Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sofyan Effendi
"Divisi regional II (Divre II) Jakarta dan sekitarnya, merupakan wilayah PT. Telkom yang mempunyai kontribusi produksi pulsa pelanggan yang terbesar, jika dibandingkan dengan divisi regional yang lainnya. Divre II Jakarta dan sekitarnya adalah meliputi wilayah, DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Serang, Karawang dan Purwakarta (Jabotabek - Sekapur) yang mempunyai penduduk sebesar 27.080.800 jiwa per Desember 1999, sehingga Divre II Jakarta dan sekitarnya mempunyai kepadatan telepon (teledensity) adalah : 8,5 sst per 100 penduduk, sedangkan untuk kepadatan telepon (teledensity) tingkat nasional adalah : 3 sst per 100 penduduk.
Pada akhir Pelita VI (199811999) Divisi Regional (Divre II) Jakarta dan sekitarnya mempunyai satuan sambungan telepon (sst) adalah 2.091.589 sst atau 36,32% dari 5.758.780 sst tingkat nasional. Dan fasilitas yang ada khususnya Divre II Jakarta dan sekitarnya, PT Telkom menghadapi permasalahan yang cukup kompleks, akibat adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan sehingga terhambatnya pembangunan satuan sambungan telepon (sst). Akibat dari keterlambatan tersebut timbul permasalahan nasional, yang harus ditanggulangi oleh pemerintah (PT Telkom) dan KSO-nya. Adapun permasalahanya adalah sebagai berikut :
1. Adanya permintaan (demand} yang lebih besar dan pada penawaran (supply).
2. Adanya mekanisme penentuan tarif yang salah.
3. Terbatasnya sumber dana dalam negeri.
4. Dampak regulasi terhadap investasi dan peran swasta.
Dari permasalahan tersebut di atas, Penulis mencoba untuk menetukan metodologi penelitian, dalam hal ini ada 3 (tiga) bagian yang perlu diteliti / dianalisis yaitu:
1. Cara menentukan variabel X dan variabel Z yang optimal, agar didapatkan tingkat perubahan tarif (OP) yang efisien, efektif, dan adil (optimal).
2. Cara penggunaan sumber dana dalam negeri dengan sistem obligasi.
3. Cara pendekatan regulasi (peraturan) pemerintah yang ada terhadap usaha penyelenggara jasa telekomunikasi.
Dengan metodologi penelitian tersebut di atas, Penulis melakukan analisis/penelitian sebagai berikut :
1. Analisis penentuan tarif dengan menggunakan nilai variabel X dan variabel 1. yang optimal kedalam formula price cup ( ΔP < CPI - X + Z).
2. Analisis penggunaan sumber dana dalam negeri.
3. Analisis dampak regulasi (peraturan) pemerintah yang ada yaitu, UU no. 36 tahun 1999 dan PP no 8 tahun 1993 tentang telekomunikasi terhadap investasi dan peran swasta, di dalam pembangunan fasilitas jasa telekomunikasi.
Dari hasil ketiga analisis tersebut di atas didapatkan hasil yang optimal (efisien, efektif, dan adil) sesuai dengan konsep dasar penulis untuk memenuhi harapan masyarakat pelanggan (konsumen) maupun penyelenggara jasa telekomunikasi (PT Telkom) dan mitra KSO-nya. Dari hasil analisis tersebut diharapkan para investor atau pemodal dapat berperan serta/mengambil bagian di dalam pembangunan industri jasa telekomunikasi, khususnya di wilayah Divre II Jakarta dan sekitarnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T1714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roni Dwi Susanto
"Semakin pentingnya kedudukan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng dan perolehan devisa telah menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kepentingan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan untuk meningkatkan perolehan devisa, melalui ekspor crude palm oil (CPO).
Mengingat bahwa industri minyak goreng sawit Indonesia sampai saat ini masih belum berjalan dengan kapasitas penuh, bahkan menurut beberapa survei hanya berkisar 50-60 persen dari kapasitas terpasang, maka kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng. Untuk itu pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, baik melalui penghapusan bea masuk maupun pengenaan pajak ekspor serta alokasi CPO kepada Badan Urusan Logistik (BULOG).
Dari gambaran intervensi pemerintah yang telah dilakukan selama ini terhadap minyak sawit Indonesia terlihat bahwa senantiasa terjadi benturan-benturan kepentingan dalam penerapan kebijakan. Dua dilema kebijakan yang dihadapi yaitu:
1. Pilihan antara pengembangan industri minyak goreng dalam negeri atau mengimpor minyak goreng dan mengekspor bahan mentah pembuatan minyak goreng (CPO) sebagai penghasil devisa;
2. Pilihan antara menggunakan instrumen minyak goreng impor atau pengaturan produksi minyak goreng dalam negeri untuk pengelolaan (stabilisasi) harga minyak goreng dalam negeri.Dilema ke dua ini langsung terkait dengan jaminan ketersediaan minyak goreng dalam negeri, dengan demikian harga minyak goreng tidak akan berfluktuasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terhadap kondisi penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia dan pengaruhnya terhadap industri minyak goreng serta gejolak harga minyak goreng di pasar domestik. Untuk itu dalam penelitian ini diidentifikasi faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit domestik dan pengaruhnya terhadap harga minyak goreng. Disamping itu penelitian ini juga berupaya mengkaji kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah yang pada dasarnya bertujuan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng. Analisis yang digunakan meliputi analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan pendekatan ekonometrika.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan harga bahan baku industri minyak goreng (CPO) maka harga minyak gorengpun akan naik, atau dengan kata lain harga minyak goreng berbanding lurus dengan harga CPO domestik. Secara teoritis hal ini sangat wajar, karena dengan naiknya salah satu harga input produksi maka perusahaan yang rasional akan menaikkan harga outputnya agar tetap dapat mempertahankan keuntungannya. Ditunjukkan bahwa apabila harga CPO domestik naik sebesar Rp. 1000,00 per ton maka harga minyak goreng sawit akan naik sebesar Rp. 2000,15 per ton. Hasil ini nyata pada tingkat kepercayaan di atas 90%. Sedangkan perubahan harga CPO di pasar internasional juga berpengaruh positif terhadap perubahan harga minyak goreng. Berdasarkan hasil regresi ditunjukkan bahwa kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar US$ 1 per ton akan menaikkan harga minyak goreng sebesar Rp. 0.42 per ton, cateris paribus.
Harga minyak goreng berhubungan negatif dengan penawaran CPO domestik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa apabila pasokan CPO di pasar domestik meningkat maka akan dapat menurunkan harga minyak goreng sawit. Apabila penawaran CPO di pasar domestik meningkat sebesar 1 ton maka harga minyak goreng akan dapat turun sebesar Rp. 0,11 per ton, cateris paribus. Apabila pasokan CPO berkurang, maka produksi minyak goreng berkurang yang pada gilirannya menyebabkan minyak goreng di pasaran menjadi berkurang sehingga memicu kenaikan harga minyak goreng.
Bagi produsen CPO rangsangan untuk mengekspor CPO lebih menarik dibandingkan dengan kewajiban mereka dalam memenuhi kebutuhan domestik. Walaupun telah ditetapkan pajak ekspor, selama kegiatan ekspor masih memberikan keuntungan yang lebih besar daripada menjual di dalam negeri maka produsen CPO akan berusaha untuk mengekspor. Sehingga sering ditemukan ekspor CPO secara illegal. Dengan demikian catatan jumlah ekspor resmi berbeda dengan kenyataan aktual CPO yang dilarikan ke luar negeri yang cenderung lebih besar dari catatan volume ekspor. Sehingga jumlah CPO yang dipasok di dalam negeri berkurang lebih besar dari jumlah CPO yang diekspor.
Semakin meningkatnya kebutuhan minyak goreng masyarakat, maka kebutuhan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng juga meningkat. Dari hasil pengujian ditunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan permintaan bahan baku CPO untuk industri minyak goreng maka akan diikuti dengan kenaikan jumlah penawaran CPO di pasar domestik, walaupun kenaikan penawaran CPO di pasar domestik tidak sebesar permintaan CPO. Apabila permintaan CPO untuk industri minyak goreng meningkat sebanyak 10 ribu ton maka penawaran CPO domestik juga akan meningkat tetapi hanya sebesar 2,1 ribu ton, cateris paribus. Oleh karena itu untuk menutupi kesenjangan lonjakan permintaan tersebut, pemerintah seringkali harus campur tangan guna menjamin ketersediaan pasokan CPO.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi CPO adalah melalui pembukaan areal perkebunan kelapa sawit. Pengukuran terhadap pengaruh perubahan variabel luas areal perkebunan kelapa sawit terhadap penawaran CPO domestik menunjukkan bahwa apabila terjadi pertambahan areal perkebunan kelapa sawit seluas 1000 hektar maka akan terjadi kenaikan penawaran CPO di pasar domestik sebesar 2,13 ribu ton CPO, cateris paribus. Data Ditjen Perkebunan (1998) menunjukkan bahwa dari areal perkebunan kelapa sawit seluas 2,79 juta hektar-dihasilkan 5.64 juta ton CPO atau rata-rata satu hektar perkebunan kelapa sawit menghasilkan 2.02 ton CPO.
Untuk variabel kebijakan pemerintah tentang produksi dan tata niaga minyak sawit terlihat bahwa dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah sejak tahun 1979 telah berhasil meningkatkan penawaran minyak sawit domestik (berpengaruh positif). Akan tetapi pengaruhnya belum dapat memberikan dampak yang berarti dalam menjamin ketersedian pasokan CPO di pasar domestik, karena dengan adanya kebijakan tersebut penawaran CPO domestik hanya meningkat sebesar 199,84 ribu ton dalam kurun waktu 19 tahun.
Ketidakefektifan kebijakan pemerintah dalam menjamin ketersediaan CPO untuk keperluan industri minyak goreng dalam negeri menyebabkan harga minyak goreng senantiasa mengalami gejolak. Kebijakan pemerintah melalui instrumen alokasi CPO dalam negeri dan alokasi CPO untuk ekspor hanya bertahan dalam jangka pendek. Disamping itu kebijakan tersebut harus dibayar cukup mahal karena dalam jangka panjang menghambat promosi ekspor dan dalam jangka pendek menurunkan perolehan devisa negara melalui ekspor CPO.
Upaya stabilisasi harga minyak goreng melalui mekanisme alokasi dan penetapan harga bahan baku dinilai banyak kalangan tidak efektif. Dapat dikemukakan beberapa faktor sebagai penyebabnya, seperti:
a. Permintaan dunia terhadap minyak sawit (CPO) terus mengalami peningkatan dan harga di pasar internasional juga meningkat cukup pesat.
b. Secara operasional mekanisme alokasi CPO produksi PTP melalui KPB (Kantor Pemasaran Bersama) tidak lagi banyak pengaruhnya pada pemenuhan kebutuhan bahan baku industri minyak goreng.
c. CPO tidak hanya digunakan oleh industri minyak goreng. Penggunaan CPO untuk bahan baku industri lain (bukan industri minyak goreng) dalam negeri juga terus meningkat. Jenis industri tersebut antara lain adalah margarin, sabun dan oleokimia.
d. Mekanisme alokasi dan penetapan harga CPO yang disertai operasi pasar minyak goreng pada saat-saat tertentu (seperti menjelang tahun baru, bulan puasa dan lebaran) menyebabkan margin keuntungan produsen minyak goreng sangat tipis.
e. Harga CPO akan cenderung tetap tinggi karena permintaan domestiknya lebih besar daripada kapasitas produksi CPO.
Dari hasil perhitungan elastisitas harga CPO internasional terhadap penawaran CPO domestik menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar 1% akan menurunkan penawaran CPO domestik sebesar 0,32%.
Harga CPO internasional berpengaruh negatif terhadap penawaran CPO domestik, ditunjukkan dengan nilai dugaan parameter sebesar -0.69, yang berarti apabila terjadi kenaikan harga CPO di pasar internasional sebesar 1 dollar US maka penawaran CPO domestik akan turun sebesar 0.69 ribu ton.
Dari hasil pendugaan dapat dinyatakan bahwa permintaan CPO domestik searah dengan jumlah produksi minyak sawit. Permintaan minyak sawit domestik sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi minyak goreng sawit walaupun tidak dapat diabaikan permintaan CPO oleh industri margarin dan sabun yang konsumsinya meningkat di atas 15% dari tahun ke tahun.
Pertumbahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan per kapita, berpengaruh positif terhadap permintaan minyak sawit domestik, hal ini ditunjukkan oleh koefisien yang bertanda positif sebesar 0.003 yang berarti setiap kenaikan penduduk 1.000 orang akan meningkatkan permintaan minyak sawit domestik sebesar 3 ton. Sedangkan hasil pendugaan parameter untuk pendapatan per kapita terhadap permintaan minyak sawit domestik sebesar 0,0006 menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan pendapatan per kapita sebesar Rp. 1000 maka akan meningkatkan permintaan CPO domestik sebanyak 0,6 ton, dan sebaliknya.
Dalam jangka pendek, kebijakan yang berorientasi pada pengembangan industri minyak goreng dalam negeri jelas lebih buruk dalam hal perolehan devisa. Hal ini terjadi karena dalam jangka pendek, kebijakan ini bersifat sebagai subtitusi impor, sehingga akan menurunkan penerimaan ekspor. Disamping itu, kebijakan ini mungkin saja kurang efisien dalam jangka pendek karena teknologi dan manajemen industri pengelolaan pada umumnya belum dapat dikuasai dengan baik.
Namun demikian, faktor negatif kebijakan yang berorientasi pada pengembangan industri minyak goreng dalam negeri mestinya dapat diatasi dalam jangka panjang. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong industri minyak goreng untuk terus menerus meningkatkan efisiensinya. Dalam kaitan ini, strategi yang perlu ditempuh adalah pemberian insentif dan kemudahan (proefisiensi) dalam proses produksi, bukan proteksi. Salah satu bentuk kebijakan yang bersifat proefisiensi ialah penghapusan berbagai faktor yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi seperti perizinan usaha dan biaya-biaya non-fungsional. Bila hal ini dapat dilakukan, maka, dalam jangka panjang industri minyak goreng dalam negeri akan berubah dari industri yang bersifat subtitusi impor menjadi industri yang bersifat promosi ekspor."
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T7501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Hariyanti
"ABSTRAK
Tujuan utama studi ini adalah untuk melihat dampak penurunan harga minyak bumi terhadap nilai tambah dan tingkat harga pada industri manufaktur di Indonesia selama periode 1974-1993. Studi ini diawali dengan deskripsi mengenai perkembangan industri manufaktur dengan melihat beberapa indikator yang berkaitan langsung dengan pentingnya industri manufaktur dalam perekonomian. Dalam bab selanjutnya akan dipaparkan mengenai teori yang digunakan untuk mendukung hipotesa serta hasil penelitian terdahulu yang secara tidak langsung dapat mendukung hipotesa yang ditetapkan.
Dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Cihan Bilginsoy (1992), yakni model persamaan simultan tingkat output dan tingkat harga yang diturunkan dari keseimbangan sisi permintaan dan sisi penawaran dan dengan menggunakan data-data nilai tambah, tingkat upah, tingkat harga impor, tingkat harga dan jumlah uang beredar pada industri manufaktur selama periode 1974-1993 maka model tersebut digunakan untuk melihat prilaku variabel-variabel yang mempengaruhi nilai tambah dan tingkat harga dan untuk mengetahui besarnya perbedaan elastisitas nilai tambah dan tingkat harga industri manufaktur pada periode penurunan tingkat harga minyak.
Seperti diketahui, kondisi perekonomian di Indonesia yang terikat pada naik dan jatuhnya harga minyak bumi sudah dibuktikan oleh beberapa peneliti di mana kenaikkan dan penurunan yang cepat dalam harga minyak telah menimbulkan sejumlah masalah penyesuaian yang berkaitan dengan harga minyak tersebut. Selanjutnya hasil studi menunjukkan ada perbedaan antara periode kenaikan harga minyak bumi dan periode harga minyak bumi rendah. Dalam hal ini, dampak penurunan harga minyak bumi meningkatkan industri manufaktur di Indonesia.
Sejak pelita I tahun 1969 hingga saat ini (Repelita VI) proses industrialisasi di Indonesia menunjukkan adanya kemajuan. Industrialisasi yang dimaksudkan disini tidak hanya mencakup perkembangan dan pertumbuhan output disektor industri pengolahan tetapi khususnya industri pengolahan non migas (industri manufaktur). Indikator umum yang digunakan untuk mengukur tingkat industrialisasi suatu negara adalah rasio nilai tambah dari sektor manufaktur terhadap PDB dan persentase ekspor manufaktur dari jumlah ekspor non migas.
Dari hasil estimasi untuk persamaan nilai tambah industri manufaktur diperoleh hasil bahwa penurunan harga minyak bumi mempengaruhi tingkat upah yang berpengaruh secara positif terhadap nilai tambah, hal ini tidak sesuai dengan hipotesa yang ditetapkan. Akan tetapi jika peningkatan upah dapat meningkatkan produktivitas pekerja maka secara tidak langsung dapat meningkatkan nilai tambah disektor industri tersebut.
Pengaruh tingkat harga impor terhadap nilai tambah pada periode harga minyak bumi tinggi adalah negatif, tetapi pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif. Berarti perlu satu lagi waktu untuk menyesuaikan terhadap perubahan tingkat harga impor yang mana dampak dari tingkat harga impor pada tahun lalu akan mempengaruhi nilai tambah pada tahun ini. Selanjutnya, penurunan harga minyak telah menyebabkan tingkat industri manufaktur menjadi dominan dalam hal penerimaan devisa walaupun hasil yang diraih belum banyak menunjukkan. Ini karena sebagian besar dari bahan baku yang digunakan oleh industri manufaktur negara kita masih berasal dari impor.
Pengaruh jumlah uang beredar terhadap nilai tambah pada periode harga minyak bumi tinggi adalah positif , berarti sesuai dengan hipotesa. Sedangkan pada periode harga minyak bumi rendah, jumlah uang beredar tidak mempunyai pengaruh terhadap nilai tambah, berarti tidak ada perbedaan antara periode harga minyak bumi tinggi dan minyak bumi rendah pengaruh jumlah uang beredar terhadap nilai tambah.
Pengaruh tingkat harga pada periode tahun sebelumnya berpengaruh negatif terhadap nilai tambah hal ini karena dengan tingginya tingkat harga menyebabkan permintaan akan hasil produksi akan turun sehingga produsen akan mengurangi produksinya sehingga nilai tambah yang akan diterima produsen akan berkurang.
Sedangkan hasil estimasi untuk tingkat harga industri manufaktur diperoleh kesimpulan bahwa pengaruh tingkat upah pada periode minyak bumi rendah lebih besar dari pada periode minyak bumi tinggi dengan arah hubungan yang positif. Ini berarti sesuai dengan hipotesa yang ditetapkan.
Pengaruh tingkat harga impor terhadap tingkat harga hanya signifikan pada periode harga minyak bumi rendah, sesuai dengan hipotesa yang ditetapkan, ini berarti tingkat harga impor dapat meningkatkan tingkat harga industri manufaktur hal ini dikarenakan masih banyaknya komponen bahan baku industri yang di impor.
Pengaruh jumlah uang beredar adaiah negatif terhadap tingkat harga yang mana pengaruh pada periode harga minyak bumi rendah lebih besar dari pada periode harga minyak bumi tinggi berarti jumlah uang beredar tidak mempengaruhi tingkat harga, secara teori jika terjadi peningkatan jumlah uang beredar maka akan meningkatkan tingkat harga. Hubungan yang negatif ini diduga karena jumlah uang beredar hanya sebagai variabel antara yang pengaruhnya tidak langsung mempengaruhi tingkat harga. Penelitian yang dilakukan oleh Bilginsoy menghasilkan bahwa jumlah uang beredar akan meningkatkan inflasi jika adanya krisis devisa (foreign exchange bottleneck) dan akan meningkatkan tingkat output jika tidak ada krisis devisa (no foreign exchange bottleneck) .
Dari besaran elastisitasnya, pengaruh tingkat upah, tingkat harga impor jumlah uang beredar dan tingkat harga industri manufaktur adalah elastis terhadap nilai tambah, yang berearti kenaikan satu persen variabel yang mempengaruhi akan meningkatkan nilai tambah. Sedangkan elastisitas variabel yang mempengaruhi tingkat harga menunjukkan besaran yang inelastic.
Secara umum, model persamaan simultan yang dikemukakan oleh Bilginsoy belum dapat menangkap beberapa dampak penurunan harga minyak terhadap industri manufaktur secara sektoral karena tidak bisa melihat beberapa variasi dari penurunan harga minyak. Selanjutnya ketergantungan industri manufaktur yang tinggi terhadap bahan baku impor menghasilkan industri yang tidak berbasis kuat. Hal ini karena produksi industri manufaktur Indonesia yang berorientasi ekspor mempunyai kandungan impor yang tetap tinggi (padat impor). Oleh karena itu secara makro, perkembangan industri manufaktur dinilai sangat baik tetapi masih banyak masalah yang harus dibenahi terutama pada industri yang berkaitan untuk orientasi ekspor."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharmen
"abstrak
Hampir semua negara di dunia baik negara berkembang maupun negara maju melakukan intervensi terhadap komoditi bahan pangan. Namun besarnya intervensi Pemerintah pada komoditi pangan antara satu negara dengan negara lainnya sangat berbedabeda. Jepang misalnya memberikan proteksi yang besar bagi perlindungan petani dalam negeri. Sedangkan di Indonesia perlindungan terhadap komoditi beras juga dilakukan melalui instrumen kebijaksanaan Pemerintah dalam stabilasasi harga beras. Tujuan Pemerintah melakukan intervensi terhadap komoditi pangan di Indonesia adalah : (a) Melindungi atau meningkatkan pendapatan petani; (b) mengurangi ketidakstabilan harga dan pengendalian inflasi; dan (c) menjamin keseimbangan antara produksi dan konsumsi dalam negeri.
Intervensi Pemerintah terhadap komoditi beras adalah melalui mekanisme harga yang menurut meier (1991) digolongkan pada pendekatan productive state dimana peran Pemerintah ditujukan untuk memperbaiki kegagalan pasar dan bentuk intervensi tidaklah bersifat langsung tetapi melalui mekanisme harga, setelah pasar bekerja dengan normal maka intervensi Pemerintah akan ditarik kembali. Kebijaksanaan yang muncul didasarkan untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Intervensi melalui mekanisme harga dilakukan dengan mempengaruhi tingkat harga di pasar. Pola pelaksanaan intervensi tersebut adalah dengan cara : (a) membeli beras produsen pada saat terjadinya musim panen dan menyimpannya menjadi buffer stole atau melakukan pengadaan beras melalui impor apabila tingkat produksi petani tidak bisa menutupi kekurangan konsumsi dan (b) melepaskan sick cadangannya pada saat terjadinya musim kemarau (kelangkaan beras).
Dalam rangka pengadaan beras baik pengadaan dalam negeri maupun melalui impor, Bulog memperoleh fasilitas kredit dengan tingkat suku bunga yang rendah (dibawah harga pasar), selisih
tingkat suku bunga kredit yang diterima tersebut mencerminkan subsidi Pemerintah untuk komoditi beras, disamping subsidi lainnya seperti pelaksanaan operasi pasar.
Besarnya stok cadangan beras komoditi beras yang dimiliki Bulog mencerminkan besarnya pinjaman yang diterima Bulog dalam dari Pemerintah. Semakin besar stok cadangan yang dimiliki Bulog maka semakin besar pula pinjaman yang disalurkan kepada Bulog. Besarnya anggaran yang disalurkan melalui Bulog dalam rangka menstabilkan harga beras mengakibatkan adanya kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya yang tertunda atau bahkan tidak dapat dibelanjai atau dikurangi dari anggaran Pemerintah yang juga memiliki dampak sosial yang luas terhadap masyarakat, seperti pembangunan Puskesmas, pembangunan sekolah dasar, dan lain sebagainya.
Hasil Analisa
Analisa dilakukan dengan dua cara yaitu analisa kualitatif dan analisa kuantitatif. Analisa kualitatif, menggambaran secara deskriptif tentang profil komoditi beras, sedangkan analisa kuantitatif, mengitung besaran subsidi yang disalurkan Pemerintah dan membandingkan hasil perhitungan subsidi tersebut dengan kegiatan lain yang juga memiliki dampak sosial terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pola intervensi yang dilakukan Bulog, oleh banyak pihak dikatakan telah berhasil salah satunya dibuktikan melalui penelitian Peter Tirner dalam syahrir (1992), seorang pakar ekonomi pembangunan mengatakan bahwa Bulog adalah salah satu contoh institusi yang berhasil melakukan intervensi Pemerintah terhadap komoditi pangan di Indonesia. Pola intervensi yang dilakukan oleh Bulog pada komoditi beras mengakibatkan telah menguntungkan semua pihak baik itu petani, masyarakat dan Pemerintah.
Namun demikian sebagai dampak dari keberhasilan tersebut muncul berbagai persoalan baru (baik itu dampak dari subsidi maupun perubahan-perubahan yang terjadi dalam negeri dimasang datang, seperti pada konsumsi, beras hampir dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, suplai beras dijamin oleh Pemerintah sampai pada daerah-daerah terpencil dan dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Akibatnya mendudukan posisi beras pada kelangkaan yang semu. Kondisi tersebut merupakan disinsentif.bagi
keanekaragaman bahan makanan atau diversifikasi bahan pangan di Indonesia. Akibat lainnya adalah mendudukan beras menjadi komoditi yang "strategis" sehingga ketergantungan mayarakat terhadap beras semakin tinggi.
Indonesia atau negara berkembang lainnya yang sebagian besar masyarakatnya mengkonsumsi beras. Dengan kondisi "krismon" seperti sekarang ini, sebagian masyarakat lebih cenderung melakukan hal apa saja untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya dengan cara melakukan pencurian, penjarahan, perampokan dan kerusuhan sosial lainnya. Kondisi demikian dibuktikan melalui penelitian Timmer tahun 1996 yang secara empirik menyimpulkan bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah pangannya dalam arti keamanan pangan.
Menurut penelitian LPEM-Ul tahun 1999, masalah ketahanan pangan nasional seiama ini sebenarnya hanya bertumpu kepada Bulog dengan dukungan kemudahan impor. Ketika nilai Rupiah melemah pada tingkat yang sangat parah, sisi ketahanan pangan yang didukung oleh impor tersebut terguncang hebat. Nilai kurs rupiah terhadap dollar sebelum krisis telah menyembunyikan kelemahan fundamental di sektor pertanian padi dengan adanya tekanan produksi.
Pertanyaan yang sangat penting yang perlu dipikirkan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan dengan cara yang sebaik-baiknya bagi penduduk Indonesia dan bagaimana bentuk kebijaksanaan yang rasional secara ekonomi dan optimal bagi kebutuhan masyarakat Indonesia. Untuk dapat menjawab pertanyaan diatas beberapa cara telah pernah dilakukan oleh Pemerintah, salah satunya melalui program swasembada pangan. Program swasembada pangan merupakan sasaran yang secara konsisten harus tetap diupayakan, agar kebutuhan pangan secara nasional dapat terpenuhi dengan tingkat harga yang dapat dipertahankan dan relatif stabil. Untuk mendukung kebijakan swasembada pangan tersebut maka teknologi harus secara terus menerus dihasilkan dan dikembangkan serta disebarluaskan kepada petani agar swasembada pangan dapat tercapai. Disamping itu sumber daya manusia di bidang pertanian perlu ditingkatkan agar teknologi tersebut dapat diserap dan diterapkan dengan baik oleh
petani. Penyediaan dan penyebaran teknologi produksi dan pemasaran yang lancar dan berkelanjutan merupakan prasarat bagi kelanjutan pembangunan di sektor pertanian. Alternatif Iainnya adalah diversifikasi bahan makanan kebutuhan pokok perlu diinformasikan secara baik dan benar sehingga ketergantungan terhadap satu bahan makanan pokok (beras) tidak terjadi. Diversifikasi dan pengembangan komoditi pangan di luar beras diperlukan agar ekonomi perdesaan tetap merupakan sumber pertumbuhan yang kuat dan dapat menampung pertambahan tenaga kerja baru.
Selanjutnya di masa mendatang kebijaksanaan harga dasar diharapkan dapat berubah intensitasnya sebagai akibat dari makin meningkatnya penghasilan masyarakat, yaitu pada saat pengeluaran masyarakat untuk konsumsi beras menjadi bagian yang relatif kecil dari seluruh pengeluaran rumah tangganya, maka pada kondisi demikian diharapkan fluktuasi harga beras tidak lagi mempengaruhi pengeluaran penduduk dan selanjutnya beras akan berubah fungsi dengan tidak lagi menjadi komoditi yang "strategic". Kebijaksanaan stabilisasi harga beraspun akan mengalami perubahan yang tentu saja termasuk kelembagaan Bulog.
Perspektif mengenai kebijaksanaan harga seperti ini penting diperhatikan karena upaya untuk menstabilkan harga selalu menimbulkan biaya yang tidak kecil dan biaya tersebut adalah biaya riil dengan mengorbankan kegiatan-kegiatan pembangunan Iainnya. Karenanya dalam jangka panjang harus dibuka kemungkinankemungkinan untuk memperlonggar sasaran untuk menstabilkan harga pangan terutama apabila tingkat penghasilan konsumen sudah cukup tinggi. Dengan demikian dana yang tadinya dialokasikan untuk subsidi beras dapat dimanfaatkan ke sektor Iainnya seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Perkembangan beberapa negara sosialis memberikan isyarat akan adanya perubahan besar-besaran tentang peran Pemerintah dalam rnembangun perekonomian negara dan bangsa. Kebijaksanaan harus diarahkan untuk mendorong sistem dan lembaga-lembaga pasar berkembang dan dapat bekerja dengan Iebih efisien. Sehingga kemampuan dan efisiensi lembaga-lembaga pasar dalam melaksanakan fungsi ekonominya akan mengalami peningkatan.
Indonesia yang secara geografis memiliki wilayah yang luas serta dengan perkembangan dinamika masyarakat yang berbeda dan adanya kesenjangan ekonomi, sosial serta kesenjangan antar daerah mengakibatkan penentuan kebijaksanaan yang tepat secara nasional akan menjadi sulit. Karenanya sejalan dengan konsep otonomi daerah maka upaya untuk meminimalisasi kesulitan dalam penerapan kebijaksanaan pangan dapat didistribusikan kepada daerah. Sehingga diharapkan daerah akan dapat menerapkan kebijaksanaan pangan untuk daerahnya sendiri. Pemberian wewenang yang kuat kepada daerah dalam menentukan arah kebijaksanaan pangan perlu lebih didukung secara lebih serius dengan prinsip tidak bertentangan atau justru menghambat akan terbentuknya lembaga ekonomi berbasiskan mekanisme pasar di daerah.
Implikasi Kebijakan
Pemberian subsidi beras melalui kebijaksanaan harga dasar dalam menghadapi perubahan makroekonomi dan globalisasi akan mempengaruhi peranan Bulog masa yang akan datang. Pengaruh tersebut adalah :
n Pertama, tekanan terhadap anggaran Pemerintah (rutin dan pembangunan) dimasa datang semakin kuat sehingga kemampuan Pemerintah dalam membiayai subsidi dan biaya operasional lainnya makin melemah.
n Kedua, dengan Undang Undang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, maka Pemberian wewenang penuh pada daerah untuk menentukan nasibnya sendiri harus pertimbangan. Sehingga perlu restrukturisasi dan redefenisi kelembagaan Bulog. Sejalan dengan itu, harus dilakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah.
? Ketiga, pada keadaan normal diharapkan terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat dari beras kepada bahan pangan substitusi Iainnya seperti jagung, gandum, sagu, kentang dan lain-lain yang menyebabkan kebutuhan relatif akan pangan (beras) akan berkurang.
? Keempat, tekanan terhadap kebutuhan akan deregulasi makin deras, meskipun dirasakan benturan terhadap kepentingan berbagai kelompok yang telah menikmati rente ekonomi. Sehingga upaya ke arah penciptaan sistem ekonomi yang berbasiskan mekanisme pasar perlu diciptakan, dan didorong ke arah itu.
Dari keempat point diatas, perubahan terhadap fungsi dan peranan Bulog dapat dilakukan secara sporadis dan bertahap. Pada tahap awal, larangan terhadap monopoli impor beras dicabut (monopoli Bulog terhadap komoditi beras) dan sektor swasta diberikan kesempatan untuk melakukannya secara transparan, sehingga tercipta persaingan yang sehat dalam perekonomian.
Dengan demikian ada tiga alternatif kebijaksanaan yang dapat disarankan. Setiap alternatif kebijaksanaan tentu saja mempunyai dampak konsekuensi yang dihadapi, diantaranya :
n Alternatif kebijaksanaan pertama adalah tetap mempertahankan kebijaksanaan pengaturan harga komoditi beras yang dimonopoli oleh Bulog dengan konsekuensi biaya subsidi yang basal..
? Alternatif kebijaksanaan kedua adalah dengan menerapkan deregulasi penuh (full deregulation) yaitu membebaskan dan menghapus pengaturan harga (price control).
n Alternatif kebijaksanaan ketiga adalah deregulasi parsial yaitu mengurangi hambatan entry (barrier to entry) dengan menetapkan standar entry. Pengaturan harga masih tetap diperlukan dengan memberi batasan (range) tertentu atas harga, dan memberi peluang kepada entrant untuk menjual pada batasan harga tersebut. Upaya sungguh-sungguh diperlukan untuk menciptakan kelembagaan yang berbasiskan pada mekanisme pasar.
Dari ketiga alternatif kebijaksanaan diatas sesuai dengan pendekatan regulasi, perlu diperhatikan juga alternatif kebijaksanaan persaingan yang menyangkut dua hal, yaitu :
n Pertama, pengaturan terhadap tindakan-tindakan pelaku usaha
dalam kegiatan usahanya, dan
? Kedua, kebijaksanaan untuk mendorong terciptanya iklim persaingan dalam perekonomian yang mengacu pada konsep mekanisme pasar.
Untuk yang pertama harus di atasi dengan suatu Undang-undang Persaingan Sehat atau Undang-Undang Antimonopoli, sedangkan untuk yang kedua lebih pada deregulasi dan liberalisasi perdagangan internasional. Untuk menciptakan Iingkungan yang Iebih kondusif bagi persaingan yang sehat maka kebijaksanaan persaingan yang menangani keduanya secara komprehensif harus diperkenalkan. Tanpa menangani masalah tadi secara komprehensif hanya akan menyelesaikan sebagian dari permasalahan dan tidak akan efektif untuk menciptakan suatu struktur pasar yang efisien.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Robert
"Perkembangan Industri di Indonesia, terutama industri hulu, merupakan suatu studi yang menarik untuk ditelu suri. Perkembangan teori ekonomi industri membawa kita kepada penelitian dalam perkembangan pasar di, industri pemintalan. Pembuktian premise dari teori ekonomi industri yang mengatakan bahwa struktur pasar mempunyai pengaruh terhadap kinerja pasar itu sendiri membawa penulis untuk melakukan pembuktian secal"s statistik untuk membuktikan hal tersebut. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan terlihat bahwa pengaruh dari struktur pasar terhadap kinerjanya, masih perlu untuk mempertimbangkan aspek perilaku pasar. Perilaku inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja pasar tersebut. Hal lain yang perlu untuk dicatat adalah latar belakang terbentuknya struktur pasar itu sendiri juga memainkan peranannya dalam menentukan kinerja. Latar belakang yang dimaksud disini mencakup juga. Aspek perilaku perusahaan-perusahaan didalam industri. aspek-aspek yang tercakup didalam latar belakang ini bisa berupa kesamaan dalam kepentingan di dalam industri, latar belakang sejarah, bahkan latarbelakang yang sifatnya politis."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1994
S18964
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Tangkas Arief Manuasar
"lndustri kendaraan bermotor Indonesia dilindungi oleh larangan impor kendaraan dalam bentuk CBU (Completely Built-Up), tarif atas impor kendaraan dalam bentuk CKD (Completely Knocked-Down) dan persyaratan kandungan lokal. Tulisan ini bertujuan melakukan pengukuran atas biaya perekonomian yang ditimbulkan oleh regime proteksi tersebut, serta pengukuran atas besarnya perubahan biaya neto oleh adanya reformasi kebijakan, yaitu dari proteksi yang bersifat hambatan kuantitatif (larangan impor dan persyaratan kandungan lokal) kebentuk proteksi tarif semata. Termasuk di dalam pengukuran adalah besarnya transfer dan biaya diantara kelompok-kelompok masyarakat dalam perekonomian. Sekalipun telah banyak literatur yang memberikan penjelasan teoritis atas biayamanfaat yang ditimbulkan oleh proteksi, namun perhitungan aktualnya, terutama bagi Indonesia, masih jarang dilakukan. Metode perhitungan menggunakan model yang dikembangkan oleh Wendy E. Takacs. Suatu model analisa keseimbangan statis, untuk membandingkan dua skenario kebijaksanaan dalam suatu periode. Dalam hal ini kondisi keseimbangan dalam pasar kendaraan dibawah regime yang protektif dengan pasar kendaraan dibawah regime tarif semata. Dampak dari suatu kebijaksanaan dilihat sebagai dampak perubahan dalam nilai-nilai parameter kebijaksanaannya terhadap perubahan dalam nilai kerugian dan transfer diantara kelompokkelompok dalam masyarakat. Hasil perhitungan menunjukan bahwa regime otomotif yang protektif telah menimbulkan sejumlah transfer kepada industri perakitan dan industri komponen diatas kerugian yang harus dipikul oleh konsumen. Konsumen membayar 18-19 juta rupiah lebih mahal dari yang semestinya dibayar jika pasar dalam persaingan bebas. Penghapusan larangan impor kendaraan dalam bentuk CBU semestinya memberi peluang bagi impor yang tidak terbatas, pada tingkat tarif yang berlaku. Harga yang harus dibayar oleh konsumen juga turun menjadi harga impor plus tarif. Secara keseluruhan, penghapusan proteksi dalam bentuk pembatasan kuantitatif, dan menggantikannya dengan proteksi dalam bentuk tarif semata, semestinya lebih menguntungkan konsumen. Namun tingkat tarif yang demikian tinggi justru menyebabkan kerugian konsumen per unit kendaraan sebesar, berturut-turut, 42 juta rupiah, 23juta rupiah dan 19 juta rupiah, berdasarkan asumsi tarif 200%, 100% dan 80%. Jika pemerintah bersungguh-sungguh dengan komitmennya dalam mendorong industri otomotif agar lebih berdaya saing, maka deregulasi Juni'93 harus dilanjutkan dengan kebijakan penurunan tarif secara berangsur-angsur, hingga tarif atas kendaraan CBU dan CKD hilang sama sekali. Program-program penciutan merek juga perlu dilanjutkan, hingga produksi kendaraan di Indonesia hanya terbatas pada beberapa merek kendaraan. Dan akhirnya, untuk mengantisipasi perdagangan bebas di masa mendatang, kebijakan industri otomotif harus mengubah orientasinya dari substitusi impor ke arah promosi ekspor."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1996
S19040
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andi Fahmi
"Hubungan antara struktur pasar dan kinerja masih menjadi bahan perbincangan antar ekonom hingga kini. Banyak teori-teori baru bermunculan dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang berbeda, namun dengan satu tujuan untuk mengetahui pola dan arah hubungan struktur pasar dan kinerja yang dihasilkan. Di samping itu, pola hubungan struktur dan kinerja sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana pasar tersebut berada. Hal itu menyebabkan topik hubungan struktur pasar dan kinerja tetap menarik untuk diteliti. Penelitian mencakup penelusuran pustaka sebagai upaya untuk memahami tentang dasar pemikiran hubungan struktur pasar dan kinerja, kedudukannya dalam analisa ekonomi industri, aliran-aliran ekonomi industri yang memiliki persepsi berbeda tentang pola hubungan struktur dan kinerja, serta bukti-bukti empiris yang diajukan ekonom-ekonom organisasi industri dan aliran-aliran yang ada. Studi empiris yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh pemahaman tentang pola hubungan struktur pasar dan kinerja di dalam industri pengolahan Indonesia. Kerangka analisa yang digunakan merupakan perpaduan antara kerangka SCP tradisional dan semangat Ekonomi Industri Baru, dengan memasukkan peralatan teori permainan, dalam hal ini teori permainan berulang (supergames). Dengan menggunakan metodologi panel, yaitu metode penyatuan data antar-waktu dan antar-individu, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara struktur pasar dan kinerja industri pengolahan Indonesia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin terkonsentrasi pasar, maka semakin tinggi kekuatan pasar yang diperoleh. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa semakin terdiferensiasi suatu produk, maka semakin tinggi hambatan masuk yang dapat dikenakan perusahaan yang ada di pasar untuk mencegah masuknya perusahaan baru, sehingga semakin tinggi kekuatan pasar yang diperoleh. Kesimpulan lain yang di dapat berhubungan dengan tacit collusion. Semakin terkonsentrasi pasar semakin mudah untuk melakukan kolusi. Selain itu, semakin homogen produk yang dihasilkan, semakin mudah untuk mencapai dan mempertahankan kolusi. Namun kolusi akan lebih susah dipertahankan bila terjadi fluktuasi permintaan, karena kolusi cenderung untuk pecah pada saat permintaan turun."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
S19210
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dendi Ramdani
"Sejak dilakukan deregulasi dibidang usaha jasa pelayaran melalui melalui Inpres Nomor 4 tahun 1985, penguasaan pangsa pasar perusahaan pelayaran nasional mengalami penurunan. Dibukanya 136 pelabuhan di Indonesia bagi kapal asing telah mengakibatkan pasar jasa pelayaran menjadi sangat kompetitif. Struktur pasar yang jasa pelayaran yang kontestable telah mengakibatkan pasar, yaitu jasa pelayaran berdasarkan jalur dan jenis kapal, mencapai tingkat laba normal. Yakni, kondisi dimana tingkat laba antar satu pasar dengan pasar lain sama sehingga tidak ada rangsangan bagi perusahaan untuk masuk atau keluar pasar. Obyek penelitian ini membatasi diri pada jalur pelayaran samudra dekat untuk kapal kontainer, karena memang kapal-kapal nasional hanya beroperasi pada jalur ini tidak pada jalur pelayaran samudra jauh yaitu pelayaran ke Afrika, Eropa dan Amerika. Berdasarkan sampel pasar yang diambil yaitu jalur pelayaran Tg. Priok/Tg. Perak/Tg. Emas-Singapore; Hongkong dan Jepang, kinerja kapal yang menggunakan indikator load factor kapal perusahaan nasional lebih rendah daripada kapal perusahaan asing. Rendahnya load factor ini dengan menggunakan metode Analitical Hierarchy Process disebabkan oleh ketepatan waktu, kecepatan, kontinuitas supply dan keamanan kapal nasional lebih rendah daripada kapal asing. Sedangkan untuk tarif, antara kapal nasional dengan kapal asing sama."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
S19206
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dionisius Ardiyanto N.
"Joe S. Bain adalah seorang ekonom neoklasik yang memelopori pembahasan topik kendala memasuki pasar (barriers to entry). Bain, dalam beberapa publikasinya mengatakan bahwa disamping tingkat konsentrasi, kendala memasuki pasar adalah termasuk penentu struktur pasar dan mempengaruhi tingkat keuntungan yang akan didapat perusahaan dalam suatu pasar. Selanjutnya Bain juga mengemukakan bahwa terdapat tiga hal yang mendeterminasi kendala yang terdapat dalam suatu pasar. Ketiga determinan tersebut adalah dimilikinya minimum efficient scale (MES), kentungan biaya absolut (absolute advantages cost) dan differensiasi produk. Ketiga determinan tersebut akan mempengaruhi keputusan perusahaan dalam menentukkan harga batas (limit price), dimana besar kecilnya harga batas terhadap harga kompetitif menunjukkan besar kecilnya kendala yang terjadi. Tujuan penulisan skripsi ini sederhananya adalah ingin melihat signifikansi berbagai determinan kendala yang dikemukakan Bain dalam hubungannya terhadap tingkat keuntungan. Untuk melakukan hal itu dilakukan pengujian dengan menggunakan model Comanor dan Wilson (1967), yang mewakili salah satu pendekatan dalam melihat masalah struktur pasar Pengujian empiris dilakukan dengan menggunakan data statistik industri skala besar dan menengah (sedang) dengan tingkat disagregrasi 5 digit KLUI, dari tahun 1992 sampai tahun 1996). Sedangkan untuk memperkaya analisis, penulis membagi data atas beberapa kelompok menurut beberapa kriteria. Metodologi yang digunakan adalah metodologi panel data. Dimana penggunaan panel data ini di satu sisi adalah sebagai usaha peningkatan dimana diketahui bahwa metodologi yang umum dipakai dalam studi ekonomi industri adalah metodologi kerat lintang (cross section). Dari hasil regresi panel, diperoleh hasil yang agak mengejutkan yaitu, diantara ketiga variabel yang merupakan perwakilan atas tiga determinan kendala yang dikemukakan Bain hanya absolute capital requirement saja yang ternyata signifikan dan memiliki hubungan yang positif dengan tingkat keuntungan. Sementara dua variabel lainnya, yaitu MES dan differensiasi produk walaupun secara statistik signifikan namun tidak mencerminkan hubungan yang positif. Sementara tingkat konsentrasi, hampir dari soluruh regresi menunjukkan hubungan yang signifikan dan positif terhadap tingkat keuntungan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1998
S19284
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library