Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Junita Elvira
"Latar belakang Kuman patogen yang paling sering diisolasi dari feses anak dengan diare berdarah di negara berkembang adalah Shigella spp. Proporsi shgellosis terhadap diare berdarah berkisar antara 18,3-50%. Namun spektrum klinis shgellosis sangat luas mulai dari diare akut cair, diare berdarah, diare persisten dengan berbagai komplikasi. Sejauh pengetahuan dan penelusuran literatur oleh peneliti, sejak tahun 1985 belum ada penelitian yang menggambarkan besaran masalah dan gambaran klinis shigellosis pada anak balita di masyarakat di Indonesia.
Metode dan subyek: Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang dengan populasi terjangkau adalah anak balita (0-59 bulan) dengan diare akut yang berobat di Puskesmas Kecamatan lobar Baru, Senen, Kemayoran, dan Tebet. Setelah mendapatkan persetujuan dari orangtua maka dilakukan anamnesis tentang gejala klinis, ditentukan status gizi dan derajat dehidxasi, serta pada subyek penelitian diambil sampel feses untuk kultur lases. Kultur feses dilanjutkan dengan uji resistensi bila didapatkan Shigelta spp.
Hasil: Sebanyak 475 subyek diare akut diikutsertakan dalam penelitian Hanya ditemukan 12 kasus diare berdarah dengan persentasi 2,5% dari seluruh diare akut. Proporsi shigellosis dari seluruh kasus diare akut pada penelitian ini hanya sebesar 0,6°x,1/12 kasus diare berdarah. Ketiga subyek diare akut dengan Shigelia spp positif, semuanya menunjukkan gejala demam tetapi tidak terdapat muntah. Hanya dua strain yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu Shigella sonnei dan ShigeIla flexneri. Ketiga kuman Shigella spp tersebut resisten terhadap kotrimoksazol, kolistin, dan tetrasildin. Kedua ShigelIa sonnei pada penelitian ini masih sensitif terhadap ampisillin dan amoksisilin, tidak demikian halnya dengan Sliigella flexneri. Ketiga kuman ShigeIta spp tersebut masih sensitif terhadap asam nalidiksat, kloramfenikol, sefiksi n, dan siprofloksasin.
Kesimpulan: Proporsi shigellosis pada anak balita di masyarakat yang didapatkan dari penelitian ini sangat kecil sehingga tidak dapat disimpulkan gambaran klinis shigellosis yang khas pada anak balita dan gambaran pola strain Shigella setempat serta resistensinya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bobby Setiadi Dharmawan
"Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak di negara berkembang. Setiap tahun diperkirakan terjadi 1,3 milyar episode diare pada balita dengan insidens paling tinggi usia di bawah 2 tahun. Pada tahun 2003, di negara berkembang terdapat 1,87 juta anak di bawah 5 tahun meninggal akibat diare dan 80% terjadi pada usia di bawah 2 tahun. Anak usia di bawah 5 tahun mengalami sekitar 3 episode diare per tahun namun di beberapa daerah terdapat 6-8 episode diare per tahun. Departemen Kesehatan RI melaporkan, di Indonesia setiap anak rata-rata mengalami diare sebanyak 1,6-2 episode per tahun.
Infeksi bakteri merupakan salah satu penyebab diare cair maupun diare berdarah akut. Bakteri yang sering menyebabkan diare akut pada anak di negara berkembang antara lain; Escherichia coli (10-20%), ShigelIa (10-15%), CampyIobacter jejuni (5-15%), Vibrio cholera (5-10%) dan Salmonella (1-5%). Ariyani (1996-1997) menemukan E.coli 1-5 sekitar 14,1% sebagai penyebab tunggal diare terbanyak setelah infeksi tunggal rotavirus (18,8%).
Antibiotik sering digunakan dokter pada kasus diare akut tanpa indikasi yang jelas. Purnomo dkk melaporkan sebanyak 27,5% dokter umum di Puskesmas dan praktek swasta di Jakarta Timur memberikan antibiotik pada penderita balita dengan diare akut. Dwipurwantoro dkk melaporkan dari 3 rumah sakit swasta Jakarta, dari 67 pasien diare akut yang dirawat sebanyak 55 anak (82,1%) mendapat antibiotik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Laksmi Hidayati
"Regurgitasi atau gumoh merupakan manifestasi klinis tersering refluks gastro-esofagus (RGE) pada bayi. Regurgitasi pada bayi ini merupakan satu-satunya RGE bergejala yang dianggap fisiologis sehingga dapat timbul pada bayi sehat tanpa adanya masalah lain yang merupakan komplikasi RGE. RGE yang disertai komplikasi atau masalah seperti gagal tumbuh, esofagitis, hematemesis dan gejala saluran napas, dimasukkan dalam kelompok penyakit refluks gastro-esofagus (PRGEIGERD=gasiroesophageal refux disease). Komplikasi tersebut dapat timbul pada berbagai usia dan sulit untuk dibedakan antara RGE (fisiologis) dengan PRGE (patologis).
Regurgitasi pada bayi adalah kondisi yang umum ditemukan, dengan proporsi mencapai lebih dari 50% bayi pernah mengalami gejala ini dalam tahun pertama kehidupannya. Regurgitasi timbul paling sering pada bayi saat berusia 1-6 bulan, yaitu pada 65-86,9% bayi, kemudian akan berkurang secara bermakna pada usia 6-9 bulan dan terjadi hanya 1-10,3% bahkan hilang lama sekali saat berusia 12 bulan. Yang menjadi masalah adalah belum ada batasan yang jelas antara regurgitasi yang merupakan RGE fisiologis dengan yang patologis, karena RGE sampai menjadi PRGE merupakan suatu spektrum yang berkesinambungan dengan manifestasi klinis yang saling tumpang tindih antara keduanya, terutama pada masa bayi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Halim Santoso
"Berat badan bayi merupakan salah satu variabel epidemiologi yang berhubungan dengan mortalitas di tahun pertama kehidupan bayi. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) maupun besar masa kehamilan (BMK) berisiko mengalami gangguan pada usia lebih lanjut. Berat badan bayi dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain asupan gizi ibu dan status gizi ibu. Asupan zat gizi yang optimal akan bermanfaat untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan janin. Peningkatan berat badan ibu juga merupakan faktor ang menentukan outcome bayi. Ibu hamil dengan peningkatan berat badan yang kurang selama kehamilan akan berisiko lebih tinggi melahirkan bayi prematur. Mikrobiota adalah kumpulan mikroorganisme yang hidup berdampingan dengan inangnya. Ditenggarai adanya peran mikrobiota terhadap berat badan lahir bayi. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Departemen Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang bertujuan untuk melihat korelasi antara jumlah mikrobiota usus dan asupan zat gizi ibu hamil trimester ketiga dengan berat badan lahir bayi di Jakarta Timur.
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di 10 puskesmas kecamatan se Jakarta Timur pada bulan Februari-April 2015. Dari 315 subjek ibu hamil trimester ketiga yang sesuai kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian dengan menanda tangani informed consent, didapatkan 52 subjek yang dapat dianalisis. Subjek yang dapat dianalisis dilakukan pengukuran berat badan (BB), tinggi badan (TB), wawancara asupan makanan, pengukuran sampel feses dan pengukuran berat badan lahir bayi. Sebaran data karakteristik menunjukkan 82,7% subjek berpendidikan menengah rendah, 59,6% memiliki pendapatan dibawah UMP, 82,7% subjek tidak mendapatkan asupan energi yang cukup per harinya, dan 73,1% status gizi trimester pertama subjek tergolong berlebih hingga obese. Pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara asupan zat gizi ibu hamil trimester ketiga dengan berat badan lahir, dan tidak didapatkan korelasi antara mikrobiota Bifidobacterium (r = 0,134; p>0,05), Lactobacillus (r = -0,118; p>0,05) dan Staphylococcus (r = 0,43; p>0,05) ibu hamil dengan berat badan lahir bayi.

Baby birth weight is one epidemiological variables associated with mortality in the first year of life. Both baby with low birth weight (LBW) and large for gestational age (LGA) posses risk of having complication at later age. Birth weight is affected by many factors, such as maternal nutritional intake and nutritional status. Optimal intake of nutrients would be beneficial to support fetal growth and development. Maternal weight gain is also a factor determining the outcome of baby . Pregnant women with less weight gain during pregnancy are at greater risk of premature birth.Microbiota is a group of microorganism coexist with its host. It was suspected that there is a role of the microbiota on birth weight. This study is part of the research in department of nutrition, faculty of medicine, university of Indonesia that aims to see the correlation between the number of guy microbiota and nutritional intake in third semester pregnant women with birth weight in East Jakarta.
This study was a cross-sectional study conducted in 10 distriect health centers throughout East Jakarta in February to April 2015. Of the 315 subjects enrolled, 52 subjects could be analysis. Subjects were measured for body weight (BW), height, food intake interviews, fecal sample measurement and birth weight measurement. Characteristic of the subjects showed that 82,7% has middle to lower education level and 59,6% has revenue under provincial minimal wage. More than eighty percent of subjects did not receive adequate energy intake per day, and 73,1% subjects were categorized as overweight to obese. In this study, there are no correlation between nutrition intake and birth weight. There is also no correlation between gut microbiota Bifidobacterium (r = 0,134; p>0,05), Lactobacillus (r = -0,118; p>0,05) and Staphylococcus (r = 0,43; p>0,05) and birth weight.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimple Gobind Nagrani
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) yang tersering adalah defek septum ventrikel (DSV), defek septrum atrium (DSA) dan duktus arteriousus paten (DAP). Keterlambatan koreksi defek dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang dan kualitas hidup.
Tujuan: Mengetahui perbedaan status gizi dan kualitas hidup pada anak PJB asianotik sebelum dan 6 bulan-2tahun setelah koreksi dan apakah terdapat hubungan dengan jenis PJB, status gizi awal, metode dan usia koreksi.
Metode: Penelitian kohort retrospektif pada 79 anak berusia 0-18 tahun dengan DSV, DSA, DAP, dan kombinasi ketiganya. Usia, jenis kelamin, jenis PJB, usia koreksi, metode koreksi, BB dan TB dinilai sebelum dan setelah koreksi.
Hasil: Subyek penelitian berusia 0-15 tahun dengan mayoritas 1-5 tahun, diagnosis terbanyak adalah DSV (58,2%), dan status nutrisi awal adalah gizi kurang (50,6%). Secara keseluruhan terdapat kenaikan persentil BB/U (p<0,001), TB/U (p=0,004), dan BB/TB (p<0,001) yang bermakna sebelum dan sesudah koreksi. Tidak ada perubahan status gizi yang bermakna sebelum dan sesudah koreksi (p=0,851). Tidak ada hubungan perubahan status gizi dengan status gizi awal (p=0,451), metode koreksi (p=0,454), dan usia tindakan (p=0,861). Terdapat hubungan antara perubahan status gizi dengan ukuran defek (p=0,035). Sebanyak 29,1% memiliki gangguan kualitas hidup, 45,4% memiliki gangguan aspek emosi. Tidak ada hubungan antara gangguan kualitas hidup dengan diagnosis, metode koreksi, dan ukuran defek.
Simpulan: Status gizi awal terbanyak anak dengan PJB asianotik adalah gizi kurang. Terdapat peningkatan persentil BB/U, TB/U, dan BB/TB yang bermakna 6 bulan-2 tahun setelah koreksi. Terdapat hubungan antara perubahan status gizi dengan ukuran defek. Sepertiga subyek memiliki gangguan kualitas hidup setelah koreksi. Hampir separuhnya memiliki gangguan aspek emosi.

ABSTRACT
Background: The most common congenital heart disease (CHD) is ventricular septal defect (DSV), atrial septal defect (ASD), and patent ductus arteriosus (DAP). Delayed correction is correlated with disturbance of growth, development and quality of life (QOL).
Aim: To determine the difference in nutritional status and QOL for acyanotic CHD before and after 6 months-2 years correction and its association with diagnosis, initial nutritional status, method and age of correction.
Method: A retrospective cohort study on 79 children aged 0-18 years old with DSV, ASD, DAP, and a combination of the 3. Age, gender, type of CHD, age and method of correction, weight and height before and after correction were evaluated.
Result: The subjects are aged 0-15 years with majority of 1-5 years, most common diagnosis is DSV (58.2%) and initial nutritional status is moderate malnutrition (50.6%). There is significant increase in weight/age (p<0.001), height/age (p=0,004) and weight/height (p<0.001) percentiles. There is no increment of nutritional status (p=0.851). There is no association between nutritional status and initial nutritional status before correction (p=0.451), method (p=0.454) and age (p=0.861) of correction. There is a statistically significant association between growth status and defect size (p=0.035). Twenty nine percent have decreased QOL, 45.4% on emotional aspect. Decreased QOL was not associated with diagnosis, method of correction and defect size.
Conclusion: The most common nutritional status in acyanotic CHD children is moderate malnutrition. There is a statistically significant increase in the percentiles 6 months-2years post correction. There is an association between changes in growth status and defect size. One third of patients have decreased QOL after correction and almost half on emotional aspect
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library