Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Clarissa Wiraputranto
Abstrak :
Latar Belakang: Akne vulgaris (AV) adalah peradangan kronik pilosebasea yang umum terjadi pada semua usia, terutama remaja dan dewasa muda serta dapat memengaruhi psikologis pasien. Tata laksana AV merupakan sebuah tantangan karena keberagaman dalam menentukan diagnosis dan pilihan terapi antar negara. Indonesia mempunyai beberapa pedoman tatalaksana AV yang mempunyai similaritas antara lain konsensus IAEM 2015, PPK Perdoski dan PPK RSCM di tahun 2017. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas terapi standar AV berdasarkan panduan praktik klinis di Indonesia. Metode: Penelitian merupakan studi observasional analitik secara retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan rekam medis tahun 2017-2019. Sampel penelitian merupakan rekam medis pasien AV baru yang diikuti selama 3 bulan dan dengan metode total sampling. Data subjek yang diambil termasuk karakteristik sosiodemografi, karakteristik klinis, diagnosis, terapi berdasarkan PPK RSCM 2017, dan hasil terapi. Studi dan analisis dilakukan pada bulan April 2023 hingga Juli 2023. Hasil: Terdapat 131 SP yang memenuhi kriteria, 63,4% AV sedang, 20,6% AV ringan, dan 16% AV berat. Sebagian besar SP (92,4%) mempunyai AV dengan awitan sebelum usia 25 tahun. Median lama sakit AV yaitu 48 bulan. Riwayat terapi AV sebelumnya ditemukan pada 58% SP dan riwayat konsumsi obat akne pada 16% SP. Faktor risiko terbanyak berupa riwayat AV pada orang tua. Terapi utama paling banyak digunakan yaitu kombinasi retinoic acid, benzoyl peroxide, antibiotik topikal dan antibiotik oral pada 22,2% SP. Terapi standar AV secara bermakna menurunkan median jumlah lesi noninflamasi (25 vs. 8; p<0,001), median jumlah lesi inflamasi (10 vs. 2; p<001), median jumlah lesi total (41 vs. 10; p<0,001) setelah 3 bulan terapi, dengan median penurunan ketiga jumlah lesi lebih dari 50%. Proporsi derajat keparahan AV berbeda secara bermakna pada 3 bulan (p<0,001), dimana AV ringan meningkat (20,6% vs 93,1%) dan AV sedang atau berat menurun (sedang = 63,6% vs. 6,1%; berat = 16% vs. 0,8%). Kesimpulan: Terapi standar AV berdasarkan PPK di Indonesia efektif dalam mengurangi jumlah lesi noninflamasi, lesi inflamasi, dan lesi total, dan menurunkan derajat keparahan AV. ......Background: Acne vulgaris is a prevalent chronic inflammation of the pilosebaceous unit affecting all ages, especially teenagers and young adults, and often leads to psychological impairment. Management of acne vulgaris has been challenging due to various diagnostic parameters and treatment options across nations. Several treatment guidelines are available in Indonesia, of which have similarities among one another, such as consensus by Indonesian Acne Expert Meeting in 2015 and clinical practice guidelines by the Indonesian Society of Dermatology and Venereology and by Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital in 2017. Objective: This study aims to investigate the effectiveness of standard therapy for acne based on the clinical practice guidelines in Indonesia Methods: This is an analytical retrospective observational study using medical records from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital between 2017 – 2019. Research samples were medical records of new acne patients followed for 3 months by a total sampling technique. Extracted data included sociodemographic and clinical characteristics, diagnosis, and therapy based on the clinical practice guideline by Dr.Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital in 2017 and the results. This study was conducted from April 2023 to July 2023. Results: There were 131 subjects included, of which 63,4% were with moderate acne, 20,6% with mild acne, and 16% with severe acne. Most participants (92,4%) experienced acne for the first time before 25 years old. The median duration from the first occurrence of acne to the visit was 48 months. History of topical and oral acne therapy was found in 58% and 16% of participants, respectively. History of acne in parents was the most reported risk factor. Most subjects (22,2%) received a combination of retinoic acid, benzoyl peroxide, topical antibiotic, and oral antibiotic. Standard therapies significantly reduced the median of non-inflammatory lesions (25 vs. 8; p<0,001), inflammatory lesions (10 vs. 2; p<001), and total lesions (41 vs. 10; p<0,001) after a 3 month-therapy, with the median of reduction for all type of lesions over 50%. The proportion of acne severity differed significantly after three months (p<0,001), with an increasing proportion of mild acne (20,6% vs 93,1%) and decreasing percentage of moderate and severe acne (moderate = 63,6% vs. 6,1%; severe = 16% vs. 0,8%). Conclusion: Standard therapy for acne vulgaris in clinical practice guidelines in Indonesia is effective for noninflammatory lesions, inflammatory lesions, and total lesions, as well as acne severity after 12 weeks.
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Pitaloka
Abstrak :
Proses penuaan kulit secara ekstrinsik dipengaruhi oleh radiasi UV, merokok, gizi buruk, polusi udara, dan stres fisik. Dermoscopic photoaging scale (DPAS) adalah metode non-invasif untuk menilai penuaan foto. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi prevalensi penuaan kulit akibat paparan sinar UV pada personel militer pria berusia 30-42 tahun, dengan membandingkan kelompok infanteri dan administrasi yakni kelompok kesehatan militer (CKM) menggunakan DPAS. Selain itu, hubungan antara prevalensi penuaan, konsumsi alkohol, dan kebiasaan merokok akan diteliti. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Kriteria penuaan foto dinilai berdasarkan DPAS. Hasil dari penelitian ini yaitu sebanyak 40 subjek penelitian, semuanya memiliki skor DPAS total > 1, dengan kriteria yang paling sering ditemukan adalah ephelides/lentigines, yellow papules, dan superficial wrinkles. Tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebiasaan merokok dan skor DPAS di setiap wilayah wajah. Setelah melakukan penelitian, peneliti memiliki kesimpulan bahwa berdasarkan metode DPAS, tidak ada perbedaan prevalensi penuaan foto di kedua kelompok. Namun, skor total DPAS (StDPAS) infanteri lebih tinggi daripada StDPAS kelompok CKM, dengan perbedaan signifikan pada skor DPAS di wilayah pipi kanan dan pipi kiri dibandingkan dengan wilayah wajah lainnya. ......The extrinsic process of skin aging influenced by UV radiation, smoking, poor nutrition, air pollution, and physical stress. Dermoscopic photoaging scale (DPAS) is a non-invasive method to assess photoaging. This study aims to evaluate the prevalence of UV-induced skin aging in male military personnel aged 30-42, comparing infantry and administration groups in this research represented by military medical service group using DPAS. Additionally, the relationship between aging prevalence, alcohol consumption, and smoking habits will be examined. This is a descriptive analytic research with cross-sectional design. Photoaging criteria was assessed based on DPAS. The results of this research are a total of 40 research subjects, all had a total DPAS score > 1, with the most frequently found criteria being ephelides/lentigines, yellow papules, and superficial wrinkles. There was no statistically significant association between smoking habits and DPAS scores in each facial region. After doing this research, the writer concludes that based on DPAS method, there is no prevalence difference of photoaging in both groups. But the infantry's DPAS total score (TsDPAS) was greater than military medical service’s TsDPAS, with a significant difference in the DPAS score in the right and left cheek regions compared to other facial regions.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karin Rachmani
Abstrak :
Later belakang: Atlet renang berlatih di ruang terbuka terpajan sinar matahari dan dapat mengalami sunburn yang dapat dicegah dengan penggunaan tabir surya. Namun, aktivitas fisik dapat mengganggu efektivitas tabir surya, menurunkan kadar sun protection factor (SPF). Tabir surya diklasifikasikan menjadi inorganik dan organik. Tabir surya organik bertahan lebih lama, tetapi tabir surya inogranik memiliki spektrum luas, lebih fotostabil, dan jarang menimbulkan alergi. Tujuan: Mengetahui ketahanan SPF 30 tabir surya inorganik dan organik setelah digunakan berenang 1,5 jam. Metode: Penelitian merupakan uji klinis acak tersamar ganda dengan metode split body. Setiap subjek menerima dua perlakuan dengan randomisasi alokasi dan perlakuan. Perbedaan SPF kedua tabir surya dinyatakan tidak berbeda bila nilai p untuk uji berpasangan >0.05 dan batas atas interval kepercayaan tidak melebihi 4 SPF. Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna SPF kedua tabir surya sebelum berenang (p=0,220). Setelah berenang, terdapat penurunan SPF tabir surya inorganik, median 27 (23-47) menjadi 12,3 (8-19); dan organik, median 30 (24-47) menjadi 9,9 (6-19) yang bermakna secara statistik (p<0.0001). Setelah berenang, terdapat perbedaan penurunan SPF kedua kelompok yang bermakna secara statistik (p=0,017). Kesimpulan: Terdapat penurunan SPF tabir surya inorganik dan organik setelah digunakan berenang 1,5 jam dengan ketahanan tabir surya inorganik lebih baik dibandingkan tabir surya organik. Background: Outdoor swimmers are exposed to sun exposure, causing sunburn which is preventable by using sunscreen. However, physical activities interfere with sunscreen efficacy, decreasing its sun protection factor (SPF). Sunscreens are classified as inorganic and organic. Organic sunscreen last longer, however, inorganic sunscreen is broad-spectrum, more photostable, and less allergenic. Objective: To determine SPF 30 persistence between inorganic and organic sunscreen after 1,5 hours swimming. Methods: This is a randomized, split-body, double-blind, clinical trial. Each subject received two treatments. Subject allocation and treatment were randomized. The difference between sunscreens SPF is no different if p-value for paired test is >0.05 and the upper limit of confidence interval do not exceed 4 SPF. Results: There was no significant difference between SPF before swimming (p=0.220). After swimming, there was a decrease in inorganic sunscreen SPF, median 27 (23-47) to 12.3 (8-19), and organic, median 30 (24-47) to 9.9 (6-19) which was statistically significant (p<0.0001). When compared, there was statistically significant difference in the decrease of SPF between the two groups (p=0.017). Conclusion: There is a decrease in SPF of inorganic and organic sunscreen after 1.5 hours swimming with a better persistence of inorganic sunscreen compared to organic sunscreen.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Anjani Ramadhan
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Penderita diabetes melitus tipe 2 diprediksi akan semakin bertambah di seluruh dunia. Diabetes melitus merupakan penyakit yang dapat menimbulkan komplikasi di berbagai organ tubuh manusia, termasuk kulit. Kulit kering adalah komplikasi yang sering ditemukan pada penderita diabetes melitus dan berpotensi sebagai faktor predisposisi terjadinya luka yang dapat berkembang menjadi gangren. Terdapat beberapa teori yang diajukan, salah satunya adalah neuropati autonom perifer sebagai faktor etiologi kulit kering diabetes tipe 2. Belum ada penelitian mengenai hubungan antara neuropati autonom perifer dengan kulit kering diabetes melitus tipe 2.

Tujuan: Menguji hubungan neuropati autonom perifer dan kulit kering diabetes mellitus tipe 2.

Metode: Uji potong lintang. Enam puluh subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu, kelompok diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati dan kelompok diabetes melitus tipe 2 tanpa neuropati. Penilaian neuropati autonom perifer menggunakan skor SSW (stimulated skin wrinkling). Penilaian kekeringan kulit secara subjektif menggunakan specified symptom sum score dan secara objektif menggunakan Scap (skin capacitance) serta TEWL (trans epidermal water loss).

Hasil: Nilai specified symptom sum score kelompok yang tidak mengalami neuropati yaitu 4 (1-8) dan kelompok yang mengalami neuropati yaitu 4 (1-9) dengan nilai p > 0,05. Nilai TEWL pada kelompok neuropati lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami neuropati yaitu 10,5 (6,9-55,0) vs 9,3 (7,4-13,2) dengan nilai p < 0,05. Nilai scap lebih tinggi pada kelompok neuropati dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami neuropati yaitu 29,5 + 8,6 vs 27,0 + 7,2 dengan nilai p > 0,05. Kekuatan penelitian untuk ketiga parameter status hidrasi kulit dibawah 80%.

Kesimpulan: Tidak ada perbedaan bermakna secara klinis dan statistika terhadap kulit kering pada kelompok pasien diabetes tipe 2 dengan neuropati dan tanpa neuropati dilihat dari penilaian specified symptom sum score. Kelompok pasien diabetes tipe 2 yang mengalami neuropati memiliki nilai TEWL lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami neuropati, yang bermakna secara statistika. Nilai scap kelompok pasien diabetes tipe 2 yang mengalami neuropati lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami neuropati, walaupun tidak bermakna secara statistika. Kekuatan penelitian dibawah 80% menunjukkan bahwa secara statistika, hasil dari penelitian ini belum cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antara kulit kering pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati autonom perifer.
ABSTRACT
Background: Prevalence of type 2 diabetes mellitus is predicted to elevate worldwide. Diabetes mellitus cause complications in many organs, including the skin. Dry skin is common in diabetics and potential to predispose wound that could complicate into gangrene. One of the theory which explain the etiology of dry skin in diabetics is peripheral autonom neuropathy. There is not a study that evaluate association of peripheral autonom neuropathy and dry skin in type 2 diabetes mellitus.

Objective: To asses association of peripheral autonom neuropathy and dry skin in type 2 diabetes mellitus.

Methods: A cross sectional study. Sixty subjects are divided into 2 groups, group of diabetics with neuropathy and without neuropathy. Evaluation of peripheral autonom neuropathy was using SSW (stimulated skin wrinkling) scoring system. Subjective tool to evaluate dry skin was the Specified Symptom Sum Score (scaling, roughness, redness, cracks fissures) and the objective tool was using Scap (skin capacitance) and TEWL (trans epidermal water loss).

Result: Specified Symptom Sum Score mean value in group without neuropathy is 4 (1-8) and with neuropathy is 4 (1-9), p value > 0,05. TEWL mean value in group with neuropathy is higher than group without neuropathy 10,5 (6,9-55,0) vs 9,3 (7,4-13,2) and p value < 0,05. Scap value is higher in group with neuropathy than group without neuropathy 29,5 + 8,6 vs 27,0 + 7,2 and p value > 0,05. The calculation shows below 80% for statistical power.

Conclusion: There is no clinically and statistically significant difference in type 2 diabetes dry skin with neuropathy and without neuropathy for Specified Symptom Sum Score. TEWL value in group with neuropathy is higher than group without neuropathy, which statistically significant. Scap value in group with neuropathy in higher than group without neuropathy, there is no statistically significant. Below 80% statistical power shows the low strength of this study.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library