Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soeryo Tarto Kisdoyo
Abstrak :
Kewarganegaraan merupakan bagian dari hak dasar setiap individu yang keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Karena itu ketentuan hukunm tentang kewarganegaraan merupakan tuntutan logis dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan undang-undang kewarganegaraan selain memunculkan dimensi pengaturan hak kewarganegaraan juga menentukan dimensi kepastian hukunl status kewarganegaraan setiap orang. Berdasarkan peraturan kewarganegaraan Indonesia yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Pasal 17 huruf (k), seorang warga negara Indonesia yang telah,bertempat tinggal di luar negeri dalam daktu lima tahun berturut-turut tanpa menyatakan diri untuk tetap menjadi warga negara Republik Indonesia kepada perwakilan Republik Indonesia akan kehilangan status kewarganegaraan Indonesianya. Dengan hilangnya kewarganegaraan Indonesia yang apabila tidak diikuti dengan dimilikinya kewarganegaraan barn akan menimbulkan dampak yang berat yaitu hilangnya perlindungan dari negara sehingga timbul pertanyaan bagaimana dengan pencabutan kewarganegaraan tersebut apakah hak asasi. manusia telah dilanggar? dengan hilangnya kewarganegaraan tersebut, bagaimana perlindungan yang diberikan negara terhadap WNI khususnya_ yang berada diluar negeri- Dalam berbagai kasus misalnya apa yang dialami oleh warga negara Indonesia yang bekerja diluar negeri yang sering kali dalam kondisi tidak 'bebas atau karena paksaan keadaan bekerja tanpa izin dinegara lain untuk dapat setiap saat menyatakan diri kepada Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri. Bukan hanya itu, bagi warga negara Indonesia yang telah memiliki Surat Akuan Pengenalan (SAP), yang dapat di identikan sebagai paspor, sesuai aturan dari Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 pasal 17 huruf (j) dapat pula mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan. Namun Karena kehilangan kewarganegaraan itu tidak disertai dengan kepemilikan kewarganegaraan Malaysia, maka kehilangan kewarganegaraan akan mengakibatkan warga negara Indonesia tersebut menjadi tanpa kewarganegaraan. Meskipun demikian, pengaturan kehilangan kewarganegaraan Indonesia seperti yang diatur dalam pasal 17 huruf (k) Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 seharusnya tidaklah serta merta nenghilangkan kewarganegaraan seorang warga negara Indonesia, terutama dalam konteks kealpaan untuk menyatakan kembali kewarganegaraan Indonesia. Walaupun telah diatur beberapa kondisi yang dapat mengakibatkan kehilangan kewarganegaraan Indonesia, secara prinsip undang-undang kewarganegaraan Indonesia tersebut tidak mengenal bahkan mencegah apa yang dinamakan tanpa kewarganegaraan atau stateles S . Yang artinya suatu kehilangan kewarganegaraan Indonesia tidak otomatis terjadi apabila karena kehilangan tersebut seseorang menjadi tanpa kewarganegaraan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Setiawan
Abstrak :
Hak Paten adalah hak eksklusif yang dimiliki oleh pemegang paten, sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Dimana sebagai bagian dari hukum harta benda (hukum kekayaan), maka pemiliknya pada prinsipnya adalah bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri pada hubungan hukumnya. Hanya dalam perkembangan selanjutnya kebebasan itu mengalami perubahan, yaitu misalnya pembatasan berupa adanya lisensi wajib, pengambil alihan oleh negara, dan tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan serta ketertiban urnurn. Bahwa pelaksanaan lisensi wajib paten berdasarkan Persetujuan TRIPs dalam Deklarasi Doha yang berkaitan dengan paten farmasi untuk kesehatan masyarakat yang memberikan haknya kepada pihak ketiga untuk membuat, menjual, dan mengekspor paten produk yang berkaitan tanpa persetujuan pemegang paten untuk memenuhi keperluan kesehatan masyarakat dalam menanggulangi penyakit H1VIAIDS, tuberkolosis, malaria, dan penyakit epidemik lainnya. Penerapan sistem paten sebagaimana diatur dalam TRIPs ini merupakan salah satu perlindungan dan pelaksanaan terhadap hak asasi manusia dibidang kesehatan masyarakat. Bahwa pelaksanaan lisensi wajib paten di Indonesia, apabila sesuai dengan peraturan yang berlaku terkesan tidak ada pelanggaran HAM. Tetapi apabila kita telah lebih lanjut pelaksanaan lisensi wajib paten dapat digarisbawahi yaitu apabila pelaksanaan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia maka kemungkinan kecil terjadi suatu pelanggaran terhadap HAM terjadi karena dalam pelaksanaannya harus memberitahukan kepada si pemegang paten. Tetapi sesuai dengan Deklarasi Doha, maka pelaksanaan lisensi wajib paten dapat dilaksanakan tanpa terlebih dahulu persetujuan si pemegang paten dengan syarat bahwa pelaksanaan tersebut untuk keadaan darurat nasional atau darurat yang sangat mendesak untuk menanggulangi penyakit epidemik dan tentunya pelaksanaan lisensi wajib tersebut untuk kebutuhan non-komersial. Dalam hal walaupun untuk kepentingan masyarakat, tatapi dalam pelaksanaannya telah terjadi pelanggaran HAM dimana hak ekonomi dari si pemegang paten akan terlanggar. Tetapi apabila tidak ada peraturan mengenai pelaksanaan lisensi wajib untuk kepentingan kesehatan masyarakat bisa dibayangkan bagaimana masyarakat dapat menanggulangi berbagai bencana penyakit apabila harga obat-obatan paten untuk menanggulangi penyakitnya sangat mahal harganya dan tentunya akan sangat terbatas masyarakat untuk mendapatkannya. Dan apabila hal ini terjadi banyak masyarakat yang terkena penyakit epidemik satu per satu akan meninggal dunia, dimana hal ini tentunya akan terjadi suatu pelanggaran HAM mengenai hak hidup, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Gerda Netty Octavia
Abstrak :
Era globalisasi ekonomi telah menimbulkan iklim persaingan yang sehat namun juga ketat antara negara-negara di dunia sehingga mendorong globalisasi Hak Kekayaan Intelektual dimana semuanya itu dapat dipertahankan dengan adanya iklim persaingan sehat ditunjang dengan sistem pengaturan yang lebih memadai dan selaras dengan diratifikasinya perjanjian-perjanjian internasional yang diperlukan di Indonesia. Dengan adanya permasalahan Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan merek pada khususnya yang semakin kompleks maka upaya perlindungan terhadap barang dan jasa produksi dalam negeri harus ditingkatkan sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan TRIPs yaitu dengan disempurnakannya Undang-Undang Merek lama menjadi Undang-Undang No. 1S Tahun 2001 Tentang Merek. Konsep perlindungan hukum terhadap hak merek mengacu pada sifat merek yang bersifat khusus dimana hak itu hanya dapat dilaksanakan oleh pemiliki merek dan apabila dipergunakan oleh orang lain maka harus dilakukan perjanjian lisensi merek terlebih dahulu dan adanya pengaturan tentang hal-hal tersebut diatas adalah sebagai bukti adanya perwujudan perlindungan merek dagang dalam negeri terutama bagi pemilik merek dagang yang sah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum antara lain adalah faktor materi hukum, kelemahan kantor Merek dan kinerja aparat kantor merek, kelemahan aparat penegak hukum serta kurangnya apresiasi dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hak milik intelektual, sehingga bila ditinjau dari unsur penegakan hukum tersebut maka perlindungan merek jelas ditunjang oleh upaya penegakan hukum yang dilaksanakan secara konsisten, konsekuen, efektif dan efisien dalam kenyataan empiris dalam praktek perdagangan di lapangan, yang ditunjang pula dengan adanya kesungguhan kinerja aparat penegak hukum pada umumnya dan aparat kantor merek. pada khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan pelanggaran merek dagang.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilia Witri Budi Utami
Abstrak :
Indonesia sebagai negara yang mempunyai cita negara hukum harus memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negaranya dan bila terjadi pelanggaran atas hak asasi manusia tersebut, harus disediakan lembaga yang mampu memberikan keadilan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting dalam suatu negara hukum. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara serta penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Oleh karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara hukum. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya. Terdapat beberapa alasan perlindungan saksi dan korban antara lain: keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan, memberikan keterangan membuang waktu dan biaya, aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka/terdakwa dan bagi saksi (apalagi yang awam hukum) memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah. Pada pelanggaran HAM yang berat dapat dikatakan telah ada peraturan yang memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Adapun perlindungan terhadap saksi dan korban secara umum baik di dalam kasus pelanggaran HAM berat ataupun di luar kasus pelangggaran HAM berat, belum ada peraturan yang mengaturnya. Padahal, perlindungan saksi dan korban mutlak diperlukan bukan hanya pada kasus tertentu (dalam hal ini kasus pelanggaran HAM berat) melainkan pada semua kasus. Selain itu terdapat pula aturan mengenai perlindungan saksi dan korban yang tersebar di antaranya pada kasus tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan sebagainya. Perlindungan saksi dan korban yang diatur tersebar dan berupa peraturan pemerintah masih kurang memadai, dan seharusnya diatur dalam undang-undang tersendiri. Kemudian Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemeberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, mengamanatkan perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemudian mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 27 Juni 2002. RUU Perlindungan Saksi dan Korban ditetapkan sebagai salah satu dari 55 RUU prioritas yang akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hingga saat ini, RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih dalam tingkat pembahasan di DPR. Selanjutnya, sebagai perbandingan dapat kita lihat pelaksanaan perlindungan saksi dan korban di Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Hak-hak saksi dan korban yang seharusnya ada antara lain hak atas kemanan fisik dan mental, hak atas pendampingan, hak atas penerjemah, hak atas informasi, hak atas perlindungan bagi saksi yang renatan, hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Selain itu terdapat pula perlindungan saksi dan korban yang berupa relokasi. Hak-hak saksi dan korban yang seharusnya dilindungi oleh negara sebagai pelaksanaan hak asai manusia di dalam wadah negara hukum, membawa keharusan untuk menyediakan legislasi, lembaga yang berwenang dan juga pembiayaan serta sumber pembiayaan yang diperlukan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dwiyanto
Abstrak :
Merek sebagai suatu aset yang sangat berharga untuk memberikan identitas terhadap produk, tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Baik dilihat dari segi ekonomi maupun dari segi hukum, hal ini sangat menarik, mengingat permasalahan di bidang ini selalu timbul dari waktu ke waktu. Sengketa merek yang pada intinya hanya memperebutkan kata-kata yang hampir sama yang terdapat di dalam suatu merek semakin bertambah baik yang sampai ke pengadilan maupun tidak. Banyaknya sengketa merek ini menimbulkan pertanyaan bagi banyak kalangan, apa sebenarnya yang menyebabkan adanya kondisi seperti itu. Beberapa pihak beranggapan bahwa pengaturan pengenai kriteria persamaan pada pokoknya yang terdapat dalam Undang-undang Merek di Indonesia selama ini masih terialu luas untuk ditafsirkan sehingga dalam praktek, pengambilan keputusan permohonan pendaftaran merek sering dijumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan cara menganalisa pendapat para pemeriksa merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Departemen Hukum dan HAM serta pendapat para hakim dalam putusannya mengenai sengketa merek. Di samping itu perbandingan dengan prinsip-prinsip hukum yang terdapat di dunia internasional khususnya di bidang HKI juga akan menjadi acuan dalam menganalisa konflik-konflik yang terjadi. Dari basil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat para pengambil keputusan permohonan pendaftaran merek selama 'ini lebih banyak disebabkan adanya perbedaan penafsiran Undang-undang Merek. Hal ini karena belum dibuatnya peraturan pelaksanaan yang menjelaskan lebih lanjut bagaimana seharusnya menilai adanya persamaan diantara merek. Juklak tersebut sangat penting untuk mengatasi perbedaan yang ada, tetapi juga harus diingat karena pendaftaran merek ini bersangkutan dengan prinsip standar yang terdapat di dunia internasional, maka dalam pembuatan peraturan selanjutnya harus disesuaikan dengan standar-standar tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baby Mariaty
Abstrak :
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pengakuan perlindungan Paten dan Hak Kekayaan Intelektual umumnya di Indionesia didasarkan pada Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, walaupun ketentuan tersebut belum dijadikan dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, namun jelas hak tersebut dijamin perlindungannya oleh Negara. Keberadaan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual umumnya dan Paten khususnya diperlukan dalam rangka pengembangan industri yang dapat menunjang perekonomian nasional, namun disisi lain perlindungan Paten dapat menyebabkan harga produk yang dilindungi Paten menjadi mahal. Demikian juga untuk obat antiretroviral yang dibutuhkan pasien penderita penyakit HIV/AIDS (Odha=orang dengan HIV/AIDS) harganya sangat mahal karena obat antiretroviral dilindungi Paten. Penyakit HIV/AIDS semakin lama tersebar diseluruh Indonesia. Jika pada mulanya penyakit HIVIAIDS disebabkan oleh hubungan seks sejenis dan seks bebas, lama kelamaan penderita HIVIAIDS di Indonesia banyak disebabkan oleh pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik yang tidak streril. Penggunaan jarum suntik beramai-ramai menyebabkan ketidaksterilan jarum suntik. Biasanya penggunaan jarum suntuk beramai-ramai ini karena pengguna berasal dari kalangan ekonomi lemah. Maka saat ini banyak penderita HIV/AIDS di Indonesia berasal dari kalangan ekonomi lemah yang tidak mampu membeli obat antiretroviral yang harganya mahal. Obat antiretroviral tidak menyembuhkan penyakit HIV/AIDS, tetapi menyebabkan tubuh Odha menjadi lebih baik sehingga Odha tidak mudah diserang penyakit. Odha harus minum obat antiretroviral seumur hidup. Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, obat antiretroviral diberikan gratis kepada Odha melalui ruimah sakit rujukan yang ditunjuk. Saat ini ada 25 rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia. Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah nyata telah melindungi Hak Asasi Manusia dibidang Pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Saat ini obat antiretroviral yang dilaksanakan Patennya dari jenis Nevirapin dan Lamivudin. Untuk selanjutnya Pemerintah harus mengupayakan akses obat antiretroviral jenis lain kepada Odha karena biasanya dokter memberikan lebih dari satu macam obat antiretroviral untuk mencegah resistensi obat.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16633
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Rikson
Abstrak :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur mengenai hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan suatu ciptaan. Pengertian hak Eksklusif adalah hak yang hanya dimiliki oleh pencipta saja. orang lain yang ingin mempergunakan hak eksklusif tersebut, wajib untuk meminta iziri kepada pencipta. Izin inilah yang dinamakan Iisensi. Perjanjian lisensi ini disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada pencipta yang besarnya berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi. Kewenangan YKCI sebagai pemegang Hak Cipta lagu dan musik untuk mengelola hak eksklusif para pencipta didasarkan kepada Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2002 tentang Flak Cipta, Perjanjian dan Kuasa Pencipta Indonesia, Perjanjian Resiprokal dengan organisasi sejenis di lebih 100 negara. Melihat pada jumlah user yang memiliki lisensi pengumuman musik (diperkirakan berjumlah 20 %) dan user yang tidak memakai lisensi pengumuman musik, maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hak dari para pencipta lagu atas pengumuman ciptaan lagu tidak berjalan efektif. Dengan hanya memiliki 5 Kantor Wilayah di seluruh Indonesia, YKCI mengumpulkan royalty sejumlah Rp. Rp.8.675.688.609 tahun 2002, Rp.6.707.037.126 tahun 2003 serta Rp.12.297.120.524 pada tahun 2004. Kinerja YKCI masih dipengaruhi dan diwarnai oleh berbagai hal, antara lain : Krisis ekonomi yang berkepanjangan, kurangnya pemahaman tentang Hak Cipta oleh para pengguna musik, masih rendahnya pengetahuan dan penegakan hukum di bidang Hak Cipta oleh para penegak hukum, dan bahkan luasnya wilayah Indonesia secara geografis merupakan tantangan tersendiri yang dihadapi KCI. Melihat pada keterangan YKCI tersebut, kita dapat memahami bahwa pemahaman masyarakat akan pentingnya menghormati Hak Cipta orang lain masih rendah sehingga menghambat optimalisasi peran YKCI selama ini. Rendahnya kesadaran masyarakat tersebut timbal dikarenakan budaya hukum yang belum membudaya di masyarakat. Mulai Januari 2003 Hingga Mei 2006, penegakan hukum yang sedang diupayakan oleh YKCI terhadap pengguna lagu yang diduga melakukan pelanggaran Hak Cipta adalah sebanyak 27 kasus yang diselesaikan secara pidana maupun perdata. Direktorat Jenderal HKI memiliki 5 kebijakan strategis, yaitu kebijakan di bidang : legislasi, administrasi, kerjasama, Sosialisasi dan penegakan hukum. Direktorat Jenderal HKI telah melakukan langkah-Iangkah untuk lebih mengefektifkan penegakan hak memungut royalti atas tindakan pengumuman suatu lagu, seperti : revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (tim revisi telah dibentuk Direktur Jenderal HKI), Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual, Penyelesaian Peraturan Pemerintah tentang Dewan Hak Cipta (vide Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta), serta rencana pembentukan Direktorat khusus Penyidikan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariyanti
Abstrak :
Dengan diratifikasinya Persetujuan TRIPs-WTO dengan UU No. 7 Tahun 1994 menimbulkan konsekuensi bagi Indonesia untuk membentuk dan menyempurnakan ketentuan hukum nasionalnya di bidang HKI, termasuk desain industri. Hal tersebut telah dipenuhi Indonesia dengan diundangkannya UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Dalam pembentukan UU No. 31 Tahun 2000 tersebut, pengaruh Persetujuan TRIPs-WTO amat kuat dan mendasari pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 31 Tahun 2000 tersebut. UU No. 31 Tahun 2000 secara terperinci memberikan pengaturan mengenai desain industri. Persetujuan TRIPs-WTO memberi kebebasan kepada negara anggotasepanjang tidak menyimpang dari ketentuan dalam TRIPs dalam rangka pembentukan dan penyesuaian hukum dan peraturan perundang-undangan nasionalnya untuk dapat mengambil langkah-Iangkah yang diperlukan dalam rangka periindungan kesehatan dan gizi masyarakat dan dalam rangka menunjang kepentingan masyarakat pada sektor-sektor yang sangat panting bagi pembangunan sosio-ekonomi dan teknologi. Undang - undang Desain Industri dalam tataran normatif masih memiliki beberapa kelemahan walaupun juga mempunyai beberapa kelebihan. Kelemahan dari Undang-Undang Desain Industri jeias akan membawa konsekuensi Iebih lanjut terhadap implementasi dari norma-norma yang ada pada UU Desain Industri.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T 16637
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Nugraha
Abstrak :
Perlindungan indikasi geografis diatur dalam Persetujuan TRIPs Pasal 22, 23, dan 24 yang mewajibkan negara-negara anggota untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis guna memberikan perlindungan hukum bagi produk-produk indikasi geografis dari praktek atau tindakan persaingan curang. Semenjak Indonesia meratifikasi Persetujuan TRIPs tersebut maka hal tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek dan kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

Ketentuan Indikasi Geografis di Indonesia belum berlaku efektif karena adanya pemahaman yang keliru mengenai indikasi Geografis dan Indikasi Asal dalam Undang-undang Merek di Indonesia dengan Persetujuan TRIPs dan WIPO, sehingga mengakibatkan sistem yang digunakan dalam mengatur indikasi geografis sama dengan sistem merek baik dari segi pemahaman maupun pendaftaran serta pengumuman.

Kekeliruan pemahaman ini pula yang mengakibatkan sulitnya membuat Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana undang-undang. Bahwa kebutuhan akan perlindungan indikasi geografis di Indonesia sangat mendesak mengingat Indonesia mempunyai potensi penghasil produk-produk indikasi geografis seperti kopi Toraja, Marquisan Medan dan Iainnya. Dan karena belum efektifnya pengaturan tentang Indikasi Geografis di Indonesia, maka permasalahan-permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan indikasi geografis tidak dapat ditangani secara baik yaitu seperti kopi toraja didaftarkan sebagai merek di Amerika oleh Key Coffee dengan menggunakan logo rumah toraja. Kasus ini tidak dapat diselesaikan karena pengaturan indikasi geografis belum berlaku efektif.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Prayitna
Abstrak :
Indonesia yang menganut sistem multi partai merupakan konsekuensi logis dari banyaknya partai yang tumbuh di Indonesia. Pada era reformasi diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 1999 sebagaimamana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang memberikan kebebasan rakyat mendirikan partai politik. Hal ini membuat partai politik tumbuh bagaikan jamur. Keberadaan partai politik dalam jumlah besar inl banyak kalangan mengkawatirkan berakibat pada ketidaksehatan kehidupan demokrasi, karena banyak partai politik yang ada tidak menjalankan peran dan fungsi partai politik sebagaimanamestinya yang ada adalah pragmentasi partai politik. Dari latar belakang permasalahan tersebut ada keinginan untuk melakukan penyederhanaan jumlah terhadap partai politik yang ada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya sistem kepartaian yang sehat dari dewasa yaitu sistem multi partai sederhana. Dalam sistem multi partai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerjasama menuju sinerji nasional. Pemerintah sudah tidak mungkin lagi bertindak sewenang-wenang untuk membatasi dan melarang berdirinya partai politik, apalagi untuk membubarkannya. Penyederhanan yang dilakukan adalah secara alamiah oleh seleksi rakyat melalui pemilihan umum dengan menerapkan electoral threshold sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemilu No, 3 Tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c yang menerapkan aturan electoral threshold atau ambang Batas yang harus dipenuhi bagi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum. Jika tidak mencapai electoral threshold partai tersebut harus membubarkan diri atau membuat partai baru. Dari hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 banyak partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, sehingga banyak partai politik yang berguguran, membubarkan diri dan mengganti baju baru. Untuk mendirikan partai politik itu harus memenuhi berbagai persyaratan sebagiamana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Pada dasarnya partai politik di Indonesia juga dapat disederhanakan. Berdasarkan ideologi, karena sebenarnya jumlah partai politik dapat disatukan dalam kelompok ideologi yang sama. Kelompok sekuler (nasionalis kebangsaan dan nasionalis kerakyatan) dan kelompok agamis (Islam konservatif dan Islam Moderat) dari sisi tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk menerapkan prosentase electoral threshold. Disamping itu sistem kepartaian dan sistem pemilu berkaitan erat dengan keberadaan partai politik dalam suatu negara, namun sistem tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang budaya setempat, sehingga penerapannya dapat berjalan dengan baik. Dalam perubahan sistem harus diperhatikan juga kondisi objektiv suatu masyarakat dalam negara, dan tidak bisa dipaksakan penerapannya sistem secara murni karena latar belakang budaya suatu bangsa yang berbeda.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>