Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Umi Mangesti Tjiptoningsih
"Latar Belakang : Radiasi berperan sebagai salah satu modalitas penatalaksanaan perdarahan pada keganasan. Peranan radiasi sebagai hemostatiks sudah lama digunakan namun masih memerlukan studi lebih lanjut untuk mengevaluasi efektivitasnya, serta ilmu pengetahuan terbaru pada penggunaan parameter biologis dalam penilaiannya. Saat ini di Indonesia masih sedikit publikasi kepustakaan yang memfokuskan tentang radiasi hemostatiks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan respon klinis perdarahan berdasarkan skala perdarahan WHO, mengetahui adanya perbedaan rerata kadar von Willebrand Factor (vWF) plasma antara sebelum dan sesudah radiasi, serta mengevaluasi adanya korelasi dari kadar vWF plasma dengan respon penghentian perdarahan menggunakan skala perdarahan WHO pada perdarahan tumor, sebelum dan sesudah diberikan radiasi hemostatiks.
Metodologi : Studi ini menggunakan pre-post study design tanpa pembanding, dilakukan di Departemen Radioterapi RSCM pada pasien yang mengalami perdarahan akibat kanker yang mendapat terapi radiasi hemostatiks serta memenuhi kriteria inklusi sejak September 2013 sampai dengan Februari 2014. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan vWF plasma dan penilaian klinis skala perdarahan WHO dilakukan sebelum dan sesudah radiasi hemostatiks.
Hasil : Dari total 23 subyek terpilih, terdapat 2 pasien yang meninggal karena perdarahan. Nilai keberhasilan terapi radiasi hemostatiks yang dilakukan pada subyek adalah sebesar 91,3%. Radiasi hemostatiks mampu menurunkan skala perdarahan WHO dari median 3 menjadi median 1 sesudah radiasi dengan nilai p<0,001. Pemberian radiasi hemostatiks meningkatkan kadar vWF plasma secara bermakna dengan perbedaan rerata 12,38 IU/dL (SD 12,75 IU/dL), nilai p=0,001. Terdapat korelasi yang bermakna antara peningkatan kadar vWF plasma sebelum dan sesudah radiasi dengan penurunan skala perdarahan WHO, p=0,019 (R=-0,533).
Kesimpulan : Radiasi hemostatiks terbukti efektif menghentikan perdarahan akibat kanker dan menjadi modalitas pilihan dalam tatalaksana perdarahan akibat kanker. Radiasi mampu menurunkan derajat perdarahan, serta meningkatkan kadar vWF plasma dan terbukti peningkatan vWF plasma berkorelasi bermakna dengan penurunan derajat perdarahan.

Backgorund : Radiation is one of the modality to treat cancer bleeding. Hemostatics irradiation is already known while still need further investigation to evaluate its effectiveness, including its biological parameter. Von Willebrand Factor plasma is already known has major role as initiator of the platelets adhesion in hemostatics. Publication of references in hemostatics irradiation is still infrequent. This study aims to investigate the changes of clinical response based on WHO bleeding scale before and after radiation, also to examine the difference level of vWF plasma before and after radiation, and to search correlation between bleeding scale response to vWF plasma level before and after hemostatics irradiation.
Methods : This study is pre-post study design without control, held in Department of Radiotherapy Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta in cancer bleeding patients who received hemostatics irradiation according to inclusion criteria, since September 2013-February 2014. Blood samples for vWF examination and clinical scoring for WHO bleeding scale data are taken before and after irradiation.
Result : Overall 23 subjects, including 2 patients died because of the bleeding. The effectiveness of hemostatics irradiation is 91,3%. Radiation hemostatics significantly decrease WHO bleeding scale, from median 3 to median 1, p<0,001. The hemostatics irradiation significantly elevate the level of vWF plasma, mean differences 12,38 IU/dL (SD 12,75 IU/dL), p= 0,001. There is also significant correlation between the decrease of WHO bleeding scale and the elevation level of vWF plasma, p=0,019 (R=-0,533).
Conclussion : Hemostatics radiation is proven effectively to stop the cancer bleeding and chosen modality in treating the cancer bleeding in malignancy. Radiation is clinically able to degrade the bleeding scale, and to elevate the level of vWF plasma. Radiation is also proven significant corelation between elevation of vWF plasma and decrement of bleeding scale.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Kelvyn Kristianto
"ABSTRAK
Telah diketahui bahwa rasio platelet dan limfosit (PLR) dan berat badan berlebih berkaitan dengan perjalanan kanker payudara. Maka dari itu, skripsi ini hendak menilai hubungan stadium metastasis dengan PLR pada pasien dengan overweight/obesitas. PLR dinilai pada saat sebelum kemoterapi, setelah kemoterapi, dan kontrol terakhir dalam 6 bulan terakhir pada pasien pre-metastasis dan metastasis yang diperoleh dari data yang terdapat di rekam medis. Terdapat 24 pasien pre-metastasis dan 24 pasien metastasis yang menjadi subjek penelitian. Diperoleh bahwa PLR tidak berhubungan dengan metastasis kanker payudara. Hal ini dapat disebabkan variasi waktu dan metode pengambilan sampel yang mempengaruhi hitung limfosit dan trombosit

ABSTRACT
Platelet-to-lymphocyte ratio (PLR) and overweight has known to be related with breast cancer progression. This study is conducted to evaluate the correlation between metastasis and PLR in breast cancer patient with overweight/obesity. PLR is evaluated before chemoteraphy, after chemotherapy, and last control in 6 months in pre-metastasis and metastasis patients, using data from medical record. There are 24 patients with pre-metastatic stage and 24 patients with metastatic breast cancer, and the result shows that there is no significant correlation between metastasis and PLR. Time and method variations in blood sample collection may affect lymphocyte and platelet count."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Denny Grecius
"ABSTRACT
Rasio neutrofil dan limfosit (NLR) dapat digunakan dalam mengukur progresivisitas kanker payudara seperti perubahan berat badan. Tujuan Maka dari itu, penelitian ini hendak menilai hubungan perubahan status indeks masa tubuh dengan NLR. Metode: Rancangan penelitian ini merupakan potong lintang. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien yang menjadi normoweight (indeks masa tubuh terakhir < 23,0) dan pasien yang menjadi overweight atau obese (indeks masa tubuh terakhir ≥ 23,0). Setiap sampel akan dihitung NLR pascadiagnosis dan pascaterapi minimal 6 bulan. Hasil: Pasien yang menjadi normoweight memiliki NLR pascadiagnosis median 2,510 (0,853-5,315) dan NLR pascaterapi median 2,652 (0,666-10,844). Pasien yang menjadi overweight atau obese memiliki NLR pascadiagnosis median 2,444 (0,318-21,000) dan NLR pascaterapi median 2,466 (0,632-22,750). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara perubahan indeks masa tubuh dengan NLR pascadiagnosis dan NLR pascaterapi. Tidak adanya hubungan mungkin disebabkan adanya keberagaman karakteristik sampel yang didapat.

ABSTRACT
Neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) can be used to measure progressivity of breast cancer. One of the factor that also affect progression of breast cancer is body weight change. Therefore, this study wants to evaluate correlation between Body Mass Index (BMI) status change and NLR. Methods: Sample are divided into two groups, patients who became normoweight (latest BMI < 23,0) and patients who became overweight or obese (latest BMI ≥ 23,0). NLR value in postdiagnosis and post-treatment (minimum 6 months) are being evaluated in each sample. Results: Patients who became normoweight has postdiagnosis NLR median 2,510 (0,853-5,315) and post-treatment NLR median 2,652 (0,666-10,844); while in the patients who became overweight or obese has postdiagnosis NLR median 2,444 (0,318-21,000) and post-treatment NLR median 2,466 (0,632-22,750). Interpretation & conclusion: This study shows neither postdiagnosis NLR nor post-treatment NLR has correlation with BMI status change. This result may due to various sample characteristics."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Joy Samuel
"ABSTRAK
Indeks Massa Tubuh dan Rasio Platelet-Limfosit (PLR) yang tinggi menunjukkan prognosis buruk pasien kanker payudara. Peneliti menduga adanya korelasi positif antara perubahan nilai keduanya; serta nilai PLR akhir yang berbeda signifikan pada wanita dengan IMT meningkat 5%. Peneliti menggunakan desain potong-lintang dan menganalisis data rekam medis dari 2 rumah sakit di Jakarta. Perubahan IMT tidak berkorelasi dengan perubahan PLR (p>0,05); serta tidak terdapat PLR akhir yang berbeda bermakna antara kedua kelompok. Hal ini diduga disebabkan variasi regimen kemoterapi, metode pengambilan sampel dan faktor lain yang tidak diteliti.

ABSTRACT
High Body Mass Index and Platelet-Lymphocyte Ratio (PLR) show a poor prognosis of breast cancer patients. The author hypothesized that there is a positive correlation between changes in both values; and final PLR values is significantly difference in women with 5% increase in BMI. The author used a cross-sectional design and analyzed medical record data from 2 hospitals in Jakarta. Changes in BMI were not correlated with changes in PLR (p>0,05); and there were no final PLR that was significantly different between the two groups. This can be due to variations in chemotherapy regimens, sampling methods, and other factors not examined."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Pratiwi
"Antigen D pada donor darah wajib diketahui karena memiliki imunogenitas tinggi, bila terpapar pada individu Rhesus negatif dapat terbentuk aloantibodi kemudian misalnya pada wanita hamil menyebabkan Hemolytic Disease of Newborn (HDN). Di Indonesia sudah dapat mendeteksi weak D dengan dengan indirect antiglobulin test. Varian Rhesus DEL (D-eluate) terdeteksi dengan metode adsorpsi elusi dan metode Single Specific Primer-Polymerase Chain Reaction (SSP-PCR) sehingga dengan standar pemeriksaan di Indonesia belum terdeteksi dan terdata sebagai Rhesus negatif. Darah tersebut bila ditransfusikan ke pasien Rhesus negatif menimbulkan aloimunisasi pada pasien. Untuk itu penelitian ini bertujuan mengetahui adanya varian Rhesus DEL pada populasi Rhesus negatif Indonesia dengan metode adsorpsi elusi dan SSP-PCR. Metode penelitian ini deskripsi eksploratif untuk deteksi varian Rhesus DEL dengan metode adsorpsi elusi dan SSP-PCR terhadap 100 sampel dari populasi Rhesus negatif Indonesia. Hasil penelitian didapatkan varian Rhesus DEL pada 26 sampel dengan adsorpsi elusi dan 47 sampel dengan SSP-PCR. Uji diagnostik SSP-PCR sensitivitas 100%, spesifisitas 72%, nilai duga positif 55% dan nilai duga negatif 100%. Risiko etnis Cina 3 kali lebih tinggi dari etnis non-cina untuk memiliki varian Rhesus DEL. Kesimpulannya varian Rhesus DEL terdeteksi pada populasi Rhesus negatif Indonesia dan terdapat perbedaan kemampuan deteksi antara metode adsorpsi elusi dengan SSP-PCR.

D antigen in blood donors must be identified because it contains high immunogenicity, if exposed to Rhesus negative individuals, alloantibodies can be formed. For example, in pregnant women it can cause Hemolytic Disease of Newborn (HDN). In Indonesia, we have been able to detect weak D with the indirect antiglobulin test. Rhesus DEL (D-eluate) variant can be detected by elution adsorption method and Single Specific Primer – Polymerase Chain Reaction (SSP-PCR) method. Based on the current Indonesian detection standard, Rhesus DEL has not been detected and is recorded as Rhesus negative. If the blood is transfused into a Rhesus negative patient, it can cause alloimmunization in the patient. The purpose of this study was to determine the presence of Rhesus DEL variants in the Indonesian Rhesus negative population by elution adsorption and SSP-PCR methods. This research method is an exploratory description for the detection of Rhesus DEL variants by elution adsorption and SSP-PCR methods on 100 samples from the Indonesian Rhesus negative population. The results showed that the Rhesus DEL variant was found in 26 samples with elution adsorption and 47 samples with SSP-PCR. SSP-PCR diagnostic test sensitivity 100%, specificity 72%, positive predictive value 55% and negative predictive value 100%. The risk of ethnic Chinese is 3 times higher than that of non-Chinese for having the Rhesus DEL variant. In conclusion, the Rhesus DEL variant was detected in the Indonesian Rhesus negative population and there was a difference in detection ability between the elution adsorption method and SSP-PCR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christi Vidya Mahacintya
"COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 tidak hanya menyerang sistem pernapasan, namun dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah berupa fenomena hiperkoagulasi. Hiperkoagulasi atau disebut dengan pengentalan darah adalah kondisi dimana darah dalam tubuh seseorang cenderung lebih mudah mengalami proses penggumpalan atau pembekuan darah. Hiperkoagulasi pada COVID-19 dapat memperburuk keadaan pasien dengan menyumbat pembuluh darah yang berujung pada kerusakan organ dan kematian. Penelitian ini difokuskan pada perbandingan gambaran profil kondisi hiperkoagulasi pada pasien COVID-19, khususnya pada 663 data pasien yang menjalani rawat inap pada periode Maret 2020 hingga Maret 2021 pada rumah sakit X di Jakarta. Penelitian dilakukan dengan metode Exploratory Data Analysis untuk mendapatkan perbedaan karakteristik pasien serta Kaplan-Meier untuk melihat perbedaan laju perbaikan kondisi pasien. Penelitian ini menemukan bahwa pasien hiperkoagulasi memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami gejala, seperti gejala umum (demam, batuk, lelah) dan serius (sesak napas, nyeri dada, kesulitan bicara atau bergerak), memiliki kecenderungan lebih tinggi ditemukan pada pasien yang memiliki penyakit penyerta hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit penyerta terkait paru, lebih banyak diberikan treatment antivirus berupa remdesivir dan oseltamivir, memiliki kecenderungan yang lebih tinggi pada hemoglobin, hematokrit, trombosit, neutrofil, ddimer, dan fibrinogen, serta berpeluang untuk meninggal 0.233 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pasien non hiperkoagulasi. Secara umum, pasien non hiperkoagulasi mengalami perbaikan kondisi lebih cepat dibandingkan dengan pasien hiperkoagulasi.

COVID-19 caused by SARS-CoV-2 not only attacks the respiratory system, but can cause damage to blood vessels in the form of hypercoagulation phenomena. Hypercoagulation or so-called blood thickening is a condition where the blood in a person's body tends to be more prone to clotting. Hypercoagulation in COVID-19 can worsen the patient's condition by clogging blood vessels which leads to organ damage and death. This study focused on comparing the profile of hypercoagulable conditions in COVID-19 patients, especially in 663 data of patients who were hospitalized in the period March 2020 to March 2021 at hospital X in Jakarta. The research was conducted using Exploratory Data Analysis method to obtain differences in patient characteristics as well as Kaplan-Meier to see the difference in the rate of improvement of the patient's condition. This study found that hypercoagulable patients had a higher tendency to experience symptoms, such as general symptoms (fever, cough, tiredness) and serious symptoms (shortness of breath, chest pain, difficulty speaking or moving), had a higher tendency to be found in patients who have comorbidities of hypertension, diabetes mellitus, and comorbidities related to the lung, more given antiviral treatment in the form of remdesivir and oseltamivir, had a higher tendency for hemoglobin, hematocrit, platelets, neutrophils, ddimer, and fibrinogen, and and had a 0.233 times greater probability of death when compared to non-hypercoagulable patients. In common, non-hypercoagulable patients improved faster than hypercoagulable patients."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlina Santoso
"Pendahuluan: Kanker kepala leher merupakan kanker keempat terbanyak di Indonesia setelah kanker payudara, serviks, dan paru-paru. Cisplatin merupakan komponen utama pada terapi sistemik kanker kepala leher. Penggunaan cisplatin dosis tinggi (100 mg/m2) dalam kemoradiasi simultan merupakan pilihan, namun banyak pasien yang tidak dapat menyelesaikan siklus secara lengkap. Nefrotoksisitas merupakan salah satu efek samping yang sering ditemui, terutama pada pemberian cisplatin dosis tinggi. Sebagai alternatifnya, diberikan cisplatin dosis rendah (40 mg/m2) seminggu sekali dalam mengurangi efek samping tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian nefrotoksisitas cisplatin dosis rendah dan faktor-faktor yang memengaruhinya pada pasien kanker kepala leher di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan desain potong lintang. Data diambil dari rekam medis pasien kanker kepala leher yang mendapatkan kemosensitizer cisplatin dosis rendah (40 mg/m2) di RSCM bulan Januari 2022 hingga Desember 2023.
Hasil: Terdapat 118 subyek yang masuk kriteria penelitian. Nefrotoksisitas terjadi pada 63 (53,4%) subyek setelah pemberian cisplatin dosis rendah, yang paling banyak terdeteksi setelah siklus kedua yaitu pada 24 (20,3%) subyek. Penggantian regimen cisplatin ke carboplatin terjadi pada 40 subyek (63,5%) dari pasien yang mengalami nefrotoksisitas. Pasien dengan eGFR 60-90 mL/menit/1,73m2 berkaitan dengan peningkatan risiko nefrotoksisitas cisplatin dosis rendah, sedangkan penggunaan PPI (Proton Pump Inhibitor) berkaitan dengan penurunan risiko. Faktor lain seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, serta riwayat penggunaan cisplatin tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan terjadinya nefrotoksisitas.
Kesimpulan: Nefrotoksisitas cisplatin dosis rendah pasien kanker kepala leher terjadi pada lebih dari setengah (53,4%) subyek penelitian. Nefrotoksisitas berkaitan dengan fungsi ginjal awal yang lebih rendah. Penggunaan PPI berpotensi sebagai faktor proteksi terhadap nefrotoksisitas.

Introduction: Head and neck cancer is the fourth most common cancer in Indonesia after breast, cervival, and lung cancer. Cisplatin is the main component in systemic therapy head and neck cancer. High dose cisplatin (100 mg/m2) in concurrent chemoradiation is an option, but many patients are unable to complete the whole cycle. Nephrotoxicity is one of the most common side effects that is often encountered, especially in the administration of high doses of cisplatin. Alternatively, a low dose cisplatin (40 mg/m2) is given once a week to reduce these side effects. This study aims to determine the incidence of nephrotoxicity of low doses cisplatin and the factors that affect it in head and neck cancer patients at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM).
Methods: This is a retrospective study with a cross-sectional design. The data was taken from the medical records of head and neck cancers patients who received low dose cisplatin (40 mg/m2) as chemosensitizer at RSCM from January 2022 to December 2023.
Result: There were 118 subjects who met the requirements. Nephrotoxicity occurred in 63 (53,4%) subjects after administration of low dose cisplatin, the most frequently detected after second cycle in 24 (20,3%) subjects. Replacement of cisplatin regimen to carboplatin occurred in 40 subjects (63,5%) of patients with nephrotoxicity. Patient with an eGFR 60-90 mL/min/1,73m2 were associated with an increased risk of nephrotoxicity of low dose cisplatin, while the use of PPIs (Proton Pump Inhibitors) was a associated with a reduced risk. Other factors such as age, sex, comorbidities, and history of cisplatin use did not show a significant relation ship with the occurance of nephrotoxicity.
Conclusion: Low dose cisplatin nephrotoxicity in head and neck cancer patients occurred more than half (53,4%) of the study subject. Nephrotoxicity is associated with lower baseline renal function. The use of PPIs has the potential to be a protective factor against nephrotoxicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tulus Widiyanto
"Latar Belakang. Arthritis Reumatoid terkait dengan kehilangan massa tulang dan fraktur osteoporosis. Kehilangan massa tulang pada penyakit ini disebabkan oleh proses inflamasi dan autoimunitas. Penelitian ini bertujuan menilai kaitan antara autoimuntas dan kehilangan massa tulang pada pasien yang telah mencapai remisi dan low-disease activity dengan pemberian conventional synthetic Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs.
Metode.Penelitian ini diikuti oleh 38 pasien dengan usia rerata 40 ± 7,6 yangtelah mencapai remisi dan low-disease activitydi RS Cipto Mangunkusumo pada bulan Agustus hingga September 2019. Data pasien yang dikumpulkan berupa data demografis, skor aktivitas penyakit 28 (DAS-28), dan riwayat pengobatan. Semua subjek menjalani pemeriksaan darah untuk menilai kadar Anti Citrullinated Protein Antibodies (ACPA) yang diwakili oleh Anti-Mutated Citrullinated Vimentin(Anti-MCV), C-Terminal cross-linking telopeptide of type I collagen(CTX-1), N-Terminal Propeptide of Type 1 Procollagen(P1NP).
Hasil.Sebagian besar subjek merupakan wanita dengan median lama sakit selama 36 bulan. Pada subjek penelitian ditemukan 26 pasien (68,4%) dengan ACPA positif. Korelasi antara kadar ACPA dengan kadar CTX-1 ditemukan koefisien r 0,101 (p: 0,279). Korelasi antara kadar ACPA dan P1NP ditemukan koefisien r -0,449 (p: 0,001).
Simpulan. Tidak ditemukan korealasi antara kadar ACPA dengan kadar CTX-1 dan ditemukan korelasi negatif lemah yang bermakna secara statistik anatra kadar ACPA dan P1NP pada pasien Artritis Reumatoid yang telah mencapai remisi dan Low-Disease Activity dengan penggunaan conventional synthetic disease modifying anti-rheumatic drugs. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, Juniara Salomo
"Latar Belakang: Gangguan ginjal akut sering terjadi pada penderita sirosis hati dan berhubungan dengan meningkatnya mortalitas. Model prediksi terjadinya gangguan ginjal akut yang dapat dihitung saat masuk perawatan diharapkan dapat mnemukan pasien yang memiliki resiko dehingga dapat dilakukan upaya mencegah terjadinya gangguan ginjal akut.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perdarahan saluran cerna, riwayat parasintesis besar, skor MELD, sepsis, peritonitis bakterial spontan, kadar albumin serum, kadar hemoglobin dan rasio netrofil terhadap limfosit dengan terjadinya gangguan ginjal akut pada pasien sirosis hati dan membuat suatu model prediksi terjadinya gangguan ginjal akut pada pasien sirosis hati.
Metode: : Analisis data dilakukan terhadap 209 pasien sirosis hari yang dirawat inap di RSUPN Cipto Mangunkusumo dari tanggal 1 January 2019 hingga 31 December 2019. Gangguan ginjal akut didefenisikan dengan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL dalam 48 perawatan.
Hasil: Terdapat 45 pasien (21,5%) mengalami gangguan ginjal akut.. rasio netrofil terhadap limfosit (p<0.001), skor MELD (p<0.001) and kadar albumin serum (p<0.001) berhubungan dengan terjadinya gangguan ginjal akut. Rasio netrofil limfosi lebih dari 8 (nilai prediksi 2), kadar bilirubin total serum lebih dari 1,9 (nilai prediksi 2) dan kadar albumin serum kurang dari 3(nilai prediksi 1) merupakan nilai batas untuk prediksi. Skor prediksi ≥4 dapat menjadi prediktor terjadinya gangguan ginjal akut pada pasien sirosis hati dengan sensitifitas 97,3%.
Simpulan: Rasio netrofil terhadap limfosit, skor MELD, kadar albumin serum berhubungan dengan terjadinya gangguan ginjal akut pada penderita sirosis hati yang dirawat inap.Suatu sistem skor dengan menggunakan rasio netrofil terhadap limfosit, kadar bilirubin total serum dan kadar albumin serum merupakan prediktor yang dapat digunakan untuk prediksi terjadinya gangguan ginjal akut ini.

Background : Development of acute kidney injury (AKI) is common and is associated with poor outcomes. A risk prediction score combining values easily measured at admission could be valuable to stratify patients for prevention, monitoring and early intervention, ultimately improving patient care and outcomes.
Objective: This study aimed to determine association of gastrointestinal bleeding history, large paracentesis history, MELD score, sepsis, spontaneous bacterial peritonitis, serum albumin level, hemoglobin level and netrophyl lymphocyte ratio for development of acute kidney injury in cirrhosis patients and to know the prediction score for the development of AKI in hospitalized cirrhosis patients
Methods: A cross-examined the data from a retrospective analysis of 209 patients with cirrhosis admitted to the Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2019 to December 2019. AKI was defined as an increase in serum creatinine ≥0.3 mg/dL within 48 hours from baseline. A receiver operating characteristic (ROC) curve was produced to assess the discriminative ability of the variables. Cutoff values were defined as those with highest validity. The final AKI risk score model was assessed using the ROC curve.
Results: A total of 45 patients (21,5%) developed AKI. Higher NLR (p<0.001), Model of End-stage Liver Disease (MELD) (p<0.001) and lower serum albumin level (p<0.001) were independently associated with AKI. Finding the prediction score of acute kidney injury, cut off values with the highest validity for predicting AKI were determined and defined as 8 for the neutrophil lymphocyte ratio, 1,9 for total bilirubine serum and 3 for serum albumin level. The risk score was created allowing 2 points if the netrophyl lymphocyte ratio is higher than 8, 2 point if the serum total bilirubine is higher than 1,9 and 1 point if the serum albumin is lower than 3. The AUROC curve of the risk prediction score for AKI was 0.842. A risk score of ≥4 points predicts AKI in cirrhotic patients with a sensitivity of 97,3%.
Conclusions: The netrophyl lymphocyte ratio, MELD score and albumin level are associated with the development of AKI in hospitalized cirrhosis patients. A score combining netrophyl lymphocyte ratio, serum bilirubin and albumin level demonstrated a strong discriminative ability to predict AKI in hospitalized cirrhotic patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Englando Alan Adesta
"Latar Belakang. Penyembuhan luka kaki diabetik (LKD) memerlukan waktu yang lama sehingga risiko infeksi, amputasi, dan kematian menjadi lebih tinggi. Salah satu parameter untuk menilai penyembuhan luka adalah pertumbuhan jaringan granulasi. Kadar Vitamin D diketahui terkait dengan risiko terjadinya LKD, infeksi, dan penyembuhan luka. Namun sampai saat ini masih belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan jaringan granulasi LKD.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecnepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.
Metode. Penelitian ini menggunakan bahan tersimpan berupa serum dan dokumentasi foto LKD dari penelitian sebelumnya. Analisis kadar 25(OH)D pada sampel serum darah awal perawatan menggunakan metode Elisa. Sedangkan analisis kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil foto LKD pasien pada visit ke-4 dengan menggunakan program ImageJ.
Hasil. Dari 52 sampel yang dianalisis, kadar 25(OH)D pada awal perawatan menunjukan nilai median = 8.8 ng/mL. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak didapatkan hubungan antara kadar vitamin D dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi (p=0.815).
Kesimpulan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.

Background. Wound in diabetic foot ulcer need a long time to heal which increase risk of infection, amputataion and mortality. One of the criteria in wound healing is growth of granulation tissue. Vitamin D level is known to be related to increase incidence of diabetic foot ulcer, infection, and wound healing. But until now, the effect of vitamin D to the growth of granulation tissue is not clear.
Objective. To know the Association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
Methods. This research uses stored sample in form of serum and footage documentation. It is the initial blood sample from 52 patients with DFU before starting treatment. Vitamin D is calculated with 25 (OH) D level by using ELISA. Analysis of growth in granulation tissue is counted by comparing the footage documentation at initial treatment to the 21st day of treatment with the help of ImageJ software.
Result. From 52 analysed sample, vitamin D level at initial presentation showed a median value of 8.8 ng/mL. The result of the analysis showed that there was no statistically significant association between vitamin D level with the granulation growth rate of diabetic foot ulcer (p=0,815).
Conclusion. There is no significant association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>