini dijumpai pada orang Tabbeyan, sebuah desa di Kabupaten Jayapura (Irian Jaya), dimana terjadi konflik baik antar warga masyarakat itu sendiri maupun antara warga desa itu dengan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang konsesi hutan di daerah tersebut, namun tidak mudah memperoleh akses untuk menggunakan lembaga peradilan formal untuk menyelesaikannya (Tjitradjaja, 1993). Keberadaan yang sesungguhnya dari sistem-sistem hukum dalam situasi pluralisme hukum dapat dilihat dalam pola pilihan yang dibuat terhadap sistem-sistem hukum tersebut dan hagaimana sistem-sistem hukum yang berbeda itu secara efektif dapat dipakai untuk menyelesaikan setiap masalah hukum yang timbul dalam masyarakat yang bersangkutan, terutama dalam penyelesaian sengketa yang timbul (Hooker, 1975). Secara teoritis semua sistem hukum mendapat peluang yang sama untuk dipilih sebagai sistem yang diandalkan dalam menghadapi setiap peristiwa hukum. Namun demikian pada kenyataannya pilihan-pilihan hukum mana yang dipakai bergantung pada strategi pembangunan hukum negara yang bersangkutan dan situasi-situasi nyata yang mengarahkan pilihan atas suatu sistem hukum. Dalam kaitan inilah proses penyelesaian sengketa pada suatu situasi pluralisme hukum dapat dipakai sehagai suatu pendekatan dalam menganalisa keberadaan dan keefektifan dari sistem hukum yang ada dalam memecahkan permasalahan hukum yang dihadapi oleh warga masyarakat.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rabin Yunus
Abstrak :
Abstract. This paper aims to analyze the importance of legitimacy aspect for a government, related to the existence of indigenous people, in the context of local election as the manifestation of democracy. Generally, legitimacy is interpreted in a normative understanding, particularly in its relation to the legal fulfillment of formal requirements that produces a legitimate government. Legitimacy is required to ensure that a government has justifications to implement all of its functions. Moreover, legitimacy is also necessary to ensure the compliance and support of people. Nevertheless, in terms of indigenous peoples, though formal legitimacy is indeed important, it is not the only legitimacy required by the local government. The legitimacy shall also be related to local values upheld by people. Based on the research conducted on the Toraja ethnic group in Tana Toraja, in the perspective of legal pluralism, there are two crucial intersecting governing norms. This study shows the importance of adat values to obtain legitimacy, in the context democratization in Indonesia, and the existence of adat in the implementation of local autonomy. By using several different principles as the bases, the existence of adat and formal law in the implementation of local election show that there is a collaboration effort to make the process of democracy and adat go along well, conferring a legitimacy for the local government despite the uniqueness of the Toraja people.

Abstrak. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pentingnya aspek legitimasi bagi pemerintah terkait dengan keberadaan masyarakat adat dalam konteks pemilihan kepala daerah sebagai perwujudan demokrasi. Pada umumnya legitimasi ditafsirkan dalam pemahaman yang bersifat normatif terutama dalam kaitannya dengan upaya pemenuhan persyaratan formal berdasarkan hukum dalam menghasilkan suatu pemerintahan yang dianggap sah. Legitimasi dibutuhkan guna memastikan suatu pemerintahan memiliki justifikasi dalam melaksanakan semua fungsinya. Selain itu, legitimasi diperlukan juga untuk memastikan kepatuhan dan dukungan dari masyarakat. Namun terkait dengan keberadaan masyarakat adat, legitimasi formal memang penting namun bukanlah satu-satunya legitimasi yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Legitimasi juga akan terkait dengan nilai-nilai lokal yang diyakini dalam masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada komunitas etnis Toraja di wilayah Tana Toraja, dalam perspektif “legal pluralism”, terdapat dua norma penting yang mengatur yang saling bersinggungan. Tulisan ini menunjukkan pentingnya nilai-nilai “adat” dalam upaya menghasilkan legitimasi dalam konteks demokratisasi Indonesia serta eksistensi keberadaan adat dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan beberapa prinsip dasar yang berbeda namun tetap di jadikan landasan, maka keberadaan “adat” dan hukum formal dalam pelaksanaan pilkada, menunjukkan adanya upaya kolaborasi agara proses demokrasi dan “adat” tetap dapat berjalan bersama dalam yang memungkinkan adanya legitimasibagi keberadaan pemerintah daerah dalam konteks keunikan masyarakat Toraja.
2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lukas Rumboko Wibowo
Abstrak :
This paper investigates how the potential of the newly enacted village forest policy to improve the welfare of local people and examines how different actors at local level perceive a legal framework suitable for improving the welfare of local people and enhancing local development. We conducted research through in-dept interviews involiving 75 respondents from different actors, such as policy makers, politician, village chief, customary chief and villagers. The research establish that forest policy on village forestry was a good option for local people to improve their welfare; however, litle understanding of the substance of the newly village forest policy of local development actors due to limited public consultation undertaken at district and village level would become a real challenges for executing the policy. The work of the policy is also depend on the extent to which the central goverment is capable of undertanding local context where multiple legal system operates.
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Rema Mubarak
Abstrak :
Pembahasan akan pluralisme hukum di Indonesia tidak akan terlepas dari diskursus mengenai Hukum Antar Tata Hukum Intern (HATAH). Dalam era Indonesia modern, salah satu kasus yang berkaitan dengan HATAH ialah pembahasan mengenai Instruski Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. K.898/I/A/1975. Setidaknya ada pembahasan yang berkaitan dengan HATAH. Satu, bercampurnya hukum adat dan hukum negara dalam kapasitas seorang Sultan Hamengkubuwono yang merangkap sebagai Gubernur Provisni Daerah Istimewa Yogyakarta dan pemimpinKasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dua, substansi dari instruksi tersebut yang menggunakan istilah Warganegara Indonesia Pribumi dan Non-Pribumi, sebuah pembedaan yang erat kaitannya dengan penggolongan penduduk era kolonial. Tulisan ini akan membahas permasalahan pertama yang berujung pada pengkualifikasian apakah instruksi tersebut merupakan sebuah hukum dalam sistem hukum nasional maupun adat. Kemudian, penulis juga menelusuri kaitan dari pendikotomian tersebut dengan konsep penggolongan penduduk zaman Hindia Belanda. Dalam menganalisis permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian normatif dengan studi kepustakaan dalam pencarian data yang hasilnya ditampilkan secara deskriptif. Tulisan ini berkesimpulan bahwa instruksi tersebut tidak dapat dianggap sebagai sebuah hukum dalam sistem hukum nasional namun ia merupakan bagian dari hukum adat. Selain itu, penggunaan istilah Warganegara Indonesia Pribumi dan Non-Pribumi memiliki kaitan yang erat dengan sejarah penggolongan penduduk masa Hindia Belanda. ......The discussion of legal pluralism in Indonesia is inseparable from Internal Conflict of Law (HATAH) studies. In modern Indonesia, one of the cases related to HATAH is the discussion on Vice Governor of the Special Region of Yogyakarta Instruction No. K.898/I/A/1975. There are two aspects that correlate with HATAH. First, the Sultan Hamengkubuwono's capacity which embodies national legal system and adat law as the leader of both Yogyakarta Province and Yogyakarta Sultanate. Second, the use of Native and Non-Native Indonesian terms within the Instruction, a distinction related with population group system of the colonial. This thesis will qualify whether the instruction can be constituted as law from national and/or adat legal system perspectives, alongside with elaboration on correlation of such dichotomy with population group system. In analyzing these problems, the author used normative research methods with literature studies for data gathering technique which then presented descriptively. This thesis finds the instruction cannot be considered as a law within national legal system but a law in Yogyakarta Sultanate's adat law. In addition, this paper also reaches the conclusion that the use of the terms Natives and Non-Natives Indonesian is related to the history of population grouping during the Dutch East Indies.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Ikhsan
Abstrak :
This article aims to unravel a shift of control / ownership of communal land of the Malays of Deli in North Sumatra. The commonly well-known communal lands, before the arrival of the Dutch colonial, was still inherent with the authorities of villages and was evolutionarily taken over by the foreign planters through concessionary contracts, which were dully signed by the Sultanate of Deli and the said foreign planters. The Indonesian independence in 1945 and the period that went beyond had in fact not contributed any improvement of the situation and instead it had exacerbated social and legal relations between the Malays of Deli and their ancestral lands. The said successful state laws had been so successful to keep these local natives away from their most important resource of life, namely their very lands. “Deulayatisasi” through state laws that was heavily oriented to the interests of capitalization to have seemingly been so successful to curtail the long journey of communal land rights in this country that seemed to have been pioneered by Van Vollenhoven during the early period of 20th century. The customary land law, in Indonesia, will someday become a kind of a beautiful story in the course of historiographical laws of Indonesia.

Artikel ini bertujuan untuk mengungkap tentang peralihan kepemilikan tanah adat Melayu Deli di Sumatera Barat. Sebelum kedatangan colonial Belanda, tanah adat melekat dengan aparat desa dan secara perlahan diambil alih oleh pekebun asing melalui perjanjian konsesi yang ditandatangani antara Kesultanan Deli dengan pekebun asing. Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 dan masa setelahnya tidak berdampak pada perbaikan keadaan, dan sebaliknya memperburuk hubungan social dan hukum antara Melayu Deli dan tanah leluhur mereka. Undang-undang nasional berhasil menjaga masyarakat adat jauh dari sumber daya hidup yang paling penting, yaitu tanah.“Deulayatisasi” melalui Undang-undang nasional berorientasi berat pada kepentingan kapitalisasi tampaknya begitu berhasil untuk membatasi perjalanan panjang dari hak ulayat di Negara ini yang dipelopori oleh Van Vollenhoven pada awal abad ke-20. Hukum tanah adat di Indonesia pada suatu hari akan menjadi semacam cerita indah dalam perjalanan hukum historiografis Indonesia.
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Rizky Bayuputra
Abstrak :

Pluralisme hukum di Indonesia, di mana hukum perdata Barat, Islam, dan Adat berlaku secara bersamaan, tidak dapat dipisahkan dari pembahasan dan perkembangan Hukum Antar Tata Hukum Intern (HATAH Intern), suatu cabang ilmu hukum yang terkadang dicap sebagai hukum yang kuno karena asal-usul kolonialnya. Perkembangan HATAH Intern dapat kita lihat dalam kasus Sultan Banten, di mana majelis hakim pada ketiga tingkat peradilan agama mempertanyakan apakah hukum Islam atau hukum Adat yang berlaku terhadap suatu klaim historis atas tahta Kesultanan Banten. Dengan mengkonsiderasi berbagai faktor, termasuk sosial, kultural, politik, dan sejarah untuk menentukan hukum yang berlaku, pertimbangan-pertimbangan ketiga majelis hakim dalam Sultan Banten menunjukkan bahwa HATAH Intern masih relevan. Tulisan ini akan menganalisis Sultan Banten dari beberapa aspek, mengeksplorasi klaim pewarisan tahta berdasarkan hukum adat, pluralisme yurisdiksi, pluralisme hukum, beserta pengaturan-pengaturan tidak tertulis yang terdapat dalam HATAH Intern mengenai pewarisan. Selain menggunakan sumber hukum konvensional seperti peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan literatur hukum, tulisan ini juga membahas beberapa karya studi sejarah dan antropologi yang relevan agar mencapai pendekatan yang lebih holistik dalam menganalisis Sultan Banten.


Legal pluralism in Indonesia, where European, Islamic, and Adat private law stand side-by-side as three distinct systems of private law, has set continual discussion and development of Indonesian internal conflict of laws, a field of law thought by some to be defunct due to its colonial roots. The continous development of internal conflict of laws could be witnessed in Sultan Banten, where judges at all three levels of the religious courts throw their heads back and forth to answer the question of whether Islamic or Adat law applies over a man’s historic claim over the throne of the Sultanate of Banten. Having considered a plethora of factors including social, cultural, political, and historical to determine which law is applied, the considerations brought by the judges in Sultan Banten shows that Indonesian internal conflict of laws is alive and well. This work will analyse Sultan Banten through several aspects, exploring the claimant’s historic claims based on an adat rule of succession, Indonesian jurisdictional pluralism, legal pluralism, as well as the many rules ascribed by the Indonesian conflict of laws, specifically those pertaining to inheritance and the doctrine of characterisation. Aside from conventional sources of law such as statutes, treatises, and case law, this work will also take into account historical and anthropological studies relevant to the substance of the case in order to achieve a more holistic approach in analysing Sultan Banten.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library