Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azkia Rahmah
"Pendahuluan: Pasien gawat darurat dengan kategori triase kuning (urgent) harus mendapatkan terapi dalam 30 menit. Waktu sejak kedatangan pasien hingga mendapatkan terapi disebut sebagai waktu tanggap pelayanan dokter. Pencapaian waktu tanggap pelayanan dokter dalam 30 menit untuk pasien dengan kategori triase kuning di IGD-RSCM belum mencapai 100%.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tercapainya waktu tanggap pelayanan dokter dalam 30 menit pada pasien non-trauma bertriase kuning di IGD-RSCM; pola kedatangan, kondisi kepadatan IGD, tercukupinya jumlah kebutuhan staf, ketepatan triase, waktu ketersediaan terapi dan adanya rujukan yang terkonfirmasi (SPGDT).
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong-lintang, menggunakan data retrospektif, dan melibatkan 105 subyek dengan triase tepat (kuning-kuning) dan 3 subyek dengan triase tidak tepat (hijau-kuning). Analisis bivariat antara hubungan ketepatan triase dengan waktu tanggap pelayanan dokter menggunaka seluruh subyek (108 subyek), sedangkan analisis bivariat lainnya menggunakan hanya subyek dengan triase tepat (105 subyek).
Hasil: Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kedatangan pasien di sore hari (p=0,032, PR=2,514; 95% CI: 1,128-5,603), tercukupinya jumlah kebutuhan EMO (p=0,021; PR=2,489; 95% CI: 1,230-5,035), dan waktu ketersediaan terapi (p<0,001) terhadap waktu tanggap pelayanan dokter. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kedatangan pasien di pagi dan malam hari (p=0,165, PR=0,459, 95% CI: 0,170-1,244 dan p=0,391, PR=0,566, 95% CI: 0,185-1,732, secara berurutan), kondisi kepadatan IGD (p=0,852; PR=1,172; 95% CI: 0,567-2,424), jumlah perawat (p=0,274; PR=0,480; 95% CI: 0,155-1,482), tercukupinya jumlah kebutuhan pemandu (p=0,094; PR=0,499; 95% CI: 0,244-1,018), ketepatan triase (p=0,484), dan adanya rujukan yang terkonfirmasi (SPGDT (p=0,524; PR=1,561; 95% CI: 0,302-8,067) terhadap waktu tanggap pelayanan dokter.
Kesimpulan: Kedatangan pasien di sore hari, tercukupinya jumlah EMO, dan waktu ketersediaan terapi berhubungan dengan tercapainya waktu tanggap pelayanan dokter dalam 30 menit. Hasil penelitian dan model yang disarankan dalam penelitian ini dapat digunakan oleh IGD-RSCM untuk mengembangkan pendekatan untuk perbaikan pencapaian waktu tanggap pelayanan dokter dalam 30 detik.

Introduction: Emergency departments (EDs) are facing challenges in providing high quality and timely patient care, so is Cipto Mangunkusumo Hospital ED.1 Every urgent patient coming to ED has to be assessed and treated within thirty minutes.2,3 Cipto Mangunkusumo Hospital ED has not optimally reached the standard time to initial treatment for its urgent patients.
Study objective: This study evaluates whether various factors are associated with time to initial treatment.
Method: This study uses retrospective cross-sectional study design, and includes 108 subjects.
Results: This study uses bivariate analyses and shows that there are associations between patients arrivals in the evening shift p=0,032, PR=2,514), adequacy of the number of physicians needed (p=0,021; PR=2,489), and medication turnaround time (p=0,021; PR=2,489) to the achievement of thirty-minute time to initial treatment. This study also shows that there are no associations between patients arrivals in the morning and night shifts, ED overcrowding conditions, number of nurses, adequacy of the number of porters needed, accuracy of triage, and presence of pre-hospital calls to the achievement of thirty-minute time to initial treatment.
Conclusion: Patients arrivals in the evening shift, adequacy of the number of physicians needed, and medication turnaround.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.A.N. jaya Kusuma
"Penelitian ini dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap lamanya waktu pelayanan gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar tahun 2012, dimana kondisi ini mempunyai potensi untuk terjadinya kejadian yang terjadi kejadian yang tidak diharapkan dan menurunkan kepuasan pasien.
Penelitian dilakukan dengan rancangan kuantitatif dan kualitatif. Dilakukan observasi terhadap 450 pasien dalam kurun waktu 14 Januari sampai 19 Januari 2013 dengan pendekatan Constraint Lean Six sigma dicari penyebab, hambatan, pemborosan serta defek pada proses pelayanan pasien gawat darurat.
Median waktu pelayanan gawat darurat sebesar 219 menit, penyebab lamanya waktu pelayanan oleh karena itu belum ada panduan praktek klinik kegawatdaruratan, hambatan pada pelayan radiologi, pemborosan terjadi pada waktu tunggu antara penegakkan diagnosis ke tindakan dan antara tindakan ke keputusan untuk keluar dari Instalasi Gawat Darurat. Level kualitas sigma sebesar 2,9 sigma dengan defek sebesar 86.762 DPMO.
Diperlukan panduan praktek klinik untuk memandu proses pelayanan gawat darurat agar menjadi efektif, efisien dan aman untuk pasien dan proses bisnis rumah sakit.

This research based on issues regarding the time of emergency service at emergency Instalation Sanglah Hospital was too long in 20012, since that situation had increased the adverse event and decreasing patient satisfaction.
Quantitative and qualitative design was performed by doing observation of 450 emergency patient beginning from 14th until 19th January using Contstraint Lean Six Sigma approach to identify causes, constraints, wastes and defects in service process.
The median value of emergency service time was 219 minute due to the absence of clinical practice guideline. The constraint was at radiology examination, wasting time due to delay of waiting time from diagnosis to procedure and from procedure to discharge dispotition. Sigma Quality level for Emergency Service at 2,9 Sigma with defects Possibility was 86.762 DPMO.
This study suggest that clinical practice guidelines is needed to guidance emergency service process in effort to become more effective, efficient, safe for the the patient and hospital business process.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Hafni
"ABSTRAK
Latar belakang. Target Control Infusion (TCI) yang digunakan untuk propofol
saat ini adalah Marsh dan Schneider. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbandingan efisiensi propofol antara aplikasi TCI rumusan Marsh dan rumusan
Schneider pada pasien ras Melayu di RSCM. Efisiensi propofol dinilai dari total
dosis propofol yang digunakan, lama waktu sampai tercapainya LoC (Loss of
Conciousness) dan efek samping yang terjadi.
Metode. Subyek sebanyak 54 pasien, dirandomisasi menjadi 2 kelompok, 27
pasien menggunakan TCI rumusan Marsh dan 27 pasien menggunakan TCI
rumusan Schneider. Target konsentrasi plasma (Cp) 4,2μg/ml unruk rumusan
Marsh dan 6μg/ml untuk Schneider. dinilai kesadaran subyek, bila Cp awal telah
tercapai selama 1 menit namun pasien masih sadar, target Cp dinaikkan 0,5μg/ml
tiap 30 menit sampai tercapai loss of consciousness (LoC).
Hasil. Total dosis propofol yang digunakan sampai tercapainya LoC dengan TCI
rumusan Marsh 1,50±0,34 mg/kg dan yang menggunakan TCI rumusan Schneider
1,74±0,29 mg/kg. Lama waktu yang diperlukan sampai tercapainya LoC dengan
rumusan Marsh 104,58±28,00 detik dan dengan rumusan Schneider 173,48±28,94
detik. Pasien yang menggunakan TCI rumusan Marsh mengunakan total dosis
yang lebih sedikit dengan p<0,05 dan waktu yang lebih singkat sampai
tercapainya LoC dengan p<0,05. Tidak ditemukan adanya perbedaan efek
samping antara kedua aplikasi tersebut.
Kesimpulan. Tidak ada aplikasi TCI yang lebih efisien antara Marsh dan
Schneider.

ABSTRACT
Background. Target Control Infusion (TCI) were used for the current propofol is
Marsh and Schneider. This study compare the efficiency propofol using Marsh
and Schneider TCI application for Malay race patients in RSCM. Efficiency of
propofol assessed total propofol dose used, the length of time to reach the LoC
(Loss of Conciousness) and the side effects that occur.
Methods. The subject are 54 patients, randomized into 2 groups, 27 patients using
the TCI Marsh formulation and 27 patients using the TCI Schneider formulation.
Target plasma concentrations (Cp) 4.2 mg / ml for Marsh group and 6μg/ml for
Schneider group then we assessed the patient’s awareness. If initial Cp had been
achieved for 1 minute but the patient is still conscious, target Cp was increased
0.5 ug / ml every 30 minutes until the patients was unconscious (LoC).
Results. Total dose of propofol had been used to achieve LoC in Marsh group
was 1.50 ± 0.34 mg / kg, and for Schneider group was 1.74 ± 0.29 mg / kg. The
length of time needs to reach the LoC in Marsh group was 104.58 ± 28.00 seconds
and Schneider group was 173.48 ± 28.94 seconds. Patients in Marsh group used
less total dose and had shorter time to reach the LoC than in Schneider group (p
<0.05). There are no differences in side effects between the two groups.
Conclusion. No applications of TCI are more efficient between Marsh and
Schneider."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Meison Hardi
"Latar Belakang: Pemasangan Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) merupakan prosedur invasif terbanyak yang dilakukan di rumah sakit dan merupakan prosedur yang paling sering menyebabkan rasa nyeri pada pasien. Prosedur yang berkaitan dengan jarum akan menyebabkan kecemasan, rasa takut dan trauma pada pasien, baik pasien anak maupun dewasa. EMLA merupakan campuran antara krim lidokain dan prilokain yang dicampurkan dengan perbandingan 1:1 (2.5% : 2.5%), akan menghasilkan campuran eutektik. Banyak penelitian klinis yang menyatakan bahwa EMLA memiliki efek analgesia pada prosedur pungsi vena dan pemasangan PIVC baik pada pasien anak maupun dewasa. VAD dikembangkan berdasarkan teori gate-control of pain yang bekerja dengan cara menimbulkan sensasi getar pada kulit yang akan menurunkan atau menghilangkan transmisi nyeri ke otak.
Metode: Penelitian ini adalah uji eksperimental tidak tersamar pada pasien yang akan direncanakan menjalani pembedahan mata di kamar operasi Kirana RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo selama bulan September – Oktober 2018. Sebanyak 56 subjek diambil dengan metod consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok. Pasien secara acak dilakukan pemasangan PIVC dengan bantuan Vibration Anesthesia Device (VAD) atau dengan krim campuran eutektik (EMLA). Keefektifan akan dinilai dari skala nyeri visual analog scale (VAS) nyeri dan perbedaan frekuensi nadi sebelum dan sesudah dilakukan tindakan. Analisis data dilakukan dengan uji T dan Mann Whitney.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam skala VAS yang dilaporkan oleh subjek dari kelompok VAD 13.65 (10.25 -18.17) dan EMLA 12.57 (8.97 – 17.61) dengan nilai p=0.706. Perubahan frekuensi nadi antara kedua kelompok juga menunjukkan adanya perbedaan yang tidak signifikan (p=0,557). Namun, didapatkan peningkatan frekuensi nadi yang lebih tinggi pada kelompok VAD 2 (-3 – 19 ) dibandingkan kelompok EMLA 2 (-3 – 16 ).
Simpulan: VAD sama efektif dibandingkan dengan EMLA dalam mengurangi nyeri pada pemasangan Peripheral Intravenous Catheter (PIVC)

Background: Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) is the most invasive procedure carried out in a hospital and is the procedure that most often causes pain in patients. Needle-related procedures will cause anxiety, fear and trauma in patients, both pediatric and adult patients. EMLA is a mixture of lidocaine cream and prilocaine mixed with a ratio of 1: 1 (2.5%: 2.5%), which will produce an eutectic mixture. Many clinical studies have stated that EMLA has analgesic effects on venous puncture procedures and the insertion of PIVC in both pediatric and adult patients. VAD was developed based on the gate-control of pain theory that works by causing a vibrating sensation on the skin which will reduce or eliminate pain transmission to the brain.
Methods: This is an experimental study that is not disguised in patients who are planned to undergo eye surgery in the Kirana operating room, Dr. Cipto Mangunkusumo hospital during September - October 2018. A total of 56 subjects were taken by consecutive sampling method and divided into 2 groups. Patients were randomly assigned to PIVC insertion with Vibration Anesthesia Device (VAD) or with eutectic mixed cream (EMLA). Effectiveness will be assessed from pain visual analog scale (VAS) and heart rate frequency differences before and after insertion. Data analysis was performed by T-Test and Mann Whitney test.
Results: There were no significant differences in the VAS scale reported by subjects from the VAD group 13.65 (10.25 -18.17) mm and EMLA group 12.57 (8.97 - 17.61) mm with p = 0.706. Changes in pulse frequency between the two groups also showed no significant differences (p = 0.557). However, there was a higher increase in pulse frequency in the VAD 2 group (-3 - 19) compared to the EMLA 2 group (-3 - 16).
Conclusion: VAD is equally effective compared to EMLA in reducing pain in Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) insertion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Meison Hardi
"Latar Belakang: Pemasangan Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) merupakan prosedur invasif terbanyak yang dilakukan di rumah sakit dan merupakan prosedur yang paling sering menyebabkan rasa nyeri pada pasien. Prosedur yang berkaitan dengan jarum akan menyebabkan kecemasan, rasa takut dan trauma pada pasien, baik pasien anak maupun dewasa. EMLA merupakan campuran antara krim lidokain dan prilokain yang dicampurkan dengan perbandingan 1:1 (2.5% : 2.5%), akan menghasilkan campuran eutektik. Banyak penelitian klinis yang menyatakan bahwa EMLA memiliki efek analgesia pada prosedur pungsi vena dan pemasangan PIVC baik pada pasien anak maupun dewasa. VAD dikembangkan berdasarkan teori gate-control of pain yang bekerja dengan cara menimbulkan sensasi getar pada kulit yang akan menurunkan atau menghilangkan transmisi nyeri ke otak.
Metode: Penelitian ini adalah uji eksperimental tidak tersamar pada pasien yang akan direncanakan menjalani pembedahan mata di kamar operasi Kirana RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo selama bulan September-Oktober 2018. Sebanyak 56 subjek diambil dengan metod consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok. Pasien secara acak dilakukan pemasangan PIVC dengan bantuan Vibration Anesthesia Device (VAD) atau dengan krim campuran eutektik (EMLA). Keefektifan akan dinilai dari skala nyeri visual analog scale (VAS) nyeri dan perbedaan frekuensi nadi sebelum dan sesudah dilakukan tindakan. Analisis data dilakukan dengan uji T dan Mann Whitney.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam skala VAS yang dilaporkan oleh subjek dari kelompok VAD 13.65 (10.25-18.17) dan EMLA 12.57 (8.97-17.61) dengan nilai p=0.706. Perubahan frekuensi nadi antara kedua kelompok juga menunjukkan adanya perbedaan yang tidak signifikan (p=0,557). Namun, didapatkan peningkatan frekuensi nadi yang lebih tinggi pada kelompok VAD 2 (-3 -19 ) dibandingkan kelompok EMLA 2 (-3 -16 ).
Simpulan: VAD sama efektif dibandingkan dengan EMLA dalam mengurangi nyeri pada pemasangan Peripheral Intravenous Catheter (PIVC)

Background: Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) is the most invasive procedure carried out in a hospital and is the procedure that most often causes pain in patients. Needle-related procedures will cause anxiety, fear and trauma in patients, both pediatric and adult patients. EMLA is a mixture of lidocaine cream and prilocaine mixed with a ratio of 1: 1 (2.5%: 2.5%), which will produce an eutectic mixture. Many clinical studies have stated that EMLA has analgesic effects on venous puncture procedures and the insertion of PIVC in both pediatric and adult patients. VAD was developed based on the gate-control of pain theory that works by causing a vibrating sensation on the skin which will reduce or eliminate pain transmission to the brain.
Methods: This is an experimental study that is not disguised in patients who are planned to undergo eye surgery in the Kirana operating room, Dr. Cipto Mangunkusumo hospital during September-October 2018. A total of 56 subjects were taken by consecutive sampling method and divided into 2 groups. Patients were randomly assigned to PIVC insertion with Vibration Anesthesia Device (VAD) or with eutectic mixed cream (EMLA). Effectiveness will be assessed from pain visual analog scale (VAS) and heart rate frequency differences before and after insertion. Data analysis was performed by T-Test and Mann Whitney test.
Results: There were no significant differences in the VAS scale reported by subjects from the VAD group 13.65 (10.25 -18.17) mm and EMLA group 12.57 (8.97-17.61) mm with p = 0.706. Changes in pulse frequency between the two groups also showed no significant differences (p = 0.557). However, there was a higher increase in pulse frequency in the VAD 2 group (-3 -19) compared to the EMLA 2 group (-3 -16).
Conclusion: VAD is equally effective compared to EMLA in reducing pain in Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) insertion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harris Putra Reza
"Latar Belakang: Mobilisasi dini merupakan faktor penting dalam meningkatkan luaran pascaoperasi kolorektal. Terdapat empat komponen dalam protokol ERAS untuk operasi kolorektal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang dipegang penuh Anestesi yang diharapkan menunjang keberhasilan mobilisasi dini, yaitu pemberian profilaks Post Operative Nausea and Vomiting (PONV), multimodal analgesia intraoperasi, manajemen cairan intraoperasi dan manajemen nyeri pascaoperasi tanpa opioid. Meskipun keberhasilan mobilisasi dini dipengaruhi oleh nyeri, mual muntah, dan manajemen cairan intraoperasi, namun hingga saat ini belum jelas seberapa besar bobot setiap komponen anestesi ini terhadap keberhasilan mobilisasi dini.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospekstif dengan pengambilan data sekunder pasien yang menjalani operasi kolorektal elektif di RSCM dari Januari 2020 hingga Desember 2022. Luaran yang dinilai adalah angka mobilisasi dini pascaoperasi dan faktor-faktor yang memengaruhinya (profilaksis PONV, multimodal analgesia, manajemen cairan, dan manajemen nyeri pascaoperasi tanpa opioid).
Hasil: Total pasien yang terjadwal menjalani operasi kolorektal elektif di RSCM antara tahun 2020 hingga 2022 adalah 595 pasien dengan pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 343 pasien. Keberhasilan mobilisasi dini sebesar 39.7%. Manajemen cairan intraoperasi [RR 12.353, (95% CI 3.131-46.745), p < 0,001] dan manajemen nyeri pascaoperasi tanpa opioid [RR 3.647, (95% CI 1.444-108.764), p 0.029] merupakan faktor independen dalam keberhasilan mobilisasi dini.
Simpulan: Faktor-faktor yang memengaruhi mobilisasi dini pascaoperasi kolorektal adalah manajemen cairan intraoperasi dan manajemen nyeri pascaoperasi tanpa opioid. Pemberian profilaksis PONV dan multimodal analgesia intraoperasi tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap mobilisasi dini.

Background: Early mobilization is an important factor in increasing colorectal postoperative outcome. There are four components held by anesthesiologist in ERAS protokol for colorectal surgery in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) those are PONV prophylaxis, intraoperative fluid management, intraoperative analgesia multimodal, and opioid free postoperative pain management. Although early mobilization affected by postoperative pain, vomiting and nausea, and fluid balance therapy, nonetheless there is no clear evidence of how much each of these components will affect early mobilization.
Methods: This study is a retrospective cohort study by collecting secondary data from patients underwent elective colorectal surgery at RSCM from January 2020 to December 2022. The outcomes assessed were early mobilization rate and factors affecting it (PONV prophylaxis, intraoperative fluid management, intraoperative analgesia multimodal, and opioid free postoperative pain management).
Results: The total number of patients underwent elective colorectal surgery at RSCM during 2020 to 2022 was 595 patients and 343 patients fulfilled inclusion and exclusion criteria of this study. Early mobilization rate is 39.7%. Intraoperative fluid management [RR 12.353, (95% CI 3.131-46.745), p < 0,001] and opioid free postoperative pain management [RR 3.647, (95% CI 1.444-108.764), p 0.029] are independent factors affecting early mobilization.
Conclusion: Factors affecting colorectal postoperative early mobilization are intraoperative fluid management and opioid free postoperative pain management. PONV prophylaxis and intraoperative analgesia multimodal do not have significant effect on early mobilization
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Richo Rudiyanto
"Latar Belakang: Mortalitas pasien UPI lebih tinggi dari pasien rawat lainnya. Instrumen prediktor mortalitas pada pasien UPI dapat membantu untuk melakukan stratifikasi risiko dan pengambilan keputusan klinis dalam tatalaksana pasien. Skor LODS merupakan salah satu instrumen yang terbukti memiliki keunggulan dibandingkan intrumen prediktor yang saat ini digunakan di UPI RSCM. Meskipun demikian, komponen skor LODS membutuhkan pemeriksaan yang tidak murah sehingga sulit diaplikasikan terutama pada pasien tanpa jaminan kesehatan. Bersihan laktat merupakan alternatif yang lebih murah dan ditemukan memiliki kemampuan prediktor mortalitas yang baik pada penelitian sebelumnya.
Tujuan: Mengetahui perbandingan kemampuan prediktor bersihan laktat dengan skor LODS terhadap mortalitas pasien dalam 30 hari pasien yang dirawat di UPI RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien UPI RSCM yang dirawat pada rentang Agustus 2015 – April 2018. Data yang di ambil berupa karakteristik, skor LODS hari pertama, laktat inisial, laktat 6-24 jam serta terjadi atau tidaknya mortalitas dalam 30 hari. Hubungan antara skor LODS dengan mortalitas dianalisis dengan regresi logistik sederhana, sementara hubungan antara bersihan laktat dan mortalitas dinilai dengan uji chi square. Kemampuan diskriminasi keduanya dinilai dengan analisis kurva ROC sementara kemampuan kalibrasi dinilai dengan uji goodness of fit Hosmer-Lemeshow. Kemampuan diagnostik dinilai dengan menghitung sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV, LR positif, serta LR negatif. Kemampuan diskriminasi, kalibrasi, serta diagnostik diantara skor LODS dan bersihan laktat kemudian dibandingkan.
Hasil: Dari 388 subjek yang dianalisis, didapatkan bersihan laktat memiliki diskriminasi lemah (AUC 0,597), kalibrasi lemah (Uji Hosmer-Lemeshow p<0,001), sensitivitas 65% (IK95% 48,3% - 79,3%), spesifisitas 54,3% (IK95% 48,9% - 59,6%), PPV 14,1% (IK95% 11,2% - 17,4%), NPV 93,1% (IK95% 89,7% - 95,4%), LR positif 1,420 (IK95% 1,10 – 1,84), dan LR negatif 0,640 (IK95% 0,42 – 0,99), dalam memprediksi mortalitas pasien dalam 30 hari di UPI RSCM. Sementara Skor LODS memiliki diskriminasi baik (AUC 0,79), kalibrasi baik (Uji Hosmer-Lemeshow p=0,818), sensitivitas 77,5% (IK95% 64,6% - 90,4%), spesifisitas 63,8% (IK95% 58,8% - 68,8%), PPV 19,7% (IK95% 13,4% - 25,9%), NPV 96,1% (IK95% 93,6% - 98,6%), LR positif 2,140 (IK95% 1,72 – 2,66), dan LR negatif 0,353 (IK95% 0,20 – 0,63), dalam memprediksi mortalitas pasien dalam 30 hari di UPI RSCM.
Kesimpulan: Performa bersihan laktat dari segi kemampuan diskriminasi, kalibrasi, atau diagnostik tidak lebih baik dari skor LODS dalam memprediksi mortalitas pasien dalam 30 hari di UPI RSCM.

Backgrounds: The mortality rate of ICU patients is higher than other inpatients. The mortality predicting tools of ICU patients can help a physician stratify the risk and make the clinical decision in patient management. The LODS score is one of the tools that has been proven better than predictor instruments currently used at RSCM ICU. However, the component of the LODS score requires an expensive examination, so it is difficult to apply, especially to patients without health insurance. Lactate clearance is a cheaper alternative and was found to have a good predictive ability of mortality in previous studies.
Objective: This study aimed to compare the predictor ability of LODS scores with lactate clearance on 30-days-patient-mortality treated at RSCM ICU.
Method: This was a cohort retrospective study using the medical records of RSCM ICU patients who were treated between August 2015 – April 2018. The data were demographic characteristics, first-day LODS score, initial lactate, lactate in 6-24 hours, and 30-days-patient-mortality. The relationship between LODS scores and mortality was analyzed with simple logistic regression, while the chi-square test assessed the relationship between lactate clearance and mortality. Discrimination ability was assessed by ROC curve analysis, while the Hosmer-Lemeshow goodness of fit test assessed calibration ability. Diagnostic ability was assessed by calculating sensitivity, specificity, PPV, NPV, positive LR, and negative LR. Discrimination, calibration, and diagnostic capabilities between LODS scores and lactate clearance were then compared between groups.
Results: From 388 subjects analyzed, lactate clearance was found to have weak discrimination (AUC 0.597), weak calibration (Hosmer-Lemeshow test p<0.001), sensitivity 65% ​​(CI 95% 48.3% – 79.3%), specificity 54 ,3% (95% CI 48.9% – 59.6%), PPV 14.1% (95% CI 11.2% – 17.4%), NPV 93.1% (95% CI 89.7% – 95 0.4%), positive LR 1.420 (95% CI 1.10 – 1.84), and negative LR 0.640 (95% CI 0.42 – 0.99), in predicting patient mortality within 30 days at RSCM ICU. Meanwhile, the LODS score had good discrimination (AUC 0.79), good calibration (Hosmer-Lemeshow test p=0.818), sensitivity 77.5% (95% CI 64.6% – 90.4%), specificity 63.8% (95% CI 58.8% – 68.8%), PPV 19.7% (95% CI 13.4% – 25.9%), NPV 96.1% (95% CI 93.6% – 98.6%), positive LR 2.140 (95% CI 1.72 – 2.66), and negative LR 0.353 (95% CI 0.20 – 0.63), in predicting patient mortality within 30 days at RSCM ICU.
Conclusion: Lactate clearance performance in terms of discriminatory ability, calibration, or diagnostic performance was not better than the LODS score in predicting patient mortality within 30 days at RSCM ICU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Irawan
"Latar belakang. Ukuran sungkup laring yang tidak sesuai menyebabkan ventilasi yang tidak efektif dan komplikasi seperti peradangan sampai kerusakan pada saraf sehingga diperlukan metode untuk menentukan ukuran yang sesuai.
Metode. Penelitian merupakan uji klinis acak tersamar tunggal dengan concealment dan 130 subjek dibagi menjadi 2 kelompok (berat badan dan lebar lidah). Lebar lidah dinilai dengan subjek menjulurkan lidah namun tidak ditegangkan lalu lebar lidah disesuaikan dengan penggaris papan segi empat yang dibuat sesuai dengan ukuran sungkup laring dengan inflasi minimal no. 2,5 sampai 5. Keefektifan pemasangan sungkup laring dinilai bila semua kriteria terpenuhi yaitu: 1) tekanan kebocoran orofaringeal/seal pressure ≥20 cmH2O, 2) tekanan maksimal inspirasi (Ppeakinsp) ≤20 cmH2O, 3) tidak terlihat sebagian kaf dalam rongga oral dan 4) perbedaan tidal volume inspirasi dan ekspirasi <5%  tercapai.
Hasil. Secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara dua kelompok untuk masing-masing komponen penilaian keefektifan pemasangan sungkup laring kecuali untuk variabel OLP (p <0,05). Terdapat lebih banyak komplikasi berupa noda darah dan nyeri tenggorok pada kelompok BB dibanding kelompok LL dengan tingkat keberhasilan dan waktu lebih cepat pada pemasangan sungkup laring di kelompok BB dibandingkan kelompok LL.
Simpulan. Penentuan ukuran sungkup laring pada ras Melayu menggunakan metode lebar lidah tidak lebih efektif dengan metode berat badan namun kejadian komplikasi lebih rendah.

Background. Unsuitable laryngeal mask size selection causes ineffective ventilation and complications such as inflammation until neuropraxia, thus method to determine optimal size selection is needed.
Methods. This was a randomized single blinded clinical study with concealment and 130 subjects were divided into 2 groups (body weight and tongue width). Subjects were asked to open their mouth and protrude the tongue in the relaxed manner and corresponded to rulers that were made from the width of laryngeal mask minimally inflated from size 2,5 to 5. The effectiveness of laryngeal mask insertion if all of the four criteria were met ie.1) oropharyngeal leak pressure/seal pressure ≥20 cmH2O, 2) peak inspiratory pressure (Ppeakinsp) ≤20 cmH2O, 3) no presence of cuff in the mouth and 4) difference between inspiratory (VTi) and expiratory tidal volume (VTe) <5%.
Results. All parameters were not statistically significant except the OLP (P <0,05). Meanwhile, subjects in BB group manifest more complications in the laryngeal mask than the LL group with faster speed and higher chance of <2x successful insertion than the LL group.
Conclusion. Laryngeal mask insertion among Malay race using size selected based on tongue width was not more effective than based on body weight."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririn Triyani
"ABSTRAK
Pendahuluan. RJP merupakan usaha paling mendasar untuk menyelamatkan nyawa dari henti jantung. Selain mampu melakukan RJP kualitas tinggi, seorang dokter juga dituntut untuk mampu mengidentifikasi dan melakukan koreksi jika anggota tim tidak melakukan RJP dengan benar. Metode pembelajaran Self Deliberate Practice (SDP) dan Directed Learning(DL)umum digunakan pada pendidikan dokter di Indonesia, khususnya di FKUI. Fokus penelitian ini adalah analisis perbandingan kedua metode pembelajaran tersebut berdasarkan kemampuan mahasiswa dalam memahami dan melakukan RJP kualitas tinggi, mengidentifikasi dan mengoreksi kesalahan dalam tindakan RJP, sekaligus menilai kualitas kepemimpinan mahasiswa.
Metode. Sebanyak 40 mahasiswa sampel dari FKUI diberikan pelatihan dan praktek bantuan hidup dasar. Selanjutnya, sampel dibagi secara acak dan tersamar menjadi kelompok treatment dan control untuk menjalani dua metode pembelajaran berbeda selama tiga bulan. Empat alat ukur digunakan untuk menilai hasil pembelajaran: kemampuan koreksi RJP; pengetahuan; keterampilan melakukan RJP kualitas tinggi; dan kualitas kepemimpinan. Uji perbandingan rerata terhadap dua kelompok tidak berpasangan menggunakan uji t-test independen dan uji Mann-Whitney. Hasil. Tidak ada perbedaan rerata yang signifikan secara statistik pada semua alat ukur yang digunakan. Perbandingan rerata nilai setelah retensi adalah: kemampuan koreksi RJP p = 0.576; pengetahuan p = 0.778; keterampilan RJP p = 0.459; dan kepemimpinan p = 0.932. Simpulan. Metode SDP dan DL sama baiknya dalam meningkatkan kemampuan koreksi, pengetahuan, dan keterampilan RJP mahasiswa FKUI. Kedua metode tidak berpengaruh terhadap kualitas kepemimpinan mahasiswa. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik pada luaran kedua metode pembelajaran.

Introduction.CPR is the most basic effort to save lives from cardiac arrest. In addition to being able to perform a high-quality CPR, a doctor is also required to be able to identify and make corrections if a team member does not perform the CPR correctly. The Self Deliberate Practice (SDP) and Directed Learning (DL) are common learning methods used in medical education in Indonesia, especially
in FKUI. This study is a comparative analysis of the two learning methods based on students' ability to understand and perform high quality CPR, identify and correct errors in CPR, as well as assess the quality of student leadership. Methods. A total of 40 students from FKUI were taken as sample and given basic life support training. After the training, the sample were randomly and blindly
divided into a treatment and control group to undergo two different learning methods for three months of retention. Four types of measurement are used to assess learning outcomes: the ability to correct CPR; knowledge; the ability to perform high quality CPR; and leadership. Comparative analysis of four types of measurements was carried out on two unpaired groups using the independent t-test and the Mann-Whitney test. Results. There were no statistically significant mean differences in all measuring instruments used. The p value of comparison of mean after retention is: CPR correction ability p = 0.576; knowledge p = 0.778; CPR performing skills p = 0.459; and leadership p = 0.932. Conclusions. Both SDP and DL methods are equally good in improving students'
ability to perform high-quality CPR, and correcting CPR. Both methods play little role in increasing students' understanding of basic life support, and do not affect
the quality of student leadership. No statistically significant differences were found in the two outcomes of the learning method."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Okyno
"Latar belakang: Penilaian nyeri pada pasien-pasien UPI cukup sulit dikarenakan kendala komunikasi yang mereka dapatkan. Untuk penilaian pada pasien UPI digunakan skala evaluasi seperti Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT). Skala CPOT dikembangkan oleh Gellinas pada tahun 2006, dibuat dalam bahasa Prancis lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris dan sudah dinilai kesahihannya. Pemakaian skala CPOT di UPI RSCM bisa dilakukan, namun jika diterjemahkan akan mempermudah sosialisasi dan pemahaman dalam penilaian skala CPOT. Sebelum suatu alat ukur yang diterjemahkan dapat diterapkan pada populasi, harus dinilai kesahihannya terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah menilai kesahihan CPOT dalam penggunaannya menilai nyeri pada pasien dengan Skala Koma Glagow di bawah 14 di UPI RSCM.
Metode: Studi observasional, potong lintang dengan pengukuran berulang dilakukan terhadap pasien yang dirawat di UPI RSCM April ? Mei 2013. Kesahihan BPS dinilai dengan uji korelasi Spearman. Keandalan dinilai dengan Cronbach α dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC). Ketanggapan dinilai dengan Besar efek.
Hasil: Selama penelitian terkumpul 33 pasien dengan Skala Koma Glasgow di bawah 14 baik terintubasi maupun tidak di UPI RSCM. Skala CPOT memiliki kesahihan yang baik dengan nilai korelasi bermakna secara berurutan 0.145, 0.393 dan ? 0.205 untuk laju nadi, MAP dan skor Ramsay. Keandalan CPOT baik dengan ICC 0.981 (p<0.001) dan nilai Cronbach α 0.893. Ketanggapan CPOT juga baik dengan nilai Besar efek untuk penilaian pagi, siang dan malam adalah 2.11, 2.25 dan 2.33.
Kesimpulan: CPOT sahih dalam menilai nyeri untuk pasien dengan skala koma glasgow di bawah 14 di UPI RSCM.

Background: Assessment of Pain on ICU patient is difficult due to communication problems. To assess pain on ICU patient, we use behavioural scale such like Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT). The CPOT scale was developed in French language and had been translated to English with the validity being checked. Using CPOT in ICU RSCM is doable, but if the scale is translated to Indonesian language, the understanding and socialization will be much better.However this scale must be validated before it?s use in RSCM population. The aim of this study is to validate CPOT scale in its use to assess pain on patients with Glasgow Coma Scale below 14 in ICU RSCM.
Method: An Observational, cross sectional, repeated measures was done to patients hospitalized in the ICU Cipto Mangunkusumo Hospital from April to May 2013. Validation was assessed by Spearman Correlation test while reliability was analyzed using Cronbach α and intraclass correlation coefficient (ICC). Responsiveness was assessed by Effect Size
Results: A total of 33 patients with Glasgow Coma Scale below 14 either intubated or not were included in this study. The CPOT Scale has a good validation with significant correlation 0.145, 0.393 and -0.205 respectively for heart rate, MAP and Ramsay score. CPOT Scale has good reliability with ICC score 0.981 (p<0.001) and Cronbach α 0.893. Responsiveness for CPOT is also good with Effect Size on morning, afternoon and evening assessment are 2.11, 2.25 and 2.33 respectively.
Conclusion: CPOT scale is valid to assess pain on patients with Glasgow Coma Scale below 14 in ICU RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>