Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Grecia Anggelita
"Internasionalisasi konflik Papua Barat merupakan hasil dari konflik masa lalu Indonesia dan Belanda di masa kemerdekaan yang di masa sekarang justru semakin meningkat di tingkat regional dan global. Peningkatan jumlah aktor di dalam proses internasionalisasi menjadi salah satu alasan mengapa internasionalisasi konflik Papua Barat terus meningkat. TKA berusaha mengidentifikasi dan membahas aktor-aktor internasional berdasarkan literatur-literatur akademis yang membahas mengenai internasionalisasi konflik Papua Barat untuk memahami bagaimana literatur melihat aktor-aktor di dalam internasionalisasi konflik Papua Barat. Sebagian besar literatur berfokus kepada aktor negara seperti Vanuatu, Papua Nugini dan Fiji dan hanya satu aktor non-negara, yaitu OPM. Kondisi tersebut salah satunya dijelaskan di dalam TKA karena adanya pengaruh state centric view di dalam Ilmu Hubungan Internasional yang mempengaruhi cara pandang penulisan mengenai konflik Papua Barat. Selain itu, dominasi Order Baru selama lebih dari tiga dekade di Indonesia juga tampaknya menyebabkan dominasi penulis asing dan celah waktu penulisan di dalam literatur internasionalisasi konflik Papua Barat.

The internationalization of the West Papua conflict is the result of past conflicts between Indonesia and the Netherlands in the independence era, which at present is increasing at the regional and global political level. The increasing number of actors in the internationalization process is one reason why the internationalization of the West Papua conflict continues to increase. TKA seeks to identify and discuss international actors based on academic literature discussing the internationalization of the West Papua conflict to understand how the literature looks at actors in the internationalization of the West Papua conflict. Most of the literature focuses on state actors such as Vanuatu, Papua New Guinea and Fiji, and only one non-state actor, OPM. One of the conditions is explained in the TKA because of the influence of the state-centric view in International Relations that affects the perspective of writing about the West Papua conflict. Besides, the dominance of the New Order for more than three decades in Indonesia also seems to lead to the dominance of foreign writers and the time gap of writing in the literature of internationalization of the West Papua conflict.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kiara Putri Mulia
"Dalam dua dekade terakhir, konsep hedging berkembang dalam ranah kajian Ilmu Hubungan Internasional (HI). Sejak kemunculannya dalam Ilmu HI, hedging sering digunakan untuk menjelaskan dinamika politik internasional dan tingkah laku negara pasca Perang Dingin yang tidak lagi dapat dijelaskan dengan konsep-konsep dasar dalam Ilmu HI, seperti balancing dan bandwagoning. Selain itu, hedging pun kerap kali dikaitkan dengan respon negara-negara terhadap kebangkitan kekuatan Tiongkok. Beberapa akademisi pun melihat bahwa hedging merupakan salah satu konsep paling signifikan dalam menjelaskan dinamika hubungan internasional di abad ke-21. Tinjauan literatur ini bertujuan untuk memetakan dan menganalisis perkembangan kajian mengenai hedgingdalam Ilmu HI. Guna mencapai tujuan tersebut, tulisan ini meninjau 53 literatur berakreditasi internasional yang membahas hedging dalam Ilmu HI. Dengan penggunaan metode taksonomi, penulis membagi tinjauan pustaka ini menjadi tiga sub bahasan, yaitu: (1) dasar konseptual hedging; (2) motivasi hedging; dan (3) implementasi hedging. Melalui analisis yang dilakukan terhadap literatur yang ditinjau, penulis menemukan berbagai perdebatan, konsensus, serta sintesis dalam topik mengenai hedging. Secara umum, tinjauan pustaka ini menemukan bahwa pemaknaan hedging dalam Ilmu HI mengalami perluasan. Perluasan tersebut merujuk pada munculnya ragam interpretasi hedging, pembahasan sektor-sektor non-keamanan dalam penggunaan hedging, serta isu empirik dan kebijakan luar negeri kawasan tertentu yang dibahas. Dalam konteks paradigmatik, tinjauan pustaka ini menyingkap bahwa hedging merupakan konsep yang multi-paradigmatik. Meskipun begitu, pembahasan mengenai hedging didominasi oleh pendekatan Neorealisme dan Realisme Neoklasik dalam Ilmu HI, serta pendekatan Analisis Kebijakan Luar Negeri. Meskipun hedging lahir dari cabang Realisme dalam Ilmu HI yang menekankan asumsi hubungan konfliktual antarnegara, penulis menemukan bahwa hedging pada umumnya berkaitan erat dengan pembentukan berbagai kerangka kerjasama internasional. Pada bagian akhir, tulisan ini merekomendasikan kajian mengenai hedging di masa depan untuk membahas tentang perbedaan konsep hedging dengan konsep sentral dalam Ilmu HI, parameter keberhasilan dan kesuksesan hedging sebagai respon negara, serta implikasi perilaku hedging suatu negara terhadap negara lain dan struktur internasional secara umum.  Penulis juga menyajikan catatan reflektif mengenai hedging dalam konteks kebijakan luar negeri Indonesia.

In the last two decades, the concept of hedging has developed in the realm of International Relations (IR) studies. Since its appearance in IR, hedging has often been used to explain the dynamics of international politics and post-Cold War state behavior which can no longer be explained by basic concepts in IR, such as balancing and bandwagoning. In addition, hedging is often associated with states’ responses to the rise of China. Some academics deem hedging as one of the most significant and novel concepts in explaining the dynamics of IR in the 21st century. This literature review aims to identify and analyze the development of studies on hedging in IR. To achieve this goal, this paper reviews 53 internationally accredited literature that discusses hedging in IR. By using the taxonomic method, the author divides this literature review into three sub-cateogires, namely: (1) the conceptual basis of hedging; (2) hedging motivation; and (3) implementation of hedging. Through the analysis conducted on the reviewed literature, the author finds various ideas, consensus, and synthesis in the overall discussion of hedging in IR. In general, this literature review finds that the central discussion of hedging in IR is expanding. This expansion refers to the emergence of various interpretations of hedging, discussion of non-security sectors in the use of hedging, as well as empirical issues and certain regional contexts that are discussed. In a paradigmatic context, these literature review reveals that hedging is a multi-paradigmatic concept. Nevertheless, the discussion on hedging is dominated by the Neorealism and Neoclassical Realism approaches in International Relations, as well as the Foreign Policy Analysis approach. Although hedging was born from the Realism branch of IR which assumes conflictual relations between countries, the authors find that hedging is generally closely related to the formation of various international cooperation frameworks. At the end, this paper recommends studies on hedging in the future to discuss and delve deeper into the differences between the concept of hedging and central concepts in IR, the parameters of the success and success of hedging as a state response, and the impacts of hedging towards other states’ behavior and international structure in general. The author also presents a reflective note on hedging in the context of Indonesia's foreign policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gladisya Putri Pusparini
"Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka dengan topik soft power Korea Selatan. Pemilihan ini berangkat dari negara Korea Selatan yang dalam perkembangannya telah mengalami perkembangan signifikan dari ekonomi dan budaya yang semakin mengglobal akibat budaya populernya, Korean Wave. Terdapat total 38 literatur kontemporer yang diterbitkan dari tahun 2010 hingga 2021. Tinjauan pustaka ini dibagi menjadi enam tema utama, yakni: 1) soft power dalam upaya kepemimpinan Korea Selatan; 2) kajian soft power dalam institusi politik Korea Selatan; 3) peranan aktor non-negara dalam soft power Korea Selatan; 4) kebijakan luar negeri Korea Selatan dalam soft power; 5) soft power nilai politik demokrasi dan sentimen nasionalisme Korea Selatan; dan 6) soft power kebudayaan Korea Selatan. Dari keenam tema dan kategorisasi literatur ini, penulis kemudian menganalisis tentang konsensus, perdebatan, dan sintesis yang ada. Penulis menemukan bahwa perkembangan kajian soft power Korea Selatan dalam studi Ilmu Hubungan Internasional termasuk baru berkembang dan memiliki beberapa kesenjangan untuk pembahasannya, ditambah dengan konsep soft power yang juga masih sangat diperdebatkan. Banyak dari bahan bacaan yang sama-sama melihat Korea Selatan sebagai debat tentang motivasi dan intensi Korea Selatan di balik penggunaan soft power. Kajian softpower Korea Selatan masih memiliki ruang untuk dibahas, salah satunya dari perspektif post-positivisme.

This paper is a literature review on the topic of South Korean soft power. The topic of this paper was chosen due to South Korea’s significant economic development and its popular culture or Korean Wave success. With a total of 38 literatures published between 2010 to 2021, this literature review found six main themes, namely: 1) soft power in South Korean leadership efforts; 2) soft power studies in South Korean political institutions; 3) the role of non-state actors in South Korea's soft power; 4) South Korea's foreign policy in soft power; 5) soft power of South Korean democratic political values ​​and sentiments of nationalism; and 6) the soft power of South Korean culture. This literature review then discusses the existing consensus, debate, and synthesis. The author found that the growth of South Korean soft power studies in the study of International Relations is relatively new and has several gaps for discussion, in addition to the idea of soft power which is also extensively discussed. Many of the literatures share the same view of South Korea as a middle power, while arguing over South Korea’s motivations and intents behind the deployment of soft power. There is still area for debate in the study of soft power of South Korea, one of which is from the perspective of post-positivism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmah Citra Vebria
"Perdebatan konseptual keamanan maritim diawali oleh perdebatan konseptual mengenai sea power. Konsepsi keamanan maritim itu sendiri pertama kali muncul di Barat pada tahun 1990-an akibat dari mencuatnya kasus-kasus kejahatan maritim, seperti terorisme maritim, pembajakan dan perampokan bersenjata, penangkapan ikan ilegal, perdagangan manusia, dan pencemaran laut. Tinjauan pustaka ini menggunakan kerangka matriks keamanan maritim Bueger untuk mendefinisikan konsep keamanan maritim Indonesia yang berusaha melihat hubungan antara keamanan maritim dengan konsep lain yang berkaitan. Setidaknya terdapat empat konsep yang berkaitan dengan keamanan maritim, yaitu (1) keamanan nasional, (2) keamanan laut, (3) ekonomi biru, dan (4) keamanan insani. Tinjauan pustaka ini menyajikan perkembangan keamanan maritim Indonesia melalui keempat perspektif tersebut, serta bahasan minor yang kemudian muncul dalam literatur-literatur keamanan maritim Indonesia. Melalui keempat perspektif tersebut, penulis mencermati bahwa cakupan bahasan dalam literatur keamanan maritim Indonesia adalah bahasan mengenai keamanan laut, penanggulangan isu dan ancaman maritim, pengaturan kebijakan dan regulasi maritim, serta strategi maritim. Tinjauan pustaka ini juga memperlihatkan area konsensus berupa konsep keamanan maritim dapat ditelusuri maknanya dengan melihat korelasinya pada tema lain yang berkaitan, tumpang tindih kewenangan antar institusi maritim, TNI AL sebagai kekuatan utama maritim, dan ancaman keamanan maritim. Area perdebatan berupa keamanan maritim dalam studi keamanan, tradisional vs non-tradisional; perspektif keamanan nasional dalam diplomasi maritim Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, memudar vs tidak memudar; komando keamanan maritim, multi-agen vs single-agen; serta keamanan maritim Indonesia dalam rule-based order vs realpolitik. Kesenjangan literatur yang ditemukan berupa minimnya jumlah literatur dalam bentuk buku (monograf) maupun bab dalam buku mengenai perdebatan konseptual keamanan maritim yang ditulis oleh penulis Indonesia dan masih sedikit literatur yang berisi pembahasan menyeluruh mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) 12 instansi keamanan laut, yang menyebabkan tumpang tindihnya kewenangan antara instansi maritim. Selain itu, tinjauan pustaka ini juga menunjukkan persebaran asal penulis literatur keamanan maritim Indonesia dan paradigma ilmu hubungan internasional yang digunakan dalam literaturnya masing-masing. Tinjauan pustaka ini kemudian juga merekomendasikan penelitian lanjutan perdebatan konseptual keamanan maritim Indonesia menggunakan dua kerangka lainnya dari Bueger, yaitu (1) kerangka sekuritisasi maritim dan (2) Praktik Keamanan dan Komunitas Praktik.

The conceptual debate on maritime security was preceded by a conceptual debate regarding sea power. The concept of maritime security itself first appeared in the West in the 1990s as a result of the emergence of cases of maritime crimes, such as maritime terrorism, piracy and armed robbery, illegal fishing, human trafficking, and marine pollution. This literature review uses the Bueger maritime security matrix framework to define the concept of Indonesian maritime security which seeks to see the relationship between maritime security and other related concepts. There are at least four concepts related to maritime security, namely (1) national security, (2) maritime security, (3) blue economy, and (4) human security. This literature review presents the development of Indonesia’s maritime security through these four perspectives, as well as minor discussions that have subsequently appeared in the Indonesia’s maritime security literature. Through these four perspectives, the authors observe that the scope of discussion in the Indonesian maritime security literature is the discussion of maritime security, overcoming maritime issues and threats, setting maritime policies and regulations, and maritime strategy. This literature review also shows consensus area in Indonesia’s maritime security can be traced by looking at its correlation to other related themes, overlapping authority between maritime institutions, the Indonesian Navy as the main maritime power, and maritime security threats. The area of debate are: maritime security in security studies, traditional vs non-traditional; the perspective of national security in Indonesia’s maritime diplomacy as the Global Maritime Fulcrum, fades vs does not fade; maritime security commando, multi-agent vs single-agent; and Indonesia’s maritime security in rule-based order vs realpolitik. Literature gaps found are: lack of literature in the form of books (monographs) and chapters in books that discussed the conceptual debate of maritime security written by Indonesian authors and there is only a small amount of literature that contains a comprehensive discussion of the laws and regulations governing main tasks and functions (Tupoksi), which causes overlapping authority between maritime agencies. In addition, this literature review also shows the distribution of authors’ origins of Indonesian maritime security literature and the paradigm of international relations used in their respective literature. This literature review then also recommends further research into the conceptual debate of Indonesia’s maritime security using two other frameworks from Bueger, namely (1) maritime securitization framework and (2) Security Practices and Community of Practice."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library