Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tara Sadwika P.J.
"Latar Belakang: Tujuan dari manajemen luka bakar adalah untuk menginiasi penutupan luka dini atau epitelisasi, dan untuk mencegah komplikasi akibat sepsis. Namun, dari praktik harian kami, diagnosis dini, terutama dalam menentukan kedalaman luka bakar pada fase akut, cukup sulit karena proses luka bakar terus berlangsung. Pengukuran objektif merupakan metode tambahan yang baik untuk membantu dokter mengevaluasi kedalaman luka bakar, misalnya pencitraan termal FLIR ONE. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi validitas FLIR ONE termografi sebagai alat untuk menilai kedalaman luka bakar, dan keandalan evaluasi klinis dan FLIR ONE yang dilakukan oleh ahli konsultan ahli luka bakar bedah plastik dan senior residen bedah plastik. Metode: Studi diagnostik yang dilakukan dari November 2019 - April 2020 di pusat kami. Dengan kriteria inklusi disebutkan kami melakukan pengamatan dua kali berdasarkan evaluasi klinis dan juga alat bantu FLIR ONE termografi pada luka bakar superfisial dan mid-dermal dalam waktu 48 jam pascalukabakar, dan hari 3-5 pascalukabakar, dengan outcome yaitu evaluasi klinis yang dilakukan oleh ahli bedah plastik konsultan luka bakar berpengalaman di hari ke 7. Data dikumpulkan dan menganalisis validitas dan realibilitas. Hasil: 43 sampel yang diambil dari laki-laki 15 (53,6%) dan perempuan 13 (46,4%), usia rata-rata 41,82 ± 13,52 tahun. Sebagian besar sampel adalah dari wajah 14 (32,6%), dan ekstremitas atas 11 (25,6%). Realibitas: ICC adalah T1 0,95 dan T3 0,98, menunjukkan angka baik hingga hari ke 7 hari pascalukabar. Kesenjangan evaluasi klinis antara kedua pengamat (konsultan luka bakar bedah plastic berpengalaman dan residen bedah plastik senior) di T1 adalah 6,9% dan di T3 adalah 9,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penilaian klinis baik di T1 (p = 0,82) dan T3 (p = 0,51) dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengukuran menggunakan alat FLIR ONE antara dua pengamat baik di T1 (p = 0,25) dan T3 (p = 0,91 ). Validitas: AUC dihitung pada T1 adalah 0,72 (95% CI: 0,563 - 0,880) p = 0,014 dengan titik batas T1 pada -0,8 ° C, menunjukkan diskriminasi moderat antara kategori penyembuhan yang re-epitelisasi <= 7 hari dan > 7 hari (sensitivitas 62,5%; spesifisitas 78,9%). Kami menggabungkan evaluasi klinis dan T1 dalam waktu 48 jam setelah luka bakar, penggunaan Flir ONE sebagai alat tambahan meningkatkan sensitivitas menjadi 58,33%, spesifisitas 98% dari evaluasi klinis saja. Probabilitas re-epitelisasi temuan klinis kedalaman luka superfisial dengan nilai T1 > -0,8 C memiliki probabilitas tertinggi (90,94%) untuk re-epitelisasi dalam waktu kurang dari sama dengan 7 hari. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan validitas dan reliabilitas yang baik dari evaluasi klinis saja dan evaluasi klinis dengan FLIR ONE termografi dalam menilai kedalaman luka bakar. Titik potong kami dalam menentukan kedalaman luka bakar adalah -0,8 ° C, dengan hasil probabilitas yang baik untuk membedakan hasil epitelisasi berulang. Penelitian ini juga memberi tahu kami bahwa program residensi bedah plastik di rumah sakit pendidikan kami telah berhasil membangun kompetensi modul yang baik, dan reisden memiliki paparan yang cukup terhadap kasus luka bakar.

Background: The aim of the management of burn wound is to initiate early wound closure or epithelization, and to prevent sepsis complication. However, from our daily practice, early diagnosis especially in determining the depth of burn wound in acute phase, is quiet difficult as burn wound process is running. Objective measurement may be great adjunct methods to to help clinician evaluating burn wound depth, as an example of FLIR ONE thermal imaging. The objective was to evaluate the validity of FLIR ONE thermal imager as an adjunct tool to assess burn wound depth, and reliability of clinical evaluation and FLIR ONE performed by senior resident of plastic surgery and experienced burn consultant plastic surgeon. Methods: This is a diagnostic study conducted from November 2019 – April 2020 in our center. With inclusion criteria mentioned we did observation twice based on clinical visual and also FLIR ONE thermal imaging on superficial and mid dermal burn within 48 hours post burn, and post burn day 3-5, outcome by clinical evalution done by experienced burn consultant plastic surgeon on day 7. Data were collected and analyze validity and realibility. Result: We had 43 samples taken from male 15 (53,6%) and female 13 (46.4%), average age 41.82 ± 13.52 years. As facial 14(32.6%), and upper extremities 11 (25.6%) as most samples use. Reliability: ICCs were T1 0.95 and T3 0.98, indicating excellent reliability up to 7 days after burn. The gap of clinical evaluation between both observers (experienced burn consultant and senior plastic surgery resident) at T1 is 6.9 percent and at T3 is 9.3 percent. There were no significant difference in clinical assessment both in T1 (p=0.82) and T3 (p=0.51) and no significant difference in measurements using FLIR ONE between two observers both in T1 (p=0.25) and T3 (p=0.91). Validity: the area under the curve was calculated at T1 was 0.72 (95% CI: 0.563 – 0.880) p = 0.014 with a cut-off point of T1 at -0.8°C, shows a moderate discrimination between healing categories re-epithelialization <= 7 days and > 7 days (62.5% sensitivity; 78.9% specificity). We combined clinical evaluation and T1 within 48 hours post burn, the use of Flir One as an adjunct tool increased the sensitivity to 58.33%, specificity 98% of clinical evaluation solely. the probability of re-epithelialization of clinical finding of superficial wound depth with T1 value of >-0.8oC had the highest probability (90.94%) to re-epithelialized in less equal to 7 days. Conclusion: This research showed good validity and reliability of clinical evaluation alone and clinical evaluation adjunct with FLIR ONE thermal imaging in assessment of burn wound depth. Our cut off point in determining the burn wound depth was -0.8° C, with good probability result to differentiate re-epithelialization outcome. This research told us that plastic surgery residency program of our teaching hospital had successfully established a good module competency, and resident had enough exposure to the burn cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nungki Ratna Martina
"Latar Belakang : Acute kidney injury (AKI) adalah komplikasi tersering pada pasien luka bakar. Disfungsi renal akut adalah komplikasi mayor yang disebabkan oleh trauma panas akibat luka bakar dan dikaitkan dengan tingginya angka mortalitas terutama pada pasien anak. Patofisiologi dari AKI pada luka bakar masih sedikit dibahas dalam studi. Faktor yang mempengaruhi terjadinya AKI adalah berkurangnya perfusi ginjal dan inflamasi. Managemen awal pada luka bakar merupakan hal yang penting dan kritis. Penggantian cairan pada pasien luka bakar memiliki efek protektif melawan gagal ginjal. Pada studi ini, kami mencoba mengevaluasi angka kejadian AKI dihubungkan dengan resusitasi cairan 24 jam pertama pada pasien luka bakar anak.
Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada pasien luka bakar anak yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM Jakarta dari Januari 2012 hingga Desember 2013. Kami bagi menjadi dua kelompok, kelompok AKI dan non-AKI dengan menggunakan kriteria pRIFLE. Dilakukan penghitungan Parkland Score pada masing-masing kelompok dan dibandingkan menggunakan analisa t-test.
Hasil : Terdapat 43 pasien luka bakar anak yang memenuhi kriteria dan pencatatan rekam medis yang lengkap. Angka kejadian AKI adalah 18.6% (8 pasien), sedangkan non-AKI 81.4% (35 pasien). Median dari usia pasien adalah 36 bulan (min-maks 6-192 bulan), berat badan pasien 14 kg (7-60 kg), total area luka bakar (%TBSA) adalah 18% (10-60%), waktu masuk ke RS pasca-trauma adalah 5 jam (1-20 jam), dan lama waktu rawat 11 hari (3-47 hari). Rerata Parkland Score dari kelompok AKI adalah 0.79, sedangkan kelompok non-AKI adalah 0.94. Dengan analisa t-test didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p=0.33). Kemudian dilakukan analisa karakteristik pasien antar kelompok, tidak terdapat perbedaan nilai yang bermakna pada karakteristik pasien antar kelompok (p value > 0.05).
Simpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara angka kejadian AKI dengan resusitasi cairan pada 24 jam pertama. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya AKI pada luka bakar anak. Iskemia ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya AKI kemungkinan hal yang kurang bermakna pada fase akut seperti yang diduga sebelumnya, melainkan inflamasi dan apoptosis sel ginjal yang memegang peranan penting terjadinya AKI.

Background : Acute kidney injury (AKI) is a frequent complication in patients with severe burn injury. Acute renal dysfunction is a major complication affecting the thermally injured individual and is commonly associated with a high mortality rate especially among children patients. The pathophysiology of AKI in burn injury is less well studied. Contributing factors for the development of AKI are decreased renal perfusion and inflammation. Initial management of the burn individual to be critically important to overall survival. Fluid replacement therapy was demonstrated to have a protective affect against acute renal failure. In this study, we try to evaluate volume of fluid resuscitation in first 24 hours with acute kidney injury following pediatric major burn injury.
Method : This research is retrospective study evaluating the relationship between fluid resuscitation in first 24 hours and acute kidney injury (AKI) in pediatric major burn injury patients admitted to Burn Unit Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from January 2012 untill December 2013. We divided into two groups, AKI group and non-AKI group using pRIFLE criteria, then we compared actual volume resuscitation with volume resuscitation in Parkland formula (Parkland score) between groups.
Results : There was 43 pediatric major burn patients with complete fluid and laboratory result data. The incidence of Acute Kidney Injury (AKI) among all patients was 18.6% (8 patients), while non-AKI was 81.4% (35 patients). The median of patient age was 36 months (min-max 6-192 months), patient weight was 14 kgs (7-60 kgs), total body surface area burned (%TBSA) was 18% (10-60%), time to hospital admission was 5 hours after injury (1-20 hours), and length of stay was 11 days (3-47 days). The mean Parkland Score from AKI group was 0.79, while in non-AKI group was 0.94. With independent t-test analysis, there was no significant difference between groups (p=0.33). Then we analyzed patients characteristics between group. We found there was no significant value between patients characteristics in both groups (p value > 0.05).
Conclusions : Parkland Score that we used to estimate total fluid resuscitation in first 24 hours did not shown significant difference between groups. This could be indicated that fluid resuscitation in our burn unit is sufficient for resuscitation or there was other factor influence the incidence of AKI. Renal ischemia that can lead to acute kidney injury is probably less important in the acute phase of burn injury than originally presumed. Instead, inflammation and apoptosis are probably playing an important role.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Friscilla Hakim
"Pendahuluan: Perhitungan luas area luka bakar/total burn surface area (TBSA) tidak mungkin dilakukan secara eksak. Perbedaan estimasi TBSA sering dijumpai, bahkan di antara para ahli luka bakar. Namun, perhitungan ini merupakan langkah yang sangat penting untuk menentukan jumlah cairan resusitasi yang akan diberikan. Kebutuhan akan bantuan computer dalam proses perhitungan ini dirasakan perlu, walaupun penggunaan grafik Lund-Browder telah lama digunakan dalam praktik klinis. Burn Case 3DTM adalah sebuah aplikasi peranti lunak baru yang dapat digunakan untuk membantu perhitungan TBSA. Tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan validitas dan reliabilitas di antara kedua metode ini untuk menghitung TBSA dalam praktik klinis.
Metode: Dua orang evaluator menghitung TBSA dari 20 set foto digital pasien Unit Luka Bakar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang didapatkan dari bank data Divisi Bedah Plastik. Metode perhitungan yang digunakan adalah grafik Lund-Browder dan Burn Case 3DTM. Validitas dan reliabilitas kedua metode ini akan diukur menggunakan grafik Bland Altman. Rata-rata perbedaan pengukuran dapat diterima bila berada di bawah 5%.
Hasil. Validitas BurnCase 3DTM dibandingkan dengan grafik Lund-Browder dalam menghitung total luas luka bakar adalah sangat baik (Beda Rerata -0,96 (IK95% -0,36 sd 2,28); limit kesesuaian -4,69 sd 6,61; ICC=0,997 (IK95% 0,992 sd 0,999). Reliabilitas perhitungan luas luka bakar dengan grafik Lund-Browder menurut beberapa parameter adalah sebagai berikut: beda rerata -0,025 (IK95% -1,47 hingga 1,42); limit kesesuaian -6,22 hingga 6,17; ICC = 0,996 (IK95% 0,990 hingga 0,998). Reliabilitas penghitungan luka bakar dengan BurnCase 3DTM adalah sebagai berikut: beda rerata -0,71 (IK95% -1,59 hingga 0,18); limit kesesuaian -4,48 hingga 3,07; ICC = 0,999 (IK95% 0,996 hingga 0,999).
Kesimpulan. Validitas BurnCase 3DTM dalam menghitung luas luka bakar dibandingkan dengan grafik Lund- chart sebagai alat referensi adalah sangat baik dengan nilai ICC sebesar 0,997. BurnCase 3DTM terbukti reliabel secara klinis dan statistik sebagai alat untuk menghitung luas luka bakar.

Introduction. Calculating the total burn surface area (TBSA) is never an exact measure. High deviation of TBSA estimation is common even among the burn specialist. However, this is a very critical step in determining the amount of initial fluid resuscitation to be administered. The need for computer assisted calculation is consider even the Lund-Browder chart has long been used in the clinical setting as a guide to estimate TBSA. A more recent software application is available to aid this estimation, the BurnCase 3DTM. This study aims to compare the validity and reliability of the two tools in calculating TBSA in the clinical setting.
Methods. The TBSA of twenty set of digital pictures of Burn Unit Cipto Mangunkusumo Hospital patients, extracted from the Plastic Surgery division database, covering the patients’ whole body is assessed by 2 assessors using (1) The Lund-Browder chart as the reference, and (2) The BurnCase 3DTM as a new measurement tools. The validity and reliability of each estimated values from both device will be measured using Bland Altman test. The mean difference assumed acceptable if less than 5 percent.
Results. The validity of the BurnCase 3DTM compared to the Lund-Browder chart to calculate total burn surface area (TBSA) according to various parameters is as follow: mean difference -0,96 (CI95% -0,36 to 2,28); limit of agreement -4,69 to 6,61; ICC = 0,997 (CI95% 0,992 to 0,999). The inter-rater reliability of TBSA calculation using the Lund Browder chart is as follow: mean difference -0,025 (CI95% -1,47 to 1,42); limit of agreement -6,22 to 6,17; ICC = 0,996 (CI95% 0,990 to 0,998). The inter-rater reliability of TBSA calculation using The BurnCase 3DTM is as follow: mean difference -0,71 (CI95% -1,59 to 0,18); limit of agreement -4,48 to 3,07; ICC = 0,999 (CI95% 0,996 to 0,999).
Conclusion. The BurnCase 3DTM is a valid tool to calculate TBSA when compared to the Lund Browder chart as the reference measurement tool to calculate total burn surface area (TBSA) with an ICC value of 0,997. The BurnCase 3DTM is proved clinically and statistically reliable as a measurements tool to calculate TBSA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Afriyanti Sandhi
"[ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Erythropoetin (EPO) sebagai hematopoietic growth factor, menarik perhatian para peneliti akibat efeknya dalam melindungi jaringan. EPO berinteraksi dengan vascular endothelial growth factor (VEGF) dan menstimulasi mitosis dan motilitas sel endotel dalam proses neo-angiogenesis; dan hal ini penting dalam fenomena kompleks penyembuhan luka, Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki efek pemberian EPO pada penyembuhan luka bakar eksperimental di hewan coba.
METODE: Lima belas ekor tikus Sprague-Dawley, strain dari Rattus Novergicus dengan berat antara 300-350 gram yang merupakan subjek hewan coba pada penelitian ini dibuat perlakuan eksperimental luka bakar grade 2B (dermis dalam). Lalu hewan coba akan dibagi ke dalam tiga grup secara acak dan mendapatkan terapi injeksi EPO dosis rendah (600 IU/mL), injeksi EPO dosis tinggi (3000 IU/mL) dan tidak mendapatkan perlakuan terapi apapun (grup kontrol). Setelah 14 hari observasi, dilakukan penilaian secara kuantitatif dari proses penyembuhan luka dengan menghitung persentasi epitelialisasi menggunakan perangkat lunak Analyzing Digital Images®. Dilakukan pula penilaian secara kualitatif dengan menghitung skor perubahan histopatologis pada penyembuhan luka.
HASIL: Ukuran luka dan percepatan epitelialisasi dihitung pada hari ke-0, hari ke-5, hari ke-10 dan hari ke-14. Didapatkan bahwa hasil rerata ukuran raw surface (p value: 0.012 pada hari ke-5; 0.009 pada hari ke-10 and 0.000 pada hari ke-14) dan persentase penyembuhan luka (p value: 0.011 pada hari ke-5; 0.016 pada hari ke-10 and 0.010 pada hari ke-14), nilai terbaik dicapai oleh grup injeksi EPO dosis rendah. Evaluasi histopatologis menunjukkan bahwa skor tertinggi untuk re-epitelialisasi, jaringan granulasi dan neo-angiogenesis juga didapatkan pada grup injeksi EPO dosis rendah.
SIMPULAN: Pada studi hewan coba menggunakan tikus Sprague-Dawley ini, didapatkan bahwa injeksi Recombinant Human EPO (rHuEPO) dapat mempercepat proses re-epitelialisasi dan penyembuhan luka yang disebabkan oleh luka bakar grade 2B (dermis dalam). Temuan ini diharapkan akan membuka pengetahuan baru dalam peningkatan kualitas terapi pada penyembuhan luka bakar.

ABSTRACT
BACKGROUNDS: The hematopoietic growth factor erythropoietin (EPO) attracts attention due to its all-tissue-protective pleiotropic properties. EPO interacts with vascular endothelial growth factor (VEGF) and stimulates endothelial cell mitosis and motility in neo-angiogenesis; thus it may of importance in the complex phenomenon of wound healing. The purpose of this study is to investigate the effect of EPO in experimental burn wounds healing.
METHODS: Fifteen healthy Sprague-Dawley, strain of Rattus Novergicus weighing 300-350 grams, were prepared to achieve deep dermal burns. Animals were randomized to receive either low-dose EPO injection (600 IU/mL), high-dose EPO injection (3000 IU/mL) or nothing (control group). After 14 days of observations, a quantitative assessment of wound healing was determined by percentage of wound closure and epithelialization using Analyzing Digital Images® Software. And qualitative assessment was done to evaluate the score of histopathological changes in wound healing.
RESULTS: The size of the wound area and re-epithelialization rate percentage was determined on Day-0, Day-5, Day-10 and Day-14. The average of raw surface areas measurement (p value: 0.012 in day-5; 0.009 in day-10 and 0.000 in day-14) and healing percentage of the lesions (p value: 0.011 in day-5; 0.016 in day-10 and 0.010 in day-14) were significantly best in the low- dose EPO group compared to the control group and high-dose EPO group. The histopathology evaluation revealed that the highest score for re-epithelialization, granulation tissue and neo- angiogenesis were achieved by the low-dose EPO injection group than in both control and high- dose EPO injection groups.
CONCLUSIONS: In this animal study using Sprague-Dawley rats, Recombinant Human EPO (rHuEPO) injection administration prompted the evidences of improved re-epithelialization and wound healing process of the skin caused by deep dermal burns. These findings may lead to a new therapeutic approach to improve the clinical outcomes for the management of burns wound healing., BACKGROUNDS: The hematopoietic growth factor erythropoietin (EPO) attracts attention due to its all-tissue-protective pleiotropic properties. EPO interacts with vascular endothelial growth factor (VEGF) and stimulates endothelial cell mitosis and motility in neo-angiogenesis; thus it may of importance in the complex phenomenon of wound healing. The purpose of this study is to investigate the effect of EPO in experimental burn wounds healing.
METHODS: Fifteen healthy Sprague-Dawley, strain of Rattus Novergicus weighing 300-350 grams, were prepared to achieve deep dermal burns. Animals were randomized to receive either low-dose EPO injection (600 IU/mL), high-dose EPO injection (3000 IU/mL) or nothing (control group). After 14 days of observations, a quantitative assessment of wound healing was determined by percentage of wound closure and epithelialization using Analyzing Digital Images® Software. And qualitative assessment was done to evaluate the score of histopathological changes in wound healing.
RESULTS: The size of the wound area and re-epithelialization rate percentage was determined on Day-0, Day-5, Day-10 and Day-14. The average of raw surface areas measurement (p value: 0.012 in day-5; 0.009 in day-10 and 0.000 in day-14) and healing percentage of the lesions (p value: 0.011 in day-5; 0.016 in day-10 and 0.010 in day-14) were significantly best in the low- dose EPO group compared to the control group and high-dose EPO group. The histopathology evaluation revealed that the highest score for re-epithelialization, granulation tissue and neo- angiogenesis were achieved by the low-dose EPO injection group than in both control and high- dose EPO injection groups.
CONCLUSIONS: In this animal study using Sprague-Dawley rats, Recombinant Human EPO (rHuEPO) injection administration prompted the evidences of improved re-epithelialization and wound healing process of the skin caused by deep dermal burns. These findings may lead to a new therapeutic approach to improve the clinical outcomes for the management of burns wound healing.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar Lewa
"Latar belakang: Pada tahun 2018, diperkirakan tercatat 265.00 kematian yang disebabkan oleh luka bakar. Sekitar 96% kasus kematian terjadi di negara berkembang, dimana dua per tiga-nya terjadi di Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Metode:Subjek dibagi ke dalam dua grup yang diidentifikasi secara retrospektif dari rekam medis, dan dibandingkan secara prospektif. Studi ini membandingkan mortalitas, insiden sepsis, dan lama rawat inap pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini (n=23) yang dibandingkan dengan pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda (n=23). Data dianalisa dengan Fisher Exact Test dan Mann-Whitney.
Hasil: Dari Januari 2016 sampai Agustus 2018, terkumpul 46 pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini berbeda secara bermakna (p<0.001) dengan kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda dengan risiko relatif 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada mortalitas dan lama rawat inap pada kedua grup tersebut (p>0.05).
Kesimpulan: Eksisi tangensial dini bermanfaat untuk mencegah kejadian sepsis pada pasien luka bakar deep dermal dan luka bakar full thickness. Namun begitu, penilaian kedalaman luka bakar bersifat subjektif terhadap pengalaman klinis seorang dokter bedah. Eksisi tangensial dini harus dilakukan tidak lebih dari 96 jam setelah kejadian luka bakar.

Background: In the year 2018, it is estimated that 265.000 deaths are associated with burn injury annually. Approximately 96% of these cases occur in developing countries, out of which two-thirds are in the Africa and Southeast Asia regions, including Indonesia
Methods: There were two groups which are retrospectively identified from the medical records, and then prospectively compared. We compare mortality, sepsis incidence and hospital length of stay in patients underwent early tangential excision (n=23) to those who underwent delayed tangential excision (n=23) using Fisher Exact Test and Mann-Whitney.
Result: From January 2016 to August 2018, 46 patients met the inclusion criteria of this study. The incidence of sepsis was statistically significant with all sepsis incidence occurs only delayed tangential excision group (p<0.001) with relative risk 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). There were no differences on the mortality as well as hospital length of stay between early and delayed tangential excision groups (p>0.05).
Conclusion: Early tangential excision is beneficial to prevent sepsis in patients with deep dermal and full thickness burn. Although burn depth assessment can be subjective to surgeon's clinical experience. Early tangential excision should be done no longer than 96 hours after burn injury.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma Afira
"Latar Belakang: Luka bakar merupakan suatu cedera berat yang memerlukan tata laksana khusus multidisiplin. Untuk mengukur kinerja dari pelayanan luka bakar dibutuhkan luaran yang terstandardisasi untuk memungkinkan perbandingan dan penentuan efek dari tata laksana tersebut. Penulis ingin mengevaluasi efek dari eksisi dini sebagai tata laksana awal pada kondisi sumber daya yang terbatas menggunakan LA50 sebagai luaran.
Metode: Sebuah studi kohort retrospektif terhadap pasien luka bakar akut dilakukan dari bulan Januari 2013 hingga Desember 2018 untuk menentukan luaran dari pelayanan luka bakar yang mencakup mortalitas dan LA50 serta untuk membandingkan luaran dari eksisi dini (EEWG) sebagai tata laksana awal dibandingkan dengan eksisi dini dan tandur kulit (EESG) atau eksisi tertunda dan tandur kulit (DESG).
Hasil: Terdapat 256 pasien yang memenuhi kriteria penelitian, mayoritas berada dalam kelompok usia 15-44 tahun dengan lebih dari setengah pasien memiliki luas luka bakar 20-50% TBSA dan median TBSA 26%. Angka mortalitas keseluruhan adalah 17.9% dengan peningkatan seiring usia dan TBSA. Peningkatan mortalitas yang signifikan didapatkan pada kelompok TBSA 40.5-50.0%, yang terus meningkat dan mencapai puncaknya pada TBSA 70% ke atas. Akibat keterbatasan sampel dan jumlah kematian, hanya kelompok usia 15-44 tahun dan 45-64 tahun yang dapat memberikan LA50, masing-masing sebesar 43% dan 45%. Angka LA50 keseluruhan adalah 49% terlepas dari adanya penurunan angka mortalitas. Data awal menunjukkan bahwa persentase tertinggi kematian didapatkan pada kelompok tanpa perlakuan, dengan tidak adanya pasien yang meninggal pada kelompok EESG dan DESG. Rasio odds pada kelompok EEWG adalah 2.11 (p-value 0.201, CI95% = 0.65-6.80) dibanding kelompok DEWG.
Simpulan: Penggunaan luaran yang terstandardisasi berupa LA50 memberikan masukan yang lebih objektif dibanding angka mortalitas dan memungkinkan perbandingan internal dan eksternal di masa mendatang. Pembedahan pada pasien dengan TBSA 40- 50% perlu diprioritaskan untuk meningkatkan kesintasan. Pengembangan dari sumber daya untuk menutup defek perlu ditingkatkan untuk memungkinkan eksisi dini secara total. Sedikitnya jumlah pasien tindakan eksisi dini dan tandur kulit menunjukkan perlunya skrining dan triase yang lebih cermat untuk pasien yang membutuhkan tindakan tersebut. Diperlukan studi lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan efek dari eksisi dini tanpa tandur kulit sebagai tata laksana awal pada pusat pelayanan dengan sumber daya terbatas.

Background: Burn is a highly debilitating injury requiring a specialized and multidisciplinary care. Measuring the outcome of burn care demands a standardized outcome to enable comparison and determine impact of treatment. In a limited resource setting, the author sought to evaluate the effect of early excision as a preliminary treatment using LA50 as an outcome measurement.
Methods: A retrospective cohort study of acute burn patients was conducted from January 2013 to December 2018 to establish outcomes of burn care including mortality and LA50 and to compare the outcomes between treatment groups undergoing early excision without skin graft (EEWG), early excision and skin graft (EESG), and delayed excision and skin graft (DESG).
Results: Out of 390 patients available for screening, 256 were eligible for further study. Most patients were within age group 15-44 years and almost half were within 20-50% TBSA with median TBSA percentage of 26%. The overall mortality was 17.9% with an increase linear with age and TBSA. A significant mortality increase was observed from 40.5-50.0% TBSA group, which reached a plateau from TBSA 70% and up. Due to limited sample size and patient deaths, only age groups 15-44 years and 45-64 years could provide individual LA50 at 43% and 45%, respectively. The overall LA50 was identified at 49% despite lower mortality compared to a previously published number. Preliminary data showed that the highest percentage of deaths was seen in no treatment group, with no deaths seen in treatment groups EESG and DESG. The odds ratio for mortality in EEWG group was 2.11 (p-value 0.201, CI95% = 0.65-6.80) compared to DEWG group.
Conclusion: The use of a standardized outcome in the form of LA50 provides a more objective insight compared to crude mortality and enables future internal and external comparison. Surgery for patient with 40-50% TBSA should be prioritized to increase survival, and development of resources for defect closure should be encouraged to enable total early excision. The small number of patients undergoing early excision and skin grafting calls for a more attentive screening to triage and select candidates who may benefit from this procedure. Further study with bigger sample size is required to examine the effect of early excision without skin grafting as a preliminary procedure in a limited resource setting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budhi Arifin Noor
"[ABSTRAK
Luka bakar menyebabkan terbentuknya eskar. Endotoksin bakteri pada eskar dan mediator inflamasi yang terbentuk saat lisis eskar menyebabkan sepsis. Eksisi tangensial dini merupakan upaya menurunkan risiko sepsis melalui pembuangan eskar. Prokalsitonin (PCT) adalah penanda inflamasi yang baik pada sepsis yang akan menurun kadarnya dengan tatalaksana yang adekuat.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang menghubungkan eksisi dini dengan PCT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tindakan eksisi tangensial dini terhadap kadar PCT serum pasien luka bakar berat. Desain penelitian ini adalah analitik observasional pre and post intervention study. Besar sampel yang digunakan adalah empat puluh. Data PCT diambil dari data sekunder yaitu dari rekam medis kemudian dianalisis menggunakan uji Wilcoxon. Didapati perbedaan bermakna antara PCT sebelum operasi dengan PCT sesudah operasi (2,78 (0,09-50,62) vs 1,31 (0,02-83,14), p < 0,005).
ABSTRACT Burn trauma caused cell death with the formation of eschar. Bacteria endotoxins and inflammation mediators that are formed when eskar was lysis cause sepsis. Early tangential excision is the efforts to decrease the risk of sepsis by disposing the eschar. Procalcitonin (PCT) is a good biomarker of sepsis that will decreased with the proper treatment. Until now, there hasn?t been any research linked early excision with PCT. The aim of this research is to know the influence of early tangential excision to the level of PCT serum on severe burn patients. The study design was observational analytic pre and post interventional study. The sample size was forty. PCT data were taken from medical records then analyzed using the Wilcoxon test. There were significant differences between preoperative PCT to postoperative PCT (2.78 (0.09 to 50.62) vs 1.31 (0.02 to 83.14), respectively, p<0.005).;Burn trauma caused cell death with the formation of eschar. Bacteria endotoxins and inflammation mediators that are formed when eskar was lysis cause sepsis. Early tangential excision is the efforts to decrease the risk of sepsis by disposing the eschar. Procalcitonin (PCT) is a good biomarker of sepsis that will decreased with the proper treatment. Until now, there hasn?t been any research linked early excision with PCT. The aim of this research is to know the influence of early tangential excision to the level of PCT serum on severe burn patients. The study design was observational analytic pre and post interventional study. The sample size was forty. PCT data were taken from medical records then analyzed using the Wilcoxon test. There were significant differences between preoperative PCT to postoperative PCT (2.78 (0.09 to 50.62) vs 1.31 (0.02 to 83.14), respectively, p<0.005)., Burn trauma caused cell death with the formation of eschar. Bacteria endotoxins and inflammation mediators that are formed when eskar was lysis cause sepsis. Early tangential excision is the efforts to decrease the risk of sepsis by disposing the eschar. Procalcitonin (PCT) is a good biomarker of sepsis that will decreased with the proper treatment. Until now, there hasn’t been any research linked early excision with PCT. The aim of this research is to know the influence of early tangential excision to the level of PCT serum on severe burn patients. The study design was observational analytic pre and post interventional study. The sample size was forty. PCT data were taken from medical records then analyzed using the Wilcoxon test. There were significant differences between preoperative PCT to postoperative PCT (2.78 (0.09 to 50.62) vs 1.31 (0.02 to 83.14), respectively, p<0.005).]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurina Widayanti
"Latar belakang: Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di negara berkembang. Obesitas menyebabkan perubahan fisiologis yang kompleks dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, dan paru. Pasien obesitas dengan luka bakar lebih rentan mengalami perubahan fisiologis akibat penyakit penyerta yang sudah ada sebelumnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan mortalitas, lama rawat inap dan jumlah prosedur pembedahan antara pasien obesitas dan non-obesitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian kohort retrospektif. Terdapat dua kelompok yang diidentifikasi secara retrospektif dari data rekam medis, dan kemudian dibandingkan secara prospektif. Kami membandingkan hasil (tingkat kematian, jumlah prosedur bedah, dan lama rawat inap) pada pasien luka bakar obesitas dan non-obesitas.
Hasil: Dominasi laki-laki ditemukan dalam penelitian ini dengan jumlah subjek 68 laki-laki (61,8%) dan 42 perempuan (38,2%). Kami menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan mortalitas pada kelompok pasien luka bakar obesitas dibandingkan dengan kelompok non-obesitas (p=0,207, CI 95% 0,286-1,315). Dengan Mann-Whitney Test, juga tidak terdapat perbedaan antara lama rawat inap (p-value 0,332) dan jumlah prosedur pembedahan (p-value 0,521) pada pasien obesitas dibandingkan pasien non-obesitas.
Kesimpulan: Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik pada mortalitas, lama perawatan dan jumlah prosedur bedah antara pasien luka bakar obesitas dan pasien luka bakar non-obesitas. Namun proporsi pasien meninggal lebih tinggi pada kelompok obesitas. Jangka waktu yang lebih lama dengan jumlah subjek yang lebih besar diperlukan untuk mengatasi bias statistik dan memberikan hasil yang lebih kuat dalam analisis statistik.

Background: obesity has become serious health issue in developing country. obesity causes complex physiologic alteration and increased risk for diabetes cardiovascular and pulmonary diseases. Obese patient with burn injury are more prone to have physiologic alteration resulting from pre-existing comorbid. The aim of this study is to investigate mortality, length of stay and number of surgical procedure between obese and non-obese patient.
Methods: This is an observational analytical study using the retrospective cohort study design. There are two groups which are retrospectively identified from the medical records, and then prospectively compared. We compare the outcomes (mortality rate, numbers of surgical procedure, and hospital length of stay) of obese and non-obese burn patients.
Results: Male predominance was found in this study with 68 males (61.8%) and 42 females (38.2%). We found out that there was no difference in mortality in obese burn patient groups compared to non-obese group (p=0.207, CI 95% 0.286-1.315). With Mann-Whitney Test, there were also no difference between length of stay (p-value 0.332) and number of surgical procedures (p-value 0.521) in obese patient compared to non-obese patient.
Conslusion: We did not find any statistically significant difference in mortality, length of stay and number of surgical procedures between obese burn patient and non-obese burn patient. However the proportion of deceased patient is higher in obese group. Longer period of time with larger number of subjects is needed to overcome statistical bias and provide more powerfull result in statistical analysis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandita Melati Putri
"ABSTRACT
Latar belakang. Kadar laktat dalam plasma darah merupakan indicator adanya hipoksia seluler. Sementara pada pasien luka bakar proses inflamasi tidak hanya mempengaruhi bagian tubuh yang terkena luka bakar tetapi mengubah respon sistemik tubuh. Pasien dengan luka bakar derajat sedang akan memiliki kadar laktat yang melebihi kadar noermal, pengukuran kadar laktat yang berulang akan embantu dalam menilai respon terhadap terapi yang diberikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur kadar lakat di masa awal cedera dan hubungannya dengan komplikasi sepsis dan angka mortaitas.
Metodologi. Studi dilakukan secara retrospektif di Unit Luka Bakar Ciptomangunkusumo. Pasien dengan luka bakar derajat sedang akibat api atau air panas yang datang dalam rentang waktu 24 jam pertama dari bulan jauari 2012 hingga januari 2013 dimasukkan dalam studi ini. Kriteria inklusi adalah pasien dilakukan pemeriksaan lakatat saat 24 jam pertama dan setidaknya 2 kali selama rawat inap. Nilai laktat normal didefinisikan sebagai 1 ± 0.5 mmol/l.
Hasil. Dalam 12 bulan studi ini terdapat 20 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi. Perbandingan antara pria dan wanita adalah 16 :4. Usia rata-rata pasien adalah 30.55 tahun. Rerata luas luka bakar adalah 25.38 persen. Dalam 24 jam pertama kadar laktat meningkat dalam 75% pasien, dan pasien-pasien tersebut memiliki angka morbiditas sepsis yang lebih tinggi.
Kesimpulan. Lactate value is a good predictor outcome for sepsis and mortality in burn patients.

ABSTRACT
Background: Lactate is a marker for cellular hypoxia. In burn patients the inflammation process not only affect the local wound but also affects the systemic response.,thus the increased value of lactate. Patients with moderate burn can have a higher level of lactate than normal value. Serial lactate measures can also help assess response to therapy that has been given. This study was made to assess whether the early plasma lactate (PL) level is a useful biomarker to predict septic complications and outcome in burn patients, Material and methods.
The study is done retrospectively in a burn center in ciptomangunkusumo hospital. Moderate burn patients due to thermal injury admitted within 24 hours post burn injury, from january 2012 to january 2013, were included. The inclusion criteria is the plasma lactate was measured early in the first 24 hours and controlled more than twice during the patients stay in the hospital. The normal lactate value was defined as 1 ± 0.5 mmol/l.
Results. During the 12?month period of study, 20 patients were enrolled. Seixteen of them were male and four were female. The mean age was 30.55 years old. The average burn surface area was 25.38 percent. During the first 24 hour in burn patients the plasma lactate value more than normal was 75 percent. In those patients the results of sepsis and mortality rate is higher.
Conclusion. Lactate value is a good predictor outcome for sepsis and mortality in
burn patients.
"
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Christian El Gah
"Latar belakang: Luka bakar adalah keadaan gawat darurat medis yang membutuhkan penanganan komprehensif sesuai dengan penyebab dan tingkat keparahan. Terapi resusitasi cairan sangat penting untuk mencegah atau mengatasi syok hipovolemik. Prinsipnya adalah memberikan cairan secara konservatif untuk mencapai tujuan resusitasi tanpa menyebabkan ekstravasasi cairan, yang dapat meningkatkan tekanan intraabdomen (TIA). TIA yang tinggi dan persisten dapat menyebabkan hipertensi intraabdomen (HIA) dan sindrom kompartemen abdomen (SKA). Formula Parkland tetap menjadi standar untuk resusitasi cairan, dengan menggunakan produksi urine (UO) sebagai penilaian kecukupan resusitasi.
Metode: Subjek dalam penelitian ini adalah pasien luka bakar yang mendapatkan resusitasi cairan di ULB RSCM dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional untuk mengetahui korelasi antara TIA dan UO dan bersumber dari data primer. Pengambilan data dilakukan selama fase resusitasi cairan 24 jam pertama. Pengukuran TIA dilakukan setiap 6 jam, sedangkan pengukuran UO dilakukan setiap 1 jam.
Hasil: 12 pasien terinklusi dalam penelitian ini. Korelasi antara TIA dan UO 6 jam pertama bernilai lemah positif (r =0,225), pada 6 jam kedua korelasi lemah negatif (r = -0,226), pada 6 jam ketiga korelasi sedang negatif (r = -0,524), pada 6 jam keempat tidak terdapat korelasi (r = -0,120), pada korelasi secara keseluruhan selama 24 jam didapatkan korelasi lemah negatif (r = -0,208) tanpa adanya signifikansi secara keseluruhan (p > 0,05). Lebih lanjut, ditemukan korelasi antara %TBSA dengan jumlah cairan resusitasi selama 24 jam tergolong sangat kuat (r = 0,890) dan signifikan, korelasi antara %TBSA dengan rerata TIA selama 24 jam tergolong lemah positif (r = 0,226, p > 0,05), dan korelasi antara jumlah cairan resusitasi dan TIA rerata tergolong sedang positif (r = 0,467, p > 0.05).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi secara signifikan (p > 0.05) antara tekanan intraabdomen terhadap urine output pada pasien luka bakar selama fase 24 jam resusitasi cairan pertama di ULB RSCM.

Introduction: Burns are urgent medical emergencies requiring comprehensive management based on etiology and severity. Fluid resuscitation therapy is crucial to prevent or manage hypovolemic shock. The principle is to administer fluid conservatively to achieve resuscitation goals without causing fluid extravasation, which can lead to intra-abdominal pressure (IAP) elevation. Persistent high IAP can result in intra-abdominal hypertension (IAH) and abdominal compartment syndrome (ACS). The Parkland formula remains standard for fluid resuscitation, utilizing urine output (UO) to assess adequacy.
Methods: Subjects in this study were burn patients who received fluid resuscitation at ULB RSCM and met the inclusion and exclusion criteria. This research uses a cross-sectional study design to determine the correlation between TIA and UO and is sourced from primary data. Data collection was carried out during the first 24 hours of fluid resuscitation phase. IAP measurements are carried out every 6 hours, while UO measurements are carried out every 1 hour.
Result: 12 patients were included in this study. The correlation between IAP and UO in the first 6 hours was weakly positive (r = 0.225), in the second 6 hours the correlation was weakly negative (r = -0.226), in the third 6 hours the correlation was moderately negative (r = -0.524), in the fourth 6 hours it was not there is a correlation (r = -0.120), in the overall correlation for 24 hours there is a weak negative correlation (r = -0.208) with no overall significance (p > 0.05). Furthermore, it was found that the correlation between %TBSA and the amount of resuscitation fluid for 24 hours was classified as very strong (r = 0.890) and significant, the correlation between %TBSA and average IAP for 24 hours was classified as weakly positive (r = 0.226, p > 0.05), and the correlation between the amount of resuscitation fluid and average IAP was moderately positive (r = 0.467, p > 0.05).
Conclusion: There is no significant correlation (p>0.05) between intra-abdominal pressure and urine output in burn patients during the first 24hour phase of fluid resuscitation at ULB RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>