Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutejo Kuwat Widodo
"Disertasi ini membahas perkembangan pelabuhan Pekalongan dari tahun 1900 hingga 1990, dengan menyinggung latar belakang peran pelabuhan Pekalongan sebeiumnya, perubahan status dan fungsi pelabuhan serta perkembangannya seielah raenjadi pelabuhan khusus perikanan, kemudian dampak sosial ekonomi dari perkembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Dengan rentang waktu dari tahun 1900 sampai 1990, yang berarti selama 90 tahun, pembahasan meliputi perkembangan pelabuhan Pekalongan pada periode masa akhir pemerintah kolonial, masa pendudukan Jepang, masa revolusi, sampai dengan pemerintahan Orde Baru. Pengambilan rentang waktu tersebut, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dinamika pelabuhan dalam kaitannya dengan masyarakat Pekalongan dan sekitarnya secara lengkap dan berkelanjutan. Sampai dengan masa akhir pemerintah kolonial, kegiatan nelayan yang melakukan pendaratan ikan di pelabuhan Pekalongan hanyalah merupakan salah satu kegiatan pelabuhan yang tidak begitu besar.
Namun demikian perkembangan yang terjadi setelah tahun 1960-an, dan perkembangan kegiatan perikanan laut yang lebih mengesankan memasuki tahun 1970-an, menghantarkan perubahan status pelabuhan menjadi pelabuhan khusus perikanan. Berdasar pada sumber-sumber yang diperoleh, dapat dikemukakan bahwa perkembangan pelabuhan perikanan memiliki kecenderungan corak tersendiri yang tidak sama dengan perkembangan yang berlangsung pada pelabuhan niaga.
Perkembangan pelabuhan niaga di kawasan pantai utara Jawa sejak awal abad ke-20 lebih terfokus di tiga pelabuhan utama, yaitu pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Perak di Surabaya, dan Pelabuhan Semarang. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial dengan memodernisasi ketiga pelabuhan tersebut. Kebijakan untuk memodernisasi ketiga pelabuhan utama tersebut mempunyai akibat semakin berkurangnya kegiatan dan peran pelabuhan-pelabuhan kecil. Secara substansial arah kebijakan tersebut diteruskan oleh pemerintah Republik Indonesia yang tetap memberikan perhatian besar tehadap ketiga pelabuhan utama tersebut. Sementara itu perkembangan pelabuhan perikanan di kawasan pantai utara Jawa, yang beikembang secara mengesankan sejak awal tahun 1980-an, menunjukkan suatu pola yang berbeda. Bahwa berkembangnya satu pelabuhan perikanan tidak sampai mematikan kegiatan pelabuhan perikanan di sekitarnya.
Corak perkembangan satu pelabuhan niaga yang mengakibatkan surutnya pelabuhan niaga lainnya, berbeda dengan pola yang terjadi terhadap perkembangan satu pelabuhan perikanan yang tidak sampai mematikan kegiatan pelabuhan lain di sekitarnya. Perbedaan pola perkembangan di antara kedua jenis pelabuhan tersebut, antara lain disebabkan oleh perbedaan yang mendasar antara fungsi pelabuhan niaga dengan pelabuhan perikanan. Pelabuhan niaga
Pada awal perkembangan pelabuhan perikanan di Kotamadya Pekalongan sekitar pertengahan sampai akhir tahun 1970-an, sempat mempengaruhi aktivitas pendaratan ikan di pelabuhan Wonokerto Kabupaten Pekalongan. Namun sejalan dengan peningkatan teknologi dan jumlah perahu yang mana mencapai fishing ground yang lebih luas dan perkembangan pasar ikan lokal, mulai akhir tahun 1980-an pelabuhan perikanan Wonokerto dan pelabuhan Batang sebagai pelabuhan terdekat dari pelabuhan perikanan Pekalongan, terus dapat bertahan dan bahkan mengalami peningkatan, mempunyai fungsi "kolektif-distributif", yaitu sebagai pintu gerbang keluarrnasuknya komoditi perdagangan dari dan ke daerah hinterland dan foreland. Sementara itu pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat pendaratan ikan dari hasil tankapannya di fishing ground, untuk dijual dan kemudian disalurkan oleh pasar kepada konsumen ke wilayah sekitar, termasuk ke wilayah hinterland. Pertemuan antara nelayan sebagai penjual dengan pedagang ikan melalui sistem lelang, memerlukan waktu yang cepat, mengingat bahwa ikan mempunyai sifat yang mudah rusak.
Sejalan dengan adanya kebutuhan konsumen untuk memperoleh ikan dalam keadaan yang masih segar atau ikan yang terjaga kesegarannya, diperlukan perubahan teknologi distribusi yang dapat memenuhi tuntuan kebutuhan tersebut. Teknologi distribusi konvensional yang mendasarkan pada pemakaian garam untuk pengolahan ikan asin dan ikan kering, tidak dapat memenuhi perubahan tuntutan selera konsumen tersebut. Oleh karena itu penggunaan es untuk menjaga kesegaran ikan, dilengkapi dengan alat transportasi yang mempunyai mobilitas cepat, rrierupakan tuntutan konsumen atau pasar yang harus direspon oleh pengusaha perikanan. Akibatnya, teknologi distribusi yang berdasarkan pada pemakaian garam bergeser kepada pemakaian teknologi distribusi berdasarkan pada pemakaian es."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
D428
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyo
"Studi ini membuktikan bahwa pemogokan buruh bukan sekedar masalah hukum dan bahkan hubungan kerja. Pemogokan, sebagai bagian dari politik buruh di tempat kerja, merupakan produk dari hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitarnya atau dengan kata lain sebagai proses komunitas lokal. Pemahaman atas dunia perburuhan industri minyak tidak cukup hanya dengan membayangkan hubungan antara buruh dan pengusaha tetapi juga masyarakat sekitar bahkan negara menempati peran sangat menentukan. Buruh yang bersama-sama mogok memerlukan keberanian, karena mempertaruhkan penghidupannya. Oleh karena itu pemogokan dilakukan hanya dalam keadaan terpaksa. Dukungan kelompok-kelompok di luar tempat kerja diperlukan karena resiko pemecatan sangat besar. Apabila terjadi konflik antara pengusaha dan buruh, maka terdapat kecenderungan negara memihak pengusaha, karena terdapat ketergantungan ekonomi negara pada pengusaha.
Secara konseptual negara terdiri dari seluruh masyarakat, termasuk buruh. Namun dalam sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai masa reformasi mengalami perubahan-perubahan penting yang kontradiktif. Pada masa sebelum kemerdekaan, negara kolonial cenderung berpihak pada pengusaha, meskipun terdapat anggota dewan yang berpihak pada buruh, setelah politik Etis di awal abad 20 bermunculan partai-partai politik pembela buruh; pada awal kemerdekaan negara merupakan pendukung gerakan buruh yang bercirikan dekolonisasi atas keberadaan perusahan asing. Akan tetapi pada masa Orde Baru negara berbalik menjadi pendukung pengusaha asing. Konsekuensinya buruh minyak yang sejak awal kemerdekaan dalam mengatasi masalah hubungan perburuhan terhadap pengusaha mendapat pengawalan negara, kecuali di Sumatra. Pada masa Orde Baru buruh diperlakukan semata-mata hanya sebagai alat produksi. Depolitisasi pekerja terjadi pada masa Orde Baru. Ideologi nasionalisme yang berkembang menjadi penggerak perjuangan buruh di perusahaan asing ditinggalkan digantikan dengan isu tentang Hubungan Industrial Pancasila Karyawan Indonesia dalam perusahaan asing yang diharapkan akan lebih simpati pada nasib buruh pada lapisan bawah, tidak punya pilihan lain kecuali menunjukkan loyalitasnya kepada pengusaha asing. Tidak terdapat satu partai politik dan anggota dewan pun yang menjadi pembela buruh pertambangan minyak dalam mencari keadilan. Perusahaan mendapat pengawalan ABRI, terlindungi oleh sistem peradilan dan kontrak kerja menutup peluang protes terbuka kepada perusahaan asing sebagai kontraktor PERTAMINA. Oleh karena itu buruh subkontraktor dikalahkan dalam pemogokan tahun 1999 dan 2000 oleh VICO, perusahaan minyak multi-nasional di Muara Badak, Kalimantan Timur.
Penulisan disertasi ini dilakukan dengan metode penelitian sejarah dan etnografi sejarah. Pendekatan penelitian dan penulisan berdasarkan Grounded Research. Sumber-sumber yang digunakan berupa arsip, pers, dan internet. Wawancara dilakukan tidak hanya kepada para pejabat perusahaan, pihak kecamatan, kepada desa atau kelompok elit desa lainnya, tetapi juga masyarakat kebanyakan. Dalam penelitian disadari perlunya menciptakan situasi obyektivitas. Intervensi ide dihindari agar tidak mempengaruhi jawaban yang diberikan informan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
D537
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Mulyana
"ABSTRAK
Disertasi ini berjudul "Melintasi Pegunungan, Pedataran, Hingga Rawa-Rawa Pembangunan Jalan Kereta Api di Priangan 1878-1924". Spasial yang diteliti adalah Priangan sebagai suatu keresidenan sedangkan periodisasi yang digunakan adalah periode pembangunan jalan kereta api pada awal hingga akhir pembangunan. Masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana jalan kereta api dibangun? Metodologi yang digunakan adalah pendekatan struktural. Dalam pendekatan struktural sejarah dilihat sebagai proses perubahan yang ditulis secara deskriptif-analitis. Pembangunan jalan kereta api merupakan bagian dari perubahan teknologi transportasi.
Berdasarkan masalah penelitian yang diajukan tersebut ditemukan jawaban-jawabannya yang merupakan temuan dari penelitian ini. Temuan tersebut yaitu pertama, latar belakang pembangunan kereta api di Priangan dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi dan pertahanan militer. Kedua, seluruh lajur kereta api di Priangan dibangun oleh pemerintah atau Staatsspoorwegen (SS). Banyak pihak swasta yang mengajukan konsesi tetapi mereka tidak mampu melaksanakan pembangunan. Hal ini disebabkan, keterbatasan dana yang dimiliki oleh pihak swasta. Pembangunan jalan kereta api di Priangan membutuhkan dana yang sangat besar karena kondisi geografis Priangan sebagian besar merupakan daerah pegunungan atau dataran tinggi. Ketiga, lajur kereta api yang dibangun meliputi lajur utama dan lajur simpangan. Arah pembangunan lajur utama yaitu dari barat ke timur, sedangkan lajur simpangan banyak yang mengarah ke selatan terutama ke daerah-daerah perkebunan. Keempat, pembangunan jalan kereta api di Priangan banyak melibatkan tenaga kerja. Tenaga kerja yang terlibat meliputi tiga golongan yaitu orang pribumi, Cina dan Eropa. Orang pribumi sebagian besar bekerja sebagai kuli. Katagori kuli yang bekerja pada pembangunan jalan kereta api yaitu kuli wajib, kuli bebas tetap dan kuli bebas tidak tetap atau musiman. Kuli yang terlibat dalam pembangunan jalan kereta api sebagian besar diperoleh dari daerah sekitar lokasi pembangunan. Ada pula kuli yang didatangkan dari daerah lain, manakala di daerah lokasi pembangunan tidak cukup tersedia kuli atau masyarakat sekitar menolak untuk menjadi kuli. Ketertarikan orang pribumi mau menjadi kuli disebabkan oleh pembayaran upahnya lebih besar dibandingkan dengan menjadi kuli pekerjaan lainnya. Selain itu, ada pula orang pribumi yang bekerja selain menjadi kuli. Orang Cina terlibat sebagai pemborong dan ada pula yang menjadi kuli. Hal yang diborongkan kepada orang Cina yaitu pekerjaan pembangunan dan bahan material pembangunan. Orang Eropa bekerja dalam pembangunan jalan kereta api sebagai Insinyur dan pemborong. Barang-barang yang diborongkan kepada orang Eropa sebagian besar merupakan barang-barang berat seperti besi yang didatangkan dari Eropa. Barang dan pekerjaan yang dilelangkan baik kepada orang Cina maupun kepada orang Eropa dilakukan rnelalui proses pelelangan. Lelang yang dilakukan meliputi lelang terbuka dan lelang gelap. Kelima, pembangunan jalan kereta api di Priangan menghadapi beberapa kesulitan. Kesulitan-kesulitan tersebut disebabkan oleh faktor geografis lokasi pembangunan dan musim atau cuaca yang berlangsung ketika proses pembangunan. Faktor kesulitan tersebut berpengaruh pula kepada kesulitan pengerahan tenaga kerja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
D558
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Nurliana
"Dewasa ini Amerika Serikat terkenal sebagai negara industri yang modern. Perkembangannya sebagai sebuah negara modern terjadi setelah Perang Saudara (1860-1865). Oleh Mark Twain masa ini disebut The Gilded Age. Ini merupakan salah satu periode penting dalam sejarah Amerika, karena pada masa inilah berlangsung perkembangan industrialisasi secara besar-besaran yang mentransformasikan keseluruhan perekonomian dan masyarakat Amerika; yang semula bersifat agraris menjadi industrial. Hal ini ditandai antara lain oleh tumbuhnya pabrik-pabrik manufaktur dan perusahaan-perusahaan besar. Sejalan dengan itu tumbuh pula kota-kota industri baru termasuk kota-kota pertambangan.
Memasuki abad ke-19 banyak faktor yang mendorong pertumbuhan industri. Sumber daya alam yang melimpah tersimpan di wilayah Barat. Para imigran, terutama para petani dari Eropa Selatan dan Eropa Timur serta orang Cina, merupakan sumber daya manusia tenaga kerja dan juga konsumen, sehingga terbuka pasar domestik yang luas. Bila pada tahun 1820 yang datang berjumlah 8385 orang, maka pada tahun 1825 jumlahnya sudah 10.199 dan lima tahun kemudian 23.322 jiwa. Jumlah pendatang pada tahun 1840 sudah tiga kali lipat atau sekitar 1,7 juta dan pada tahun 1850an berjumlah 2,6 juta lebih imigran. Pada tahun 1854 dalam satu tahun jumlah pendatang mencapai 427.833 orang. (Tindall, 1984: 452-453). Mereka ini disebut The New Immigrant (kaum imigran baru) karena mempunyai budaya yang berbeda dari pendatang terdahulu. Mereka pada umumnya beragama Katholik, kecuali orang Cina, sedangkan pendatang sebelumnya mayoritas beragama Protestan. Selain itu tidak sedikit tenaga kerja dari daerah pertanian berurbanisasi ke kota-kota industri.
Untuk perkembangan industri ini modal domestik sudah memadai, karena budaya yang dominan berdasarkan semangat Puritanisme telah menghasilkan warga yang berjiwa wiraswasta. Bekerja keras, hemat, dan hidup sederhana menghasilkan semangat kapitalis. Mereka berusaha menangkap setiap kesempatan yang datang.
Perkembangan sistem transportasi merupakan faktor yang penting bagi perkembangan perekonomian, khususnya perindustrian. Wilayah Amerika yang berbentuk kontinen (dataran) dengan cepat berkembang ketika jalan raya, jalan kereta api dan terusan-terusan dibangun dan berhasil membuka wilayah-wilayah terpencil namun potensial bagi pengembangan ekonomi.
Di samping itu sistem komunikasi yang cepat seperti ditemukan telegraf oleh Samuel F.B. Morse pada tahun 1844 dan telepon oleh Alexander Graham Bell pada tahun 1876 juga menunjang perkembangan kehidupan perekonomian. Jadi, sistem komunikasi baru bersama-sama dengan sistem transportasi telah mendorong proses integrasi dan mempererat hubungan antara manusia yang komplek yang menjadi salah satu ciri industrialisasi modern. Tambahan lagi perkembangan transportasi dan komunikasi telah menghubungkan berbagai wilayah, sehingga memudahkan transmisi aktivitas investasi dan produksi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
D559
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
"Sejak VOC menguasai wilayah Hindia Timur, banyak masalah tidak pernah ditangani secara tuntas oleh pemerintah. Masalah-masalah itu antara lain pemberantasan korupsi, penyuapan kepada penguasa dengan dalih pemberian hadiah, atau penyelewengan lain yang merugikan pemerintah. Masalah itu seakan telah mengakar dan "membudaya", sehingga sulit untuk diatasi. Upaya mengatasi penyelewengan itu pernah dilakukan. Namun, sejak kapan upaya untuk mengatasi masalah-masalah itu pernah dilakukan, merupakan pertanyaan yang dapat dijawab oleh sejarawan, khususnya yang mempelajari sejarah kolonial.
Berkaitan dengan upaya menertibkan sistem administrasi pemerintahan pada masa kolonial, diketahui bahwa pembenahan itu pernah dilakukan dan dimulai pertama kali oleh Gubemur Jenderal Herman Willem Daendels (selanjutnya disebut Daendels) yang menjabat Gubernur Jenderal di wilayah koloni Hindia Timur dari tanggal 14 Januari 1808 hingga 16 Mei 1811 (3 tahun 4 bulan). Daendels melakukan upaya itu dalam rangka melaksanakan perintah yang diberikan oleh Napoleon Bonaparte kepadanya, yang saat itu menguasai Belanda.
Daendels disebut sebagai "orang asing" oleh orang Eropa yang bertugas di Batavia. Hal ini disebabkan karena sebelum kedatangannya di Jawa, ia belum pemah bekerja atau bahkan belum pernah mengunjungi wilayah koloni ini. Daendels tidak memiliki pengalaman karir kolonial. Padahal, telah menjadi kebiasaan di koloni Hindia Timur, yang menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Timur adalah para pejabat Eropa yang telah bertugas di wilayah ini, khususnya kelompok penguasa di Batavia. Mereka itu biasanya menjadi sumber bakal calon Gubernur Jenderal dan Gubernur.
Selain disebut sebagai "orang asing", Daendels juga disebut sebagai seorang "revolusioner" oleh para sejarawan. Sebutan itu diberikan kepadanya karena sebelum ditugaskan menjadi Gubernur Jenderal, ia menjadi bagian dari penganut paham Revolusi Prancis yang sangat dikaguminya. Ia adalah pemimpin patriot, bahkan bersama dengan pasukan Prancis, ia menyerbu Belanda dan berhasil menggulingkan Republik Belanda Bersatu (Republiek der Verenigde Nederlanden) yang dianggap bersekutu dengan pihak Inggris dan Prusia Daendels juga membantu upaya Prancis dalam mendirikan Republik Bataf di Belanda (Ong Hok Ham 1991:107)
Ong Hok Ham juga menyatakan bahwa Republik Bataf memiliki ciri pemerintahan yang sentralistis dan birokratis. Dikatakan sentralistis karena semua hal yang berkaitan dengan kenegaraan diatur oleh pusat, sementara disebut birokratis karena pemerintahan dijalankan oleh pegawai pemerintah yang memiliki hirarki dan jenjang jabatan. Dengan pemerintahan seperti ini, Belanda dan Prancis dianggap sebagai dua negara pertama di Eropa yang menerapkan birokrasi modern. Belanda meniru Republik Prancis yang baru, khususnya setelah kemenangan kelompok Unitaris, yang menggunakan sistem pemerintahan yang sentralistis dan demokratis.
Pada tahun 1806, Republik Bataf dibubarkan. Sebagai gantinya, didirikan pemerintahan kerajaan di bawah kekuasaan Raja Belanda Louis Napoleon, adik kandung Napoleon Bonaparte. Ia menjadi Raja Belanda dari tahun 1806 hingga 1810. Setelah penandatangan kesepakatan Rembouillet (Juli 1810), negara Belanda dijadikan bagian dari kekaisaran Prancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.
Konflik antara Prancis dan Inggris tidak dapat dilepaskan dari sejarah kedua bangsa Eropa itu. Konflik yang sering diikuti dengan perang bermula dari abad XIV, sejak Prancis diperintah oleh raja Charles VII (1403-1461). Konflik antardua negara ini terus berlangsung sarnpai masa Napoleon Bonaparte berkuasa. Bahkan hingga akhir abad XX, hubungan kedua negara itu masih sering menemui kendala. Oleh karena itu, untuk memahami pembenahan yang dilakukan oleh Daendels dan kebijakannya di Hindia Timur dari tahun 1808-1811 hal itu hanya bisa dipahami dalam konteks sejarah Eropa pada awal abad MX."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
D544
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyo
"ABSTRAK
Studi ini membuktikan bahwa pemogokan buruh bukan sekedar masalah hukum dan bahkan hubungan kerja. Pemogokan, sebagai bagian dari politik buruh di tempat kerja, merupakan produk dari hubungan-hubungan social, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitarnya atau dengan kata lain sebagai protes komunitas lokal. Pemahaman atas dunia perburuhan industri minyak tidak cukup hanya dengan membayangkan hubungan antara buruh dan pengusaha tetapi juga masyarakat sekitar bahkan negara menempati peran sangat menentukan. Buruh yang bersama-sama mogok memerlukan keberanian, karena mempertaruhkan penghidupannya. Oleh karena itu pemogokan dilakukan hanya dalam keadaan terpaksa. Dukungan kelompok-kelompok di luar tempat kerja diperlukan karena resiko pemecatan sangat besar. Apabila terjadi konflik antara pengusaha dan buruh, maka terdapat kecenderungan negara memihak pengusaha, karena terdapat ketergantungan ekonomi negara pada pengusaha. Secara koseptual negara terdiri dari seluruh masyarakat, termasuk buruh. Namun dalam sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai masa reformasi mengalami perubahan-perubahan penting yang kontradiktif. Pada masa sebelum kemerdekaan, negara kolonial cenderung berpihak pada pengusaha, meskipun terdapat anggota dewan yang berpihak pada buruh, setelah politik Etis di awal abad 20 bermunculan partai-partai politik pembela l uruh; pada awal kemerdekaan negara merupakan pendukung gerakan t. ruh yang bercirikan dekolonisasi atas keberanaan perusahan asing. Akan tetapi pada masa Orde Baru negara berbalik menjadi pendukung pengusaha asing. Konsekuensinya buruh minyak yang sejak awal kemerdekaan dalam mengatasi masalah hubungan perburuhan terhadap pengusaha mendapat pengawalan negara, kecuali di Sumatra. Pada masa Orde Baru buruh diperlakukan semata-mata hanya sebagai alat produksi. Depolitisasi pekerja terjadi pada masa Orde Baru. Ideologi nasionalisme yang berkembang menjadi penggerak perjuangan buruh di perusahaan asing ditinggalkan digantikan dengan isyu tentang Ilubungan Industrial Pancasila. Karyawan Indonesia dalam perusahaan asing yang diharapkan akan lebih simpati pads nasib buruh pada lapisan bawah, tidak punya pilihan lain kecuali menunjukkan loyalitasnya kepada pengusaha asing. Tidak terdapat satu partai politik dan anggota dewan pun yang menjadi pembela buruh pertambangan minyak dalam mencari keadilan. Perusahaan mendapat pengawalan ABRI, terlindungi oleh sistem peradilan dan kontrak kerja menutup peluang protes terbuka kepada perusahaan asing sebagai kontraktor PERTAMINA. Oleh karena itu buruh subkontraktor dikalahkan dalam pemogokan tahun 1999 dan 2000 oleh VICO, perusahaan minyak multi-nasional di Muara Badak, Kalimantan Timur. Penulisan disertasi ini dilakukan dengan metode penelitian sejarah dan etnografi sejarah. Pendekatan penelitian dan penulisan berdasarkan Grounded Research. Sumber_sumber yang digunakan berupa arsip, pers, dan internet. Wawancara dilakukan tidak hanya kepada para pejabat perusahaan, pihak kecamatan, kepala desa atau kelompok elit desa lainnya, tetapi juga masyarakat kebanyakan. Dalam penelitian disadari perlunya menciptakan situasi obyektivitas. Intervensi ide dihindari agar tidak mempengaruhi jawaban yang diberikan informan."
2005
D1569
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
"ABSTRAK
Dalam kajian ini telah dilakukan pembahasan mengenai kebijakan Gubernur Jenderal Daendels selama menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Jawa tahun 1808-1811. Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut ini. Untuk menjawab permasalahan pertama penelitian ini, yakni adakah kaitan antara sistem pemerintahan Napoleon Bonaparte dan pemerintahan Daendels di Jawa, berdasarkan penelitian arsip dapat disimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat"
2005
D1593
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library