Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Buaton, Tiarsen
"Sistem peradilan militer yang berlaku di dunia berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Ada ahli yang menggolongkan sistem peradilan militer didasarkan pada tiga sistem hukum yang berlaku di dunia ini, yaitu common law sysrem, roman law system dan socialist law sysrem. Namun beberapa ahli yang lain menggolongkan sistem peradilan militer berdasarkan kewenangan mengadili atau jurisdisksi dari pengadilan militer itu sendiri menjadi empat golongan yaitu (1) peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum, (2) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer, (3) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan miiiter dan (4) peradilan militer mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer. Kebanyakan peradilan di berbagai negara lebih menganut pada sistem peradilan militer yang berwenang mengadili kejahatan secara umum Rencana DPR untuk mengubah system peradilan militer dengan membatasi yurisdiksi peradilan militer hanya terbatas mengadili kejahatan militer menimbulkan pro dan kontra, dimana masing masing mempunyai alasan yang berbeda.
Penelitian ini menjadi penting untuk memberikan pertimbangan dan masukan kepada DPR dan Pemerintah dalam rangka menyusun Rancangan Undang Undang Peradilan Militer yang baru dan sekaligus memberijawaban atas beberapa pertanyaan berikut lni. Pertama, bagaimana kedudukan dan yurisdiksi peradilan militer di Indonesia setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua, bagaimanakah kedudukan asas-asas militer yang? merupakan bagian dari asas-asas peradilan militer seperti asas kesatuan komando, komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer, apabila prajurit yang melanggar tindak pidana umum diadili pada peradilan umum. Ketiga, sistem Peradilan Militer yang bagaimanakah yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia.
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, bahwa setelah ditétapkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, telah membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, sehingga tidak perlu lagi mengubah sistem peradilan militer yang ada saat ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengadilan umum tidak tepat untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit. Pengadilan militer tetap dibutuhkan untuk menegakkan standard disiplin militer karena militer dianggap sebagai komuniti khusus, yang mempunyai disiplin khusus, yang mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan kedaulatan Negara. Kedua, bahwa asas-asas peradilan militer yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggungiawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas umum yang trdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku maka fungsi komandan selaku Ankum/Papera juga tidak berlaku lagi. Demikian juga fungsi pembinaan yang dilakukan oleh komandan selaku Pembina disiplin akan berkurang atau sama sekali hilang sehingga ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan. Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin prajurit juga akan berkurang. Dan apabila disiplin berkurang maka efisiensi, kesiapan dan efektifitas pasukan akan sulit dicapai; Ketiga, bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum.

There is no the same military court system in the world. Every state has its own military system. Some experts make the classification of the military justice system on the three main existing system of law, that is, common law system, roman law. system and socialist law system. However the other experts suggested a classitication based on the jurisdictional powers of military courts. They distinguished four different system as follows: (1) one in which military courts have general jurisdiction; (2) one in which they have general jurisdiction on a temporary basis; (3) one in which jurisdiction is limited to military offences; and (4) one in which they have jurisdiction solely in time of war or military operation. Beside these two classification, there are another types of military jurisdiction: firstly, the traditional kind, based on the principle of ?he who gives the orders sits injudgement? made up of members of military and endowed with broad jurisdictional powers; secondly, one in which military justice is incorporated into ordinary jurisdiction as a specialized branch of the latter; and, thirdly, one in which military justice is abolished in peacetime. According to the Act Number 31/ 1997 conceming Military Court, the military justice System in Indonesia has general jurisdiction and is incorporated into ordinary jurisdiction. It means that Indonesian Military court has general jurisdiction to try civil offences and military offences. The plan of the Council of Indonesian Representative to limit the military court jurisdiction just to try military offmrces has caused diierent opinion between the government and the Council.
This dissertation is conducted in order to give the answer of the three questions, that is: first, how is the occupation and the jurisdiction of Indonesian Military Court alter the Act Number 4/ 2004 conceming The Judicial Authority; Secondly, how is the military principles as the pan of the principles of military court such as the principle of unity cfeomrnand, the principle of every commanueer be responsible for this subordinate, and the principle of military necessity; and, thirdly, which court system is suitable to be implemented in Indonesia. The research has been done by using the methodology of normative to analyze the development oflndonesian Military Court jurisdiction after Indonesian Independence until 2008.
After conducting research and making descriptive and prescriptive this dissertation has make some conclusion. First, after concluding the Act Number 4/2004 conceming the Judicial Power, in which the position of military court is undertlre Supreme Court has madethe military court become more independent and impartial, 'dee from 'command intervention. So, no need to change the jurisdiction of Military court. It can be mentioned that the involvernenteof civilian court to fry the military would be detrimental to morale and discipline of military as a special community and would thus pose grave danger to national security. Secondly, all the principles of military court that is, the principle of unity of command, the principle of every commandeer be responsible for his subordinate, and the principle of military necessity should exist in military judicial system beside the general principle of civil court. If those principles are not available, the role of the commandeer as the senior oiiicer that has authority to condemn his subordinate does not function. if it happens, the efiicient, the readiness and the effectiveness of military unit will be ditiicult to be achieve.. Third, the military judicial system implied in Indonesia should be in accordance with the military culture in which the military court still has the jurisdiction to try the member of military who conducts either military offences or civil offences.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1137
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kris Wijoyo Soepandji
"Penelitian ini mengikuti karakteristik penelitian hukum sebagai berikut: (1) menjelaskan bagaimana hukum berlaku dalam keadaan tertentu, (2) merupakan kegiatan penyelesaian masalah; (3) deskripsi tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum; (4) merupakan disiplin preskriptif yang bersifat normatif, bukan hanya bersifat disiplin analitis yang empiris. Penelitian ini juga merupakan penelitian inter-disipliner (socio-legal) yaitu menggunakan disiplin-disiplin non-hukum untuk mengkaji keberadaan hukum dam konteks sosialnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah Savigny, pendekatan interpretivism Habermas dan pendekatan transendental. Penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa Bung Karno sebagai penggali Pancasila sungguh mengambil kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dari peradaban Bangsa Indonesia untuk kemudian dijadikan dasar bagi negara Republik Indonesia yang merdeka di tahun 1945. Penelitian ini menunjukkan bahwa Serat Sasangka Jati sebagaimana dijelaskan oleh R. Soenarto Mertowardojo, sungguh-sungguh memiliki benang merah yang sangat mengakar terhadap peradaban dan kebudayaan Nusantara terutama masyarakat Jawa. Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Sasangka Jati dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa dalam kebudayaan Nusantara terdapat dominasi yang serasi antara nilai-nilai antinomis, di mana yang menonjol adalah tiga hal sebagai berikut: (1) komunalisme lebih dominan daripada individualisme; (2) spiritualisme lebih dominan daripada materialisme dan (3) romantisisme lebih dominan daripada rasionalisme. Ketiga hal ini ternyata terlihat jelas dalam Serat Sasangka Jati, dan apabila Pancasila dilihat dari perspektif Serat Sasangka Jati, semakin jelaslah konsistensi nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila dengan nilai-nilai kebudayaan Nusantara dalam hal ini Serat Sasangka Jati. Dengan demikian memahami Pancasila apabila tidak melalui tolok ukur dari akar pemahaman kebudayaan Nusantara akan menyebabkan anomie dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebudayaan Jawa sangat menentukan pola kehidupan bernegara di negara modern Indonesia. Dengan demikian pandangan mengenai pola kehidupan bernegara yang berdasarkan kebudayaan Jawa perlu ditemukan pemahamannya terutama dari Serat Sasangka Jati, sehingga pemahaman kehidupan bernegara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila hendaknya (seharusnya) sungguh-sungguh mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Preskripsi dari penelitian ini dalam memahami Pancasila adalah perlunya kesadaran bahwa sumber kekuasaan negara adalah satu yaitu tatanan Sang Pencipta, oleh sebab itu konsep Pamoring Kawula Gusti sejatinya adalah konsep yang membawa manusia untuk melaksanakan kehidupannya sesuai dengan tatanan Sang Pencipta. Kesadaran terhadap tatanan Sang Pencipta tersebut tertuang dalam sikap tindak (hati dan pikiran) Hasta-Sila, sikap tindak tersebut apabila meresap dalam perikehidupan masyarakat Indonesia akan membawa kepada masyarakat yang harmonis secara spiritual (post secular society) karena muncul ketenangan pada masing-masing individu, rasa saling menghormati antar keyakinan, tegaknya hubungan (adil) antar golongan masyarakat dan terutama sekali dengan alam semesta sebagai wadah kehidupan manusia.

This research strictly follows the characteristics of legal research as follows: (1) explains how the law applies in certain circumstances, (2) is a problem-solving activity; (3) a description of the main definitions in law; (4) is a normative prescriptive discipline, not only an empirical analytical discipline. This research is also an inter-disciplinary (socio-legal) research that uses non-legal disciplines to examine the existence of law and its social context. This research uses the historical approach of Savigny, the interpretivism approach of Habermas and the transcendental approach. This dissertation research shows that Bung Karno as the digger (Penggali) of Pancasila really took the crystallization of the values ​​contained in the civilization of the Indonesian nation and then became the basis for the independent Republic of Indonesia in 1945. This research shows that Serat Sasangka Jati as described by R. Soenarto Mertowardojo, really has a very deep-rooted common thread to the civilization and culture of the archipelago (Nusantara), especially the Javanese people. Thus, the values ​​contained in Serat Sasangka Jati is able to be used as benchmarks to see the values ​​contained in Pancasila. This study identifies that in the culture of the archipelago (Nusantara), there is a harmonious dominance between antinomic values, in which three things stand out as follows: (1) communalism is more dominant than individualism; (2) spiritualism is more dominant than materialism and (3) romanticism is more dominant than rationalism. These three things are clearly visible in Serat Sasangka Jati, and if Pancasila is seen from the perspective of Serat Sasangka Jati, there is consistency of values ​​between Pancasila and the cultural values ​​of the archipelago in this case is Serat Sasangka Jati. Thus, understanding Pancasila if not through benchmarks from the roots of understanding the culture of the Nusantara will cause anomie in the legal system in Indonesia. This study shows that Javanese culture greatly determines the pattern of statehood in the modern Indonesia. Thus, an understanding of the pattern of statehood based on Javanese culture needs to be found, especially from Serat Sasangka Jati, so that the understanding of the life of the Republic of Indonesia based on Pancasila should truly reflect the identity of the Indonesian nation. The prescription of this research in understanding Pancasila is the need for awareness that the source of state power is one, namely the order of the Creator, therefore the concept of Pamoring Kawula Gusti is actually a concept that leads humans to carry out their lives according to the order of the Creator. Awareness of the order of the Creator is contained in the attitude of action (heart and mind) Hasta-Sila, the attitude of this action if it permeates the lives of the Indonesian people will lead to a spiritually harmonious society (post secular society) because tranquility appears in each individual, mutual respect between beliefs, the establishment of (fair) relationships between groups of people and especially with the universe as a place for human life.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library