Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lenny Syukriati Asmir
"Latar belakang: Elektroensefalografi EEG adalah suatu prosedur untuk mendukung diagnosis dan evaluasi pengobatan pada penyakit epilepsi. Perekaman EEG ideal dapat dicapai bila anak mengalami tidur alamiah, yang sampai saat ini masih sulit untuk dilakukan. Melatonin, merupakan hormon tidur alami yang dihasilkan oleh kelenjar pineal, mulai dikembangkan sebagai premedikasi EEG yang diharapkan memiliki efek samping lebih kecil dibanding prosedur deprivasi tidur parsial DTP dan obat sedasi.
Tujuan: 1 mengetahui perbandingan awitan tidur, makrostruktur tidur, dan lama tidur pada anak epilepsi yang diberikan melatonin oral dengan yang dilakukan prosedur DTP, 2 mengetahui perbedaan efek samping pemberian premedikasi melatonin dibandingkan prosedur DTP pada anak epilepsi yang direncanakan EEG
Metode: Penelitian uji klinik acak tersamar tunggal secara paralel dilakukan pada 76 subyek berusia 1-18 tahun yang melakukan pemeriksaan EEG di Laboratorium Elektrodiagnostik IKA-RSCM selama periode November 2016 ndash; Januari 2017. Seluruh subyek tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, satu kelompok diberikan premedikasi melatonin per oral, sedangkan kelompok lainnya dilakukan prosedur DTP.
Hasil: Rerata awitan tidur kelompok DTP adalah 42,39 menit sedangkan kelompok melatonin 33,97 menit p le;0,01 . Rerata lama tidur kelompok DTP adalah 22,58 menit, sedangkan kelompok melatonin 25,09 menit p=0,144 . Gambaran makrostruktur tidur p>0,05 dan efek samping prosedur p>0,05 pada kedua kelompok subyek tidak berbeda bermakna.
Simpulan: Awitan tidur pada kelompok melatonin lebih cepat dibandingkan kelompok DTP, dengan durasi tidur yang serupa antar 2 kelompok. Makrostruktur tidur kedua kelompok mirip dengan tidur alamiah. Tidak didapatkan perbedaan efek samping antara kelompok DTP dan kelompok melatonin. Melatonin dapat digunakan sebagai premedikasi EEG pada anak untuk praktik sehari-hari.

Background Electroencephalography EEG is a procedure to support and evaluate therapy in children with epilepsy. Ideally, EEG result can be achieved if the child fell on a natural sleep, but this phase was difficult to gain. Melatonin, a natural sleep hormone that is produced by the pineal gland, was started to developed as a premedication following EEG procedure to produce natural sleep with minimal side effects compared to partial sleep deprivation PSD and other sedative agents.
Aim 1 to discover sleep onset, sleep duration, and sleep macrostructure in children with the oral administration of melatonin compared to partial sleep deprivation, 2 to discover side effects of oral melatonin EEG premedication in epilepsy children
Method In a parallel single blinded randomized clinical trial, 76 children who were referred to EEG Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital from November 2016 to January 2017 were evaluated. The children were randomly assigned into two groups to receive PSD procedure control group and oral melatonin treatment group.
Results Mean sleep onset in PSD group was 42.39 minutes, while in melatonin group was 33.97 minutes p le 0,01 . Mean sleep duration in PSD group was 22.58 minutes, while in melatonin group was 25.09 minutes p 0,05 . There were no significant differences in both sleep macrostructure p 0,05 and procedure rsquo s side effects p 0,05 in both groups.
Conclusions Sleep onset was more prompt in melatonin group compares to PDS group, while sleep duration was similar between each groups. Both of sleep macrostructures were similar to natural sleep process. There were no significant differences of side effects in both groups. Melatonin can be use as premedication for EEG examination in epilepsy children."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sisca Silvana
"Latar belakang: Saat ini tindakan intervensi transkateter banyak dilakukan pada PJB non-sianotik meskipun pada beberapa kasus tertentu tetap membutuhkan penanganan secara operasi jantung terbuka. Penilaian luaran jangka panjang anak dengan PJB non-sianotik seperti fungsi kognitif ditinjau dari perbedaan penanganannya baik secara intervensi transkateter maupun operasi terbuka masih sangat terbatas. Oleh karena itu, peneliti ingin mengevaluasi fungsi kognitif anak dengan PJB non-sianotik yang mendapatkan operasi terbuka dan tindakan intervensi transkateter berdasarkan tes intelegensi menurut skala Wechsler dan menilai EEG pasien setelah dilakukannya tindakan.Tujuan :Mengetahui skor IQ dan gambaran EEG pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan non-sianotik pascaoperasi jantung terbuka dan tindakan intervensi transkateter.Metode: Studi potong lintang pada anak usia 4 sampai 18 tahun dengan PJB non-sianotik yang sudah menjalani operasi jantung terbuka dan kelompok anak dengan PJB non-sianotik yang sudah menjalani tindakan intervensi transkateter. Penelitian dilakukan di poli jantung terpadu (PJT) dan poliklinik anak Kiara Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai bulan Desember 2018 hingga Februari 2019.Hasil :Dari 76 anak dengan PJB non-sianotik yang berusia 4 hingga 18 tahun didapatkan 55,4% FSIQ normal pada kelompok operasi terbuka dan 44,6% FSIQ normal pada kelompok tindakan intervensi transkateter dengan nilai p=0,680. Pada pemeriksaan EEG didapatkan hasil 70,7% EEG normal pada kelompok operasi terbuka dan 51,4% EEG normal pada kelompok tindakan intervensi transkateter dengan nilai p=0,084. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Simpulan:Tindakan operasi terbuka maupun intervensi kateter yang dilakukan pada anak dengan PJB non-sianotik tidak memengaruhi skor IQ dan gambaran EEG. Tidak diperlukan pemeriksaan EEG sebelum dilakukan tindakan koreksi.
Background : Nowadays transcatheter intervention closure has been commonly done in acyanotic congenital heart diseases even though in some cases surgical closure are still needed. Long term evaluation in children with acyanotic congenital heart diseases such as cognitive function from different interventions especially after transcatheter intervention closure or surgical closure is limited. Therefore, we would like to evaluate the cognitive function of children with acyanotic congenital heart diseases who underwent transcatheter intervention closure compared to surgical closure, based on IQ test according to Wechsler scale and EEG result after intervention. Objective : To evaluate IQ score and EEG result after surgical closure and transcatheter intervention closure of acyanotic congenital heart diseases in children. Methods : A cross-sectional study was done to 4 -18 year old children with acyanotic congenital heart diseases who had surgical closure or transcatheter intervention closure. This study was undertaken in integrated cardiovascular services and pediatric neurology policlinic of Cipto Mangunkusumo National Hospital Jakarta since December 2018 until February 2019. Results : Seventy six children enrolled in the study. We found 55,4% normal FSIQ in surgical closure group and 44,6% normal FSIQ in transcatheter intervention closure group with p value 0,680. EEG examination showed 70,7% normal range in surgical closure group and 51,4% normal EEG in transcatheter intervention closure group with p value 0,084. Conclusion: There is no significant difference at IQ score and EEG result after cardiac surgical closure and transcatheter intervention closure of acyanotic congenital heart diseases in children. EEG examination is not needed before corrective intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suryawati Sukmono
"Pada usia 3 tahun pertama kehidupan terjadi perkembangan yang sangat pesat baik pada ukuran fisik maupun fungsional otak. Faktor neuroplastisitas yang berlangsung pesat pada anak berusia <3 tahun mempengaruhi perubahan (evolusi) dalam perjalanan klinis epilepsi. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi hubungan faktor risiko yang didapatkan saat awal pengobatan serta faktor perubahan (evolusi) yang terjadi selama pasien mendapat terapi dengan terjadinya drug resistant epilepsy. Penelitian menggunakan metode kohort retrospektif pada subjek anak yang didiagnosis epilepsi saat berusia <3 tahun. Dari 150 subjek penelitian, didapatkan 33 subjek (22%) mengalami drug resistant epilepsy. Faktor risiko awal yang berhubungan bermakna dengan terjadinya drug resistant epilepsy adalah hasil EEG yang abnormal (p=0,001; aOR 4,48; IK 95% 1,82-11,03). Faktor perubahan (evolusi) selama terapi yang berhubungan bermakna dengan terjadinya drug resistant epilepsy adalah evolusi frekuensi kejang yang buruk (p=0,048; aOR 7,1; IK 95% 1,01-49,7) dan respon awal terapi yang buruk (p= 0,01; aOR 10,92; IK 95% 2,6-45,87).

The brain is highly developed in first 3 year of life. The high neuroplasticity process during that period can influence clinical course of epilepsy. This study was aimed to evaluate initial risk factors and evolution risk factors during therapy to predict drug resistant epilepsy in children <3 year old. We used retrospective cohort method based on medical record data. There were 150 subjects, 33 of them (22%) met drug resistant epilepsy criteria. Abnormal EEG result was the only initial risk factor that significantly related with drug resistant epilepsy in children <3 year old (p=0,001; aOR 4,48; CI 95% 1,82-11,03). We found bad evolution in seizure frequency (p=0,048; aOR 7,1; CI 95% 1,01-49,7) and bad initial response to therapy (p= 0,01; aOR 10,92; CI 95% 2,6-45,87) were significantly related with drug resistant epilepsy in children <3 year old."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library