Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marcia Kumala
"Latar Belakang: Ventilasi mekanik merupakan salah satu prosedur yang sering digunakan dalam penatalaksanaan pasien sakit kritis yang mengalami gagal napas. Penggunaan ventilator jangka panjang (Prolonged Mechanical Ventilation, PMV) meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Salah satu faktor risiko yang berperan dalam terjadinya PMV adalah malnutrisi dan sarkopenia, yang ditandai dengan hilangnya massa dan fungsi otot. Di satu sisi, sakit kritis sendiri ditandai dengan hipermetabolisme dan peningkatan katabolisme protein otot itu sendiri. Pemantauan massa otot di perawatan intensif menjadi penting, namun belum ada metode pengukuran yang cukup praktis dalam menggambarkan massa otot tubuh. Creatinine Height Index dapat menjadi salah satu penanda massa otot tubuh sehingga diperkirakan terdapat perbedaan perubahan Creatinine Height Index terhadap keberhasilan penyapihan pada pasien dengan penggunaan ventilator jangka panjang. Metode: Penelitian ini merupakan studi prospektif observasional pada pasien sakit dengan PMV di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Dilakukan pengukuran Creatinine Height Index (CHI) pada 72 jam pertama pemakaian intubasi dan diulang pada saat pasien ekstubasi atau maksimal hari ke-14 penggunaan ventilator. Hasil Creatinine Height Index akan dilihat berdasarkan keberhasilan penyapihan. Karakteristik subjek lainnya meliputi usia, jenis kelamin, riwayat asupan bahan makanan sumber kreatin, aktivitas fisik pra admisi, imbang cairan kumulatif, asupan energi dan protein selama perawatan di ICU. Hasil: Terdapat 27 subjek dengan rerata usia 46 tahun dan mayoritas laki-laki (67%). Nilai CHI awal dan akhir tidak berbeda pada kelompok yang berhasil maupun yang gagal menyapih (p = 0,466 dan p = 0,494), namun nilai perubahan CHI berbeda bermakna secara statistik pada mereka yang mengalami berhasil menyapih dan gagal menyapih (p= 0,009). Kelompok yang gagal menyapih mengalami penurunan nilai CHI sebesar 3,9 (-18,3;23,7)%. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada nilai CHI awal maupun akhir pada kelompok yang berhasil dan gagal menyapih. Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada perubahan nilai CHI pada kelompok yang berhasil dan gagal menyapih. Kelompok yang gagal menyapih mengalami penurunan nilai CHI, sementara kelompok yang berhasil menyapih tidak mengalami hal tersebut

Background: Mechanical ventilation is one of the procedures that frequently used in the management of critically ill patients experiencing respiratory failure. Prolonged mechanical ventilation increases morbidity and mortality. One of the risk factors contributing to prolonged mechanical ventilation (PMV) is malnutrition and sarcopenia, characterized by loss of muscle mass and its function. On one hand, critical illness itself is marked by hypermetabolism and increased muscle protein catabolism. Monitoring muscle mass in intensive care is essential, but there is currently no practical method for describing whole-body muscle mass. Creatinine Height Index could serve as an indicator of body muscle mass, suggesting potential differences between Creatinine Height Index level changes and successful weaning in patients with prolonged mechanical ventilation. Methods: This study is a prospective observational study conducted on critically ill patients with prolonged mechanical ventilation (PMV) at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RS Universitas Indonesia. Creatinine Height Index (CHI) was measured within the first 72 hours of intubation and repeated upon extubation or by day 14 of ventilation. CHI results were then categorized based on weaning success. Other subject characteristics included age, gender, history of dietary creatine intake, pre-admission physical activity, cumulative fluid balance, energy intake, and protein intake during ICU hospitalization. Results: There were 27 subjects with a mean age of 46 years, predominantly male (67%). Initial and final CHI values did not differ between the successful and failed weaning groups (p = 0.466 and p = 0.494, respectively), but there was a statistically significant difference in the change in CHI values between those who successfully weaned and those failed (p = 0.009). The failed weaning group experienced a decrease in CHI values by 3.9 (-18.3; 23.7)%. Conclusion: There was no significant difference in initial or final CHI values between the groups that successfully weaned and those who failed. However, there was a statistically significant difference in the CHI values alteration between those groups. The failed weaning group experienced a decrease in CHI values, while the successful weaning group did not."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ariefiansyah
"Pendahuluan: Hipotensi merupakan komplikasi yang masih sering terjadi pada anestesia umum. Angka kejadian hipotensi pascainduksi sampai dengan saat ini masih tergolong tinggi. Hipotensi intraoperatif terkait dengan mortalitas dan morbiditas pascaoperasi. Tindakan responsif yang dilakukan seorang anestesiologis saat terjadi hipotensi pascainduksi adalah dengan pemberian loading cairan infus. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan penelitian saat ini mengenai bahaya fluid overload, maka diperlukan alternatif lain dalam pencegahan hipotensi pascainduksi. Alternatif yang banyak dibahas adalah passive leg raising. Namun sampai saat ini, passive leg raising masih banyak dikaitkan dengan penilaian fluid responsiveness. Hingga saat ini belum terdapat penelitian yang membandingkan passive leg raising sebelum induksi terhadap fluid challenge test sebelum induksi untuk memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan passive leg raising terhadap fluid challenge test yang dilakukan sebelum induksi dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian uji klinis acak, non inferiority dengan melibatkan 178 pasien yang akan menjalani anestesia umum pada pembedahan elektif. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak yaitu kelompok passive leg raising dan fluid challenge test. Pada masing-masing kelompok, intervensi dilakukan selama 10 menit. Pada kelompok passive leg raising, tidak ada cairan infus yang diberikan sejak awal penerimaan hingga sebelum insisi. Sedangkan untuk kelompok fluid challenge test, setelah pemberian cairan sejumlah 5 ml/kg berat badan selesai, tidak ada cairan infus yang diberikan sampai dengan sebelum insisi. Pencatatan data tekanan darah sistolik, mean arterial pressure (MAP), dan indeks perfusi dilakukan sejak subjek memasuki kamar operasi, pascaintervensi, setelah pemberian agen anestesia, sebelum intubasi, pascaintubasi, dan sebelum insisi. Definisi hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah MAP < 65 mmHg atau pada pasien dengan hipertensi terjadi penurunan MAP > 20% baseline sebelum dilakukan intubasi.
Hasil: Angka kejadian hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah sebesar 27,5%. Tidak didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna angka kejadian hipotensi pascainduksi antara kelompok passive leg raising dan fluid challenge test (p = 0,314) dengan OR (IK 95%) 0,750 (0,462-1,216)
Simpulan:Passive leg raising tidak lebih inferior dibandingkan fluid challenge test dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.

Introduction: Hypotension remains a common complication in general anesthesia, with a persistently high incidence of post-induction hypotension. Intraoperative hypotension is associated with increased postoperative morbidity and mortality. The immediate response of anesthesiologists to post-induction hypotension typically involves administering intravenous fluid loading. However, growing awareness of the risks of fluid overload has highlighted the need for alternative approaches to prevent post-induction hypotension. One frequently discussed alternative is passive leg raising (PLR), which has been widely associated with assessing fluid responsiveness. To date, no studies have compared PLR before induction with a fluid challenge test prior to induction in reducing the incidence of post-induction hypotension. This study aims to compare the efficacy of PLR and fluid challenge tests conducted pre-induction in mitigating post-induction hypotension.
Methods: This randomized, non-inferiority clinical trial involved 178 patients scheduled for elective surgery under general anesthesia. Participants were randomly allocated into two groups: the passive leg raising group and the fluid challenge test group. Each intervention lasted 10 minutes. In the passive leg raising group, no intravenous fluid was administered from admission until incision. In the fluid challenge test group, after administration of 5 ml/kg body weight of intravenous fluid, no further fluid was given until incision. Data on systolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP), and perfusion index were recorded upon entry into the operating room, post-intervention, after anesthetic agent administration, before intubation, post- intubation, and before incision. Post-induction hypotension was defined as MAP < 65 mmHg or a >20% reduction from baseline MAP in hypertensive patients prior to intubation.
Results: The incidence of post-induction hypotension in this study was 27.5%. There was no significant difference in the proportion of post-induction hypotension between the passive leg raising group and the fluid challenge test group (p = 0.314), with an odds ratio (95% confidence interval) of 0.750 (0.462–1.216).
Conclusion: Passive leg raising is not inferior to the fluid challenge test in reducing the incidence of post-induction hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ariefiansyah
"Pendahuluan: Hipotensi merupakan komplikasi yang masih sering terjadi pada anestesia umum. Angka kejadian hipotensi pascainduksi sampai dengan saat ini masih tergolong tinggi. Hipotensi intraoperatif terkait dengan mortalitas dan morbiditas pascaoperasi. Tindakan responsif yang dilakukan seorang anestesiologis saat terjadi hipotensi pascainduksi adalah dengan pemberian loading cairan infus. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan penelitian saat ini mengenai bahaya fluid overload, maka diperlukan alternatif lain dalam pencegahan hipotensi pascainduksi. Alternatif yang banyak dibahas adalah passive leg raising. Namun sampai saat ini, passive leg raising masih banyak dikaitkan dengan penilaian fluid responsiveness. Hingga saat ini belum terdapat penelitian yang membandingkan passive leg raising sebelum induksi terhadap fluid challenge test sebelum induksi untuk memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan passive leg raising terhadap fluid challenge test yang dilakukan sebelum induksi dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian uji klinis acak, non inferiority dengan melibatkan 178 pasien yang akan menjalani anestesia umum pada pembedahan elektif. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak yaitu kelompok passive leg raising dan fluid challenge test. Pada masing-masing kelompok, intervensi dilakukan selama 10 menit. Pada kelompok passive leg raising, tidak ada cairan infus yang diberikan sejak awal penerimaan hingga sebelum insisi. Sedangkan untuk kelompok fluid challenge test, setelah pemberian cairan sejumlah 5 ml/kg berat badan selesai, tidak ada cairan infus yang diberikan sampai dengan sebelum insisi. Pencatatan data tekanan darah sistolik, mean arterial pressure (MAP), dan indeks perfusi dilakukan sejak subjek memasuki kamar operasi, pascaintervensi, setelah pemberian agen anestesia, sebelum intubasi, pascaintubasi, dan sebelum insisi. Definisi hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah MAP < 65 mmHg atau pada pasien dengan hipertensi terjadi penurunan MAP > 20% baseline sebelum dilakukan intubasi.
Hasil: Angka kejadian hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah sebesar 27,5%. Tidak didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna angka kejadian hipotensi pascainduksi antara kelompok passive leg raising dan fluid challenge test (p = 0,314) dengan OR (IK 95%) 0,750 (0,462-1,216)
Simpulan:Passive leg raising tidak lebih inferior dibandingkan fluid challenge test dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.

Introduction: Hypotension remains a common complication in general anesthesia, with a persistently high incidence of post-induction hypotension. Intraoperative hypotension is associated with increased postoperative morbidity and mortality. The immediate response of anesthesiologists to post-induction hypotension typically involves administering intravenous fluid loading. However, growing awareness of the risks of fluid overload has highlighted the need for alternative approaches to prevent post-induction hypotension. One frequently discussed alternative is passive leg raising (PLR), which has been widely associated with assessing fluid responsiveness. To date, no studies have compared PLR before induction with a fluid challenge test prior to induction in reducing the incidence of post-induction hypotension. This study aims to compare the efficacy of PLR and fluid challenge tests conducted pre-induction in mitigating post-induction hypotension.
Methods: This randomized, non-inferiority clinical trial involved 178 patients scheduled for elective surgery under general anesthesia. Participants were randomly allocated into two groups: the passive leg raising group and the fluid challenge test group. Each intervention lasted 10 minutes. In the passive leg raising group, no intravenous fluid was administered from admission until incision. In the fluid challenge test group, after administration of 5 ml/kg body weight of intravenous fluid, no further fluid was given until incision. Data on systolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP), and perfusion index were recorded upon entry into the operating room, post-intervention, after anesthetic agent administration, before intubation, post- intubation, and before incision. Post-induction hypotension was defined as MAP < 65 mmHg or a >20% reduction from baseline MAP in hypertensive patients prior to intubation.
Results: The incidence of post-induction hypotension in this study was 27.5%. There was no significant difference in the proportion of post-induction hypotension between the passive leg raising group and the fluid challenge test group (p = 0.314), with an odds ratio (95% confidence interval) of 0.750 (0.462–1.216).
Conclusion: Passive leg raising is not inferior to the fluid challenge test in reducing the incidence of post-induction hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Loviana Roza
"Latar Belakang: Prevalensi nyeri pascabedah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2017 menunjukkan intensitas nyeri sedang (57,4%) dan nyeri berat (20,4%). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor prediktor nyeri pascabedah sedang dan berat, menganalisis hubungan, dan mengembangkan model prediksi nyeri pascabedah sedang dan berat. Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 135 pasien yang menjalani pembedahan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi. Setiap faktor prediktor dianalisis menggunakan analisis bivariat dan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Sistem skor prediksi dirangkum dari hasil analisis multivariat.
Hasil: Risiko kejadian (RR) untuk setiap faktor prediktor yang diidentifikasi berdasarkan analisis bivariat adalah: tingkat kecemasan prabedah (RR: 3,32, 95% CI: 1,28 – 8,56), durasi pembedahan lebih dari 90 menit (RR: 7,23, 95% CI: 1,85 – 28,29), jenis pembedahan mayor (RR: 2,69, 95% CI: 1,58 – 4,57), konsumsi opioid intraoperatif (RR: 2,67, 95% CI: 1,68 – 4,25), dan jenis anestesi (RR: 2,37, 95% CI: 1,06 – 5,33). Analisis multivariat menunjukkan bahwa prediktor signifikan untuk nyeri pascabedah sedang hingga berat adalah tingkat kecemasan prabedah (p = 0,085, RR: 2,23, 95% CI: 0,87 – 5,54), durasi pembedahan (p = 0,056, RR: 3,92, 95% CI: 0,96 – 15,96), jenis pembedahan mayor (p = 0,061, RR: 1,63, 95% CI: 0,97 – 2,72), dan konsumsi opioid intraoperatif (p = 0,011, RR: 1,78, 95% CI: 1,14 – 2,78). Kesimpulan: Faktor prediktor nyeri pascabedah pada penelitian ini adalah tingkat kecemasan prabedah, jenis pembedahan, durasi pembedahan, dan konsumsi opioid intraoperatif. Persamaan regresi disusun berdasarkan empat faktor prediktor tersebut.

Background: The prevalence of postoperative pain at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in 2017 showed moderate pain intensity (57.4%) and severe pain (20.4%). This study aims to determine predictors of moderate and severe postoperative pain, analyze relationships, and develop a prediction model for moderate and severe postoperative pain. Methods: This study used a prospective cohort design on 135 patients undergoing surgery at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo who met the inclusion criteria. Each predictor factor was analyzed using bivariate analysis followed by multivariate analysis using logistic regression. The prediction score system was summarized from the results of the multivariate analysis. Results: The risk ratio (RR) for each predictor identified from bivariate analysis were: preoperative anxiety level (RR: 3.32, 95% CI: 1.28 – 8.56), surgery duration over 90 minutes (RR: 7.23, 95% CI: 1.85 – 28.29), major surgery (RR: 2.69, 95% CI: 1.58 – 4.57), intraoperative opioid consumption (RR: 2.67, 95% CI: 1.68 – 4.25), and type of anesthesia (RR: 2.37, 95% CI: 1.06 – 5.33). Multivariate analysis showed that significant predictors for moderate to severe postoperative pain were preoperative anxiety level (p = 0.085, RR: 2.23, 95% CI: 0.87 – 5.54), surgery duration (p = 0.056, RR: 3.92, 95% CI: 0.96 – 15.96), major surgery (p = 0.061, RR: 1.63, 95% CI: 0.97 – 2.72), and intraoperative opioid consumption (p = 0.011, RR: 1.78, 95% CI: 1.14 – 2.78). Conclusion: Predictors of postoperative pain in this study are preoperative anxiety level, type of surgery, surgery duration, and intraoperative opioid consumption. The regression equation is based on these four predictor factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library