Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harun Wijanarko Kusuma Putra
"Latar Belakang: Benign prostate hyperplasia (BPH) dan Chronic Kidney Disease (CKD) adalah dua masalah urologi yang sering ditemukan bersatu pada pria yang lebih tua. Meskipun teori telah menyarankan bahwa BPH mungkin merupakan faktor risiko untuk CKD, luas asosiasi tetap tidak diketahui. Ulasan ini ingin membangun analisis sistematis, menyelidiki hubungan antara BPH dan CKD dari studi observasi yang diterbitkan.
Metode: Pencarian literatur pada studi observasional dilakukan menggunakan kombinasi operator Boolean dalam tiga database medis: MEDLINE, EMBASE, dan SCOPUS; menggunakan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang ditentukan sebelumnya. Literatur yang dipilih dinilai untuk kualitasnya menggunakan indeks kualitas Downs dan Black yang dimodifikasi. Data yang diekstrak dikumpulkan untuk analisis menggunakan model efek acak DerSimmonian dan Laird, karena desain studi yang berbeda. Heterogenitas diukur menggunakan statistik I2, analisis subgroup dilakukan untuk pengukuran hasil yang berbeda dan cut-off.
Hasil: Lima studi observasi dipilih, terdiri dari dua kohort dan tiga studi cross-sectional, dan melibatkan total 38460 peserta. Hasil penilaian kualitas pada studi tersebut mencapai skor rata-rata 80,6%. Analisis gabungan menunjukkan hubungan yang signifikan antara dua pengukuran BPH (Qmax <15 mL/s dan IPSS >7) dan CKD, dengan OR 2.05 (95%CI 1.30-3.23, I2=31%) dan OR 2.12 ( 95%CI 1.12-4.02, I2 = 72%) masing-masing. Pengukuran prostat, yaitu volume prostat dan tingkat PSA, tidak terkait secara signifikan dengan CKD. (Nilai P dari 0,89 dan 0,60 masing-masing).
Kesimpulan: BPH bertindak sebagai faktor risiko dan faktor memperburuk perkembangan CKD. Screening dan pengobatan segera untuk koeksistensi BPH dan CKD harus diterapkan dalam praktek klinis sehari-hari dan harus dimasukkan ke dalam pedoman masa depan.

Background: Benign prostate hyperplasia (BPH) and chronic kidney disease (CKD) are two urological problems commonly found coexisting in older men. Though theories have suggested that BPH might be a risk factor for CKD, the extend of the association remains unknown. This review would like to construct a systematic analysis, investigating the association between BPH and CKD from published observational studies.
Methods: Literature search on observational studies was done using combinations of Boolean operators in three medical databases: MEDLINE, EMBASE, and SCOPUS; using predetermined inclusion and exclusion criteria. Selected literatures were assessed for their quality using modified Downs and Black quality index. Extracted data was pooled for analysis using DerSimmonian and Laird random-effect model, due to varying study designs. Heterogeneity were quantified using I2 statistic, subgroup-analysis were conducted for different outcome measures and cut-offs.
Result: Five observational studies were selected, consisting of two cohorts and three cross-sectional studies, and involving a total number of 38460 participants. Results of quality assessment on the studies was in average score of 80.6 %. Pooled analysis showed significant association between two BPH measures (Qmax <15 mL/s and IPSS >7) and CKD, with OR 2.05 (95%CI 1.30-3.23, I2=31%) and OR 2.12 (95%CI 1.12-4.02, I2=72%) respectively. Prostatic measures, namely prostate volume and PSA level, were not significantly associated with CKD (P value of 0.89 and 0.60 respectively).
Conclusion: BPH act as both risk factor and aggravating factor for progression of CKD. Screening and prompt treatment for coexistence of BPH and CKD should be applied in daily clinical practice and should be included in future guidelines.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Ertandri
"Pendahuluan dan tujuan: Biopsi tumor ginjal merupakan tindakan yang bermanfaat karena mampu membedakan antara jenis histologis tumor ginjal. Oleh karena itu, biopsy memainkan peran penting dalam menentukan regimen terapi terbaik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengalaman klinis biopsi ginjal di Rumah Sakit Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo, dengan pendekatan perkutan dan terbuka. Hal ini juga bertujuan untuk menganalisis indikasi, hasil, informasi intraoperatif, dan komplikasi dari kedua pendekatan tersebut.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain kohort retrospektif, data dikumpulkan dari Rumah Sakit Rujukan Nasional (RSCM) Cipto Mangunkusumo dari tahun 1990-2019. Sampel biopsi diambil menggunakan biopsi ginjal perkutan dan terbuka sementara analisis komparatif dilakukan antara dua pendekatan biopsi.
Hasil: Data dikumpulkan dari 33 pasien yang menjalani biopsi ginjal dari tahun 1990-2019. Sebagian besar kasus didiagnosis sebagai tumor ginjal yang tidak dapat direseksi sedangkan pemeriksaan histologis ditemukan karsinoma sel jernih pada sebagian besar kasus (73%). Selanjutnya, pendekatan terbuka menunjukkan durasi yang lebih lama dan kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik perkutan dengan median 60 (30-120) vs 30 (5-60) menit (P <0,001), dan 100 (5-650) vs 2 (1- 5) ml (P <0,001). Secara umum, komplikasi dilaporkan rendah untuk kedua teknik.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil, biopsi ginjal perkutan memiliki tingkat efikasi dan komplikasi yang sama dalam pengambilan sampel tumor untuk histopatologi bersamasama dengan pendekatan terbuka. Namun, ada perbedaan yang signifikan dalam durasi dan kehilangan darah, oleh karena itu, biopsi perkutan lebih unggul dibandingkan dengan pendekatan terbuka.

Introduction and Objectives: Renal tumor biopsy is beneficial as it is capable of distinguishing between histological types of renal tumor, hence, it play an important role in deciding the best therapy regimen. This study aims to evaluate the clinical experiences of renal biopsy in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, with both percutaneous and open approach. It also aims to analyze the indications, results, intraoperative information, and complications of the two approaches.
Method: This study was conducted using the retrospective cohort design, meanwhile, data were collected from Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital (RSCM) from 1990-2019. The biopsy sample was taken using percutaneous and open renal biopsy while comparative analysis was done between the two biopsy approaches.
Results: Data were collected from 33 patients that underwent renal biopsy from 1990-2019. Majority of the cases were diagnosed as unresectable renal tumor while histological examination found clear cell carcinoma in most of the cases (73%). Furthermore, the open approach showed longer duration and higher blood loss compared to percutaneous technique with median 60 (30-120) vs 30 (5-60) minutes (P <0.001), and 100 (5-650) vs 2 (1-5) ml (P <0.001), respectively. In general, complications were reported to be low for both techniques.
Conclusion: Based on the results, percutaneous renal biopsy have similar efficacy and complications rates in tumor sampling for histopathology together with open approach. However, there were significant differences in the duration and blood loss, hence, percutaneous biopsy is more favourable.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan
"Alat pelindung diri atau APD menjadi salah satu perhatian dalam masa pandemi Covid-19. Tidak hanya tenaga kesehatan, tetapi masyarakat juga makin banyak yang menggunakan alat pelindung diri untuk mencegah penularan dari SARS-CoV-2. Namun, hingga saat ini, belum diketahui bagaimana kesesuaian penggunaan alat pelindung diri di Indonesia, terutama oleh tenaga kesehatan yang menjadi pertahanan terdepan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data sekunder dari penelitian di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI pada tahun 2021. Terdapat 317 subjek dari data sekunder tersebut yang merupakan tenaga kesehatan yang bekerja selama masa pandemi Covid-19 di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Kesesuaian penggunaan alat pelindung diri subjek dianalisis berdasarkan tingkat penggunaan alat pelindung diri menurut standar alat pelindung diri yang berlaku saat subjek bekerja. Pada penggunaan alat pelindung diri tingkat satu, 88,95% subjek sesuai dan 11,05% tidak sesuai. Di tingkat dua, 79,17% subjek sesuai dalam penggunaan alat pelindung dirinya dan sisanya tidak sesuai, yaitu 20,83%. Didapatkan 63,63% subjek sesuai dalam penggunaan alat pelindung diri tingkat tiga dan 36,37% subjek tidak sesuai. Proporsi hasil analisis kesesuaian penggunaan alat pelindung diri tingkat satu sampai tiga yang sesuai adalah 78,55% dan yang tidak sesuai adalah 21,45%. Mayoritas penggunaan alat pelindung diri pada tingkat satu sampai tiga sudah sesuai. Persentase subjek yang sesuai dalam penggunaan alat pelindung diri diperoleh tertinggi pada tingkat satu diikuti dengan tingkat dua dan tiga. Secara total, sekitar seperlima subjek tidak sesuai dalam menggunakan alat pelindung diri berdasarkan tingkatannya masing-masing.

Personal protective equipment, or PPE, has become a concern during the Covid-19 pandemic. It is not only the healthcare workers, but also the general public who are increasingly using personal protective equipment to prevent the transmission of SARS-CoV-2. However, up to this point, it is not known how well the suitability of personal protective equipment usage in Indonesia, especially by healthcare workers who are on the front lines in facing the Covid-19 pandemic. This research began with the collection of secondary data from a study conducted in the Department of Community Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia in 2021. There were 317 subjects from this secondary data, who were healthcare workers working during the Covid-19 pandemic in various healthcare facilities in Indonesia. The suitability of the subjects' use of personal protective equipment was analyzed based on the level of personal protective equipment usage according to the prevailing standards at the time the subjects were working. For the use of level one personal protective equipment, 88.95% of subjects were appropriate, and 11.05% were inappropriate. At level two, 79.17% of subjects used personal protective equipment appropriately, and the remaining 20.83% were inappropriate. It was found that 63.63% of subjects were appropriate in the use of level three personal protective equipment, while 36.37% were inappropriate. The proportion of appropriate use of personal protective equipment at levels one to three was 78.55%, while the inappropriate use was 21.45%. The majority of personal protective equipment usage at levels one to three is already appropriate. The percentage of subjects who are appropriate in the use of personal protective equipment is highest at level one, followed by level two and three. In total, about one-fifth of the subjects are inappropriate in using personal protective equipment based on their respective levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnold Keane
"Latar Belakang
Sistitis akut non komplikata (SANK) adalah kondisi urologis tersering pada perempuan dan umumnya dikelola oleh dokter umum. Meskipun Panduan Tatalaksana Infeksi Saluran kemih dari Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) telah tersedia, terdapat variasi dalam praktik klinis sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian antara manajemen dan panduan tatalaksana SANK oleh dokter umum di Indonesia. Metode
Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang yang dilakukan dari November 2023 hingga April 2024 melalui survei daring kepada dokter umum di Indonesia. Survei ini mengevaluasi demografi dokter dan pasien, modalitas diagnostik, serta tatalaksana SANK. Data dari 385 dokter umum dianalisis menggunakan statistik deskriptif.
Hasil
Sebagian besar dokter umum melakukan anamnesis (98,7%) dan pemeriksaan fisik (92,4%) untuk diagnosis. Gejala tersering yang dilaporkan adalah disuria (75,8%) dan nyeri suprapubik (72,1%). Urinalisis sering digunakan (82,8%), sementara dipstik urin (9,6%) dan kultur urin (7%) jarang diterapkan. Sebanyak 96,6% dokter umum meresepkan antibiotik, dengan ciprofloxacin sebagai pilihan paling umum (77,6%). Penggunaan antibiotik lini pertama yang dianjurkan IAUI seperti nitrofurantoin dan fosfomisin trometamol sangat rendah, diresepkan oleh kurang dari 2% dokter. Selain itu, 59,5% dokter umum meresepkan pengobatan non-antibiotik, dengan analgesik sebagai yang tersering (68,5%).
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan beberapa kesesuaian antara manajemen SANK oleh dokter umum dengan panduan tatalaksana IAUI, namun masih terdapat ketidaksesuaian dalam pemilihan antibiotik lini pertama. Oleh karena itu, dibutuhkan optimalisasi penyediaan fasilitas dan obat untuk SANK yang dicakup oleh Jaminan Kesehatan Nasional dan sosialisasi panduan di tingkat layanan primer.

Introduction
Acute uncomplicated cystitis (AUC), a prevalent urological condition among women, is predominantly managed by general practitioners (GPs). Despite clinical guidelines provided by Indonesian Urology Association (IUA), variations in management practices persist. This study aims to evaluate the concordance between management approaches and guideline employed by GPs in Indonesia for AUC.
Method
A cross-sectional observational study was conducted from November 2023 to April 2024 through an online survey targeting GPs across Indonesia. The survey assessed GP and patient demographics, diagnostic practices, and management pattern. Data from 385 GPs were analyzed using descriptive statistics.
Results
Most general practitioners performed anamnesis (98.7%) and physical examinations (92.4%) for diagnosis. The most frequently reported symptoms were dysuria (75.8%) and suprapubic pain (72.1%). Urinalysis was commonly used (82.8%), while urine dipstick (9.6%) and urine culture (7%) were less frequently applied as additional tests. Antibiotics were prescribed by 96.6% of general practitioners, with ciprofloxacin being the most common choice (77.6%). The use of first-line antibiotics recommended by the IAUI guidelines, such as nitrofurantoin and fosfomycin trometamol, was very low, prescribed by less than 2% of practitioners. Additionally, 59.5% of general practitioners prescribed non-antibiotic treatments, with analgesics being the most common (68.5%).
Conclusion
The findings of this study reveal that while several aspects of AUC management by GPs are already in accordance with IUA guidelines, discrepancies remain, particularly in the selection of first-line antibiotics for AUC treatment. Therefore, it is necessary to optimize the provision of facilities and drugs for SANK covered by the National Health Insurance and socialize the guidelines at the primary care level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Atmoko
"Batu ginjal merupakan salah satu penyakit urologi tersering di Indonesia dan dipengaruhi oleh berbagai faktor inflamasi, faktor klinis dan demografi, namun, 50% faktor predisposisi batu ginjal diketahui juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Namun, sampai saat ini, belum ada studi yang menganalisis faktor risiko kejadian batu ginjal dari segi polimorfisme gen, sitokin inflamasi, klinis, dan demografi secara komprehensif, serta belum diketahui mekanisme keseluruhan faktor-faktor tersebut dalam menyebabkan batu ginjal. Oleh sebab itu, penelitian ini dibuat untuk menjelaskan mekanisme faktor risiko tersebut terhadap kejadian batu ginjal sebagai pencegahan terjadinya batu ginjal. Penelitian dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan desain kasus kontrol sejak Maret 2021 hingga Maret 2024 dengan jumlah 308 subjek, yaitu 154 subjek kelompok kasus dan 154 subjek kelompok kontrol sehat. Pada setiap pasien dilakukan pencatatan dan evaluasi terhadap data demografi, pemeriksaan biokimia dan polimorfisme genetik dievaluasi dari sampel darah, ekspresi gen sitokin inflamasi dan urinalisis dari sampel urin pagi, serta pemerikaan urin 24 jam. Asupan cairan dinilai menggunakan kuesioner Liq-In7. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan menggunakan SPSS versi 20 sedangkan analisis jalur dilakukan menggunakan JASP 0.19.1.0. Dari penelitian didapatkan usia lebih tua, peningkatan kadar kreatinin darah, peningkatan kadar kalsium urin, kondisi ISK, genotipe GT gen CaSR rs1801725, genotipe CT gen CLDN14 rs219780, genotipe AG dan GG gen VDR rs2228570, genotipe CT gen VDR rs1544410, dan genotipe CT gen ALPL rs1256328 berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian batu ginjal. Peningkatan kadar sitrat urin dan genotipe AG gen CaSR rs1042636 menurunkan risiko batu ginjal. Selain itu, rerata asupan cairan lebih rendah, asam urat urin lebih rendah, asam urat serum lebih tinggi, dan proporsi Genotipe CT gen VDR rs731236 dan pekerja kantor lebih rendah didapatkan pada kelompok kasus secara bermakna, namun tidak termasuk dalam faktor risiko independen berdasarkan hasil multivariat. Upregulation ekspresi IL-8 juga didapatkan pada kelompok kasus. Pada analisis jalur, varian gen VDR rs2228570, CLDN14 rs219780, CaSR rs1801725, kreatinin serum, dan usia lebih dominan memiliki efek positif langsung terhadap batu ginjal. Di sisi lain, varian gen VDR rs1544410 memiliki efek positif tidak langsung yang lebih dominan terhadap batu ginjal melalui kalsium urin. Prediktor batu ginjal dengan sistem skoring menggunakan beberapa variabel telah dikembangkan dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Dengan mengidentifikasi faktor risiko terkait batu ginjal yang dapat dan tidak dapat dimodifikasi bisa menjadi target utama dalam pencegahan primer batu ginjal.

Kidney stones are among the most common urological diseases in Indonesia, influenced by various inflammatory, clinical, and demographic factors, but 50% of the predisposition is also attributed to genetic factors. To date, no comprehensive studies have analyzed kidney stone risk factors by considering genetic polymorphisms, inflammatory cytokines, clinical, and demographics factors. Moreover, the comprehensive mechanisms by which these risk factors contribute to kidney stone formation remain unclear. Therefore, this study was conducted to elucidate how these risk factors contribute to kidney stone occurrence, aiming to prevent kidney stones. The study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital using a case-control design from March 2021 to March 2024, involving 308 subjects, comprising 154 cases and 154 healthy controls. Demographic data were collected through subject interviews. Biochemical and genetic polymorphism analyses were performed using blood samples, while inflammatory cytokine gene expression and urinalysis were evaluated from morning urine samples. Twenty-four-hour urine samples were utilized to analyze the levels of dissolved molecules and urine pH. Fluid intake was assessed using the Liq-In7 questionnaire. Bivariate and multivariate analysis was conducted using SPSS version 20, whereas path analysis was performed using JASP 0.19.1.0. The study identified that older age, increased serum creatinine levels, increased urinary calcium levels, urinary tract infections, the GT genotype of the CaSR rs1801725 gene, the CT genotype of the CLDN14 rs219780, the AG and GG genotypes of the VDR rs2228570, the CT genotype of the VDR rs1544410, and the CT genotype of the ALPL rs1256328 were associated with an increased risk of kidney stone. In contrast, higher urinary citrate levels and the AG genotype of the CaSR rs1042636 gene were associated with a reduced risk of kidney stones. Furthermore, the case group showed significantly lower mean fluid intake, lower urinary uric acid levels, higher serum uric acid levels, and a lower proportion of the CT genotype of the VDR rs731236 gene and office workers. However, these variables were not identified as independent risk factors based on multivariate analysis. IL-8 expression was also observed to be upregulated in the case group. Path analysis revealed that the VDR rs2228570, CLDN14 rs219780, and CaSR rs1801725 genetic variants, serum creatinine, and age, predominantly exerted direct positive effects on kidney stone. Conversely, the VDR rs1544410 genetic variant had a more pronounced indirect positive effect through urinary calcium levels. Scoring systems for kidney stone prediction, incorporating these variables, had been developed with good sensitivity and specificity. Identifying modifiable and non-modifiable risk factors related to kidney stones could serve as critical targets for primary prevention strategies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library