Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayudia Indah Oktavialy
Abstrak :
Greenshoe Option adalah opsi yang memberikan hak kepada Penjamin Emisi Efek untuk melakukan penjatahan lebih atau menjual saham tambahan dalam hal terjadi kelebihan permintaan atas saham yang ditawarkan, dengan tujuan untuk menstabilkan harga saham apabila mengalami penurunan setelah pencatatan. Peraturan Greenshoe Option di Indonesia belum diatur secara rinci, namun penggunaannya dapat merujuk pada POJK 6/2019 yang mengatur kegiatan Stabilisasi Harga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan pendekatan metode komparatif antara negara Amerika Serikat, Inggris, dan India. Penelitian ini akan memuat analisis bagaimana ketentuan Greenshoe Option yang telah diimplementasikan oleh PT Bank Mandiri Tbk, PT ABM Investama Tbk, dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Kesimpulan dari penelitian ini bahwasanya peraturan Greenshoe Option di Indonesia masih belum diatur secara rinci seperti tidak diaturnya ketentuan batasan maksimal saham greenshoe begitupun mekanisme pelaksanaannya. Sementara di Amerika Serikat, Inggris, dan India telah mengatur ketentuan akan hal tersebut. Ketentuan Greenshoe Option oleh PT Bank Mandiri Tbk, PT ABM Investama Tbk, dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk dilakukan sesuai dengan praktik yang berlaku secara internasional. Tidak adanya batas maksimal saham greenshoe beserta ketentuan pelaksanaanya dapat menimbulkan risiko bagi Emiten dan Investor. Dengan ini harapan bagi regulator pasar modal Indonesia untuk menyempurnakan peraturan Greenshoe Option dengan mempertimbangan ketentuan dari beberapa negara yang telah dipaparkan dalam penelitian ini. ......Greenshoe Option is an option that gives the Underwriter the right to make more allotments or sell additional shares in the event of excess demand for the shares offered, which aims as a mechanism for stabilizing share prices after listing. The Greenshoe Option Regulations in Indonesia have not been regulated in detail, but their use can refer to POJK 6/2019 which regulates Price Stabilization activities. The method used in this study is juridical-normative with a comparative method between the United States, United Kingdom, and India. This research will contain an analysis of how the Greenshoe Option provisions have been implemented by PT Bank Mandiri Tbk, PT ABM Investama Tbk, and PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. The conclusion from this study is that the Greenshoe Option regulations in Indonesia are still not regulated in detail, such as the maximum limit for greenshoe shares and the implementation mechanism. Meanwhile in the United States, United Kingdom, and India have set provisions for this. The provisions for the Greenshoe Option by PT Bank Mandiri Tbk, PT ABM Investama Tbk, and PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk are carried out in accordance with internationally accepted practices. The absence of a maximum greenshoe share limit and its implementing provisions may pose a risk to Issuers and Investors. With this, it is hoped that the Indonesian capital market regulator will improve the Greenshoe Option regulations by taking into account the provisions of several countries that have been described in this study.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aisyah
Abstrak :
Persoalan Kepailitan memang kerap kali menimbulkan perselisihan dimana pihak yang merasa dirugikan akibat tindakan orang lain yang tidak memunaikan kewajibannya sesuai di perjanjian sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lainnya. Dalam penelitian ini, Penyelesaian melalui arbitrase internasional menggambarkan kompleksitas dan tantangan dalam menyelesaikan sengketa lintas batas. Implementasi Konvensi New York menjadi faktor kunci dalam mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional di tingkat nasional. Proses kepailitan diawali dengan putusan arbitrase yang memberikan keputusan terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak. PT GM menentang putusan tersebut dan mengajukan peninjauan kembali di tingkat nasional, dengan argumen bahwa putusan arbitrase dilakukan dengan melibatkan pelanggaran terhadap hukum pasar modal Indonesia dan penyelundupan hukum. PT GM juga mencoba menggugat pembatalan putusan arbitrase berdasarkan hukum nasional Indonesia. Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah Bagaimana perbandingan pertimbangan Majelis Hakim pada putusan tingkat kasasi serta putusan arbitrase terhadap Kasus KT C dan PT GM dan Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum PT GM yang telah memenuhi kewajiban kepada KT C. Metode Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Perbandingan Pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Tingkat Kasasi dan Putusan Arbitrase Dalam putusan tingkat kasasi, Mahkamah Agung menolak permohonan pailit yang diajukan oleh KT Corporation terhadap PT Global Mediacom Tbk. Hakim berpendapat bahwa KT Corporation tidak dapat membuktikan secara sederhana bahwa PT GM memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, sehingga permohonan pailit ditolak. Sebaliknya, putusan arbitrase International Arbitration Award No.16772/CYK menyatakan bahwa PT GM dihukum membayar sejumlah uang kepada KT Corporation berdasarkan pelanggaran perjanjian opsi dan beli. Kendala dalam eksekusi putusan arbitrase menimbulkan pertanyaan mengenai hambatan eksekusi dan perlunya reformasi atau perubahan dalam proses eksekusi internasional. Kemudian, Bentuk Perlindungan Hukum PT GM yang Telah Memenuhi Kewajiban kepada KT Corporation adalah PT GM dapat memanfaatkan putusan ini dalam upaya melindungi posisi hukumnya dan menegakkan hak-hak kontraktualnya. ......Settlement through international arbitration illustrates the complexity and challenges of resolving cross-border disputes. Implementation of the New York Convention is a key factor in recognizing and enforcing international arbitral awards at the national level. The bankruptcy proceedings began with an arbitral award that provided decisions regarding the rights and obligations of each party. PT GM challenged the award and sought judicial review at the national level, arguing that the arbitral award involved a violation of Indonesian capital market law and legal smuggling. PT GM also sought to challenge the annulment of the arbitral award under Indonesian national law. The problems taken in this research are How is the comparison of the consideration of the Panel of Judges at the cassation level decision and the arbitration decision on the KT C and PT GM Case and How is the form of legal protection of PT GM that has fulfilled its obligations to KT C. The research method in this thesis is doctrinal research with explanatory research typology. In the cassation level decision, the Supreme Court rejected the bankruptcy petition filed by KT Corporation against PT Global Mediacom Tbk. The judge argued that KT Corporation could not prove simply that PT GM had a debt that was due and collectible, so the bankruptcy petition was rejected. In contrast, the International Arbitration Award No.16772/CYK stated that PT GM was ordered to pay a sum of money to KT Corporation based on the breach of the option and purchase agreement. The obstacles in the execution of arbitral awards raise questions regarding the obstacles to execution and the need for reform or change in the international execution process. Then, the form of legal protection for PT GM that has fulfilled its obligations to KT Corporation is that PT GM can utilize this decision in an effort to protect its legal position and enforce its contractual rights.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrifat Taqirozan
Abstrak :
Kondisi dunia pada tahun 2020 mendorong masyarakat Indonesia untuk mencari sumber pendapatan alternatif, dimana salah satunya melalui pasar modal. Dalam dunia pasar modal Indonesia pada dasarnya terdapat tiga pihak yang berperan yakni investor, pemerintah, dan perusahaan yang melalui proses IPO untuk mendaftarkan dirinya sebagai perusahaan tercatat pada pasar modal. Pencatatan tersebut dapat berakhir karena beberapa faktor, salah satunya adalah kepailitan. Suatu emiten dapat dinyatakan pailit tentunya berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Indonesia, dimana Undang-Undang itu sendiri masih memiliki persyaratan yang terlalu umum untuk mengubah status emiten menjadi pailit. Dalam penelitian ini Penulis menilai bahwa UU K-PKPU belum memenuhi Doktrin Radbruch secara sempurna serta memberikan intervensi yang tidak perlu sehingga menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kegiatan perdagangan dalam pasar modal. Eksternalitas negatif tersebut didasari oleh biaya informasi yang tinggi bahkan information asymmetry antara para investor dengan seluruh pihak yang terlibat dalam proses kepailitan. Akibatnya investor memberikan over reaction dalam pasar sehingga harga saham emiten turun kepada titik yang tidak wajar. Selain itu peraturan perundang-undangan pasar modal juga tidak memberikan ketentuan tambahan terkait hubungannya dengan Hukum Kepailitan Indonesia sehingga tidak dapat diandalkan sebagai bentuk intervensi pemerintah untuk meminimalisir biaya informasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus kepailitan PT. Cowell Development Tbk. sebagai emiten yang dipailitkan berdasarkan kepailitan, namun perusahaan tersebut masih memiliki aset yang lebih besar dibandingkan utangnya. Emiten yang telah dikenakan forced delisting akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan harga sahamnya kepada titik wajar mengingat pasar negosiasi pada umumnya tidak mewajibkan suatu keterbukaan informasi. Sehingga penulis menilai diperlukan intervensi dari pemerintah melalui reformulasi peraturan perundang-undangan untuk memberikan ketentuan yang lebih mengerucut terhadap kondisi keuangan emiten sebagai termohon pailit serta pihak yang berwenang dan berkapasitas untuk mengevaluasi hingga mendistribusikan informasi tersebut untuk mencapai pasar modal yang lebih efisien. ......Global condition in 2020 encourages the Indonesians to seek an alternative income, one of which is through the stock market. Basically, there are three parties involved in the Indonesia’s stock market realms, namely investor, government, and the corporation that listed itself through the process of IPO as an issuer. Said listing could be terminated based on several factors, one of which is bankruptcy. An issuer could be declared bankrupt, based on the requirements that are regulated in Indonesia's Bankruptcy Act, which in itself still has requirements that are far too general to shift the status of a debtor to a bankrupt. In this research, the author considers that the Indonesia’s Bankruptcy Act does not fulfill the Radbruch Doctrine perfectly and provides unnecessary intervention, rising negative externality on trading activities in the capital market. Said negative externality buttresses on the high information cost even an information asymmetry between investors and every other parties involved in the bankruptcy proceedings. Resulting an escalation of over-reaction from the investors in the stock market until the stock value of the issuer plummeted towards an unreasonable point. Apart from that, the stock market statutes also do not provide an additional provision regarding its relationship with Indonesia’s Bankruptcy Act so it cannot be relied upon as a form of government intervention to minimize said information cost. This can be seen from the bankruptcy case of PT. Cowell Development Tbk. as an issuer that has been declared bankrupt while its assets value still exceeds its debt value. An issuer that has been forced delisted will find itself in a tough situation to return its stock value to the reasonable point considering the negotiation market in general does not require information transparency. The author believes that intervention from the government is needed through the reformulation of statutes in order to provide provisions that are more focused on issuer's financial condition as bankruptcy respondent as well as parties that are both authorized and capable to evaluate and distribute said information to achieve a more efficient stock market.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfredo Joshua Bernando
Abstrak :
Penerapan hukum kepailitan di Indonesia untuk menyatakan pailitnya seseorang atau suatu perusahaan membutuhkan pembuktian sederhana, dimana hanya membutuhkan syarat mempunyi dua atau lebih kreditur dan mempunyai setidaknya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pembuktian yang sangat sederhana ini tidak menyertakan insolvency test sebagai salah satu syarat untuk mendasari pertimbangan Majelis Hakim untuk memutus pailit dalam putusan pengadilan niaga. Hal ini cenderung tidak proporsional karena merugikan pihak debitur, dimana Prinsip Keadilan adalah salah satu Prinsip atau Asas yang mendasari Hukum Kepailitan di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya insolvency test dapat menunjukan bahwa seseorang atau suatu perusahaan sebagai debitur dalam keadaan solven atau insolven, sehingga dapat dipertimbangkan apakah aset-aset yang dimiliki oleh debitur dapat membayar utang-utangnya atau tidak. Tidak adanya penerapan insolvency test dalam proses kepailitan menutup kemungkinan untuk melihat hal-hal tersebut sehingga debitur dapat dengan mudah untuk dipailitkan. Sehingga, insolvency test perlu untuk diterapkan dalam proses kepailitan serta diperbaharui peraturannya agar tidak menciderai prinsip keadilan yang menjadi dasar dari hukum kepailitan di Indonesia. ......The application of bankruptcy law in Indonesia to declare someone or a company bankrupt requires simple proof, where it only needs the condition of having two or more creditors and at least one debt that has matured and is demandable. This very simple proof does not include the insolvency test as one of the conditions to substantiate the consideration of the Judges' Panel to decide bankruptcy in a commercial court ruling. This tends to be disproportionate as it harms the debtor, where the Principle of Justice is one of the principles underlying Bankruptcy Law in Indonesia, namely Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The existence of an insolvency test can show that an individual or a company as a debtor is in a solvent or insolvent condition, so it can be considered whether the assets owned by the debtor can pay off its debts or not. The lack of the application of the insolvency test in the bankruptcy process closes the possibility of examining these matters, making it easy to declare bankruptcy for debtors. Thus, the insolvency test needs to be applied in the bankruptcy process and its regulations need to be updated to avoid undermining the principle of justice that is the basis of bankruptcy law in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Darojatun Patra Suwito
Abstrak :
Dalam mengajukan suatu permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) maupun permohonan kepailitan, adanya utang debitor merupakan salah satu unsur yang harus dibuktikan. Penelitian ini membahas mengenai utang yang timbul dari perjanjian yang dibuat oleh karyawan suatu perseroan terbatas tanpa persetujuan dari direksi. Utang tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap badan hukum perseroan terbatas. Melalui permasalahan tersebut penulis melakukan kajian mengenai pertanggungjawaban perseroan terbatas atas perjanjian yang dibuat oleh karyawan dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 350/PDT.SUS-PKPU/2022/PN.NIAGA.JKT.PST yang dianalisis dengan dihubungkan pada ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas & UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kajian ini menggunakan metode penelitian doktrinal atau normatif. Data yang diteliti terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Hasil penelitian ini menunjukkan Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 350/PDT.SUS-PKPU/2022/PN.NIAGA.JKT.PST tidak sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas & UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, karena mengabulkan putusan PKPU berdasarkan utang yang timbul dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak berwenang mewakili perseroan terbatas. Oleh karenanya, perjanjian tersebut ialah tidak sah dan tidak mengikat perseroan terbatas selaku badan hukum, sehingga perseroan terbatas tidak dapat dibebani utang yang timbul dari perjanjian tersebut. ......When submitting a petition for suspension of payment (PKPU) or a petition of bankruptcy, the debtor's debt is one of the elements that must be proven. This research discusses debts arising from agreements made by employees of a limited liability company without the approval of the directors. This debt is then used as the basis for submitting a petition for suspension of payment (PKPU) against a limited liability company as legal entity. Through this problem the author conducted a study regarding the liability of limited liability companies for agreements made by employees in the Commercial Court Decision Number: 350/PDT.SUS-PKPU/2022/PN.NIAGA.JKT.PST which was analyzed by linking it to the provisions in Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies & Law no. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Payment. This study uses doctrinal or normative research methods. The data studied consisted of primary, secondary and tertiary legal research materials. The results of this research show that the Commercial Court Decision Number: 350/PDT.SUS-PKPU/2022/PN.NIAGA.JKT.PST is not in accordance with Law no. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies & Law no. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Payment, because it granted Suspension of Payment petition based on debts arising from agreements made by parties who were not authorized to represent limited liability companies. Therefore, the agreement is invalid and does not bind the limited company as a legal entity, so that the limited company cannot be burdened with debts arising from the agreement.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raaf Muhammad Jay Heriyantoro
Abstrak :
Dana pensiun memiliki peran penting bagi perekonomian baik dari segi mikro maupun makro. Secara mikro, dana pensiun merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang menyediakan pendapatan bagi individu pensiunan. Secara makro, pengelolaan aset dana pensiun dengan cara berinvestasi memiliki dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2022 Mercer dan CFA Institute mengeluarkan laporan yang isinya menilai sistem dana pensiun berbagai negara. Dalam laporan tersebut Indonesia memperoleh peringkat ke-39 dengan nilai D. Sementara itu, Belanda memperoleh peringkat ke-2 dengan nilai A. Atas dasar tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis, membandingkan, serta menilai sistem dana pensiun di Indonesia dan Belanda. Oleh sebab itu, metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridisnormatif dengan melakukan studi komparasi antara regulasi Indonesia dan Belanda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Namun, bonus demografi tersebut tidak lama lagi akan selesai yang ditandai dengan tingginya rasio ketergantungan. Kemudian, apabila dibandingkan dengan sistem dana pensiun Belanda, sistem dana pensiun Indonesia memiliki beberapa kelemahan. Secara struktural, dana pensiun Indonesia yang kurang sempurna menyebabkan rendahnya tingkat kepesertaan. Hal tersebut berbeda dengan Belanda di mana tingkat kepesertaan mencapai angka yang sangat tinggi. Selain itu, secara teknis, dana pensiun Indonesia juga memiliki kelemahan dalam bentuk regulasi penempatan investasi yang bersifat kuantitatif sehingga dapat dikatakan cukup restriktif, terutama dengan adanya batas minimum investasi pada Surat Berharga Negara. Hal tersebut berbeda dengan Belanda yang bersifat kualitatif sehingga dapat dikatakan relatif longgar. Dengan demikian, berdasarkan fenomena demografi serta kedua kelemahan yang telah disebutkan, terlihat adanya urgensi untuk diadakannya reformasi sistem dana pensiun Indonesia baik dari segi struktural maupun teknis. Reformasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi individu pensiunan dan juga mendorong terciptanya pasar keuangan yang sehat dan karenanya berkontribusi bagi perekonomian secara luas. ......Pension funds have a significant economic role from a micro and macro perspective. On a micro level, pension funds are a form of social protection that provides income for retired individuals. On a macro level, pension fund asset management in the form of investing positively impacts economic growth. In 2022, Mercer and the CFA Institute released an assessment report of various countries' pension fund systems. In the report, Indonesia was ranked 39th with a D score. Meanwhile, the Netherlands was ranked 2nd with an A score. This study aims to analyze, compare, and assess the pension fund systems in Indonesia and the Netherlands. Therefore, the research method used is juridical-normative by conducting comparative studies between Indonesian and Dutch regulations. This study shows that Indonesia is currently experiencing a demographic dividend. However, the demographic dividend will soon be finished, marked by a high dependency ratio. Moreover, compared with the Dutch pension fund system, the Indonesian pension fund system has several weaknesses. Structurally, imperfections found in Indonesian pension funds result in low membership rates. This is different from the Netherlands where membership rates are very high. Additionally, from a technical perspective, Indonesian pension funds also have weaknesses in the form of quantitative investment regulations that is relatively restrictive, especially with a minimum investment limit in government bonds. This differs from the Netherlands which are qualitative and therefore relatively lax. Consequently, based on the demographic phenomenon and the two weaknesses mentioned, there is an urgency to reform the Indonesian pension fund system from a structural and technical perspective. These reforms are expected to improve the welfare of individual retirees and encourage the creation of a healthy financial market that contributes to the economy at large.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafailiyyin Nurarini
Abstrak :
Digitalisasi sebagai bagian dari perkembangan saat ini telah membentuk pasar baru bagi pelaku usaha, khususnya perusahaan teknologi, yaitu pasar digital. Google sebagai pelopor di pasar digital menjadi pemain terkemuka dan dengan demikian memegang posisi dominan di beberapa pasar digital termasuk Android App Store dan layanan pencarian umum. Namun, Komisi Eropa menemukan bahwa Google telah menyalahgunakan posisi dominannya di pasar Android App Store dan melanggar Pasal 102 TFEU melalui Mobile Application Distribution Agreement (MADA) yang salah satu ketentuannya mewajibkan produsen smartphone untuk melakukan pre-install Google Search App sebagai prasyarat untuk mendapatkan Play Store. Praktik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan teknologi besar inilah yang memengaruhi implementasi Undang-Undang Pasar Digital di Uni Eropa untuk menciptakan persaingan yang sehat dalam ekonomi digital. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai apakah Google menyalahgunakan posisi dominannya dan melakukan penjualan bersyarat (tying) sesuai dengan Pasal 25 dan 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, serta menganalisis peraturan persaingan yang dapat mengatur persaingan secara efektif dalam ekonomi digital. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan menganalisis data sekunder dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa praktik Google termasuk sebagai pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan hukum persaingan di Indonesia belum memadai untuk mengatur persaingan di pasar digital secara efektif. Dengan demikian, penting bagi otoritas persaingan Indonesia untuk memberlakukan peraturan persaingan pada pasar digital yang menerapkan kewajiban dengan pendekatan per se illegal dan menerapkan prinsip ekstrateritorial. ......Digitalization as an imminent part of current development has established a new market for business actors, especially tech companies, namely the digital market. Google, as the forerunner in the digital market became a prominent player and thus hold dominant positions in several digital markets including Android App Store and general search service. However, the European Commission found that Google has abused its dominant position in the Android App Store market and violated Article 102 TFEU through Google’s Mobile Application Distribution Agreement (MADA) which one of the provisions obligates smartphone manufacturers to pre-install Google Search App as a pre-requisite for obtaining the Play Store. These kinds of practices that big-tech companies have committed to influence the implementation of the Digital Market Act in the European Union to create fair competition in the digital economy. Therefore, the purpose of this research is to assess whether Google abuses its dominant position and perform tying agreements in accordance with Article 25 and 15 of Law Number 5 of 1999 and to analyze the competition framework that can effectively regulate competition in the digital economy. The research method that is used is judicial normative which is done by analyzing secondary data using qualitative method. This research found that Google's practice would constitute a violation under Law Number 5 of 1999 and that the competition framework in Indonesia is not sufficient enough to regulate competition in the digital market effectively. Therefore, it is essential for Indonesian competition authorities to enact competition regulations in the digital market that implement per se obligations and have an extraterritorial principle.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athaya Naila Ayasha Trishadiatmoko
Abstrak :
Untuk menciptakan lingkungan bisnis yang sehat, harus ada peraturan yang mengatur persaingan usaha. Di Indonesia, UU No. 5 tahun 1999mengatur tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, peraturan ini muncul karena banyaknya kasus praktek monopolidan persaingan usaha yang tidak sehat, seperti bisnis di Indonesia yang dikuasai oleh keluarga konglomerat atau pihak-pihak tertentu yangmenyingkirkan usaha kecil. Larangan yang tercantum dalam undang-undang tersebut adalah larangan penguasaan pasar dan larangan diskriminasi usaha. Hal ini berkaitan dengan kasus yang akan dibahas dalam tesis ini yaitu mengenai pengoperasian taksi di Bandara Sultan Hasanuddin oleh PTAngkasa Pura I, dimana terdapat laporan dugaan yang disampaikan oleh Blue Bird Group terhadap PT Angkasa Pura I terkait pelanggaran Pasal 19huruf a dan d UU No. 5 Tahun 1999. KPPU kemudian melakukan penyelidikan terhadap tindakan PT Angkasa Pura I dan menjadikannya sebagaiterlapor, dan telah memulai persidangan hingga pada tahap tanggapan dari terlapor. Namun, terlapor kemudian membuat pakta integritas perubahanperilaku yang menyatakan bahwa terlapor mengakui kesalahannya dan berkomitmen untuk mengubah perilaku yang dituduhkan. Penelitian inimenggunakan metode penelition yuridis normatif dan bertujuan untuk mengetahui apakah tindakan terlapor melanggar Pasal 19 huruf a dan d UUNo. 5 Tahun 1999 dan dampak hukum dari tindakan tersebut. Tesis ini menyimpulkan bahwa PT Angkasa Pura I, dari pendekatan rule of reason, tidak melanggar pasal yang dituduhkan oleh terlapor dan dampak hukum yang ditimbulkan oleh tindakan mereka membantu operator taksi lain dibandara dan menimbulkan dampak positif. ......In order to create a healthy business environment, there must be regulations governing business competition. In Indonesia, Law No. 5 of 1999governs the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, this regulations arose due to the numerous instances ofmonopolistic and deceptive business practices, for instance, Indonesian businesses being controlled by conglomerate families or certain parties where they exclude small businesses. Prohibitions stated in the law are prohibition on market dominance and prohibition on business discrimination. Itrelates to the case that will be discussed in this thesis regarding taxi operations in Sultan Hasanuddin Airport by PT Angkasa Pura I, where a report ofallegations are submitted by Blue Bird Group towards PT Angkasa Pura I regarding the violation of Article 19 a and d of Law No. 5 of 1999 on market dominance and discrimination. KPPU then investigated PT Angkasa Pura I’s act, making them the reported party, and has started the trialuntil the stage of response from the reported party. However, the reported party then made a change of behavior integrity pact, stating that theyacknowledge their wrongdoings and committed to changing their alleged behavior. This research uses the juridical-normative method and is todetermine whether the reported party’s action violated Article 19 a and d of Law No. 5 of 1999 and the legal impacts of their action. This thesisconcludes that PT Angkasa Pura I, from the rule of reason approach, did not violate the alleged article from the report and the legal impacts causedby their action helps other taxi operators at the airport and caused a positive impact.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rakananda Defiano Jusuf Firmano
Abstrak :
Merek fiksi pada dasarnya dilindungi ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun, kerap ditemukan upaya pendaftaran merek fiksi oleh pelaku usaha yang bukan merupakan pemegang hak cipta. Merek fiksi yang tidak didaftarkan sebagai merek membuka kesempatan bagi pelaku usaha lain untuk mendaftarkan merek fiksi tersebut sebagai merek terdaftar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis terkait bagaimana hukum merek di Indonesia dan Amerika Serikat mampu melindungi pendaftaran merek fiksi oleh pihak lain tanpa persetujuan pemegang hak cipta. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif atas norma hukum tertulis. Perbandingan putusan pengadilan di Amerika Serikat dijelaskan untuk memberikan pemahaman terkait pelindungan merek terhadap merek fiksi di negara lain. Kesimpulan dari penelitian ini adalah merek fiksi dapat dilindungi di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sebagai ciptaan. ......Fictional marks are protected by Indonesian Copyright Law, Law No, 28 of 2014. However, attempts to register fictitious marks are often found by business owners who are not copyright holders. A fictional trademark that is not registered as a trademark opens up opportunities for other business owners to register the fictional mark as a registered mark. This study aims to analyze how trademark law in Indonesia and the United States is able to protect fictional trademark registration by other parties without the consent of the copyright holder. This study uses normative legal research on written legal norms. A comparison of court decisions in the United States is explained to provide an understanding regarding trademark protection for fictional marks in other country. The conclusion of this study is that fictional marks can be protected under Indonesian Copyright Law, Law No, 28 of 2014 and Indonesia Trademark and Geographical Indications Law, Law No. 20 of 2016 as creation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Divina Ardelia Daud
Abstrak :
Peningkatan konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan pangan, layaknya minyak goreng, menciptakan variasi strategi penjualan oleh pelaku usaha yang hendak bersaing satu sama lain untuk menjual produknya. Melihat banyaknya pelaku usaha yang tidak dapat bersaing di pasar bersangkutan, pelaku usaha melakukan penjualan secara tying agreement dan bundling dalam menjual minyak goreng hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tentu merupakan perbuatan yang tergolong sebagai persaingan usaha tidak sehat, yang mana telah merugikan berbagai pihak mulai dari Pengecer hingga Konsumen dengan tidak adanya hak yang diberikan untuk memilih produk yang sebenarnya diinginkan. Berdasarkan program Minyak Goreng Rakyat yang dikeluarkan oleh pemerintah, Minyakita hadir dengan penetapan Harga Eceran Tertinggi untuk menanggulangi kasus tersebut. Hanya saja, tying agreement dan bundling masih kerap terjadi, yang salah satunya dilakukan oleh distributor di Provinsi Lampung. Pada kasusnya, Konsumen diwajibkan untuk membeli produk lada bubuk apabila ingin membeli Minyakita. Sehingga, skripsi ini bertujuan untuk memberikan analisis terkait dugaan tying agreement dan bundling yang akan dikaitkan dari sisi Hukum Persaingan Usaha berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Yuridis-normatif digunakan sebagai bentuk penelitian ini, dimana penulis lebih memfokuskan pada aturan-aturan hukum yang tidak tertulis dan tertulis dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan topik. Selain itu, penulis juga akan menganalisis lebih lanjut terkait dampak hukum terhadap perjanjian terikat dan bundling, serta dampak terhadap implementasi peraturan yang telah dikeluarkan oleh KPPU. Kesimpulannya, distributor telah memenuhi unsur Pasal 15 Ayat 2 Hukum Persaingan Indonesia. Namun, belum ditemukan bukti kesepakatan dan KPPU diharapkan mengusut lebih lanjut terkait kasus ini. ......Increasing public consumption of food supply, such as cooking oil, creates a variety of sales strategies by business actors who want to compete with each other to sell their products. Seeing that many business actors are unable to compete in the relevant market, business actors carry out sales by means of tying agreements and bundling in selling cooking oil in almost all regions of Indonesia. The acts is classified as unfair business competition, which has harmed various parties ranging from Retailers to Consumers in the absence of the right to choose the desired product. Based on the Minyak Goreng Rakyat program issued by the government, Minyakita are established in addition with the Highest Retail Price to overcome this issue. However, tying agreements and bundling still occur frequently, one of which is carried out by distributors in Lampung Province. In this case, consumers are required to buy pepper powder products in order to buy Minyakita. Thus, this thesis aims to provide an analysis regarding allegations of tying agreements and bundling which will be related from the perspective of Business Competition Law based on Law No. 5 of 1999 and other related laws and regulations. Juridical-normative is used as a form of this research, which the author more focused on unwritten and written legal rules by using library research methods that are related with the topics. In addition, the author will also analyze further regarding the legal impact on bundling and tying agreements, as well as the impact on the implementation of regulations that have been issued by KPPU. In conclusion, the distributor has fulfill elements of Article 15 Paragraph 2 of Indonesian Competition Law. However, it is not found yet the evidence of agreement and KPPU is expected to investigate more regarding this case.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>