Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benri Sjach
Abstrak :
Perikanan merupakan substansi yang panting dalam sistem pereknoamian rakyat Indonesia, ikan merupakan sumber protein hewani yang penting di negeri kita, dan perikanan merupakan upaya hidup sebagian rakyat. Perikanan merupakan penyumbang yang panting bagi GNP (Gross National Product) di Indonesia dipandang dari segi tenaga kerja, dari segi pendapatan, dan dari segi substitusi impor. Nilai ikan yang ditangkap mencapai 2,5-5,0 parsen dari GNP, keadaan yang sebaliknya dengan beberapa negara maju di mana sumbangan perikanan terhadap GNP hanya kurang dari 1 persen (Marr,1981). Larangan mempergunakan sakan yang dikeluarknn sebagai Salah satu usaha mempertahankan keberadaan perikanan danau yang berhesinambungan, dengan pengawasan sekadarnya tidak diperhatikan secara bersungguh-sungguh oleh nelayan. Penangkapan ikan dengan menggunakan sakan, jaring dan jala yang mudah mengalami modifikasi tetap berjalan sampai sekarang. Berdasarkan semua keterangan di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui atau mendapatkan informasi mengenai : 1. Faktor-faktor yang menyebabkan sebagian nelayan memutuskan untuk bertahan menjadi nelayan tetap danau Kerinci. 2. Tindakan apa yang diambil nelayan untuk mengatasi masalah menurunnya hasil perikanan. 3. Pola perikanan yang dipraktekkan nelayan Kerinci, khususnya untuk mengatasi masalah nyata yang mereka hadapi yang terjadi pada lingkungannya. 4. Dan apakah pengaruh tindakan mereka terhadap lingkungan. Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara terencana dan dengan menggunakan kuesioner yang sudah dicobakan sebelumnya di lokasi penelitian. Wawancara dimaksudkan untuk menggali data secara lebih mendalam, sedangkan kuesioner dimaksudkan sebagai alat untuk mengumpulkan data yang bersifat agak umum.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tria Putri Amalia
Abstrak :
Desa Tanjung Binga merupakan Desa Nelayan yang mayoritas dihuni oleh masyarakat pendatang yaitu masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan. Pada awalnya desa ini dihuni oleh masyarakat Melayu Belitung. Namun seiring dengan waktu, masyarakat bugis yang menghuni desa ini semakin bertambah hingga Desa ini lebih dikenal dengan kampung bugis. Desa Tanjung Binga merupakan salah satu tempat tujuan wisatawan berkunjung. Hal ini disebabkan Desa Tanjung Binga memiliki struktur para-para yang membentang sepanjang pantai desa ini yang dinilai unik oleh para pengunjung dan menjadi landmark dari desa ini. Selain itu Desa Tanjung Binga ini tidak terlepas dari citra kota yang tertib dan rapih dari segi penataan pemukiman mereka. Seiring dengan berkembangnya aktivitas manusia tentu akan memberikan pengaruh atas berubahnya fisik lingkungan dimana manusia tersebut tinggal di dalamnya, begitu pula dengan Desa Tanjung Binga. Aktivitas merupakan salah satu alasan dari perubaha. ...... Tanjung Binga is a fisherman village which is mainly inhabited by migrant community, Buginese from West Sulawesi. At the beginning, this village inhabited by Malayan Belitung community. Over time, Buginese community grew larger that the village known as a Buginese village. Tanjung Binga village is one of many tourist destination to visit. The cause is Tanjung Bingan village has the rack structure that bent along the beach of the village, considered unique by visitors that it became the village's landmark. Also, Tanjung Binga village is inseparable from orderly and neat image, in terms of settlement arrangement. Along with the development of human activity, there will be certain impact on the physical changes in which human community dwells in it, also found in Tanjung Binga village. Activity is one of many reasons for changes that occur on settlement. Settlement meant to change so that it fulfill the needs of people who live in it.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63178
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
The writing morefocus on the live experiences of traditional fishermen of Bajo in Tanjung Pasir,Rote Island ,Nusa Tenggara Timur......
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Geseng Putrajaya
Abstrak :
Hasil penelitian penulis dan study beberapa literatur yang menjadi pedoman untuk mengungkap modal sosial dengan berbagai sudut pandang dan beberapa aspek yang melatar-belakanginya serta manfaat bahkan sisi negatif modal sosial, kemudian dikaitkan dengan kebijakan publik serta dampaknya terhadap pembangunan, merupakan pokokpokok buah fikiran yang secara detail penulis ungkapkan dalam tesis ini. Walaupun disanasini masih banyak terdapat belum paripurnanya buah fikiran, khususnya mengenai teknik mengukur modal sosial, sejatinya hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan ilmuwan/peneliti/akademisi dan perguruan tinggi untuk melakukan kajian lebih mendalam serta melakukan keberanian penetrasi hingga ditemukannya suatu cara bagaimana teknik mengukur modal sosial yang tepat, efisien dan efektif serta disepakati bersama guna kepentingan ilmu pengetahuan dimasa yang akan datang. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, pendekatan kuantitatif yang dilakukan adalah dengan melakukan sampling questioner dan wawancara terstruktur secara tertulis kepada warga masyarakat, kemudian dilakukan input data dengan menggunakan program stata8, yang hasilnya dalam bentuk tabel atau diagram kemudian dilakukan analisis. Pendekatan kualitatif yang dilakukan yakni menekankan pada observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara non-statistik. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah: Observasi, Indepth Interview, FGD, dan PRA. Penulisan karya ilmiah ini setidaknya memberikan deskripsi logis dan faktual tentang persoalan yang terjadi di masyarakat nelayan pulau lancang Kelurahan Pulau Pari Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan Provinsi DKI Jakarta, semoga.
Results of research and study some of the literature author a guide to uncover the social capital with various viewpoints and some aspects of the Linked his back and benefit even the negative side of social capital, then related to public policy and its impact on development, is the fruit of mind of the main points that in detail the authors expressed in this thesis. Although here and there are still lots of fruit paripurnanya not mind, especially on techniques to measure social capital, in truth it was a challenge for scientists / researchers / academics and universities to conduct more in-depth studies and to the courage of penetration until the discovery of a technique to measure how social capital proper, efficient and effective and mutually agreed to the interests of science in the future. Writing of this manuscript, using quantitative and qualitative research methods, quantitative approach is to do with sampling questionnaire and structured interview in writing to community members, and then conducted using the data input stata8 program, which results in the form of tables or diagrams as analysis. Conducted a qualitative approach that focuses on field observation and data was analyzed by non-statistical way. Data collection techniques are: observation, indepth interviews, FGD (Focus Group Discussion) and PRA (Participatory Rapid Appraisal). Writing of this manuscript, at least provides a logical and factual description of the problems that occurred in the fishing communities of the lancang island, Pari Island Village Thousand Islands District South Jakarta Province, hopefully.
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T27950
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Amallia Hidayat
Abstrak :
ABSTRACT
Penelitian ini membahas mengenai implementasi serta hambatan dalam pelaksanaan program Bantuan Premi Asuransi bagi nelayan BPAN di Desa Kedungrejo Banyuwangi Jawa Timur. Program BPAN merupakan program yang dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI untuk nelayan kecil sebagai upaya memberikan perlindungan kepada nelayan. Sedangkan pelaksana dari Program BPAN Dinas Perikanan dan Pangan Disperinpangan Banyuwangi dan PT. Jasindo. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Melalui penentuan informan secara purposif, informan penelitian ini berjumlah sepuluh orang. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan implementasi program terdapat berbagai upaya yang dilakukan oleh Disperinpangan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada nelayan untuk mendapatkan perlindungan berupa asuransi. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hambatan yang berasal dari faktor internal dan juga faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari Disperinpangan sebagai penyelenggara program. Selain itu juga terdapat beberapa faktor dari eksternal yaitu berasal dari nelayan sebagai target sasaran program. Penelitian ini menyarankan agar pemerintah dapat melakukan sosialisasi secara maksimal dengan melibatkan berbagai pihak eksternal, seperti masyarakat sebagai relawan untuk membantu Dinas dalam melakukan sosialisasi.
ABSTRACT
This thesis discusses the implementation and obstacles in the implementation of Insurance Premium Insurance program for fishermen BPAN in Kedungrejo Village Banyuwangi East Java. BPAN Program is a program created by the Kementerian Kelautan dan Perikanan RI for small fishermen as an effort to provide protection to fishermen. While the implementers of the BPAN Program is the Dinas Perikanan dan Pangan Banyuwangi Disperinpangan and PT. Jasindo. This research uses qualitative approach. By purposive determination of informant, the informant of this research amounted to ten people. The results concluded that in the implementation of the program, there are various efforts undertaken by Disperinpangan which aims to provide opportunities for fishermen to get protection in the form of insurance. However, in the implementation there are some obstacles that come from internal factors as well as external factors. Internal factor is a factor originating from Disperinese as program organizer. In addition there are also some external factors that come from the fishermen as the target of the program. This research suggests that the government can do socialization maximally by involving various external parties, such as community as volunteers to assist the Office in conducting socialization.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rizky Muhartono
Abstrak :
Tesis ini membahas dominasi pemilik modal dan adaptasi nelayan pada komunitas nelayan Rampus di Jakarta. Bagaimana ikatan (jaringan) antara nelayan dan pemilik modal terbentuk, bentuk dominasi yang dilakukan dan adaptasi yang dilakukan nelayan. Studi ini adalah penelitian kualitatif dan menggunakan teori jaringan Granovetter (2005). Hutang dijadikan fokus bahasan terpenting dalam jaringan. Kuat lemahnya hutang dapat mempengaruhi kualitas hubungan antara nelayan dan pemilik modal. Jaringan yang tersusun atas hutang akan menyebabkan ketergantungan tindakan ekonomi. ......This thesis discusses the dominance of the capital owners and the adaptation of fishermen on Rampus fishing communities in Jakarta. How the networking between fishermen and capital owners are formed, the forms of capital owners domination and adaptations made by fishermen. This study are qualitative and used network theory of Granovetter (2005). The study will be more focused of the debt as an important part in the network. Strength of debt may affect the quality of the relationship between fishermen and capital owners. Network composed of debt will caused to economic dependency action.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T29559
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ramly Nurhapy
Abstrak :
Perikanan laut yang diusahakan oleh nelayan kecil adalah kenyataan yang sudah berlangsung dari waktu ke waktu sampai saat ini. Kelompok nelayan kecil ini menggunakan alat produksi berukuran kecil yang didasarkan pada ukuran motor yang digunakan yakni 10 PK. Ukuran motor ini akan disesuaikan dengan ukuran perahu dan jenis alat tangkap yang digunakan. Besarnya ukuran motor yang digunakan menunjukkan kemampuan produksi. Di wilayah Muara Angke Jakarta Utara terdapat 211 orang nelayan yang dikategorikan sebagai nelayan kecil. Mereka melakukan penangkapan ikan di Teluk Jakarta. Kapasitas alat produksi yang dimiliki oleh nelayan kecil terkait dengan jurnlah ikan yang dapat dihasilkan. Kegiatan perikanan laut memiliki ciri khusus yang penuh ketidakpastian oleh karena ikan tangkapan yang selalu bergerak. Penguasaan teknologi penginderaan dan penangkapan merupakan faktor utama dalam usaha ini. Untuk mengoperasikan alat produksi dengan teknologi canggih diperlukan modal usaha yang besar. Faktor modal ini merupakan hambatan utama bagi peningkatan kemampuan produksi nelayan kecil. Keterbatasan modal untuk memperbaiki alat produksi menyebabkan sulitnya peningkatan pendapatan nelayan kecil. Dari sudut pandang ketahanan nasional, kegiatan perikanan skala kecil ternyata marnpu memberikan kontribusi positif, antara lain dapat memberikan penghasilan bagi nelayan dan keluarganya, rnembuka lapangan kerja khususnya untuk angkatan kerja tidak terampil. Dari penelitian terhadap 58 responden nelayan kecil dan keluarganya di Muara Angke Jakarta Utara, diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat pendapatan per-kapita per-bulan masyarakat nelayan Rp. 233.480,30- Rp. 265.682,90. Tingkat pendapatan ini hanya dari kegiatan perikanan a tau belum termasuk pendapatan dari kegiatan di luar perikanan. Gambaran tingkat pendapatan ini sesungguhnya sangat bervariasi. Kendati tingkat pendapatan per-kapita per-bulan masyarakat nelayan di Muara Angke Jakarta Utara relatif cukup tinggi, akan tetapi secara faktual angka pendapatan ini tidak berlaku bagi kelompok nelayan yang tidak memiliki alat produksi sendiri (nelayan penyewa atau nelayan pekerja). Pendapatan kelompok nelayan penyewa masih harus dikurangi biaya sewa perahu- rnotor, dan pendapatan nelayan pekerja masih harus dikurangi separuh bag ian untuk juragan pemilik perahu-motor. Dengan rnenggunakan indikator kesejahteraan keluarga dari BKKBN Pusat, terlihat bahwa keluarga nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara tidak ada lagi yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera. Ada indi.kasi kuat yang menunjukkan bahwa kegagalan keluarga nelayan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraannya terkait dengan faktor ekonomi. Peningkatan dari keluarga sejahtera tahap I menjadi keluarga sejahtera tahap II memerlukan prasyarat seperti menu sehat, membeli pakaian, menyekolahkan anak-anak yang tentu saja memerlukan biaya yang semakin besar. Pada keluarga sejahtera tahap ill plus misalnya, keluarga harus mampu memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Hal ini mengandaikan bahwa untuk mampu mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi, maka diperlukan tingkat pendapatan yang semakin tinggi pula. Dengan alasan ini upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara dapat dilakukan dengan mendorong peningkatan pendapatan atau penghasilan nelayan. Masalah kesejahteraan nelayan terkait pula dengan jumlah keluarga yang harus ditanggung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah tanggungan keluarga, maka semakin besar peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Disisi lain ada sebagian nelayan yang tidak mau menabung. Penggunaan istilah tidak mau menabung ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebenarnya nelayan yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menabung, akan tetapi terjadi penggunaan uang yang tidak tepat sasaran. Beberapa nelayan melakukan kebiasaan negatif Gudi, nunum minuman keras, praktek a-susila). Kebiasaan negatif ini menunjukkan bahwa ketahanan pribadi sebagian nelayan ini lemah. Peningkatan ketahanan pribadi nelayan akan mendorong peningkatan ketahanan keluarga. Hal ini terbukti dari adanya kelompok besar nelayan yang mampu memenuhi kebutuhan fisik (pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan). Sebagian besar keluarga mampu memiliki fasilitas yang cukup baik seperti video, televisi, tape recorder atau radio. Bahkan terdapat juga nelayan yang mampu menyekolahkan anak-analcnya sampai ke tingkat perguruan tinggi. Upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan terhalang oleh sulitnya memperoleh modal untuk mengaplikasikan teknologi maju. Hal ini sangat terkait dengan sifat usaha perikanan laut yang penuh resiko. Ketidakpastian dan resiko ini menjadi alasan lembaga keuangan untuk tidak memberikan kredit pacta usaha perikanan kecil ini. Nelayan kecil yang beroperasi dengan alat produksi sederhana pacta saat ini memang masih mampu memperoleh keuntungan, akan tetapi pada waktu mendatang alat produksi sederhana ini akan tersingkir dengan beroperasinya alat produksi yang lebih modern. Pada akhirnya relatif sulit untuk meningkatkan produksi dan pendapatan nelayan kecil jika tetap mempertahankan pola dan alat produksi yang dirniliki seperti saat ini. Masalahnya kemudian adalah bagaimana nelayan kecil mampu untuk memodernisasi alat produksi karena terbentur dengan pen_yediaan modal. Salah satu model yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan suatu mekanisme kerja sama antar nelayan kecil untuk mengumpulkan modal bersama (capital sharing). Sistem ini memungkinkan terjadinya kerja sama di antara nelayan dalam pengadaan modal, juga memungkinkan terjadinya ('pemerataan resiko ". Kerugian yang setiap saat dapat terjadi seperti kerusakan perahu atau hilangnya alat tangkap akan dapat ditanggung bersama-sama. Sistem ini memungkinkan kelompok nelayan dapat menikmati keuntungan ataupun kerugian secara bersama-sama. Pacta masyarakat nelayan yang mengembangkan pola pemilikan individu, sistem bagi hasil kenyataannya dapat mendorong terjadinya akumulasi modal hanya pada sekelompok kecil tertentu. Sebaliknya masyarakat nelayan yang mengembangkan pemilikan kolektif, memungkinkan lebih besar terjadinya pemerataan pendapatan. Akan tetapi penelitian di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan nelayan untuk beroperasi secara individu. Hal ini diakibatkan oleh karena keuntungan yang diperoleh secara individu memang relatif kecil, tetapi pasti. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa sifat koperatif cenderung tidak nyata lagi bahkan dalam perekonomian skala kecil. Sifat individualisme ini sadar atau tidak telah tersosialisasi bahkan telah terinternalisasi pada kelompok nelayan kecil ini. Penelitian ini menu~ukkan bahwa responden umurrmya hanya memiliki satu perahu ukuran kecil dan melakukan kegiatan penangkapan sendiri-sendiri. Sistem produksi individualistik ini cenderung masih kuat dalam kegiatan nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara. Kemampuan melakukan usaha kecil secara mandiri dan menanggung resiko sendiri muncul oleh karena sampai saat ini sistem sedemikian masih cukup menguntungkan. Akan tetapi di masa yang akan datang diperkirakan bahwa usaha nelayan kecil tidak lagi menguntungkan. Hal ini terjadi oleh karena cadangan ikan di pantai Utara Jawa akan semakin berkurang akibat penangkapan yang terns menerus dan kerusakan eksosistem laut oleh karena polusi. Hal ini berarti bahwa nelayan kecil tidak mungkin lagi mempertahankan penangkapan pada perairan dangkal, tetapi hams meluas ke perairan dalam. Agar mampu beroperasi di perairan dalam, tentu saja diperlukan sarana produksi yang lebih modern, seperti perahu berukUran besar dan alat tangkap yang lebih modern. Untuk rnengantisipasi pengembangan di rnasa rnendatang, sejak dini nelayannelayan kecil ini harus mulai mempertimbangkan untuk meningkatkan faktor produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai mengorganisasikan pemupukan modal berupa tabungan. Nelayan-nelayan kecil ini harus mulai menggalang kerja sama di antara mereka dalam bentuk kelompok nelayan. Apabila modal mereka sudah cukup, maka mereka dapat meningkatkan kapasitas sarana produksi mereka, dan dapat meningkatkan hasil tangkapan dengan wilayah tangkapan yang lebih luas lagi. Sementara nelayan kecil belum mampu memodernisasi alat produksinya, pemerintah perlu menjamin pengawasan daerah penangkapan dan penggunaan alat tangkap di wilayah penangkapan nelayan kecil, seperti tertuang pada Keppres 39/1980 tentang larangan penggunaan trawl di wilayah perairan Jawa. Peraturan ini perlu untuk mencegah konflik terbuka antara nelayan kecil aengan kapal-kapal penangkap ikan berukuran besar. Larangan ini merupakan upaya perlindungan bagi kesejahteraan nelayan. Apabila tidak ada proteksi terhadap wilayah penangkapan nelayan kecil, maka dapat dipastikan nelayan kecil ini akan tersingkir. Dari perspektif ketahanan nasional, kelangsungan hidup dan kesejahteraan nelayan kecil perlu dijaga karena rnerupakan bagian integral dari kehidupan nasional.
The sea fishery undertaken by small fishermen is a fact which has take place from time to time until now. These small fishermen groups use small size production tools which based on the size of their motor boat used which is - 10 HP. The size of the motor will be adjusted with the size of boat and types of catching devices used. The size of motorboat used will indicate their production ability. In Muara Angke area of North Jakarta there are 211 fishermen which are categorized as small fishermen. They catch fish in the Gulf of Jakarta. The capacity of their production tools related to the amount of fish that can be caught. Sea fishery activities have special characteristics that is full of uncertainty because of the moving fish to be caught. Knowledge of sensing and catching technology is a major factor in this undertaking. Lack of capital is a major hindrance for increasing small fishermen production. The lack of capital to improve their production tool caused the difficulty in increasing the income of the small fishermen. In the national resilience perspective, it turns out that the small scale fishermen undertaking is able to provide a positive contribution, among others it can provide income to the fishermen and their families. It opens work employment especially for unskilled labor force. From the research on 58 respondents of small fishermen and their family in Muara Angke, North of Jakarta, the monthly income level of the fishermen community is Rp 233.480,30 to Rp 265.682,90. The income level is only from fishery activities or excluded income from activities beside the fishery. This income level is actually highly varied. Even though the monthly per capita income of the fishermen in Muara Angke of Nortl;l of Jakarta is relatively high, however, factually this income level is not valid for fishermen group that have not their own production tools (fishermen that hire their production tools or workers in fishery). The income of the fishermen that hire their production tools must be deducted with lease of motorboat, and incm;ne of workers in fishery must be deducted by one half part for owner of the motorboat. By using the family welfare of Central BKKBN, it is seen that the small fishermen family in Muara Angke of North Jakarta is no longer belong to the prewelfare family category. There is strong indication which indicates that the failure of the fishermen family to increase welfare is related to economic factor. The increase from stage I to stage II welfare family need requirements such as healthy menu, clothes, ability to send their children to school which certainly need ever increasing expense. In stage III welfare family plus for example, the family should be able to provide material contribution for social activities. This assuming that to achieve higher welfare stage, an increasing welfare need an increasing income. Therefore, efforts to increase the welfare of small fishermen in Muara Angke of North Jakarta can be done by increasing the income or revenue of the fishermen. The fishermen welfare problems are also related to the number of their dependent. The results of research indicates that the smaller the number of their dependent, the higher the opportunity to increase their welfare. On the other hand, some of fishermen do not want to save. The use of expression "do not want to save" is due to the fact that actually the fishermen have the ability to save, however, the use of money is not effective. Some fishermen have negative habits (gambling, drinking, immoral acts). These negative acts indicate that the personal resilience of some of the fishermen is weak. The increase of the personal resilience of the fishermen will increase the family resilience. This is evidenced with the existence of large fishermen group that afford to meet physical needs (food, cloth, housing, education and health). Most of the family can afford to have fairly good electronic goods such as video, television, tape recorder or radio. Even there are several fishermen that are able to send their children to higher education. Efforts to increase the income and welfare of the fishermen community are constrained by the difficulty in obtaining capital to apply more advanced technology. This is highly related to nature of the sea fishery that is full of risk. These uncertainty and risk become the major reason why financial institutions do not extend credit to the small fishery business. The small fishermen that operate with simple production tools currently still earn profit, however, in the future the simple production tools will be ousted with the operation of more sophisticated production tool. Finally, it is relatively difficult to increase the production and income of small fishermen if the existing production tools and ways are still remained. The problem is how the small fishermen are able to modernize the production tools because of the unavailable capital. One of the model that can be considered is development of work mechanism between small fishermen to accumulate collective capital (capital sharing). This system will enable the cooperation between the fishermen in accumulating capital, beside it also will "distribute risk". The loss thannay occur at any time can be collectively shared. This system will enable the fishermen group earn or sustain the profit and loss collectively. In the fishermen community that develop a individualistic ownership pattern, the profit sharing can only promote capital accumulation in particular, small group. However, the fishermen community that develops a collective ownership, it will enable to the occurrence of income distribution. However, the field research indicates that there is tendency that fishermen to operate individualistically. This is because the profit earned individually is relatively small, but it is fixed. There are several indication that cooperative nature is not longer exist even in small scale economy. This individualistic nature is consciously or unconsciously has been socialized and even internalized to the small freslunen groups. This research indicates that the respondents are generally has one small size boat and perform their catch individually. The individualistic production system tends to be strong in the activity of small fishermen in Muara Angke of North Jakarta. The ability of small fishermen to work independently and bear the risk by itself is arisen due to up till now such system is still considered as profitable. However, in the future it is estimated that small fishery is no longer profitable. This is due to the fact that fish reserve in the coast of Java Sea will be decreasing because of continuous fish catching and sea ecosystem deterioration caused by pollution. This means that small fishermen will be no longer possible to maintain fish catching in shallow waters, however they should extend to deep waters. In order to be able to operate in deep waters, certainly they need more sophisticated production tools, such as large size boats and more sophisticated catching tools. To anticipate the future development, the fishermen should consider earlier to increase their production tools. This is can be done by organizing capital formation in the form of saving. The small fishermen should join hands among themselves to form fishermen groups. If their capital have sufficient, they can increase their production facility capacity, and can increase the result of their catch because of larger catching area. While small fishermen have not been able to modernize their production tools, the government needs to ensure that controlling of the catching area and use of catching tools in the catching areas such as stipulated in Presidential Decree number 39/1980 concerning prohibition of use of trawl in the Java Sea waters. This regulation is necessary to prevent open conflict ·between small fishennen with large scale fishermen. This prohibition is a protection effort for the welfare of fishermen. If there is no protection towards the catching area of the small fishermen, surely these small fishermen will be ousted. In perspective of national resilience, the survival of and welfare of small fishermen needs to be maintained because it is integral part of national livelihood.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Diah Ayu Permatasari
Abstrak :
Tesis ini meneliti mengenai perlindungan hukum bagi nelayan terhadap pemenang lelang pada pelaksanaan lelang ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke di Jakarta Utara, dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan metode analisis kualitatif. Pelaksanaan Lelang Ikan berdasarkan Vendu Reglement (VR) Pasal 49 lelang ikan merupakan lelang dikecualikan karena pada pelaksanaan lelang ikan tidak dilakukan di hadapan pejabat lelang sebagaimana lelang pada umumnya. Tetapi mengingat fungsi dan tujuan lelang ikan untuk kesejahteraan nelayan maka pelaksanaan lelang ikan di TPI Muara Angke dilaksanakan berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 149 Tahun 1994 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelelangan Ikan. Dalam pelaksanaan lelang berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang Pelelangan Ikan ini terdapat beberapa perbedaan dengan pelaksanaan lelang menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang Pelaksanaan lelang ikan di TPI Muara Angke dilakukan dengan beberapa tahapan, di mana tahapan-tahapan tersebut dilaksanakan seperti prosedur lelang pada umumnya tetapi terdapat beberapa tahapan yang berbeda. Namun kenyataannya perlindungan hukum terhadap nelayan yang melakukan lelang ikan di TPI Muara Angke masih lemah, hal tersebut terlihat dari munculnya kekurangan pembayaran lelang ikan di TPI Muara Angke. Penyebabnya adalah karena pembeli yang sudah dinyatakan sebagai pemenang lelang oleh TPI tidak segera menyelesaikan pembayaran harga lelang, tetapi ikan telah diserahkan kepada pembeli, untuk mencegah ikan membusuk. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pelaksanaan lelang ikan peneliti mengkaji secara yuridis hubungan dan perbedaan pelaksanaan lelang ikan dan pelaksanaan lelang menurut peraturan yang berlaku. Lelang ikan di Jakarta saat ini mengacu pada Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 149 Tahun 1994 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelelangan Ikan. Dalam peraturan tersebut pemerintah daerah kurang mengakomodasi dengan baik kebutuhan nelayan, karena itu diperlukan peraturan baru yang telah disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pihak-pihak peserta lelang terutama nelayan pada pelaksanaan lelang ikan.
This thesis discusses about the legal protection for the fishermen to the winning bidder at fish auction in the Muara Angke Fish Auction Place in North Jakarta, using normative research methods and qualitative analysis methods. Vendu Reglement (VR) Article 49 stipulates that the fish auction is not conducted before government auctioneer. But the function and purpose of fish auction is for the welfare of fishermen therefore the fish auction in Muara Angke Fish Auction Place is regulated by the Governor of Jakarta Decree No. 149 of 1994 on Procedures for Implementation of the fish auction. In the auction pursuant to the Governor of Jakarta Decree about the fish auction there are some differences with the auction according to VR and Minister of Finance Regulation No. 93/PMK.06/2010 on Auction Guidelines. Implementation of the fish auction at Muara Angke Fish Auction Place done in several stages. Every stages are implemented as an auction procedure in general but there are several different stages. But in reality the legal protection of fishermen joining fish auction at Muara Angke Fish Auction Place is still weak, it can be concluded from the appearance of lack of payment of the fish auction at Muara Angke Fish Auction Place. The reason is the buyer does not immediately settle auction price, but the fish have been delivered to the buyer, in order to prevent the fish from rotting. To find out more about the auction of fish this thesis examined the relationship and differences of fish auction between the aforementioned regulations. Fish auction in Jakarta today refers to the Governor of Jakarta Decree No. 149 of 1994 on Procedures for Implementation of the fish auction. This thesis concludes that the local governments needs to revise the fish auction regulation in order to provide more legal protection to fishermen.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T29307
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kinseng, Rilus A.
Abstrak :
ABSTRACT
The objectives of this study are to investigate class structure, class consciousness, class formation, and class struggle of fishers in Balilcpapan as well as factors affecting these phenomena. Basically, this is a qualitative study.

The study found that class stnxcture of the fishers in Balikpapan has not been simplified to become two great hostile classes, namely bourgeoisie and proletariat. On the contrary, class structure of iishers in Balikpapan has developed to become more complex. Now, there are four classes of fishers in Balikpapan, namely the capitalist, the labour, the small fishers (petty bourgeoisie), and the intermediate/medium fishers. Class relation between labour and owner of the means of production here is quite unique. Unlike in industries in general, relation between labour and owner here contains two dimensions, namely the exploitative dominative and the patron-client. This ?two dimensions? pattem of class relation is also found between the tishers (especially the small and the intermediate classes fishers) and the merchants.

Class consciousness and class formation of the labour have not been developed yet. In other -words, so far, labour class exists only as a class in itself, not class for itself Factors affecting labour class consciousness and class formation are iiagmentation of labour, high class permeability, labour?s dependent on the owner, lack of leader, lack of common problem, and the share-system (not wage). On the other hand, small and intermediate classes fishers have already developed class consciousness as well as class formation. The most important factors contribute to this fact are the present of ?big? common problems over and over again, as well as the present of active and vocal leaders among them. The capitalist class of Fishers has not developed class consciousness and class formation.

In line with the lack of class consciousness and class formation of the labour, class conflict between labour and owner has never occurred. Conflicts between labour and owner only take place individually, not as a class. Form of individual labour struggle are grievance, questioning, ?protest", and quit. On the other hand, small and intermediate class fishers often carry out a class struggle fiom dialog with the opponent as well as govemment and legislators (DPRD), huge and rather violent demonstration, up to hijacking big ships and burning down big fishing vessel of their opponent.

In class conflict, whether between small and intermediate classes fishers with mining firms or with ?big capitalist? fishers class, there is again a peculiar character which is uncommon or even unknown to the industrial world. In fishery class conflict, there is a strong alliance between the owner class and the labour class. Furthermore, when class conflict is taking place between the lower and the higher class fishers such as between the ?peja1a" (intermediate class) and the purse seine fishers (big capitalist class) early 2006 in Balikpapan, a strong alliance between owner and labour in each class was still hold. It means, capitalist fishers plus labour agains intermediate fishers plus labour. Something that probably never imagined by Marx!

In the class conflict between the "pejala" (intermediate class) and the purse seine fishers (big capitalist class) in Balik papan, the main issue or the cause of the conlict was not exploitation but domination in the process of "production". In this case, the intermediete class was dominated by the big capitalist class. More over, even though the issue was a "realistic issue", but because it was about source of livelihood, the level of violence of the class conflict was very high. In the case, fishing vessel was burned down and the vice-skipper was hit near his eye. Thus, the violence of a class conflict is not only determined by realistic vs non-realistic issue, but whether it is about main source of livelihood or not.

In conclution, this study plays a remarkable and significant contribution to the theory of fishery class conflict in particular, and even for the theory of class and class conflict in general.
2007
D802
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>