Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mira Yulianti
"Latar belakang. CAPD merupakan modalitas dialisis yang berkembang di Indonesia. Status nutrisi dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien CAPD. Indonesia belum memiliki data mengenai status nutrisi pasien CAPD, serta faktor-faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada kelompok pasien tersebut.
Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD.
Metode. Penelitian potong lintang dilaksanakan di poliklinik CAPD RSCM dan RS PGI Cikini bulan Desember 2012 sampai Mei 2013. Status nutrisi dinilai dengan Malnutrition Inflammation Score. Inflamasi didapatkan dari pemeriksaan hsCRP. Asidosis metabolik didapatkan dari pemeriksaan HCO3 vena. Asupan energi dan protein harian didapatkan dari analisis food record dengan menggunakan program FP2. Usia dan lama menjalani CAPD didapatkan dari kartu identitas dan rekam medis. Analisis bivariat dilakukan dengan metode Pearson atau Spearman/Kendall. Analisis tidak dilanjutkan ke analisis multivariat karena distribusi status nutrisi sebagai variabel tergantung tidak normal.
Hasil. Dari 44 subjek penelitian, didapatkan 75% subjek penelitian memiliki status nutrisi baik. Rerata usia 48,4+12,6 tahun. Median lama menjalani CAPD adalah 20,5 bulan (2-94 bulan) dan median kadar hsCRP sebesar 2,8 mg/L (0,2-204,2 mg/L). Rerata kadar HCO3 sebesar 25,2+2,3 mEq/L. Rerata asupan energi adalah 37,3+ 9,3 kkal/kg/hari dan rerata asupan protein 1,0+ 0,3 gram/kg/hari. Faktor inflamasi berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD (r=0,433; p=0,003).
Simpulan. Faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD adalah inflamasi. Korelasi antara usia, lama menjalani CAPD, asupan energi dan protein serta asidosis metabolik dengan status nutrisi belum dapat dibuktikan pada penelitian ini.

Background. CAPD is a developing dialysis modality in Indonesia. Nutritional status is considered as one of determinant factor in CAPD patients survival. There is no data regarding nutrional status and correlated factors with nutritional status in CAPD patients in Indonesia.
Objectives. To know correlated factors with nutritional status in CAPD patients.
Methods. A cross sectional study was conducted in CAPD clinic at Cipto Mangunkusumo and Cikini Hospital during December 2012 until May 2013. Nutritional status was determined by Malnutrition Inflammation Score, inflammation by hsCRP and metabolic acidosis by vein HCO3. DEI and DPI were determined by food record analysis by using FP2 program. Age and dialysis vintage were based on identity card and medical record. Statistical analysis was performed by using Pearson or Spearman/Kendall methods. Multivariat analysis can't be done in this study because of the distribution abnormality of nutritional status as independent variable.
Results. Out of 44 subjects, the nutritional status of 75% subjects was found good. Mean age was 48.4+12.6 years old. Dialysis vintage median was 20.5 (2-94) months and hsCRP level median was 2.8 (0.2-204.2) mg/L. Mean HCO3 level was 25.2+2.3 mEq/L. Mean DEI was 37.3+9.3 kcal/kg/d and mean DPI was 1.0+0.3g/kg/d. Inflammation is correlated with nutritional status in CAPD patients (r=0.433 ; p=0.003).
Conclusion. Factors that correlated with nutritional status in CAPD patients is inflammation. Correlation between age, dialysis vintage, DEI, DPI and metabolic acidosis with nutritional status can not be determined yet in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasya Amalia
"Pendahuluan: Dispepsia fungsional adalah salah satu gangguan pencernaan fungsional yang berasal dari saluran pencernaan bagian atas. Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan Kriteria Rome III adalah 3-10%. Sebuah studi di Jakarta dengan sampel orang dewasa, ditemukan 59,1% memiliki sindrom dispepsia. Di sebuah studi ditemukan bahwa pasien obesitas lebih memiliki kecenderungan untuk
mengalami nyeri pada perut dan nyeri dengan frekuensi dan intensitas tinggi. Namun, prevalensi dispepsia fungsional pada siswa sekolah menengah pertama di Jakarta masih belum diketahui. Metode. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan menggunakan 292
kuesioner Kriteria Rome III dan kuesioner makanan yang diambil di SMP Labschool Jakarta pada Maret 2018. Subjek penelitian diharuskan untuk mengisi kuesioner kemudian diukur tinggi dan berat badan menggunakan timbangan dan alat ukur tinggi. Subjek yang memiliki dispepsia fungsional didapat dari Kriteria Rome III kuesioner melalui penilaian pada beberapa nomer. Analisis data menggunakan Chi-square test untuk menilai asosiasi dispepsia fungsional terhadap jenis kelamin, kelas, status nutrisi, kebiasaan konsumsi makanan, dan aktifitas fisik, satu per satu. Sementara untuk menilai asosiasi dispepsia fungsional terhadap umur, dilakukan Mann-Whitney test Hasil. Terdapat 292 kuesioner yang termasuk di penelitian. Mayoritas subjek adalah perempuan 53,8%, median usia 13 tahun. Subjek memiliki status nutritisi dengan mayoritas yaitu gizi lebih (51,4%) yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria Waterlow. Prevalensi dyspepsia fungsional adalah 17,5%. Asosiasi nya terhadap status nutrisi, jenis kelamin, konsumsi sarapan, buah, dan sayur, dan aktifitas fisik tidak signifikan. Namun, terdapat signifikansi pada asosiasi dispepsia fungsional terhadap kelas, umur, dan jarang konsumsi sarapan. Kesimpulan. Prevalensi dispepsia fungsional adalah 17,5%. Karakteristik status gizi dari subjek penelitian dengan persentase tertinggi adalah gizi lebih. Analisis data menunjukan bahwa tidak terdapat asosiasi yang signifikan antara dispepsia fungsional terhadap status nutrisi. Asosiasi dispepsia fungsional dengan karakteristik subjek signifikan, yaitu terhadap umur dan kelas, namun terhadap jenis kelamin tidak signifikan. Asosiasi antara dispepsia fungsional dan pola makan dan aktifitas fisik tidak signifikan, kecuali asosiasi dispepsia fungional dengan jarang konsumsi sarapan.

Preliminary. Functional dyspepsia is one of the functional digestive disorders originating from the upper digestive tract. The prevalence of functional dyspepsia based on Rome III criteria is 3-10%. A study in Jakarta with a sample of adults, found 59.1% had dyspepsia syndrome. In one study it was found that obese patients were more likely to experiencing abdominal pain and pain with high frequency and intensity. However, the prevalence of functional dyspepsia in junior high school students in Jakarta is still unknown. Method. This study uses a cross-sectional method using 292 Rome III Criteria questionnaire and food questionnaire taken at SMP Labschool Jakarta in March 2018. Research subjects were required to fill out a questionnaire and then their height and weight were measured using scales and height measuring instruments. Subjects who have functional dyspepsia were obtained from the Rome III Criteria questionnaire through an assessment of several numbers. Data analysis used Chi-square test to assess functional dyspepsia associations with gender, class, nutritional status, food consumption habits, and physical activity, one by one. Meanwhile, to assess the association of functional dyspepsia with age, the Mann-Whitney test was carried out. There are 292 questionnaires included in the study. The majority of the subjects were 53.8% women, the median age was 13 years. Subjects have nutritional status with the majority being overweight (51.4%) which is classified based on the Waterlow criteria. The prevalence of functional dyspepsia was 17.5%. The association with nutritional status, gender, consumption of breakfast, fruit, and vegetables, and physical activity was not significant. However, there is a significant association of functional dyspepsia on
class, age, and rarely breakfast consumption.
Conclusion. The prevalence of functional dyspepsia was 17.5%. The characteristics of the nutritional status of the research subjects with the highest percentage were overweight. Data analysis showed that there was no significant association between functional dyspepsia and nutritional status. The association of functional dyspepsia with the characteristics of the subjects was significant, namely to age and class, but not to gender. The association between functional dyspepsia and diet and physical activity was not significant, except for the association of functional dyspepsia with infrequent breakfast consumption.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kania Nurmala
"Status nutrisi merupakan indikator utama dalam menilai kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, tertutama di wilayah dengan prevalensi masalah gizi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan kader posyandu tentang status nutrisi balita dengan tindak lanjut penilaian status nutrisi di wilayah kabupaten karawang.  Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelatif dengan pendekatan cross-sectional. Dengan responden sebanyak 166 kader posyandu yang dipilih menggunakan metode simple random sampling. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang telah dilakukan uji CVI, validitas dan reliabilitasnya. Hasil penelitian menunjukan tingkat pengetahuan kader posyandu sebanyak 43,4% cukup, 39,8% kurang, dan hanya 16,9% kader yang berpengetahuan baik. Perilaku tindak lanjut penilaian kader di wilayah Puskesmas Ciampel terdapat 54,8% sesuai, dan 45,2% tidak sesuai. Hasil uji bivariat menunjukan  terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan kader posyandu tentang status nutrisi balita dengan tindak lanjut penilaian status nutrisi dengan nilai p atau p-value sebesar 0,002 (p < 0,05). Pentingnya pembinaan dan pelatihan rutin bagi kader posyandu, terutama dalam aspek pengukuran status nutrisi dan tindak lanjutnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan status nutrisi balita di masyarakat.

Nutritional status is a key indicator in assessing community health and well-being, especially in areas with a high prevalence of nutritional problems. This study aims to identify the relationship between the level of knowledge of posyandu cadres about the nutritional status of toddlers with follow-up assessment of nutritional status in Karawang district.  This study used a descriptive correlative design with a cross-sectional approach. The respondents were 166 posyandu cadres selected using simple random sampling method from five villages with high malnutrition cases. Data were collected through a questionnaire that had been tested for Content Validity Index, validity and reliability. The results showed that the level of knowledge of posyandu cadres was 43.4% sufficient, 39.8% lacking, and only 16.9% of cadres were well informed. The behavior of follow-up assessment of cadres in the Ciampel Health Center area is 54.8% appropriate, and 45.2% are not appropriate. The results of the bivariate test showed a significant relationship between the level of knowledge of posyandu cadres about the nutritional status of toddlers with follow-up assessment of nutritional status with a p value or p-value of 0.002 (p < 0.05). The importance of regular coaching and training for posyandu cadres, especially in the aspect of measuring nutritional status and its follow-up to improve the quality of health services and nutritional status of toddlers in the community. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diar Riyanti
"ABSTRAK
Diarrhea is one of the most common gastro intestinal problem in Indonesia. One of the causes of diarrhea in children might be adverse reactions to food. Cow rsquo s milk allergy is the most prevalent food allergy as a result of an abnormal immunologic reaction to cow rsquo s milk protein. The gastrointestinal symptoms, including diarrhea occur in 50 60 children with cow rsquo s milk allergy. The aim of this research is to identify the prevalence of cow rsquo s milk allergy in pediatric patients who suffer from diarrhea and its association to nutritional status and age of patients who were treated in RSUPN Cipto Mangunkusumo from the year 2012 to 2016. The research design used for this study is a case control study using a secondary data. The data was obtained from stool analysis profile and medical record from pediatric patients in Gastrohepatology Division, Department of Pediatric Health, Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 13 patients suffer from cow rsquo s milk allergy and 78 patients without allergy compared in this study. The prevalence of cow rsquo s milk allergy and malnutrition in pediatric patients with diarrhea were 14.3 and 38.4 . There is no association between cow rsquo s milk allergy and weight for age, height length for age, and weight for length height p 0.05 . In conclusion, cow rsquo s milk allergy is not associated with malnutrition in pediatric patients under three years old who suffered from diarrhea.

ABSTRACT
Diare adalah salah satu masalah gastro usus yang paling umum di Indonesia. Salah satu penyebab diare pada anak-anak mungkin reaksi negatif terhadap makanan. Alergi susu sapi adalah alergi makanan yang paling umum sebagai akibat dari reaksi imunologi abnormal terhadap protein susu sapi rsquo. Gejala gastrointestinal, termasuk diare terjadi pada 50 60 anak-anak dengan alergi susu sapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi prevalensi alergi susu sapi pada pasien anak yang menderita diare dan hubungannya dengan status gizi dan usia pasien yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo dari tahun 2012 hingga 2016. Desain penelitian digunakan untuk penelitian ini adalah studi kasus kontrol menggunakan data sekunder. Data diperoleh dari profil analisis tinja dan rekam medis dari pasien anak di Divisi Gastrohepatologi, Departemen Kesehatan Anak, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ada 13 pasien menderita alergi susu sapi dan 78 pasien tanpa alergi dibandingkan dalam penelitian ini. Prevalensi alergi susu sapi dan gizi buruk pada pasien anak dengan diare adalah 14,3 dan 38,4. Tidak ada hubungan antara alergi susu sapi dengan berat badan untuk usia, tinggi badan untuk usia, dan berat badan untuk tinggi badan p 0,05. Kesimpulannya, alergi susu sapi tidak dikaitkan dengan kekurangan gizi pada pasien anak di bawah tiga tahun yang menderita diare."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70350
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Andria Amanda
"ABSTRAK
Diare telah menjadi salah satu penyebab meningkatnya kesakitan dan kematian pada anak. Diare biasanya disebabkan oleh infeksi. Sindrom Malabsorpsi dan beberapa enteropatogen bisa menyebabkan diare. Studi ini dilaksanakan untuk mencari prevalensi malabsorpsi laktosa dan malnutrisi pada pasien anak dengan diare dan mencari asosiasi malabsorpsi laktosa dan malnutrisi. Studi ini menggunakan studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder. Jenis studi ini dipilih untuk mengetahui asosiasi malabsorpsi laktosa dan malnutrisi. Data yang dibutuhkan akan diperoleh dari profil analisis tinja dan rekam medis pasien anak yang dirawat di RSCM. Penelitian ini menemukan prevalensi malabsorpsi laktosa di pasien anak dengan diare sebanyak 18,2 . Prevalensi malnutrisi di pasien anak dengan diare sebanyak 38 . Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat asosiasi malabsorpsi laktosa dengan status nutrisi p>0.05 . Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai asosiasi malabsorpsi laktosa dan malnutrisi dengan sampel yang lebih besar.

ABSTRACT
Diarrhea remains as a leading cause of childhood morbidity and mortality in Indonesia. Diarrhea in children is usually caused by infection . However, numerous disorders could also result in diarrhea. It includes a malabsorption syndrome and various enteropathies. The study that we conduct is aimed to determine the prevalence of lactose malabsorption and malnutrition in pediatric patients with diarrhea and the association between lactose malabsorption. and malnutrition. The research design used for this study is a cross sectional using secondary data. This study is chosen to know the association between lactose malabsorption and malnutrition. The data in this study will be obtained from stool analysis profile and the medical record of pediatric patients that are treated in Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM . This study found that the prevalence of lactose malabsorption in pediatric patients with diarrhea is 18.2 . This study also found that the prevalence of malnutrition is 38 .Moreover, the result of the study revealed that there is no association between lactose malabsorption and nutritional status P 0.05 . A further study is required to explored the association between lactose malabsorption and nutritional status with larger sample size "
2016
S70361
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indry Ratnawaty
"ABSTRAK
Nutrisi menjadi suatu bagian penting dalam menilai indikator kesembuhan pada pasien Tuberkulosis TB .Kondisi status nutrisi yang buruk akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis jika tidak segera ditangani akanmeningkatkan keparahan, konversi sputum tidak terjadi, dan risiko kematian. Sehingga penilaian status nutrisi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran status nutrisi berdasarkan karakteristik pada pasien Tuberkulosis di Kabupaten Bogor. Desain penelitian ini adalah deskriptif kategorik dengan pendekatan cross sectional, dengan besar sampel 359 pasien Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bogor, yang dipilih menggunakan teknik consecutive sampling. Penilaian status nutrisi dilakukan dengan mengukur indeks masa tubuh IMT . Hasil uji statistik menyatakan status nutrisi pada pasien Tuberkulosis di Kabupaten Bogor adalah normal 187 orang 52,1 . Penelitian ini merekomendasikan kepada pengelola program TB untuk mempertahankan pemberian edukasi kepada pasien TB sehingga status nutrisi terus meningkat.

ABSTRACT
Nutritional status is an important indicator of recuperation of patient with tuberculosis TBC . Poor nutritional status due to Mycobacterium tuberculosisinfection may lead to deterioration of condition, absence of sputum conversion, and risk of death. Therefore, assessment of nutritional status is critical. This study aimed to identify descriptive of nutritional status based on characteristics of patient with tuberculosis in Bogor. The study design was descriptive with cross sectional approach and total sample of 359 patients with tuberculosis in Health Centres of Bogor District selected through consecutive sampling. Nutritional status was assessed by measuring body mass index BMI . The result indicated that majority of patients with tuberculosis 52,1 , 187 respondents demonstrated a normal nutritional status. The study suggested for all stakeholders of tuberculosis program to keep providing education for tuberculosis patients to improve their nutritional status."
2017
S68365
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Sri Wahyuningsih
"Latar belakang. Kemoterapi yang dilakukan secara berulang dapat menyebabkan berbagai efek samping, diantaranya mual muntah karena agen obat kemoterapi emetogenik tinggi. Frekuensi mual muntah yang tinggi pada pasien kemoterapi dapat menyebabkan perubahan status nutrisi yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan pasien. Metode. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Menggunakan kuesioner data demografi, Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS), Index Nausea Vomiting and Retching (INVR) dan Patient­Generated­Subjective Global Assessment (PG-SGA). Hasil. Data dari 120 responden menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan status nutrisi pasien kanker yang menerima kemoterapi emetogenik tinggi adalah jenis kanker, kecemasan, mual muntah, diare, mucositis, dan intake nutrisi. Hasil uji regresi logistik berganda didapatkan bahwa diare merupakan faktor yang paling berpengaruh pada status nutrisi pasien kanker yang menerima kemoterapi emetogenik tinggi. Kesimpulan. Pasien kanker yang menerima kemoterapi emetogenik tinggi disertai diare lebih beresiko mengalami malnutrisi setelah dikontrol oleh jenis kanker, kecemasan, dan intake nutrisi serta faktor perancu mual muntah.

Background. Repeated chemotherapy can cause various side effects, including nausea and vomiting due to highly emetogenic chemotherapy drugs. The high frequency of nausea and vomiting in chemotherapy patients can cause changes in nutritional status that impact all aspects of the patient's life. Method. This research uses quantitative methods with a cross sectional approach. Using demographic data questionnaires, Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS), Nausea Vomiting and Retching Index (INVR) and Patient Generated Subjective Global Assessment (PG-SGA). Results. Data from 120 respondents showed that factors related to the nutritional status of cancer patients who received highly emetogenic chemotherapy were the type of cancer, anxiety, nausea, vomiting, diarrhea, mucositis, and nutritional intake. The results of the multiple logistic regression test showed that diarrhea was the most influential factor on the nutritional status of cancer patients receiving highly emetogenic chemotherapy. Conclusion. Cancer patients who receive highly emetogenic chemotherapy accompanied by diarrhea are more at risk of experiencing malnutrition after controlling for the type of cancer, anxiety, and nutritional intake as well as the confounding factor of nausea and vomiting.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohani Agustini
"Latar Belakang: Blastocystis hominis merupakan salah satu protozoa yang paling sering ditemukan di saluran intestinal manusia dengan distribusi di seluruh dunia, dengan prevalensi yang lebih besar di negara berkembang. Di Indonesia prevalensinya mencapai 60%. Prevalensi pada anak usia di bawah 6 tahun cukup tinggi, yaitu 25%. Terdapat literatur yang melaporkankan efek infeksi B. hominis terhadap rendahnya status nutrisi pada anak. Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi infeksi B. hominis pada balita di kecamatan Jatinegara, serta hubungannya dengan status gizi pada balita. Metode: Studi cross-sectional dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan tinja parasit usus dan pengukuran tinggi badan dan berat badan pada balita di Kecamatan Jatinegara pada tahun 2006. Dari hasil consecutive sampling didapatkan 386 sampel, kemudian dirandom menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang hanya terinfeksi B. hominis (n = 227) dan kelompok tanpa infeksi parasit usus (n = 159). Kemudian dibandingkan keadaan status nutrisi antara kedua kelompok ini. Penilaian status nutrisi dalam penelitian ini menggunakan indeks antropometri, yaitu berat berdasarkan usia (WAZ), yang menunjukkan tingkat underweight, tinggi berdasarkan usia (HAZ), yang menunjukkan tingkat stunting, dan berat berdasarkan tinggi (WHZ), yang menunjukkan tingkat wasting. Masingmasing indeks antropometri ini diperlihatkan dalam standar deviasi unit (z-score) dari median populasi referensi World Health Organization-National Center for Health Statistics (WHO-NCHS). Z-score dengan nilai -2 SD digunakan sebagai cut-off point malnutrisi. Hasil: Prevalensi B. hominis sebesar 58, 7%. Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p > 0, 05) pada indeks antropometri untuk status nutrisi (WAZ, HAZ, WHZ) antara kedua kelompok. Kesimpulan: Pada studi ini memperlihatkan bahwa prevalensi B. hominis tinggi, serta tidak terdapat hubungan antara infeksi B. hominis dengan status nutrisi anak balita pada daerah ini.

Background: Blastocystis hominis is one of the most common protozoa found in human intestinal tract with distribution throughout the world, with a greater prevalence in developing countries. In Indonesia, prevalence reaches 60%. Prevalence in children aged under 6 years old is quite high at 25%. There is literature that shows effect Blastocystis hominis infection on nutritional status in a child. Objectives: To investigate the prevalence of Blastocystis Hominis Infection among Preschool Children in Jatinegara and the relationship between Blastocystis hominis infection and nutritional status among children under 5 years old. Methods: Cross-sectional study using secondary data review for stool analysis of intestinal parasites and measurement of height and weight, which was carried out among children in Jatinegara district in 2006. Consecutive sampling of the results obtained 386 samples, then randomized into 2 groups: groups that were infected with only B. hominis (n = 227) and groups without intestinal parasitic infection (n = 159). Then compared the nutritional status between the two groups. Assessment of nutritional status in this research using anthropometry indexes, weight for age (WAZ), which indicates the level of underweight, height for age (HAZ), which indicates the level of stunting, and weight for height (WHZ), which indicates the level of wasting. Each of the three nutritional status indexes are expressed in standard deviation units (z-scores) from the median of this reference population World Health Organization-National Center for Health Statistics (WHO-NCHS). Z score of -2 SD was used as cut off point of malnutrition. Results: Prevalence of Blastocystis Hominis infection was 58, 7%. Statisical analysis revealed that the antropometric indexs for nutritional status (WAZ, HAZ, and WHZ) did not differ significantly (p > 0, 05) between the infected group and the control group. Conclusions: Prevalence of Blastocystis Hominis among Preschool Children in Jatinegara Distric is high. In this study showed that there is no relationship between infections of B. hominis with the nutritional status of children under five years old in this area."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4   >>