Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zahra
Abstrak :
Kulit mempunyai fungsi sebagai lini pertama melindungi dari faktor kimia maupun fisik, selain itu juga memiliki peran dalam proses metabolisme, termoregulasi, pertahanan serangan mikroorganisme, dan juga bagian dari sistem imunitas tubuh. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti genetik, hormon, produksi sebum, tingkat hidrasi, dan mikrobiota komensal. Produksi sebum dipengaruhi dari lokasi, kepadatan ujung saluran kelenjar, dan aktifitas kelenjar sebasea. Faktor tingkat hidrasi pada kulit tergantung pada adanya komponen higroskopis atau natural moisturizing factor (NMF) yang berada pada sel stratum korneum dan lipid antar sel yang mengelilingi sel. Pengaruh produksi sebum dan tingkat hidrasi dipengaruhi oleh mikroorganisme komensal, sebagaimana fungsi kulit sebagai ekosistem. Teknik sekuensing telah menjadi pilihan untuk mempelajari mikrobiota kulit, karena bisa melihat sampai tingkat kelimpahan mikrobiota yang tidak bisa dilakukan dengan cara kultur dan isolasi. Analisis dengan menggunakan Next Generation Sequencing (NGS) dengan sekuensing amplikon 16S rRNA mempunyai keuntungan yaitu hemat biaya, karena hanya memakai ukuran gen yang relatif kecil dan ukuran amplikon yang pendek. Selain itu high-throughput ribosomal community profiling mengandung sekuens dan beberapa daera hipervariabel (V3-V4 adalah regio yang dipakai untuk bakteri), yang dapat digunakan untuk menyimpulkan komposisi taksonomi komunitas. Analisis sekuensing 16s rRNA dengan Qiime2 memberikan hasil adanya perbedaan signifikan profil mikrobiota wajah sehat dengan parameter tingkat sebum dan tingkat hidrasi terutama pada genus Cutabacterium dan Neisseria spp. ......The skin has a function as the first of protection from chemical and physical factors, besides that it also has a role in metabolic processes, thermoregulation, defense against attacks from microorganisms, and is also part of the body's immune system. It is influenced by factors such as genetics, hormones, sebum production, hydration level, and commensal microbiota. Sebum production is influenced by the location, the density of the duct ends of the glands, and the activity of the sebaceous glands. The hydration level factor in the skin depends on the presence of a hygroscopic component or natural moisturizing factor (NMF) which is present in the stratum corneum cells and the intercellular lipids that surround the cells. The influence of sebum production and hydration levels is influenced by commensal microorganisms, as well as the function of the skin as an ecosystem. Sequencing techniques have become the preferred method of studying skin microbiota, because they can see to an extent the abundance of microbiota that cannot be done by culture and isolation. Analysis using Next Generation Sequencing (NGS) with 16S rRNA amplicon sequencing has the advantage of being cost-effective, because it only uses relatively small gene sizes and short amplicon sizes. In addition, high-throughput ribosomal community profiling contains sequences and several hypervariable regions (V3-V4 are the regions used for bacteria), which can be used to infer the taxonomic composition of the community. Analysis of 16s rRNA sequencing with Qiime2 showed significant differences in healthy facial microbiota profiles with parameters of sebum level and hydration level, especially in the genus Cutabacterium and Neisseria spp.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Dwininda
Abstrak :
Keseimbangan berbagai jenis bakteri pada kulit sangat penting dalam menjaga kesehatan kulit. Permasalahan pada kulit wajah yang muncul salah satunya disebabkan oleh disbiosis mikroba. Penelitian dilakukan untuk menganalisis keberagaman mikrobiom bakteri yang terdapat pada kulit wajah dengan kondisi pH dan kelembaban beragam. Metode analisis diversitas dengan Next Generation Sequencing 16s rRNA. Jumlah responden yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 144 sampel. Hasil analisis pada penelitian ini ditemukan bahwa kelas filum bakteri tertinggi Actinobacterium (49,72%), Proteobacterium (29,86%) dan Firmicutes (18,64%). Pada genus Cutibacterium (41,48%), Neisseriaceae (20,29), Staphylococcus (10,16%) ditemukan terbanyak pada kulit wajah dengan nilai kondisi pH dan kelembaban berbeda. Analisis diversitas alfa dengan indeks Chao1 (p=0,05) dan Faith PD(p=0.004) menunjukan kelimpahan mikrobiom signifikan lebih tinggi ditemukan pada pH tinggi dibandingkan pH normal. Analisis diversitas Alfa pada kelembaban tidak ditemukan signifikan terhadap kelimpahan bakteri mikrobiom wajah. Hasil diversitas beta ditemukan perbedaan kelimpahan mikrobiom bakteri pada sepuluh genus tertinggi yang ditemukan pada pH normal dan pH tinggi serta kelompok kelembaban dengan sangat lembab, lembab dan kering. Kesimpulan penelitian profil genus Cutibacterium, Neisseriaceae, Staphylococcus bakteri paling banyak ditemukan pada pH tinggi dan pH normal seta kelembaban sangat lembab, lembab dan kering. Cutibacterium, Neisseriaceae dan Staphylococcus menunjukan adanya peningkatan pH kulit maka kelimpahan bakteri tersebut semakin meningkat. Pada kelembaban kulit, kelimpahan Cutibacterium dan Staphylococcus menurun seiring penurunan nilai kelembaban kulit. ......Balancing various types of bacteria on the skin is crucial for maintaining skin health. One of the issues that arise with facial skin is caused by microbial dysbiosis. Research was conducted to analyze the diversity of bacterial microbiomes on the facial skin with varying pH and moisture conditions. The diversity analysis method used Next Generation Sequencing 16s rRNA, and the study included 144 samples. The results of this research revealed that the highest bacterial phylum classes were Actinobacterium (49.72%), Proteobacterium (29.86%), and Firmicutes (18.64%). The genera Cutibacterium (41.48%), Neisseriaceae (20.29%), and Staphylococcus (10.16%) were the most abundant on the facial skin with different pH and moisture conditions. Alpha diversity analysis using Chao1 index (p=0.05) and Faith PD (p=0.004) indicated significantly higher microbial abundance found in high pH compared to normal pH. However, there was no significant difference in alpha diversity concerning the moisture level and facial bacterial microbiome abundance. Beta diversity analysis showed differences in bacterial microbiome abundance in the top ten genera found between normal pH and high pH, as well as between moisture groups categorized as very moist, moist, and dry. In conclusion, the research profiled the genera Cutibacterium, Neisseriaceae, and Staphylococcus as the most found bacteria in high pH and normal pH conditions, as well as very moist, moist, and dry moisture levels. Cutibacterium, Neisseriaceae, and Staphylococcus showed an increase in skin pH resulting in an increase in the abundance of these bacteria. On the other hand, the abundance of Cutibacterium and Staphylococcus decreased with decreasing skin moisture levels.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Rahmadi
Abstrak :
ABSTRAK
Kanker paru merupakan kanker yang paling banyak dijumpai sebagai salah satu penyebab kematian didunia. Kaheksia sering terjadi pada pasien kanker paru dengan tingkat survival yang rendah. Kaheksia ditandai dengan penurunan berat badan yang berdampak pada berkurangnya jaringan lemak dan otot rangka, kelelahan dan inflamasi sistemik. Sitokin berhubungan dengan terjadinya inflamasi sistemik. Salah satu sitokin yang berperan adalah IL ndash;6. IL ndash;6 dapat menstimulasi pembentukan protein fase akut yang berperan menyebabkan penurunan berat badan pada kaheksia. Seperti diketahui bahwa miRNA berperan dalam proses myogenesis. Salah satu myomiR yang berperan adalah miRNA ndash;206. MyomiR ndash;206 merupakan kelompok myomiR yang terekspresikan pada otot rangka. MiRNA berperan penting sebagai modulator ekspresi gen, namun mekanisme terjadinya atropi otot pada kaheksia belum banyak diketahui. Desain penelitian ini adalah penelitian cross sectional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ekspresi myomiR ndash; 206 pada pasien kanker paru yang mengalami kaheksia dan kaitannya dengan IL ndash;6. Ekspresi miRNA diukur dalam serum darah pasien dengan menggunakan RT-qPCR. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan ekspresi myomiR ndash;206 antara kelompok pre kaheksia dengan kelompok kaheksia namun tidak bermakna secara statistik. Sedangkan perbedaan IL ndash;6 antara kelompok prekaheksia dengan kaheksia menunjukkan hubungan bermakna secara statistik. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan ekspresi myomiR ndash;206 pada pasien kanker paru yang mengalami kaheksia namun tidak bermakna secara statistik dan berkaitan dengan IL ndash;6.
ABSTRACT
Lung cancer is the leading cause of cancer related deaths worldwide. Cachexia are frequently observed in lung cancer patients and associated with poor survival. Cachexia is characterized by a significant reduction in body weight resulting predominantly from loss of adipose tissue and skeletal muscle, fatique and systemic Inflamation. Cytokines are related to systemic inflammation . One of these cytokines is IL ndash 6. IL ndash 6 stimulates the synthesis of acute phase proteins are important in promoting weight loss in cachexia. In Additional, miRNAs have been identified and shown to have an important role in myogenesis. One of these myomiRs is miRNA ndash 206. MyomiR ndash 206 is expressed in skeletal muscle. MiRNAs are important modulators of gene expression but their role the atrophy muscle in cachexia is unknown.This research was a cross sectional study. The aim of this study was to see expression of myomiR ndash 206 in lung cancer patient with cachexia in correlation with IL ndash 6. MicroRNA expression was measured from serum of blood using RT qPCR.. These results, There was difference expression of myomiR ndash 206 in lung cancer patient between precachexia and cachexia but there was no significant in statistic. There was significant in IL ndash 6 between precachexia and cachexia. Our results suggest that there was difference expression of myomiR ndash 206 in lung cancer patient with cachexia but there was no significant statistic and associated with IL ndash 6.
2017
T55638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Farah Hilma
Abstrak :
Salah satu peran sistem imunitas terhadap infeksi M.leprae adalah respons makrofag melalui interaksinya dengan vitamin D dan reseptor vitamin D (RVD). Interaksi vitamin D dengan RVD pada berbagai sel imun akan menstimulasi ekspresi katelisidin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) dan kadar plasma RVD serta hubungannya dengan IB pada pasien kusta. Penelitian ini berupa observasional-analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak 28 subjek penelitian (SP) menjalani pemeriksaan slit-skin smear kemudian diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan tanda kardinal kusta. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan. Kadar serum 25(OH)D diperiksa dengan metode chemiluminescent immunoassay (CLIA) dan kadar plasma RVD dilakukan dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median kadar serum 25(OH)D adalah 12,68 ng/ml (4,88 – 44,74). Median kadar plasma RVD adalah 1,36 ng/ml (0,26 – 8,04). Berdasarkan analisis regresi multivariat, tidak terdapat hubungan antara IB dengan kadar serum 25(OH)D dan kadar plasma RVD (R square = 0,055). Tedapat korelasi positif kuat antara kadar serum 25(OH)D dengan skor pajanan sinar matahari (r = 0,863; p < 0,001). ......One of many immunity system’s roles against M. leprae infection is macrophage response through its interaction with vitamin D and vitamin D receptor (VDR). The interaction between vitamin D and VDR in various immune cells will stimulate the expression of cathelicidin. The objective is to analyze the serum level of 25-hydroxyvitamin D₃ (25(OH)D) and plasma level of VDR as well as their association with IB in leprosy patients. This observational analytic study was performed with cross-sectional design. A total of 28 subjects underwent a slit-skin smear examination and then the diagnosis of leprosy was made based on the cardinal signs. This study also assessed the patient’s sun exposure with weekly sun exposure questionnaire. Serum 25(OH)D level was assessed with chemiluminescent immunoassay (CLIA) method and RVD plasma level was measured by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median serum level of 25(OH)D was 12.68 ng/ml (4.88 – 44.74). Median plasma level of VDR was 1.36 ng/ml (0.26 – 8.04). Based on multivariate regression analysis, there was no significant association between BI and serum level of 25(OH)D and plasma level of VDR (R square = 0.055). There was strong positive correlation between serum level of 25(OH)D and sun exposure score (r = 0.863; p < 0.001).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Widyasari
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Pioderma superfisialis (PS) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dengan jumlah kunjungan yang masih tinggi di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PKK-RSCM). Saat ini pengobatan topikal lini pertama adalah asam fusidat 2% sedangkan penggunaan mupirosin 2% dibatasi. Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan resistensi terhadap asam fusidat 2% dan mupirosin 2%. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas mupirosin 2% dengan asam fusidat 2% terhadap kesembuhan klinis PS di PKK-RSCM. Metode: Uji klinis acak buta ganda dilakukan terhadap 42 pasien PS usia 12-59 tahun di PKK-RSCM. Setelah pemeriksaan bakteriologis, setiap subjek mendapatkan satu jenis krim antibiotik untuk dioleskan selama tujuh hari. Evaluasi klinis didasarkan pada pengurangan luas lesi dan skala nyeri. Pemeriksaan biakan dan resistensi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Universitas Indonesia. Hasil: Efektivitas krim mupirosin (kelompok M) adalah 83,3% dan krim asam fusidat (kelompok AF) 40% (p=0,048), sedangkan persentase penurunan luas lesi kelompok M sebesar 83,5% dan kelompok AF 60,7% (p=0,041). Tidak ditemukan efek samping subjektif maupun objektif pada kedua kelompok. Pada biakan kuman, 54,8% sampel ditemukan 2 jenis kuman, jenis terbanyak adalah S.aureus dan S.pyogenes. Sebagian besar S.aureus (78,8%, 75,8%) dan S.pyogenes (50%,94,4%) memiliki kepekaan intermediet terhadap mupirosin 2% dan asam fusidat 2%. Kesimpulan: Krim mupirosin 2% lebih efektif daripada krim asam fusidat 2% terhadap PS. Kata kunci: mupirosin 2%, asam fusidat 2%, kesembuhan klinis, luas lesi, skala nyeri
ABSTRACT
Background and objectives: Superficial pyodermas (SP) are common health problem in Indonesia with high incidence in the Dermatovenereology Outpatient Clinic Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (DV-CMH). Current guidelines endorses 2% fusidic acid as the first line topical therapy, while 2% mupirocin is reserved for certain condition. Past studies demonstrated increasing resistance to 2% fusidic acid and 2% mupirocin. This study aims to compare the effectiveness of 2% mupirocin and 2% fusidic acid in SP treatment in our institution. Methods: A double-blind randomized controlled trial was conducted on 42 SP patients aged 12-59 years old in DV-CMH. Following bacteriologic examination, each subject received a random antibiotic cream for seven days. Clinical evaluation was determined by reduction of lesion size and pain scale. Bacteriologic culture and susceptibility test were performed in Clinical Microbiology Laboratory University of Indonesia. Results: The effectiveness in 2% mupirocin group (M) was 83,3% and in 2% fusidic acid group (FA) 40% (p=0,048). Lesion size decrease was 83.5% in M group and 60.7% in FA group (p=0,041). No side effects were observed in both treatment groups. At the bacteria culture , 54.8 % of the samples found two types of bacteria, most types are S.aureus and S.pyogenes. Most of S.aureus (78,8%, 75,8%) and S.pyogenes (50%,94,4%) have an intermediate susceptibility to 2 % mupirocin and 2% fusidic acid. Conclusion: The 2% mupirocin cream was more effective than 2% fusidic acid cream in SP treatment. Keywords: 2% mupirocin, 2% fusidic acid, clinical cure, lesion size, pain scale
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Nurhandayani Zoulba
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Malassezia sp. berperan penting dalam patogenesis dermatitis seboroik DS . Pada penelitian di negara lain didapatkan M.globosa dan M.restricta sebagai spesies predominan pada lesi kulit kepala DS. Belum diketahui pola sebaran Malassezia pada kulit kepala pasien DS di Indonesia dan hubungannya dengan derajat keparahan DS. Tujuan: Mengetahui distribusi spesies Malassezia pada kulit kepala pasien DS serta hubungan antara derajat keparahan DS dengan spesies Malassezia yang ditemukan. Metode: Studi potong lintang dilakukan di Jakarta dengan cara consecutive sampling. Pada subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pengambilan sisik dari kulit kepala, kemudian ditumbuhkan pada CHROMagar Malassezia, sub kultur pada agar SDA, Tween-60-esculin, dan reaksi katalase. Hasil : Dari 59 spesimen dengan kultur positif, terdapat 72,1 SP dengan DS ringan dan 27,7 dengan DS sedang-berat. Distribusi M.globosa sebesar 52,1 , M.dermatis 23,2 , M.japonica 7,2 , M.pachydermatis 7,2 , M.sympodialis 2,8 , serta M.obtusa dan M.furfur masing-masing 1,4 dari total 69 isolat. Terdapat 4,3 isolat yang tidak teridentifikasi. Tidak didapatkan hubungan antara derajat keparahan DS dengan spesies Malassezia. Simpulan: M.globosa merupakan spesies Malassezia terbanyak yang diidentifikasi pada pasien DS di Indonesia. Perbedaan hasil dengan negara lain diduga terjadi akibat perbedaan cara identifikasi dan lokasi geografis. Spesies Malassezia tidak mempengaruhi tingkat keparahan DS.
ABSTRACT
Background Malassezia sp. plays an important role in the pathogenesis of seborrheic dermatitis SD . In some countries, M. restricta and M. globosa are considered the predominant organisms on SD scalp. There is no data about Malassezia sp. in Indonesian SD scalp and its relationship with severity of illness. Objective To identify the distribution of Malassezia sp. of SD scalp and correlation between severity of SD with the Malassezia sp. Methods This cross sectional study conducted in Jakarta, using consecutive sampling. Anamnesis, clinical examination, and scrapping from the scalp were done to subject. Scales inoculated on CHROMagar Malassezia, Saboraud Dextrose Agar SDA , Tween 60 esculin agar, and catalase reaction.Results There were 72,1 mild SD and 27,7 moderate to severe SD. M.globosa was identified in 52,1 , M.dermatis in 23,2 , M.japonica in 8,7 M.pachydermatis in 7,2 , M.sympodialis 2,8 , while M.obtusa and M.furfur contributes 1,4 out of 69 isolates from 59 specimens with positive cultures. There is 4,3 unidentified isolates. Malassezia species was not related to severity of SD. Conclusion M.globosa is the predominant Malassezia species in Indonesian SD patients. This difference may be attributable to the identification techniques and geographical differences. Malassezia species not related to severity of SD.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Evasari
Abstrak :
Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Sifilis merupakan penyakit yang progresif dengan gambaran klinis aktif (stadium primer, sekunder, dan tersier) serta periode tidak bergejala (sifilis laten). Sifilis masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia dengan 80-90% kasus baru terjadi di negara berkembang dengan sedikit atau tidak ada akses diagnostik. Sejumlah besar sifilis tidak bergejala. Akibatnya, sebagian sifilis tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tatalaksana yang baik, sehingga berpotensi menimbulkan gejala sisa serius, manifestasi sifilis tersier, kardiovaskular, neurologik, oftalmologik, otologik, dan berlanjutnya rantai penularan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan rapid Test STANDARD Q Syphilis Ab dengan menggunakan spesimen serum dan darah kapiler dibandingkan dengan TPHA dalam mendeteksi sifilis pada populasi risiko tinggi yang terdiri atas waria, lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki, dan wanita penjaja seks di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan dengan rancangan studi potong lintang. Hasil penelitian menggunakan spesimen serum memberikan hasil sensitivitas 91,30%, spesifisitas 97,53%, nilai duga positif 95,45%, nilai duga negatif 95,18%, dan akurasi 95,28% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Hasil pengujian dengan spesimen darah kapiler memberikan hasil sensitivitas 84,78%, spesifisitas 98,77%, nilai duga positif 97,50%, nilai duga negatif 91,95%, dan akurasi 93,70% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Kesesuaian hasil rapid test STANDARD Q Syphilis Ab antara spesimen serum dan darah kapiler sangat baik (κ = 0,8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab dapat dijadikan alternatif uji treponemal dalam menunjang diagnosis sifilis, baik sebagai penapisan rutin maupun konfirmasi hasil uji nontreponemal serta penggunaan spesimen darah kapiler dapat dijadikan alternatif uji treponemal yang lebih cepat dan mudah dilakukan.
Syphilis is a chronic and systemic disease caused by Treponema pallidum subspecies pallidum (T. pallidum). Syphilis is a progressive disease with active clinical features (primary, secondary, and tertiary syphilis) and asymptomatic periods (latent syphilis). Syphilis is still a worldwide health problem with 80-90% of new cases occurring in developing countries with little or no diagnostic access. A large number of syphilis are asymptomatic. As a result, some syphilis is undiagnosed and does not get good management, potentially causing serious sequelae, the manifestation of tertiary syphilis, cardiovascular, neurologic, ophthalmologic, otologic, and continuous chain of transmission. This study aimed to assess STANDARD Q Syphilis Ab's rapid test capability using serum and fingerprick whole blood specimens compared with TPHA in detecting syphilis in high-risk populations comprised of transgenders, men who have sex with men, and female sexual workers in Puskesmas Pasar Rebo. This study is a diagnostic test with a cross sectional study design. The results of this study using serum specimens were sensitivity of 91.30%, specificity of 97.53%, positive predictive value 95.45%, negative predictive value of 95.18%, and accuration 95.28%, compared to TPHA as the gold standard. Test results with fingerprick whole blood specimens gave sensitivity of 84.78%, specificity of 98.77%, positive predictive value of 97.50%, negative predictive value of 91.95%, and accuration 93.70%, compared to TPHA as the gold standard. Compatibility of rapid test STANDARD Q Syphilis Ab results between serum and fingerprick whole blood specimens was very good (κ = 0.8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab can be used as an alternative treponemal test in supporting syphilis diagnosis, either as routine screening or confirmation of nontreponemal test result and the use of fingerprick whole blood specimen can be used as treponemal test alternative which is faster and easier to do.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Johanes Kawengian
Abstrak :
Glioblastoma multiforme (GBM) merupakan tipe kanker yang agresif dan malignan dengan persentase kejadian tertinggi untuk tumor malignan primer pada sistem saraf pusat. Pengobatan standar pasien GBM yang salah satunya menggunakan kemoterapi temozolomide (TMZ) masih belum optimal dikarenakan dapat memicu resistensi GBM terhadap terapi. Studi terdahulu memperlihatkan adanya pengaruh senesens terhadap pembentukan kemoresistensi dan regulasi immunosurveillance (pengawasan imun) antikanker sel NK dan sel T sitotoksik, salah satunya melalui MICA/B. Namun, kaitan antara regulasi kemoresistensi dengan ekspresi MICA/B maupun dengan senesens pada GBM masih belum dipahami secara jelas. Untuk itu, pada penelitian ini dilakukan analisis ekspresi dan sekresi MICA/B juga analisis ekspresi marka senesens p16/p21 menggunakan RT-qPCR, flow cytometry, dan ELISA pada sel GBM yang sensitif maupun yang resisten terhadap TMZ. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pada sel GBM yang resisten terhadap TMZ terjadi penurunan ekspresi permukaan MICA/B dan peningkatan sekresi MICB, jika dibandingkan dengan sel GBM yang sensitif TMZ. Kemudian, hasil analisis tingkat senesens menunjukkan bahwa pada sel GBM yang resisten TMZ memiliki ekspresi p16/p21 yang lebih tinggi dari sel yang sensitif TMZ. Berdasarkan hasil-hasil tersebut dapat diketahui bahwa pembentukan kemoresistensi TMZ pada GBM terasosiasi dengan induksi senesens dan dapat berpengaruh terhadap regulasi MICA/B sehingga dapat menghambat sistem pengawasan imun GBM. ......Glioblastoma multiforme (GBM) is an aggressive and malignant cancer, having the highest incidence rate among primary malignant tumors of the central nervous system. Standard GBM treatment, including temozolomide (TMZ) chemotherapy, remains suboptimal due to potential GBM resistance to therapy. Prior studies have indicated that senescence influences the development of chemoresistance and the regulation of immunosurveillance by anticancer NK cells and cytotoxic T cells, particularly through MICA/B. However, the relationship between chemoresistance regulation, MICA/B expression, and senescence in GBM is not well understood. This study, therefore, examined MICA/B expression and secretion, along with the expression of the senescence markers p16/p21, in TMZ-sensitive and TMZ-resistant GBM cells using RT-qPCR, flow cytometry, and ELISA. The findings revealed that TMZ-resistant GBM cells exhibited reduced MICA/B surface expression and increased MICB secretion compared to TMZ-sensitive cells. Furthermore, the analysis of senescence levels showed that TMZ-resistant GBM cells had higher p16/p21 expression than TMZ-sensitive cells. These results suggest that the development of TMZ chemoresistance in GBM is linked to the induction of senescence and can impact MICA/B regulation, thereby hindering the immune surveillance system of GBM.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandu Pradana
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Pilihan utama terapi kondilomata akuminata KA di Poliklinik Divisi Infeksi Menular Seksual Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo RSCM adalah tingtur podofilin 25 yang mengharuskan pasien untuk datang ke rumah sakit secara teratur. Larutan kalium hidroksida KOH 5 merupakan alternatif terapi yang dapat dilakukan sendiri oleh pasien di rumah. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas dan efek samping terapi topikal larutan KOH 5 dibandingkan dengan tingtur podofilin 25 pada KA genitalia eksterna dan/atau perianus. Metode: Uji klinis acak terbuka paralel tidak berpasangan terhadap 50 subyek penelitian SP. Pada kelompok KOH kelompok K dilakukan aplikasi terapi setiap hari oleh pasien sendiri di rumah, sedangkan pada kelompok podofilin kelompok P dilakukan aplikasi oleh dokter satu kali seminggu. Evaluasi dilakukan setiap minggu selama enam minggu. Hasil: Respons terapi baik pada kelompok K adalah 56 dan kelompok P adalah 64 . Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok p= 0,468. Efek samping pada kedua kelompok berupa rasa gatal, nyeri, eritema dan erosi yang sifatnya sementara dan dapat ditoleransi. Efek samping tidak berbeda bermakna secara statistik. Kesimpulan: Larutan KOH 5 dapat dijadikan alternatif pengobatan KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien. ......Background and objectives: 25 podophyllin tincture, a first line therapy in Sexually Transmitted Division of Dermatology and Venereology Department Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo RSCM , requires patient to come regularly to the health facilities, while a 5 potassium hydroxide KOH solution is an alternative therapy that can be done byself. This study compares the effectiveness and side effects of 5 KOH solution and 25 podophyllin tincture in the treatment of external genitalia and or perianal condylomata acuminata. Methods: A randomized open controlled trial on 50 patients. In the KOH group, patients were instructed to apply the medication at home byself to the lesions once daily, while in the podophyllin group the doctor applying the medication once weekly. The evaluation was performed every week for six weeks. Results: Good response was achieved by 56 and 64 in KOH and podophyllin groups, respectively. No statistical difference between groups p 0,468. Side effect in both groups includes a temporary pruritus, pain, erythema and erosion. No statistical difference in side effect between groups. Conclusion: A 5 potassium hydroxide solution is a self applied alternative treatment for condylomata acuminata.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58844
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nahla Shihab
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Melasma merupakan kelainan pigmentasi yang menyebabkan gangguan kosmetik serta berdampak negatif pada kualitas hidup, kesehatan emosi, dan interaksi sosial. Terdapat berbagai modalitas terapi melasma, namun efektivitas dan keamanan masing-masing terapi masih belum memuaskan. Asam traneksamat diketahui memiliki kemampuan menghambat inflamasi, faktor pertumbuhan melanosit, dan aktivitas tirosinase, sehingga dapat berperan dalam terapi melasma. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai efektivitas asam traneksamat oral sebagai terapi melasma di Indonesia. Tujuan: Menilai efektivitas asam traneksamat oral dalam kombinasi terapi topikal pada tata laksana melasma.Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Lima puluh subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok mendapatkan intervensi terapi topikal melasma berupa krim hidrokuinon 4 dan tabir surya SPF 30 ditambah asam traneksamat oral, sedangkan kelompok lainnya mendapatkan terapi topikal melasma dan kapsul plasebo selama 3 bulan. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan skor MASI modifikasi dan mexameter.Hasil: Nilai efektivitas kombinasi asam traneksamat dengan terapi topikal hidrokuinon dan tabir surya terhadap perbaikan klinis berdasarkan skor MASI dan mexameter berturut-turut sebesar 72 dan 52 sedangkan terapi topikal saja sebesar 4 dan 0 . Simpulan: Kombinasi asam traneksamat oral 500 mg dengan terapi topikal hidrokuinon 4 lebih efektif dibandingkan dengan terapi topikal saja untuk perbaikan klinis melasma.
ABSTRACT
Melasma is a pigmentary disorder that cause not only cosmetic impairment but also gives negative impact in the quality of life, emotional health and social interaction. There are different theurapeutic modalities for melasma, but none of those have the best satisfactory effectivity and safety yet. Tranexamic acid is known to have the abitily to inhibit inflamation, melanocyte growth factor, and tyrosinase activation, thus may have a role in the treatment of melasma. Until recently, there is no study about the effectiveness of oral tranexamic acid as a treatment of melasma in Indonesia. Objective To assess the effectiveness of oral tranexamic acid in combination with topical therapy in the treatment of melasma.Methods A double blinded controlled randomized clinical trial. Fifty subjects were divided into two groups, one group received a topical therapy of 4 hydroquinone and sunscreen SPF 30 with oral tranexamic acid, while the other group received topical therapy with placebo capsules for three months. Evaluation is done by using a modified MASI score and mexameter.Results The effectiveness of oral tranexamic acid in combination with topical hydroquinone and sunscreen for melasma clinical improvement based on the modified MASI score and mexameter respectively are 78 and 52 , whereas the topical therapy alone are 4 and 0 . Conclusion Combination of oral tranexamic acid 500 mg with topical 4 hydroquinone is more effective than topical therapy alone for clinical improvement of melasma.
2017
T55685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>