Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurina Widayanti
Abstrak :
Latar belakang: Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di negara berkembang. Obesitas menyebabkan perubahan fisiologis yang kompleks dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, dan paru. Pasien obesitas dengan luka bakar lebih rentan mengalami perubahan fisiologis akibat penyakit penyerta yang sudah ada sebelumnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan mortalitas, lama rawat inap dan jumlah prosedur pembedahan antara pasien obesitas dan non-obesitas. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian kohort retrospektif. Terdapat dua kelompok yang diidentifikasi secara retrospektif dari data rekam medis, dan kemudian dibandingkan secara prospektif. Kami membandingkan hasil (tingkat kematian, jumlah prosedur bedah, dan lama rawat inap) pada pasien luka bakar obesitas dan non-obesitas. Hasil: Dominasi laki-laki ditemukan dalam penelitian ini dengan jumlah subjek 68 laki-laki (61,8%) dan 42 perempuan (38,2%). Kami menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan mortalitas pada kelompok pasien luka bakar obesitas dibandingkan dengan kelompok non-obesitas (p=0,207, CI 95% 0,286-1,315). Dengan Mann-Whitney Test, juga tidak terdapat perbedaan antara lama rawat inap (p-value 0,332) dan jumlah prosedur pembedahan (p-value 0,521) pada pasien obesitas dibandingkan pasien non-obesitas. Kesimpulan: Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik pada mortalitas, lama perawatan dan jumlah prosedur bedah antara pasien luka bakar obesitas dan pasien luka bakar non-obesitas. Namun proporsi pasien meninggal lebih tinggi pada kelompok obesitas. Jangka waktu yang lebih lama dengan jumlah subjek yang lebih besar diperlukan untuk mengatasi bias statistik dan memberikan hasil yang lebih kuat dalam analisis statistik. ......Background: obesity has become serious health issue in developing country. obesity causes complex physiologic alteration and increased risk for diabetes cardiovascular and pulmonary diseases. Obese patient with burn injury are more prone to have physiologic alteration resulting from pre-existing comorbid. The aim of this study is to investigate mortality, length of stay and number of surgical procedure between obese and non-obese patient. Methods: This is an observational analytical study using the retrospective cohort study design. There are two groups which are retrospectively identified from the medical records, and then prospectively compared. We compare the outcomes (mortality rate, numbers of surgical procedure, and hospital length of stay) of obese and non-obese burn patients. Results: Male predominance was found in this study with 68 males (61.8%) and 42 females (38.2%). We found out that there was no difference in mortality in obese burn patient groups compared to non-obese group (p=0.207, CI 95% 0.286-1.315). With Mann-Whitney Test, there were also no difference between length of stay (p-value 0.332) and number of surgical procedures (p-value 0.521) in obese patient compared to non-obese patient. Conslusion: We did not find any statistically significant difference in mortality, length of stay and number of surgical procedures between obese burn patient and non-obese burn patient. However the proportion of deceased patient is higher in obese group. Longer period of time with larger number of subjects is needed to overcome statistical bias and provide more powerfull result in statistical analysis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Wicaksono
Abstrak :
Pendahuluan: Deformitas hidung adalah tampilan klinis yang menonjol pada pasien bibir sumbing unilateral. Rhinoplasty primer adalah solusi terhadap deformitas tersebut. Masalah yang timbul pascaoperasi adalah kecenderungan lower lateral cartilage untuk kembali ke bentuk awal dan timbulnya jaringan parut sehingga timbul kembali deformitas hidung. Solusi yang dapat diambil adalah penggunaan retainer hidung selama minimal 6 bulan untuk mempertahankan bentuk hidung. Hasil yang didapat baik namun retainer hidung yang dijual di pasaran cukup mahal. Untuk mengatasi hal tersebut kami mengajukan alternatif yang lebih terjangkau, aman, dan memiliki karakteristik biomekanik dan biokompatibilitas yang menyerupai retainer hidung yang dijual di pasaran. Metode: Sampel berasal dari 3 kelompok, yang dibuat oleh institusi kami serta komersial dari Turki (mewakili Kaukasia) dan Taiwan (mewakili Asia). Terdapat 3 sampel setiap kelompok. Setiap sampel diuji biomekanika dengan perangkat uji mekanik dan uji toksisitas untuk karakteristik biokompatibilitas. Parameter yang dinilai adalah modulus elastisitas, tensile strength, toksisitas direk dan indirek. Data dianalisis dengan uji One- Way Anova dan Post Hoc untuk perbedaan rerata antara 3 kelompok. Hasil: Berdasarkan hasil tensile strength didapatkan nilai p yang signifikan (p <0.05) antara 3 kelompok berdasarkan uji One-Way Anova. Retainer yang kami buat kurang awet. Berdasarkan hasil modulus elastisitas didapatkan nilai p yang signifikan (p <0.05) antara 3 kelompok berdasarkan uji One-Way Anova. Modulus elastisitas pada retainer kami (2.76  0.41 MPa) menyerupai dengan lower lateral cartilage pada manusia (2.09 ± 0.81 MPa). Berdasarkan uji toksisitas direk dan indirek, dapat disimpulkan bahwa ketiga kelompok non toksik. Kesimpulan: Retainer hidung buatan kami memiliki karakteristik biomekanika yang mirip dengan komersial. Buatan kami ideal karena memiliki modulus elastisitas yang menyerupai dengan lower lateral cartilage pada manusia. Retainer hidung buatan kami memiliki karakteristik biokompatibilitas yang mirip dengan komersial dan non toksik. ......Background: Nasal deformity is one of the main features of the unilateral cleft lip. Primary rhinoplasty is currently the solution for nasal deformity. Problem encountered with this technique is a tendency for the lower lateral cartilage to retain its memory and healing of scar tissue, which subsequently recreate the preoperative nasal deformity. To manage this, nasal retainers often employed for at least 6 months to maintain position of the nose. The results are promising; however commercial nasal retainers made from silicone are quite expensive. To address this issue we propose an alternative nasal retainer that is affordable, safe, and have similar biomechanical and biocompatibility properties with silicone used in nasal retainers. Methods: Samples are from 3 groups, our self-made nasal retainers, commercial nasal retainers from Turkey (represent Caucasian) and Taiwan (represent Asian). There are 3 samples of each nasal retainer group. Each samples were tested using mechanical testing device for biomechanical properties and toxicity testing for biocompatibility properties. Elasticity modulus, tensile strength, direct and indirect toxicity were recorded. Data were analysed using One-Way Anova and Post Hoc test for mean difference of three groups. Results: Based on tensile strength results, overall p value has significant mean differences (p <0.05) between three groups based on One-Way Anova test. Our nasal retainer is least durable. Based on elastic modulus results, overall p value has significant mean differences (p <0.05) between three groups based on one-way Anova test. Our nasal retainer shows similar elastic modulus (2.76  0.41 MPa) compared to human lower lateral cartilage elastic modulus (2.09 ± 0.81 MPa). Based on direct and indirect toxicity testing, we can conclude that three sample groups are non-toxic. Conclusion: Our nasal retainer has similar mechanical properties with commercially available silicone nasal retainer. Our nasal retainer is ideal because it shows similar elastic modulus compared to human lower lateral cartilage. Our nasal retainer has similar biocompatibility with commercially available silicone nasal retainer and it is non-toxic.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amila Tikyayala
Abstrak :
Latar Belakang: Luka bakar masih menjadi masalah kesehatan yang berat khususnya di Indonesia. Pada kasus luka bakar mayor, penutupan luka sementara dengan menggunakan xenograft terbukti memberikan keuntungan. Akan tetapi tidak semua jenis xenograft tersedia akibat latar belakang kultur, biaya, dan agama disamping tampilan bersisik pada jenis xenograft ikan tilapia yang kurang estetik. Patin siam (Pangasius hypophthalmus) adalah ikan tidak bersisik yang memiliki banyak kandungan kolagen tipe I. Studi ini bertujuan untuk melakukan komparasi kulit ikan patin siam terhadap kulit ikan tilapia dan babi yang telah umum dijadikan material xenograft pada luka bakar. Metode: Studi ini merupakan studi eksperimental menggunakan sembilan sampel berbeda dari kulit ikan patin siam, ikan tilapia, dan babi. Setiap sampel dilakukan preparasi dan dilakukan evaluasi secara histologi dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin-eosin stained. Dilakukan dokumentasi dan analisa pada tampilan makroskopik dan mikroskopik setiap sampel. Hasil: Tampilan makroskopik kulit ikan patin siam menggambarkan kulit yang tidak berbulu, tidak bersisik, berwarna hitam – perak, dan memiliki ketebalan yang moderat. Tampilan mikroskopik kulit ikan patin siam memiliki ketebalan epidermis (8.49±1.60 μm) yang berbeda secara signifikan terhadap ikan tilapia (2.18±0.37 μm; p<0.001) dan babi (42.22±14.85 μm; p=0.002). Ketebalan dermis kulit ikan patin siam (288.46±119.04 μm) menyerupai ikan tilapia (210.68±46.62 μm; p=0.783) namun berbeda signifikan terhadap babi (1708.44±505.12 μm; p<0.001). Integritas dan susunan kolagen ikan patin siam serupa dengan tilapia berdasarkan penilaian histologi semi-kuantitatif (p>0.05). Kesimpulan: Ikan patin siam memiliki tampilan makroskopik dan tampilan mikroskopik yang dapat dibandingkan dengan ikan tilapia; tampilan makroskopik lebih halus, epidermis lebih tebal, dan tebal dermis yang serupa. Oleh karena itu, kulit ikan patin siam dipercaya dapat menjadi materi xenograft. Studi lanjutan diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas dan kelayakan xenograft patin siam dalam tata laksana luka bakar. ......Background: Burn injury remains a health problem, specifically in Indonesia. In major burns, xenograft had been proved to be useful as temporary wound coverage. However, some xenografts are not widely available due to cultural, financial, and religious backgrounds or have unesthetic appearance, such as scaly appearance of tilapia fish xenograft. Striped catfish (Pangasius hypophthalmus) is a scaleless fish that has abundant type 1 collagen. This study aimed to compare striped catfish skin to commonly used xenograft (Nile tilapia and porcine skin) as xenograft material for burn wound. Methods: In this experimental study, nine different skin samples of striped catfishes, Nile tilapias, and porcines were prepared and histologically examined using hematoxylin- eosin stained samples. Macroscopic and microscopic features of each samples were documented and analysed. Results: The macroscopic skin appearances of striped catfishes were hairless and scaleless with black-silver color and moderate thickness. As for microscopic features, the epidermal thickness of striped catfish’s skin (8.49±1.60 μm) was significantly different to both Nile tilapia (2.18±0.37 μm; p<0.001) and porcine skin (42.22±14.85 μm; p=0.002). The dermal thickness of striped catfish’s skin (288.46±119.04 μm) was similar to Nile tilapia (210.68±46.62 μm; p=0.783) but differs significantly to porcine skin (1708.44±505.12 μm; p<0.001). The integrity and collagen organization of striped catfishes was also similar to tilapia based on semi-quantitative histology scoring system (p>0.05). Conclusion: Striped catfishes had potential macroscopic appearance and comparable microscopic features to Nile tilapia; smoother macroscopic appearance, thicker epidermis, and similar dermis thickness. Therefore, we believe it can be potentially used as a xenograft material. Further studies are required to evaluate the effectiveness and feasibility of striped catfish xenograft in burn wound management.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadia Ayundya Duhita
Abstrak :
Latar belakang: Pada negara maju, terapi pada luka bakar mayor saat ini telah bergeser dari eksisi segera dan standur kulit menjadi eksisi bertahap dan penutupan luka sementara dengan xenograft, yang tidak tersedia di Indonesia. Saat ini, perawatan luka pada luka bakar masih menggunakan kasa jenuh paraffin-vaselin. Studi ini merupakan studi preliminary untuk clinical trial mengenai kulit ikan tilapia sebagai xenograft. Dilakukan evaluasi terhadap waktu yang diperlukan untuk mencapai dasar luka yang baik, frekuensi redebridement, dan frekuensi penggantian balutan. Metode: Studi preliminary ini merupakan clinical trial terrandomisasi dengan kasa jenuh paraffin-vaselin sebagai pembanding, dengan analisis intention to treat. Sampel pada studi ini adalah ekstremitas atas atau bawah pasien luka bakar akut dewasa, usia 18-60 tahun, dengan luas area luka bakar 20-40%; yang terdapat luka bakar full thickness. Kedua sisi harus dapat dibandingkan, evaluasi luka dilakukan tiap kali dilakukan penggantian balutan. Hasil: Total 7 sampel didapatkan dari 4 pasien. Tidak didapatkan adanya reaksi alergi pada semua subjek, baik berdasarkan klinis dan hasil laboratorium. Dua subjek meninggal dunia sebelum dilakukan penggantian balutan pertama, sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi luka. Tidak ada perbedaan waktu untuk mencapai bed luka yang baik dan frekuensi redebridement antar kedua kelompok. Ekstremitas dengan balutan kulit ikan tilapia xenograft membutuhkan frekuensi penggantian balutan yang lebih sedikit secara signifikan. Kesimpulan: Xenograft kulit ikan tilapia dapat digunakan sebagai dressing alternative pada luka bakar. Studi lebih lanjut sangat dibutuhkan. ......Background: In developed countries, major burn treatment have shifted from early excision and skin grafting to staged excision and temporary coverage with xenograft, which were not available in our country. Paraffin-impregnated gauze is still utilized in most of our burn injury cases. Xenografts have been proven to be superior than non –biological dessings. This study was a preliminary to clinical trial of tilapia fish skin xenograft that we put together locally. We evaluated the efficacy based on reduction of time to well granulated wound bed, redebridement frequency and wound dressing change frequency. Method: This preliminary study is a randomized clinical trial, with paraffin-impregnated gauze as the comparison, with intention to treat analysis. Samples of the study were upper or lower limb pairs of adults, aged 18-60 year old, acute burn patients with total body surface area of burn ranged from 20-40%; which contains full thickness burn. The injury on both sides of the lim pairs have to be comparable. The wound was evaluated every time the dressing was changed. Result: Total of 7 samples were obtained from 4 subjects. There was no evidence of allergic reaction on all subjects , either clinically or from laboratory examinations. Two subjects passed away before the first dressing change, thus the wound cannot be evaluated. There was no difference in time to well granulated wound bed and redebridement frequency between groups. Limbs treated with tilapia fish skin xenograft significantly require less frequent dressing change. Conclussion: The tilapia fish skin xenograft appears to be a legible alternative to paraffin impregnated gauze. Further study is strongly advised.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library