Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harun Wijanarko Kusuma Putra
"Latar Belakang: Benign prostate hyperplasia (BPH) dan Chronic Kidney Disease (CKD) adalah dua masalah urologi yang sering ditemukan bersatu pada pria yang lebih tua. Meskipun teori telah menyarankan bahwa BPH mungkin merupakan faktor risiko untuk CKD, luas asosiasi tetap tidak diketahui. Ulasan ini ingin membangun analisis sistematis, menyelidiki hubungan antara BPH dan CKD dari studi observasi yang diterbitkan.
Metode: Pencarian literatur pada studi observasional dilakukan menggunakan kombinasi operator Boolean dalam tiga database medis: MEDLINE, EMBASE, dan SCOPUS; menggunakan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang ditentukan sebelumnya. Literatur yang dipilih dinilai untuk kualitasnya menggunakan indeks kualitas Downs dan Black yang dimodifikasi. Data yang diekstrak dikumpulkan untuk analisis menggunakan model efek acak DerSimmonian dan Laird, karena desain studi yang berbeda. Heterogenitas diukur menggunakan statistik I2, analisis subgroup dilakukan untuk pengukuran hasil yang berbeda dan cut-off.
Hasil: Lima studi observasi dipilih, terdiri dari dua kohort dan tiga studi cross-sectional, dan melibatkan total 38460 peserta. Hasil penilaian kualitas pada studi tersebut mencapai skor rata-rata 80,6%. Analisis gabungan menunjukkan hubungan yang signifikan antara dua pengukuran BPH (Qmax <15 mL/s dan IPSS >7) dan CKD, dengan OR 2.05 (95%CI 1.30-3.23, I2=31%) dan OR 2.12 ( 95%CI 1.12-4.02, I2 = 72%) masing-masing. Pengukuran prostat, yaitu volume prostat dan tingkat PSA, tidak terkait secara signifikan dengan CKD. (Nilai P dari 0,89 dan 0,60 masing-masing).
Kesimpulan: BPH bertindak sebagai faktor risiko dan faktor memperburuk perkembangan CKD. Screening dan pengobatan segera untuk koeksistensi BPH dan CKD harus diterapkan dalam praktek klinis sehari-hari dan harus dimasukkan ke dalam pedoman masa depan.

Background: Benign prostate hyperplasia (BPH) and chronic kidney disease (CKD) are two urological problems commonly found coexisting in older men. Though theories have suggested that BPH might be a risk factor for CKD, the extend of the association remains unknown. This review would like to construct a systematic analysis, investigating the association between BPH and CKD from published observational studies.
Methods: Literature search on observational studies was done using combinations of Boolean operators in three medical databases: MEDLINE, EMBASE, and SCOPUS; using predetermined inclusion and exclusion criteria. Selected literatures were assessed for their quality using modified Downs and Black quality index. Extracted data was pooled for analysis using DerSimmonian and Laird random-effect model, due to varying study designs. Heterogeneity were quantified using I2 statistic, subgroup-analysis were conducted for different outcome measures and cut-offs.
Result: Five observational studies were selected, consisting of two cohorts and three cross-sectional studies, and involving a total number of 38460 participants. Results of quality assessment on the studies was in average score of 80.6 %. Pooled analysis showed significant association between two BPH measures (Qmax <15 mL/s and IPSS >7) and CKD, with OR 2.05 (95%CI 1.30-3.23, I2=31%) and OR 2.12 (95%CI 1.12-4.02, I2=72%) respectively. Prostatic measures, namely prostate volume and PSA level, were not significantly associated with CKD (P value of 0.89 and 0.60 respectively).
Conclusion: BPH act as both risk factor and aggravating factor for progression of CKD. Screening and prompt treatment for coexistence of BPH and CKD should be applied in daily clinical practice and should be included in future guidelines.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Ertandri
"Pendahuluan dan tujuan: Biopsi tumor ginjal merupakan tindakan yang bermanfaat karena mampu membedakan antara jenis histologis tumor ginjal. Oleh karena itu, biopsy memainkan peran penting dalam menentukan regimen terapi terbaik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengalaman klinis biopsi ginjal di Rumah Sakit Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo, dengan pendekatan perkutan dan terbuka. Hal ini juga bertujuan untuk menganalisis indikasi, hasil, informasi intraoperatif, dan komplikasi dari kedua pendekatan tersebut.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain kohort retrospektif, data dikumpulkan dari Rumah Sakit Rujukan Nasional (RSCM) Cipto Mangunkusumo dari tahun 1990-2019. Sampel biopsi diambil menggunakan biopsi ginjal perkutan dan terbuka sementara analisis komparatif dilakukan antara dua pendekatan biopsi.
Hasil: Data dikumpulkan dari 33 pasien yang menjalani biopsi ginjal dari tahun 1990-2019. Sebagian besar kasus didiagnosis sebagai tumor ginjal yang tidak dapat direseksi sedangkan pemeriksaan histologis ditemukan karsinoma sel jernih pada sebagian besar kasus (73%). Selanjutnya, pendekatan terbuka menunjukkan durasi yang lebih lama dan kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik perkutan dengan median 60 (30-120) vs 30 (5-60) menit (P <0,001), dan 100 (5-650) vs 2 (1- 5) ml (P <0,001). Secara umum, komplikasi dilaporkan rendah untuk kedua teknik.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil, biopsi ginjal perkutan memiliki tingkat efikasi dan komplikasi yang sama dalam pengambilan sampel tumor untuk histopatologi bersamasama dengan pendekatan terbuka. Namun, ada perbedaan yang signifikan dalam durasi dan kehilangan darah, oleh karena itu, biopsi perkutan lebih unggul dibandingkan dengan pendekatan terbuka.

Introduction and Objectives: Renal tumor biopsy is beneficial as it is capable of distinguishing between histological types of renal tumor, hence, it play an important role in deciding the best therapy regimen. This study aims to evaluate the clinical experiences of renal biopsy in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, with both percutaneous and open approach. It also aims to analyze the indications, results, intraoperative information, and complications of the two approaches.
Method: This study was conducted using the retrospective cohort design, meanwhile, data were collected from Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital (RSCM) from 1990-2019. The biopsy sample was taken using percutaneous and open renal biopsy while comparative analysis was done between the two biopsy approaches.
Results: Data were collected from 33 patients that underwent renal biopsy from 1990-2019. Majority of the cases were diagnosed as unresectable renal tumor while histological examination found clear cell carcinoma in most of the cases (73%). Furthermore, the open approach showed longer duration and higher blood loss compared to percutaneous technique with median 60 (30-120) vs 30 (5-60) minutes (P <0.001), and 100 (5-650) vs 2 (1-5) ml (P <0.001), respectively. In general, complications were reported to be low for both techniques.
Conclusion: Based on the results, percutaneous renal biopsy have similar efficacy and complications rates in tumor sampling for histopathology together with open approach. However, there were significant differences in the duration and blood loss, hence, percutaneous biopsy is more favourable.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan
"Alat pelindung diri atau APD menjadi salah satu perhatian dalam masa pandemi Covid-19. Tidak hanya tenaga kesehatan, tetapi masyarakat juga makin banyak yang menggunakan alat pelindung diri untuk mencegah penularan dari SARS-CoV-2. Namun, hingga saat ini, belum diketahui bagaimana kesesuaian penggunaan alat pelindung diri di Indonesia, terutama oleh tenaga kesehatan yang menjadi pertahanan terdepan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data sekunder dari penelitian di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI pada tahun 2021. Terdapat 317 subjek dari data sekunder tersebut yang merupakan tenaga kesehatan yang bekerja selama masa pandemi Covid-19 di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Kesesuaian penggunaan alat pelindung diri subjek dianalisis berdasarkan tingkat penggunaan alat pelindung diri menurut standar alat pelindung diri yang berlaku saat subjek bekerja. Pada penggunaan alat pelindung diri tingkat satu, 88,95% subjek sesuai dan 11,05% tidak sesuai. Di tingkat dua, 79,17% subjek sesuai dalam penggunaan alat pelindung dirinya dan sisanya tidak sesuai, yaitu 20,83%. Didapatkan 63,63% subjek sesuai dalam penggunaan alat pelindung diri tingkat tiga dan 36,37% subjek tidak sesuai. Proporsi hasil analisis kesesuaian penggunaan alat pelindung diri tingkat satu sampai tiga yang sesuai adalah 78,55% dan yang tidak sesuai adalah 21,45%. Mayoritas penggunaan alat pelindung diri pada tingkat satu sampai tiga sudah sesuai. Persentase subjek yang sesuai dalam penggunaan alat pelindung diri diperoleh tertinggi pada tingkat satu diikuti dengan tingkat dua dan tiga. Secara total, sekitar seperlima subjek tidak sesuai dalam menggunakan alat pelindung diri berdasarkan tingkatannya masing-masing.

Personal protective equipment, or PPE, has become a concern during the Covid-19 pandemic. It is not only the healthcare workers, but also the general public who are increasingly using personal protective equipment to prevent the transmission of SARS-CoV-2. However, up to this point, it is not known how well the suitability of personal protective equipment usage in Indonesia, especially by healthcare workers who are on the front lines in facing the Covid-19 pandemic. This research began with the collection of secondary data from a study conducted in the Department of Community Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia in 2021. There were 317 subjects from this secondary data, who were healthcare workers working during the Covid-19 pandemic in various healthcare facilities in Indonesia. The suitability of the subjects' use of personal protective equipment was analyzed based on the level of personal protective equipment usage according to the prevailing standards at the time the subjects were working. For the use of level one personal protective equipment, 88.95% of subjects were appropriate, and 11.05% were inappropriate. At level two, 79.17% of subjects used personal protective equipment appropriately, and the remaining 20.83% were inappropriate. It was found that 63.63% of subjects were appropriate in the use of level three personal protective equipment, while 36.37% were inappropriate. The proportion of appropriate use of personal protective equipment at levels one to three was 78.55%, while the inappropriate use was 21.45%. The majority of personal protective equipment usage at levels one to three is already appropriate. The percentage of subjects who are appropriate in the use of personal protective equipment is highest at level one, followed by level two and three. In total, about one-fifth of the subjects are inappropriate in using personal protective equipment based on their respective levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Zhafira
"Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan beban Tuberkulosis tertinggi kedua. WHO merekomendasikan pemberian terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) sebagai upaya penting untuk menurunkan insidensi TB dengan mencegah orang dengan ILTB untuk tidak jatuh sakit akibat TB. Hingga saat ini, Indonesia belum mencapai target cakupan TPT. Faktor yang mempengaruhi cakupan TPT salah satunya peran petugas kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku tenaga medis terhadap TPT di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan subjek penelitian adalah tenaga medis meliputi dokter umum dan dotker spesialis di Indonesia. Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner daring berupa Googleform yang telah diuji validitas dan reabilitasnya. Pengetahuan dikategorikan menjadi tinga tingkat: baik (76-100%), cukup (56-75%), dan kurang (<56%). Sikap dikateogrikan menjadi positif (75-100%) dan negatif (<75%). Perilaku juga diklasifikasikan secara ordinal menjadi baik (75-100%) dan kurang (<75%). Analisis hubungan dilakukan dengan Chi-Square atau uji Fisher Exact jika syarat Chi-Square tidak terpenuhi. Variabel yang tidak terdistribusi normal akan dianalisis menggunakan uji Kruskal-Wallis dan uji Man-Whitney. Hasil dikatakan signifikan jika nilai p<0.05 Hasil Dari 183 responden yang mengisi kuesioner, sebanyak 134 memenuhi kriteria inklusi dan datanya dianalisis. Responden mayoritas perempuan berada dalam median 39 (25-82), bekerja sebagai dokter umum dan dokter spesialis paru dengan masa kerja 5-10 tahun , serta berdomisili di DKI Jakarta. Sebagian besar tenaga medis memiliki tingkat pengetahuan yang baik sebesar 79.9% (107/134), sikap yang positif sebesar 76.1% (102/134), namun perilaku yang kurang masih ditemukan pada 50.7% (68/134). Tidak ditemukan hubungan bermakna antara jenis kelamin dan usia terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku mengenai TPT. Pekerjaan dannasal domisili memiliki hubungan secara signifikan dengan pengetahuan sedangkan masa kerja ditemukan berhubungan secara signifikan dengan sikap terhadap TPT. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan sikap terhadap perilaku tenaga medis terhadap TPT. Sumber informasi yang sering digunakan adalah webinar, namun seminar memiliki hubungan bermakna dengan pengetahuan. Sumber informasi lainnya termasu buku, pendidikan, program nasional Puskesmas diketahui berhubungan negatif dengan sikap tenga medis. Ketersediaan TST berhubungan dengan pengetahuan, pemeriksaan sputum memiliki hubungan yang bermakna dengan sikap, serta radiografi dan obat TPT juga memiliki hubungan yang signifikan dengan pengetahuan dan perilaku tenaga medis terhadap TPT. Kesimpulan Sebagian besar tenaga medis di Indonesia memiliki pengetahuan dan sikap yang baik terhadap TPT, namun perilaku masih kurang. Pengetahuan yang baik menunjukkan pemahaman tinggi terhadap pengetahuan dasar dan manajemen TPT, sementara sikap yang baik merujuk pada pandangan terhadap skrining TB, diagnosa ILTB, dan manajemen TPT. Perilaku yang baik menunjukkan menunjukkan tindakan sesuai pedoman TPT. Penelitian ini menemukan adanya asosiasi signifikan antara pekerjaan dan asal domisili dengan pengetahuan tenaga medis mengenai TPT, serta masa kerja dengan sikap tenaga medis terhadap TPT.

Introduction Indonesia has the second-highest tuberculosis burden globally. The WHO recommends tuberculosis preventive therapy (TPT) as an essential effort to reduce TB incidence by preventing individuals with latent TB infection (LTBI) from developing active TB. Indonesia has yet to achieve its target for TPT coverage. Factors influencing TPT coverage include the role of healthcare workers. This study aims to assess the level of knowledge, attitudes, and practices of healthcare workers regarding TPT in Indonesia, as well as the factors that influence them. Method This cross-sectional study involved healthcare workers, including general practitioners and specialists, in Indonesia. The research instrument was an online questionnaire using Google Forms, which was tested for validity and reliability. Knowledge was categorized into three levels: good (76-100%), sufficient (56-75%), and poor (<56%). Attitudes were categorized as positive (75-100%) and negative (<75%). Practices were also classified ordinally as good (75-100%) and poor (<75%). The relationship analysis was conducted using Chi-Square or Fisher Exact tests if the Chi-Square assumptions were not met. Variables that were not normally distributed were analyzed using the Kruskal-Wallis and Mann-Whitney tests. A p-value of <0.05 was considered significant. Results Of the 183 respondents who completed the questionnaire, 134 met the inclusion criteria and were analyzed. The majority of respondents were female, with a median age of 39 (range 25-82), working as general practitioners and pulmonology specialists, with 5-10 years of work experience, and residing in DKI Jakarta. Most healthcare workers had good knowledge (79.9%, 107/134), positive attitudes 76.1% (102/134), but 50.7% (68/134) exhibited poor practices. No significant relationship was found between gender and age with knowledge, attitudes, or practices regarding TPT. Job and domicile were significantly related to knowledge, while years of service were significantly related to attitudes toward TPT. No significant relationship was found between knowledge and attitudes with practices regarding TPT. The most frequently used source of information was webinars, but seminars were significantly associated with knowledge. Other sources of information, including books, education, and national programs at health centers, were negatively associated with attitudes. The availability of tuberculin skin tests (TST) was associated with knowledge, sputum examination had a significant relationship with attitudes, and radiography and TPT drugs were significantly related to knowledge and practices. Conclusion Most healthcare workers in Indonesia have good knowledge and attitudes toward TPT, but their practices remain insufficient. Good knowledge reflects a high understanding of the basic concepts and management of TPT, while good attitudes refer to views on TB screening, LTBI diagnosis, and TPT management. Good practices indicate actions aligned with TPT guidelines. This study found significant associations between occupation and domicile with healthcare workers' knowledge of TPT, as well as years of service with attitudes toward TPT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Tyo Zahid Akbar
"Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan penyakit yang umumnya menyerang sistem pernapasan manusia yang diakibatkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Indonesia merupakan peringkat kedua dengan kasus TB tertinggi dan terjadi peningkatan kasus juga di Kota Depok. Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan risiko terjangkit TB mulai dari merokok, konsumsi alkohol, status gizi, riwayat penyakit penyerta, hingga kondisi tempat tinggal yang memengaruhi risiko TB pada mahasiswa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan gejala Tuberkulosis pada mahasiswa berdasarkan tempat tinggalnya.
Metode
Desain penelitian ini menggunakan Cross-Sectional dengan data primer yang berasal dari Kuesioner Penelitian Survey elektronik gejala tuberkulosis terhadap mahasiswa UI yang tinggal di asrama mahasiswa atau sewa (kost) dibandingkan yang tinggal bersama keluarga. Pengambilan data selama periode Agustus–September kepada kurang lebih 600 Sivitas Akademika UI dan 720 penghuni asrama UI lalu didapatkan 417 responden. Setelah melewati pembersihan, penyaringan, dan perapihan data terdapat total 351 responden untuk dianalisis. Analisis univariat mendeskripsikan karakteristik demografi, sedangkan analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square atau Fisher Exact Test untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku merokok, konsumsi alkohol, status gizi, riwayat penyakit penyerta, ventilasi, dan kepadatan tempat tinggal dengan gejala TB, serta hubungan antara merokok dengan gejala batuk. Hasil yang signifikan dapat ditentukan jika P < 0.05 dan 95% CI tidak melewati angka 1.
Hasil
Karakterisitik demografi mahasiswa UI berdasarkan usia memiliki penyebaran normalitas yang normal dengan Mean (SD) 20.40 (1.13), jenis kelamin dominan perempuan (67%), sebagian besar berasal dari fakultas kedokteran (65.53), tempat tinggal terbanyak di kamar sewa (kost) atau semacamnya (46.7%), sebagian besar kepadatan tempat tinggal rendah (58.1%), hampir keseluruhan memiliki ventilasi jendela (98.3%), hanya sebagian kecil yang merokok (23.4%) dan konsumsi alkohol (17.7%), status gizi paling banyak ditemukan status normal (45%), hampir semua tidak memiliki riwayat penyakit penyerta (97.4%), ditemukan 100 orang yang memiliki gejala TB dengan gejala terbanyak berupa batuk (49 orang) dan badan lemas atau lesu (54 orang). Terdapat hubungan signifikan antara perilaku merokok (p=0.001) yang dapat meningkatkan peluang terjadinya kejadian gejala TB sebesar 2.5 kali lipat (OR (95%CI): 2.507 (1.492–4.211)) dan tempat tinggal (p=0.009) berupa asrama memiliki peluang menurunkan kejadian gejala TB sebesar 70% ((OR (95%CI): 0.379 (0.199– 0.723)). Konsumsi alkohol, status gizi, riwayat penyakit penyerta, kepadatan tempat tinggal, dan ventilasi tempat tinggal dengan mahasiswa UI bergejala TB, serta antara mahasiswa merokok dengan gejala batuk tidak ditemukan hubungan yang signifikan.
Kesimpulan
Perilaku merokok pada mahasiswa UI dapat meningkatkan peluang memiliki gejala TB sebanyak 2.5 kali lipat. Sementara itu, Tempat tinggal ditemukan hubungan yang signifikan dengan penurunan risiko gejala TB sebesar 70% pada mahasiswa yang tinggal di asrama.

Introduction
Tuberculosis (TB) is a disease primarily affecting the respiratory system and is caused by Mycobacterium tuberculosis. Indonesia ranks second globally in TB cases, with an increasing incidence observed in the city of Depok. Several risk factors contribute to an elevated risk of contracting TB, including smoking, alcohol consumption, nutritional status, comorbidities, and residential factors, such as ventilation and housing density, particularly in students vulnerable to TB. This study aims to compare TB symptoms in students based on their living arrangements.
Method
This cross-sectional study utilized primary data from an electronic survey targeting Universitas Indonesia (UI) students residing in dormitories, rented rooms, or with families. Data collection occurred between August and September 2024, involving approximately 600 UI academic community and 720 UI dormitory residents, resulting in 417 respondents. After data cleaning, 351 respondents were analyzed. Univariate analysis described demographic characteristics, while bivariate analysis (Chi-Square or Fisher's Exact Test) identified associations between smoking, alcohol consumption, nutritional status, comorbidities, ventilation, housing density, and TB symptoms. Relationships between smoking and coughing symptoms were also evaluated. Statistical significance was set at p < 0.05, with odds ratios (OR) and 95% confidence intervals (CI).
Results
The mean age of respondents was 20.40 years (SD = 1.13), with 67% being female and 65.53% from the Faculty of Medicine. The majority lived in rented rooms (46.7%), had low housing density (58.1%), and adequate ventilation (98.3%). Smoking (23.4%) and alcohol consumption (17.7%) were uncommon. Most had normal nutritional status (45%) and no comorbidities (97.4%). TB symptoms were observed in 100 students, primarily coughing (49%) and fatigue (54%). Smoking was significantly associated with a 2.5-fold increased risk of TB symptoms (p=0.001; OR [95% CI]: 2.507 [1.492–4.211]), while dormitory living was linked to a 70% reduced risk (p=0.009; OR [95% CI]: 0.379 [0.199–0.723]). Other factors, including alcohol consumption, nutritional status, housing density, ventilation, and comorbidities, showed no significant associations with TB symptoms.
Conclusion
Smoking significantly increases the likelihood of TB symptoms among UI students by 2.5 times, whereas dormitory living has a protective effect, reducing the risk by 70%. This underscores the importance of smoking cessation and supportive living conditions in TB prevention strategies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhif Faza Ananda
"Latar Belakang
Azoospermia, yang dikenal sebagai ketiadaan sperma dalam ejakulasi, adalah penyebab utama infertilitas pria, yang diklasifikasikan menjadi pre-testicular, testicular, dan post- testicular. Penyebab pre-testicular dan post-testicular memungkinkan intervensi kesuburan, sementara penyebab testicular bersifat ireversibel dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah. Indonesia memiliki keterbatasan data yang mendukung dokter dalam menentukan tingkat keberhasilan pengambilan sperma berdasarkan etiologi yang berbeda. Dokter dapat memperoleh manfaat dengan mengetahui klasifikasi penyebab azoospermia dan bagaimana hal tersebut memengaruhi tingkat keberhasilan pengambilan sperma. Studi ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara etiologi azoospermia dan tingkat keberhasilan pengambilan sperma.
Metode
Kami melakukan analisis cross-sectional terhadap data dari rumah sakit di Jakarta. Data mencakup 659 pasien azoospermia yang telah menjalani prosedur pengambilan sperma. Etiologi azoospermia dikategorikan menjadi pre-testicular, testicular, dan post-testicular. Data dengan dua atau lebih etiologi simultan dianggap sebagai azoospermia multi- faktorial. Namun, azoospermia multi-faktorial dikecualikan dari analisis. Uji chi-square digunakan untuk menganalisis hubungan antara etiologi azoospermia dan tingkat keberhasilan pengambilan sperma. Asosiasi antara metode pengambilan sperma dengan tingkat keberhasilan pengambilan sperma juga dianalisis dengan uji chi-square. Penelitian ini telah memperoleh izin etik.
Hasil
Data terdiri dari 111 pasien azoospermia pre-testicular, 112 pasien azoospermia testicular, 62 pasien azoospermia post-testicular, dan 374 pasien azoospermia multi-faktorial. Analisis chi-square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara etiologi azoospermia dan tingkat keberhasilan pengambilan sperma (χ2 = 134.179, p = <0.001). Azoospermia post-testicular memiliki tingkat keberhasilan pengambilan sperma tertinggi (97.1%), diikuti oleh azoospermia testicular (27.7%) dan azoospermia pre-testicular (13.2%). Selain itu, analisis metode pengambilan sperma menunjukkan perbedaan tingkat keberhasilan yang signifikan. PESA memiliki tingkat keberhasilan tertinggi sebesar 94% (234/249. TESE menunjukkan tingkat keberhasilan terendah sebesar 19.4% (78/402). Hubungan yang signifikan antara metode pengambilan sperma dan hasil juga ditemukan.
Kesimpulan
Studi kami menemukan adanya hubungan signifikan (nilai p < .001) antara etiologi azoospermia dan tingkat keberhasilan pengambilan sperma. Azoospermia pasca- testicular memiliki tingkat keberhasilan tertinggi sebesar 98,4%. Azoospermia pre- testicular merupakan jenis yang paling umum terjadi, diikuti oleh azoospermia testicular dan pasca-testicular. Selain itu, metode pengambilan sperma juga secara signifikan berkaitan dengan tingkat keberhasilan, di mana Percutaneous Epididymal Sperm Aspiration (PESA) menjadi metode yang paling efektif dengan tingkat keberhasilan 94%. Hal ini menegaskan pentingnya pemahaman etiologi dan pemilihan metode pengambilan yang tepat dalam menangani azoospermia.

Introduction
Azoospermia, known as absence of sperm in ejaculation, is a major cause of male infertility, classified as pre-testicular, testicular, post-testicular. Pre-testicular and post- testicular causes allow for fertility intervention, while testicular causes are irreversible with lower success rates. Indonesia have a data scarcity to support doctors to determine the sperm retrieval success rate between different etiology. Doctors could be benefited by knowing the classifications of the causes for azoospermia and how it affects the sperm retrieval success rate. This study aimed to investigate the associaton between etiology of azoospermia and the success rate of sperm retrieval
Method
We conducted a cross-sectional analysis of data from hospitals in Jakarta. The data includes 659 azoospermia patient who have undergone sperm retrieval procedures. Azoospermia etiology was categorized into pre-testicular, testicular, and post-testicular azoospermia. Data who have two or more simultaneous etiology were considered as multi-factorial azoospermia. However, multi-factorial azoospermia is excluded from the analysis. Chi-square tests were used to analyse the association between etiology of azoospermia and sperm retrieval success rate. Sperm retrieval methods association with sperm retrieval success rate was also analyse with chi-square test. The ethical clearance is obtained for this research.
Results
The data consist of 111 pre-testicular azoospermia patients, 112 testicular azoospermia patients, 62 post-testicular azoospermia patients, and 374 multi-factorial azoospermia patients. Chi-square analysis revealed a significant association between azoospermia etiology and sperm retrieval success rate (χ2= 134.179, p = <.001). Post-testicular azoospermia has the highest sperm retrieval success rate (97.1%), followed by testicular azoospermia (27.7%), and pre-testicular azoospermia (13.2%). In addition, the analysis of sperm retrieval methods showed significant differences in success rates. PESA had the highest success rate at 94% (234/249), TESE demonstrated the lowest success rate at 19.4% (78/402). A significant association between sperm retrieval methods and outcomes was observed.
Conclusion
Our study found a significant association (p-value < .001) between the etiology of azoospermia and the success rate of sperm retrieval. Post-testicular azoospermia exhibits the highest success rate at 98.4%. Pre-testicular azoospermia is the most prevalent type, followed by testicular and then post-testicular azoospermia. Additionally, the method of sperm retrieval is also significantly associated with sperm retrieval success rates, with Percutaneous Epididymal Sperm Aspiration (PESA) proving to be the most effective, boasting a 94% success rate. This underscores the importance of both etiological understanding and the selection of appropriate retrieval methods in treating azoospermia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Atmoko
"Batu ginjal merupakan salah satu penyakit urologi tersering di Indonesia dan dipengaruhi oleh berbagai faktor inflamasi, faktor klinis dan demografi, namun, 50% faktor predisposisi batu ginjal diketahui juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Namun, sampai saat ini, belum ada studi yang menganalisis faktor risiko kejadian batu ginjal dari segi polimorfisme gen, sitokin inflamasi, klinis, dan demografi secara komprehensif, serta belum diketahui mekanisme keseluruhan faktor-faktor tersebut dalam menyebabkan batu ginjal. Oleh sebab itu, penelitian ini dibuat untuk menjelaskan mekanisme faktor risiko tersebut terhadap kejadian batu ginjal sebagai pencegahan terjadinya batu ginjal. Penelitian dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan desain kasus kontrol sejak Maret 2021 hingga Maret 2024 dengan jumlah 308 subjek, yaitu 154 subjek kelompok kasus dan 154 subjek kelompok kontrol sehat. Pada setiap pasien dilakukan pencatatan dan evaluasi terhadap data demografi, pemeriksaan biokimia dan polimorfisme genetik dievaluasi dari sampel darah, ekspresi gen sitokin inflamasi dan urinalisis dari sampel urin pagi, serta pemerikaan urin 24 jam. Asupan cairan dinilai menggunakan kuesioner Liq-In7. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan menggunakan SPSS versi 20 sedangkan analisis jalur dilakukan menggunakan JASP 0.19.1.0. Dari penelitian didapatkan usia lebih tua, peningkatan kadar kreatinin darah, peningkatan kadar kalsium urin, kondisi ISK, genotipe GT gen CaSR rs1801725, genotipe CT gen CLDN14 rs219780, genotipe AG dan GG gen VDR rs2228570, genotipe CT gen VDR rs1544410, dan genotipe CT gen ALPL rs1256328 berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian batu ginjal. Peningkatan kadar sitrat urin dan genotipe AG gen CaSR rs1042636 menurunkan risiko batu ginjal. Selain itu, rerata asupan cairan lebih rendah, asam urat urin lebih rendah, asam urat serum lebih tinggi, dan proporsi Genotipe CT gen VDR rs731236 dan pekerja kantor lebih rendah didapatkan pada kelompok kasus secara bermakna, namun tidak termasuk dalam faktor risiko independen berdasarkan hasil multivariat. Upregulation ekspresi IL-8 juga didapatkan pada kelompok kasus. Pada analisis jalur, varian gen VDR rs2228570, CLDN14 rs219780, CaSR rs1801725, kreatinin serum, dan usia lebih dominan memiliki efek positif langsung terhadap batu ginjal. Di sisi lain, varian gen VDR rs1544410 memiliki efek positif tidak langsung yang lebih dominan terhadap batu ginjal melalui kalsium urin. Prediktor batu ginjal dengan sistem skoring menggunakan beberapa variabel telah dikembangkan dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Dengan mengidentifikasi faktor risiko terkait batu ginjal yang dapat dan tidak dapat dimodifikasi bisa menjadi target utama dalam pencegahan primer batu ginjal.

Kidney stones are among the most common urological diseases in Indonesia, influenced by various inflammatory, clinical, and demographic factors, but 50% of the predisposition is also attributed to genetic factors. To date, no comprehensive studies have analyzed kidney stone risk factors by considering genetic polymorphisms, inflammatory cytokines, clinical, and demographics factors. Moreover, the comprehensive mechanisms by which these risk factors contribute to kidney stone formation remain unclear. Therefore, this study was conducted to elucidate how these risk factors contribute to kidney stone occurrence, aiming to prevent kidney stones. The study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital using a case-control design from March 2021 to March 2024, involving 308 subjects, comprising 154 cases and 154 healthy controls. Demographic data were collected through subject interviews. Biochemical and genetic polymorphism analyses were performed using blood samples, while inflammatory cytokine gene expression and urinalysis were evaluated from morning urine samples. Twenty-four-hour urine samples were utilized to analyze the levels of dissolved molecules and urine pH. Fluid intake was assessed using the Liq-In7 questionnaire. Bivariate and multivariate analysis was conducted using SPSS version 20, whereas path analysis was performed using JASP 0.19.1.0. The study identified that older age, increased serum creatinine levels, increased urinary calcium levels, urinary tract infections, the GT genotype of the CaSR rs1801725 gene, the CT genotype of the CLDN14 rs219780, the AG and GG genotypes of the VDR rs2228570, the CT genotype of the VDR rs1544410, and the CT genotype of the ALPL rs1256328 were associated with an increased risk of kidney stone. In contrast, higher urinary citrate levels and the AG genotype of the CaSR rs1042636 gene were associated with a reduced risk of kidney stones. Furthermore, the case group showed significantly lower mean fluid intake, lower urinary uric acid levels, higher serum uric acid levels, and a lower proportion of the CT genotype of the VDR rs731236 gene and office workers. However, these variables were not identified as independent risk factors based on multivariate analysis. IL-8 expression was also observed to be upregulated in the case group. Path analysis revealed that the VDR rs2228570, CLDN14 rs219780, and CaSR rs1801725 genetic variants, serum creatinine, and age, predominantly exerted direct positive effects on kidney stone. Conversely, the VDR rs1544410 genetic variant had a more pronounced indirect positive effect through urinary calcium levels. Scoring systems for kidney stone prediction, incorporating these variables, had been developed with good sensitivity and specificity. Identifying modifiable and non-modifiable risk factors related to kidney stones could serve as critical targets for primary prevention strategies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library