Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Apriliana Ratnaningrum
"LATAR BELAKANG: Di Indonesia, pembedahan koreksi bibir sumbing sering dilakukan sebagai aksi sosial di wilayah terpencil dengan sumber daya operasional alat dan obat-obatan yang terbatas. Ketamin merupakan obat yang murah dan mudah tersedia. Penelitian ini adalah untuk menilai penggunaan ketamin sebagai analgetik lokal dalam blok infraorbital dibandingkan bupivakain, untuk mengetahui apakah ketamin dapat menjadi alternatif sebagai analgetik lokal perioperatif. Yang dimaksud perioperatif dalam penelitian ini adalah periode intraoperatif dan pascaoperasi.
METODE: Penelitian ini bersifat eksperimental dengan uji klinis tersamar tunggal pada anak dengan kelainan bibir sumbing berusia 2 bulan - 5 tahun yang akan menjalani operasi koreksi bibir sumbing di RSCM pada bulan Maret sampai Juli 2014. Anak dibagi menjadi kelompok ketamin dan bupivakain menurut randomisasi blok. Tiap-tiap kelompok dilakukan anestesia umum, induksi dengan inhalasi sevoflurane dan intubasi. Selanjutnya dilakukan blok infraorbital sesuai randomisasi. Intraoperatif dicatat jumlah penggunaan analgetik tambahan. Pascaoperasi dicatat skor nyeri FLACC selama di ruang pulih serta dilakukan wawancara per-telepon untuk mengetahui durasi analgesia pascaoperasi.
HASIL: Sebanyak 36 subjek diikutsertakan dalam penelitian, 18 pada kelompok ketamin dan 18 pada kelompok bupivakain. Tidak terdapat perbedaan bermakna terhadap penambahan fentanyl intraoperatif dan skala nyeri FLACC pascaoperasi. Dengan skala nyeri FLACC di kelompok ketamin berada kategori nyeri ringan (<4). Rerata durasi analgesia pascaoperasi pada kelompok ketamin lebih lama (15 jam) sementara pada kelompok bupivakain 13,49 jam. Dan perbedaan ini secara statistik bermakna (P=0,031).
SIMPULAN: Blok infraorbital dengan ketamin 1% 0,5 mg/kg tidak lebih efektif dibandingkan bupivakain 0,25% 0,5 ml sebagai analgetik perioperatif operasi ambulatori koreksi bibir sumbing.

BACKGROUND: In Indonesia, cleft lip correction surgery is often done as a social action in remote areas with limited drugs and operational resources. Ketamine is a readily available and inexpensive drug. The objectives of this study is to asses the effectiveness of ketamine as a local analgetic in infraorbital block compare with bupivacaine, to determine whether ketamine can be an alternative local analgetic for perioperative. The definition of perioperative in this study were intraoperative and postoperative period.
METHODS: This is a randomized controlled trial in 2 months - 5 years children with cleft lip who underwent cleft lip correction surgery at RSCM from March until July 2014. Children were divided into ketamine group and bupivacaine group based on randomization. In each group we performed general anesthesia , induction with sevoflurane, intubation and infraorbital block according to the randomization. We recorded total amount rescue analgetic added intraoperative. Postoperatively we recorded pain scores based on FLACC scale and follow up by telephone to find out the duration of analgesia.
RESULTS: A total of 36 subjects enrolled in this study , with 18 subjects in ketamine group and 18 subjects in bupivacaine group . There were no significant difference of total amount fentanyl intraoperative addition and postoperative FLACC pain scale between two groups. The FLACC pain scale in ketamine group was categorized “mild pain” ( < 4 ). The mean duration of postoperative analgesia in ketamine group was longer (15 hours) than bupivacaine group (13.49 hours). And this difference was statistically significant (P = 0.031).
CONCLUSION: Infraorbital block with 1 % ketamine 0.5 mg / kg was not more effective than 0.25% bupivacaine 0,5 ml for perioperative analgesia in ambulatory cleft lip correction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Betardi Oktara
"Latar belakang: Emergence agitation (EA) selama periode pemulihan anestesia umum merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien anak. Etiologi EA pada pasien anak belum sepenuhnya diketahui, faktor-faktor risiko yang dianggap memengaruhi terjadinya EA diantaranya usia prasekolah, penggunaan gas anestesia modern, kemampuan adaptasi yang rendah, dan kehadiran orangtua selama proses pemulihan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan angka kejadian dan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya EA pada pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Tujuh puluh delapan anak berusia 2-12 tahun dengan status fisik ASA I, II dan III dimasukan dalam penelitian observasional ini. Perilaku anak selama induksi anestesia dinilai berdasarkan nilai Pediatric Anesthesia Behavior (PAB). Di ruang pemulihan kejadian EA dinilai berdasarkan skala Aono pada saat pasien tiba (T0), setelah 5 menit (T5), 15 menit (T15) dan 30 menit (T30).
Hasil: Angka kejadian EA pada pasien anak yang menjalani anestesia inhalasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo mencapai 39,7%. Angka kejadian EA lebih tinggi pada pasien dengan usia 2-5 tahun yang memiliki nilai PAB 2 atau 3. Midazolam, jenis gas anestesia, dan keberadaan orangtua selama pemulihan tidak berhubungan dengan kejadian EA.
Kesimpulan: Usia dan perilaku anak selama induksi anestesia memiliki hubungan yang kuat terhadap terjadinya EA. Pasien anak dengan usia 2-5 tahun yang memiliki nilai PAB 2 atau 3 dan akan menjalani anestesia umum inhalasi sebaiknya mendapat terapi pencegahan untuk menurunkan tingkat kejadian EA.

Background: Emergence agitation (EA) during recovery from general anesthesia has been identified as a frequent problem in the pediatric population. The etiology of EA in children is not fully understood but possible risk factors that have been presumed to be associated with the high incidence of EA include pre-school age, newer inhalation anesthetics, poor adaptability, and parental presence during recovery. The aim of the present study was to assess the incidence of EA and the affecting factors in children undergoing inhalation anesthesia in RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Methods: Seventy-eight American Society of Anesthesiologists I, II and III, aged between 2-12 years undergoing inhalation anesthesia were included in this observational study. Children’s behavior during induction of anesthesia was assessed with Pediatric Anesthesia Behavior (PAB) score. In post anesthesia care unit (PACU) the incidence of EA was assessed with Aono’s four point scale upon admission (T0), after 5 min (T5), 15 min (T15) and 30 min (T30).
Results: The incidence of EA in children undergoing inhalation anesthesia in RSUPN Cipto Mangunkusumo in 39,7%. The incidence was higher in 2-5 years old children with PAB score 2 or 3. Midazolam, type of inhalation anesthetic agents and parental presence during recovery do not appear to have any bearing on the incidence of EA.
Conclusions: Age of the children and the behavior during induction of anesthesia have a strong correlation with the incidence of EA. Children with the age 2-5 years and have a PAB score 2 or 3 undergoing inhalation anesthesia should have a prophylactic treatment for decreasing the incidence of EA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Aquinas Syukur Rejo Tonda
"ABSTRAK
Latar Belakang Kegagalan mengenali pasien yang memiliki risiko mortalitas tinggi dapat menyebabkan luaran yang buruk Karena itu penilaian yang cepat dan tepat terhadap perubahan tanda vital sangat penting untuk menghindari keterlambatan penanganan yang dapat memengaruhi luaran pasien Beberapa modul triase telah dirancang sebagai sistem pendukung dalam pengambilan keputusan untuk memandu perawat dokter triase agar dapat mengambil keputusan yang tepat Penelitian ini akan menjelaskan seberapa besar modul triase di IGD RSCM dapat memprediksi mortalitas untuk luaran 24 jam dan 7 hari Metode Penelitian ini merupakan penelitian prognostik dengan desain penelitiannya adalah studi kohort retrospektif pada 529 data pasien dengan usia lebih dari 18 tahun yang menjalani prosedur triase di Instalasi Gawat Darurat RSCM Luaran mortalitas pasien dibagi menjadi mortalitas 24 jam dan mortalitas 7 hari Hasil Dari hasil analisis kurva ROC didapatkan area under the curve modul triase untuk luaran 24 jam adalah 0 787 IK 95 0 690 0 885 lebih besar daripada area under the curve modul triase untuk luaran 7 hari yakni sebesar 0 662 IK 95 0 597 0 726 Hal ini berarti performa modul triase IGD RSCM lebih baik dalam memprediksi mortalitas 24 jam daripada untuk memprediksi mortalitas 7 hari Berdasarkan perhitungan nilai prediktif modul triase untuk luaran 24 jam didapatkan rasio kemungkinan positif PLR untuk kategori resusitasi sebesar 11 36 sedangkan untuk kategori lain didapatkan 1 11 untuk kategori emergency 1 69 untuk kategori urgent 0 4 untuk kategori non urgent dan 0 23 untuk kategori false emergent Kesimpulan Modul triase IGD RSCM dapat memprediksi angka mortalitas pasien non bedah Kemampuan prediksi berdasarkan performa diskriminasi berada pada level Fair Test Performa modul triase IGD RSCM lebih baik dalam memprediksi mortalitas 24 jam daripada untuk memprediksi mortalitas 7 hari.
ABSTRACT
Background Failure to identify high risk patients can lead to poor outcomes Therefore quick and precise assessment of the changes in vital signs is very important to avoid delays in treatment which may affect patient outcomes Some triage module has been designed as a support system in decision making to guide the nurse physician triage in order to take the right decision This study will explain how the triage modules in the ED of RSCM can predict the outcomes of mortality for 24 hours and 7 days Methods This is a prognostic study with the design of the study was a retrospective cohort study on 529 patient data with more than 18 years of age who underwent the procedure triage in the ED of RSCM Mortality outcomes of patients were divided into 24 hour mortality and 7 days mortality Based on the calculation of predictive value for the triage module outcome in 24 hours obtained positive likelihood ratio PLR for category resuscitation is 11 36 while for other is 1 11 for emergency category 1 69 for urgent category 0 4 for non emergency categories and 0 23 for false emergent category Results The results of ROC curve analysis obtained an area under the curve for the 24 hours outcome was 0 787 95 CI 0 690 to 0 885 greater than the area under the curve for 7 days outcomes 0 662 CI 95 0 597 to 0 726 This means that the performance of the ER triage module of RSCM better in predicting of 24 hours mortality rather than for predicting 7 days mortality Conclusions ED triage module of RSCM can predict mortality of non surgical patients The predictive ability based on the performance of discrimination is Fair Test ER triage module performance is better in predicting of 24 hours mortality rather than for predicting 7 days mortality Keywords triage module ED of RSCM predict outcome."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aliyyavydi Geraldine
"Latar belakang: COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, ditemukan pertama kali pada akhir Desember 2019. Tercatat sebanyak 4 juta kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia dan dokter yang gugur dalam penanganan COVID-19 sudah mencapai 115 orang. Untuk meminimalisir penularan penyakit, diperlukan Alat Pelindung Diri (APD). Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dan rekomendasi APD kepada masyarakat. Namun, penularan dan kasus konfirmasi COVID- 19 masih tergolong tinggi. Hal ini diduga karena kepatuhan serta pengetahuan mengenai APD yang kurang memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara pengetahuan dan kepatuhan penggunaan APD dari mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di FKUI. Metode: Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dengan responden sebanyak 303 mahasiswa PPDS yang menjalankan studinya di FKUI. Penelitian ini berlangsung pada bulan Oktober 2022 dengan metode pengumpulan data berupa kuesioner yang akan analisis menggunakan uji chi square, dan uji t-test. Hasil: Dari 62% responden yang memiliki pengetahuan baik, 89,4% dari responden tersebut memiliki kepatuhan yang sangat baik terhadap penggunaan APD. Pengetahuan mahasiswa PPDS memiliki hubungan yang signifikan (p < 0.01) dengan kepatuhan penggunaan APD. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan penggunaan APD dengan pengetahuan mengenai APD. Faktor-faktor lain yang berperan dalam kepatuhan penggunaan APD adalah persepsi terhadap faktor risiko, ketersediaan APD, dan sikap terhadap penggunaan APD.

Introduction: COVID-19 is a disease caused by SARS-CoV-2, which was first discovered at the end of December 2019. There have been 4 million cases of death due to COVID-19 in Indonesia and 115 doctors have died in handling COVID-19. To minimize the spread of disease, Personal Protective Equipment (PPE) is needed. The government has issued PPE policies and recommendations to the public. However, transmission and confirmed cases of COVID-19 are still relatively high. This is presumably due to inadequate compliance and knowledge of PPE. Thus, the aim of this study was to investigate the relationship between knowledge and adherence of FMUI residents in using PPE. Method: This study used a cross-sectional study with 303 students from resident doctor who carry out their studies at FKUI as respondents. This research took place in October 2022 using the data collection method in the form of a questionnaire which will be analyzed using the chi square test, and t-test. Result: Of the 62% of respondents who had good knowledge, 89.4% of these respondents had very good compliance with the use of PPE. The knowledge of FMUI residents has a significant relationship (p < 0.01) with adherence to the use of PPE. Conclusion: There was a significant relationship between adherence to the use of PPE and knowledge about PPE. Other factors that play a role in adherence to the use of PPE are perceptions of risk factors, availability of PPE, and attitudes toward using PPE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfi Airlangga Harjoprawito
"Pendahuluan: COVID-19 adalah virus mematikan yang telah menyebar ke seluruh Indonesia sejak awal tahun 2020. Hingga September 2020, virus tersebut telah menyebabkan 69 ribu kasus dan 3,3 ribu kematian di Indonesia. Tingkat kematian pada petugas kesehatan adalah 6,5%, dibandingkan dengan <1% di negara maju. Karena Alat Pelindung Diri (APD) terbukti secara klinis untuk menghindari infeksi COVID-19, pemerintah Indonesia telah menerbitkan pedoman APD dan telah mendistribusikannya APD ke berbagai pusat kesehatan di Indonesia. Karena kasus yang dikonfirmasi dan kematian tetap tinggi di antara petugas kesehatan di Indonesia, diduga bahwa kepatuhan dan kepengetahuan pada APD kurang tinggi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, kedua faktor tersebut akan diteliti. Metode: Studi ini adalah sebuah cross-sectional study yang melibatkan 196 mahasiswa kedokteran KOAS FKUI. Para peneliti membuat survey untuk menilai kepatuhan dan pengetahuan mereka terhadap penggunaan APD. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kedua faktor juga ikut dinilai (kepercayaan diri, riwayat, persepsi risiko, ketersediaan APD, sikap, pengaruh organisasi, demografi). Regresi logistik digunakan untuk menentukan faktor mana yang dapat memprediksi kepatuhan dan pengetahuan APD yang baik. Hasil: Penelitian ini mengungkapkan bahwa 90,82% dan 56,63% mahasiswa FKUI masing-masing memiliki kepatuhan dan pengetahuan APD yang baik. Persepsi risiko (P<0,001), sikap (P<0,001) dan keyakinan (P<0,001) merupakan prediktor kepatuhan APD yang baik sedangkan tidak ditemukan faktor yang memprediksi pengetahuan APD yang baik. Kesimpulan: Hasil pada studi ini menunjukan mahasiswa KOAS FKUI membutuhkan pelatihan APD lagi untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang pemakaian APD. Perilaku, persepsi resiko dan kepercayaan diri yang bagus merupakan perdiktor terhadap pemakaian APD yang baik. Dengan mengetahui faktor2 tersebut, FKUI dapat membuat pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa KOAS FKUI untuk meningkatkan keamaan dan qualitas belajar selama beraktifitas di Rumah sakit daripada mengambil cuti isoman.

Introduction: COVID-19 is a deadly virus that has spread throughout Indonesia since early 2020. As of September 2020, the virus has caused 69 and 3.3 thousand cases and deaths in Indonesia. Among Indonesian healthcare workers, it has a mortality rate of 6.5% compared to <1% in developed countries. Since Personal Protective Equipment (PPE) are clinically proven to avoid COVID-19 infection among healthcare workers (HCW), the Indonesian government have published PPE guidelines and have distributed them to healthcare centers throughout the country. Since confirmed cases and mortality remains high among Indonesian HCWs, it is hypothesized that they are lacking PPE compliance and knowledge. Hence, in this study, these two factors would be assessed. Methods: A cross sectional study involving 196 FKUI clinical medical students was used. A survey was constructed to asses their compliance and knowledge towards PPE use while other factors affecting the two factors are assessed (confidence, history, risk perception, PPE availability, attitude, organizational influence, demographics). Logistic regression would determine which factors predict good PPE compliance and knowledge. Results: This study revealed that 90.82% and 56.63% of FKUI students have good PPE Compliance and knowledge respectively. Risk perception (P<0.001), attitude (P<0.001) and confidence (P<0.001) are predictors of PPE compliance while there are no predictors of PPE Knowledge. Conclusion: FKUI students require more trainning regarding PPE usage as reflected in the results shown above. Attitude, risk perception and -confidence are found to be collated with good PPE compliance. Understanding these factors would help develop trainning plans specific to FKUI clinical students. Focusing on improving these factors that has correlation with PPE compliance to develop trainning methods would help increase safety and ensure students receive high quality medical education instead of taking sick leaves.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhruddin Alfan
"Latar belakang. Pandemi COVID-19 telah membawa banyak tantangan baru bagi dunia kesehatan di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Tingkat kelelahan kerja yang tinggi ditemukan diantara petugas kesehatan, terutama di lingkungan unit perawatan darurat dan intensif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kelelahan dan faktor yang memengaruhi kelelahan peserta Program pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI yang bekerja di RSCM di era pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan kuantitatif pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi intensif tahap magang, mandiri, dan paripurna. Kelelahan dinilai dengan menggunakan Fatigue Severity Scale yang sudah divalidasi sebagai data kuantitatif dan 10 subjek dari responden dirandomisasi terstratifikasi untuk mengikuti Focus Group Discussion (FGD) yang isinya membahas mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kelelahan peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif pada masa pandemi sebagai data kualitatitf. Sebanyak 61% peserta pendidikan mengalami kelelahan dengan median dari nilai FSS pada seluruh subjek yang diteliti yaitu 43,5 dengan IQR (22). Peningkatan kelelahan ditemukan bermakna pada responden dengan lama jam kerja ≥ 60 jam perminggu dan lama jam tidur <6 jam perhari. Berdasarkan FGD faktor yang meningkatkan kelelahan yaitu perubahan metode pembelajaran menjadi dalam bentuk daring, peningkatan rasa cemas akibat kurangnya pencapaian kompetensi, penggunaan alat pelindung diri (APD) dalam jangka waktu yang lama, dan penutupan tempat hiburan terkait aturan pembatasan sosial berskala besar, sedangkan faktor yang menurunkan kelelahan yaitu perubahan jadwal jaga, jaminan ketersediaan APD, perlindungan terhadap kesehatan fisik dan mental PPDS, kompensasi pemerintah terhadap kinerja PPDS. Simpulan. Sebanyak 61% Peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSCM yang bertugas pada masa COVID-19 mengalami kelelahan, yang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal yang terjadi selama pandemi COVID 19. 

Background. COVID-19 pandemic has brought many new challenges to the world of health in various countries around the world, including Indonesia. High level of fatigue was found among health workers. This study was conducted to determine the level of fatigue and the factors that affect fatigue of Anesthesiology and Intensive Care resident from Universitas Indonesia who worked at RSCM during the COVID-19 pandemic era. Methods. This was a cross-sectional study on 77 subjects who participated in Anesthesiology and Intensive Care resident from Universitas Indonesia in plenary, independent, and internship stages during the research period. Fatigue was assessed using the Fatigue Severity Scale (FSS) which had been validated as cuantitative data and 10 subjects from respondents were randomized to participate in a Focus Group Discussion (FGD) which discussed the factors that affect the fatigue of Anesthesiology and Intensive Care resident from Universitas Indonesia during pandemic as cualitative data. Results. 61% of residents experienced fatigue with the median FSS value was 43.5, with an IQR (27.8 - 49.8). Increased fatigue was found in respondents with long working hours ≥60 hours per week and sleeping hours <6 hours per day. Based on the FGDs, several factors that increased fatigue are changing learning methods to online form, increasing anxiety due to lack of competence achievement, using personal protective equipment for a long time, and closure of entertainment venues related to large scale social restriction policy. And several factors that decreasing of fatigue are modifying of shift scheduled, guaranteeeing the availability of personal protective equipment, protecting the physical and mental health of resident, and government compensation for resident. Conclusion. Anesthesiology and Intensive Care resident from Universitas Indonesia who were on duty during the COVID-19 pandemic experienced fatigue. Based on FGD, various factors that affect fatigue among resident were found COVID-19 pandemic, Fatigue, Residents."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Azkia Rahmah
"Pendahuluan: Pasien gawat darurat dengan kategori triase kuning (urgent) harus mendapatkan terapi dalam 30 menit. Waktu sejak kedatangan pasien hingga mendapatkan terapi disebut sebagai waktu tanggap pelayanan dokter. Pencapaian waktu tanggap pelayanan dokter dalam 30 menit untuk pasien dengan kategori triase kuning di IGD-RSCM belum mencapai 100%.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tercapainya waktu tanggap pelayanan dokter dalam 30 menit pada pasien non-trauma bertriase kuning di IGD-RSCM; pola kedatangan, kondisi kepadatan IGD, tercukupinya jumlah kebutuhan staf, ketepatan triase, waktu ketersediaan terapi dan adanya rujukan yang terkonfirmasi (SPGDT).
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong-lintang, menggunakan data retrospektif, dan melibatkan 105 subyek dengan triase tepat (kuning-kuning) dan 3 subyek dengan triase tidak tepat (hijau-kuning). Analisis bivariat antara hubungan ketepatan triase dengan waktu tanggap pelayanan dokter menggunaka seluruh subyek (108 subyek), sedangkan analisis bivariat lainnya menggunakan hanya subyek dengan triase tepat (105 subyek).
Hasil: Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kedatangan pasien di sore hari (p=0,032, PR=2,514; 95% CI: 1,128-5,603), tercukupinya jumlah kebutuhan EMO (p=0,021; PR=2,489; 95% CI: 1,230-5,035), dan waktu ketersediaan terapi (p<0,001) terhadap waktu tanggap pelayanan dokter. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kedatangan pasien di pagi dan malam hari (p=0,165, PR=0,459, 95% CI: 0,170-1,244 dan p=0,391, PR=0,566, 95% CI: 0,185-1,732, secara berurutan), kondisi kepadatan IGD (p=0,852; PR=1,172; 95% CI: 0,567-2,424), jumlah perawat (p=0,274; PR=0,480; 95% CI: 0,155-1,482), tercukupinya jumlah kebutuhan pemandu (p=0,094; PR=0,499; 95% CI: 0,244-1,018), ketepatan triase (p=0,484), dan adanya rujukan yang terkonfirmasi (SPGDT (p=0,524; PR=1,561; 95% CI: 0,302-8,067) terhadap waktu tanggap pelayanan dokter.
Kesimpulan: Kedatangan pasien di sore hari, tercukupinya jumlah EMO, dan waktu ketersediaan terapi berhubungan dengan tercapainya waktu tanggap pelayanan dokter dalam 30 menit. Hasil penelitian dan model yang disarankan dalam penelitian ini dapat digunakan oleh IGD-RSCM untuk mengembangkan pendekatan untuk perbaikan pencapaian waktu tanggap pelayanan dokter dalam 30 detik.

Introduction: Emergency departments (EDs) are facing challenges in providing high quality and timely patient care, so is Cipto Mangunkusumo Hospital ED.1 Every urgent patient coming to ED has to be assessed and treated within thirty minutes.2,3 Cipto Mangunkusumo Hospital ED has not optimally reached the standard time to initial treatment for its urgent patients.
Study objective: This study evaluates whether various factors are associated with time to initial treatment.
Method: This study uses retrospective cross-sectional study design, and includes 108 subjects.
Results: This study uses bivariate analyses and shows that there are associations between patients arrivals in the evening shift p=0,032, PR=2,514), adequacy of the number of physicians needed (p=0,021; PR=2,489), and medication turnaround time (p=0,021; PR=2,489) to the achievement of thirty-minute time to initial treatment. This study also shows that there are no associations between patients arrivals in the morning and night shifts, ED overcrowding conditions, number of nurses, adequacy of the number of porters needed, accuracy of triage, and presence of pre-hospital calls to the achievement of thirty-minute time to initial treatment.
Conclusion: Patients arrivals in the evening shift, adequacy of the number of physicians needed, and medication turnaround.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Mahri
"Latar Belakang: Emergence delirium (ED) merupakan kondisi yang dapat terjadi saat anak pulih dari anestesi dengan cara yang tidak nyaman. ED dapat menyebabkan cedera pada anak, dan kekhawatiran pada orangtua. Berbagai intervensi dilakukan untuk menurunkan ED, namun belum ada standar khusus yang rutin dilakukan untuk mencegah ED. Deksmedetomidin dan midazolam dikatakan efektif untuk mengurangi ED. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas premedikasi deksmedetomidin intranasal dibandingkan midazolam intranasal untuk mencegah ED pada anak yang menjalani operasi mata. Metode : Penelitian ini adalah uji klinik tersamar ganda, pada pasien anak usia 1- 12 tahun dengan status fisik ASA 1 dan 2 yang menjalani operasi mata dengan anestesia umum menggunakan agen inhalasi Sevoflurane. Subjek penelitian 64 orang, didapatkan dengan consecutive sampling selama Februari-Mei 2019 yang kemudian dikelompokan menjadi kelompok deksmedetomidin dan midazolam setelah proses randomisasi. Efektivitas dinilai dari kejadian ED, waktu pulih, dan kejadian desaturasi pasca premedikasi. Analisis data menggunakan uji Chi Square dan Uji Mann-Whitney. Hasil : Kejadian ED pada kelompok deksmedetomidin sebesar 11,18% sedangkan kelompok midazolam 28,12% (p=0,109). Waktu pulih didapatkan median yang sama 6 menit, dan tidak didapatkan kejadian desaturasi di kedua kelompok. Simpulan : Pemberian premedikasi deksmedetomidin intranasal 30 menit sebelum induksi secara statistik tidak lebih efektif dibandingkan midazolam untuk mencegah kejadian ED pada anak yang menjalani operasi mata.

Background: Emergence Delirium (ED) is a condition that can occur when a child recoverds from anesthesia in a uncomfortable way. ED can cause injury to children and worries to parents. Various interventions were carried out to reduce ED, but there were no specific standards has been estabilished to prevent ED. Dexmedetomidine and midazolam are said to be effective in reducing ED. This study aims to determine the effectiveness of intranasal dexmedetomidine premedication compared to intranasal midazolam to prevent ED in children undergoing eye surgery. Method : This study is a double-blind clinical trial, in pediatric patients aged 1-12 years with physical status ASA 1 and 2 who underwent eye surgery under general anesthesia using Sevoflurane inhalation agents. There were 64 childen obtained by consecutive sampling, who underwent eye surgery in our institution during February-Mayl 2019. The subjects then grouped into dexmedetomidine group and midazolam group. Effectiveness was assessed from ED events, recovery time, and post-premedication desaturation events. Data analysis using Chi Square test and Mann-Whitney test. Result : ED incidence in the dexmedetomidin group was 11.18% while the midazolam group was 28,12% (p = 0.109). The recovery time was the same median 6 minutes, and no desaturation was found in either group. Conclusion : There are statistically no difference between the effectiveness of intranasal dexmedetomidine and midazolam premedication 30 minutes before induction to prevent ED occurrence in children undergoing eye surgery. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Listyo Astuti
"Pembedahan dan pembiusan adalah penyebab stress emosional pada orangtua dan anak Salah satunya adalah kecemasan pra anestesia Kecemasan pra anestesia yang dialami orangtua dapat diturunkan kepada anaknya dan dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap anak berupa gangguan perilaku pascapembiusan Di Indonesia belum didapatkan data mengenai kecemasan pra anestesia Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proporsi kecemasan pra anestesia ibu dan faktor faktor yang mempengaruhinya di klinik praoperatif RSUPN CM penelitian ini melibatkan 144 ibu dari anak usia 0 12 tahun yang akan menjalani pembiusan Semua ibu diwawancara menggunakan panduan wawancara gangguan cemas MINI ICD 10 Mini International Neuropsychiatric Interview dan kecemasan dinilai dengan VAS Visual Analog Score Sebanyak 70 48 6 ibu mengalami gangguan cemas dengan rentang skor VAS 3 8 mm Kecemasan pra anestesia ibu dipengaruhi oleh usia anak p 0 001 riwayat pembiusan pada anak sebelumnya p 0 004 dan jumlah anak dalam keluarga p 0 041 Ibu yang mempunyai anak bayi memiliki risiko 7 9 kali lipat mengalami kecemasan adjusted OR 7 982 namun karena rentang interval kepercayaan yang besar 95 CI 2 599 24 512 kemungkinan terdapat faktor lain yang mempengaruhi kecemasan pra anestesia ibu Kecemasan pra anestesia ibu mempunyai angka proporsi yang cukup tinggi Masalah ini perlu diatasi untuk mencegah dampak negatif terhadap anak pascapembiusan.

Surgery and anesthesia are causes for emotional stress in parents and children one of which is pre anesthesia anxiety Pre anesthesia anxiety experienced by parents can be passed on to their children and have a negative impact on a child such as post anesthesia behavior disorders In Indonesia there is no data about pre anesthesia anxiety The purpose of this study is to determine the proportion of pre anesthetic maternal anxiety and the factors that influenced it in preoperative clinic RSUPN CM This study included 144 mothers of children aged 0 12 years who will undergo anesthesia All mothers were interviewed using an interview guide anxiety disorders MINI ICD 10 Mini International Neuropsychiatric Interview and anxiety scores assessed using VAS Visual Analog Scale A total of 70 48 6 mothers had anxiety disorders with VAS score range 3 8 mm Pre anesthesia maternal anxiety is influenced by child rsquo s age p 0 001 history of previous anesthesia on child rsquo s p 0 004 and number of children p 0 041 Mothers with infants have risk 7 9 times experiencing higher anxiety adjusted OR 7 982 but because of the wide range of the confidence interval 95 CI 2 599 to 24 512 others factors may influence the pre anesthetic maternal anxiety Pre anesthetic maternal anxiety has a fairly high proportion of numbers Therefore pre anesthetic maternal anxiety needs to be addressed to prevent a negative impact on children post anesthesia
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Pranata
"ABSTRAK
Pendahuluan Di RSCM algoritme penanganan pasien trauma belum ada. Waktu yang dibutuhkan untuk penanganan pasien trauma juga tidak pernah tercatat dengan baik. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui rerata waktu penanganan pasien trauma di ruang resusitasi RSCM. Selain itu, mortalitas akibat trauma juga dicatat.
Metode Semua pasien trauma yang masuk ke ruang resusitasi RSCM pada bulan Juni-November 2012 diikutsertakan. Waktu yang dibutuhkan mulai dari pasien masuk ruang resusitasi sampai primary survey dan tindakan diagnosis yang dibutuhkan serta waktu sampai pasien keluar dari ruang resusitasi baik ke kamar operasi maupun ke ruang rawat juga dicatat. Mortalitas yang terjadi di rumah sakit pasca trauma juga dicatat.
Hasil Selama periode penelitian tercatat ada 41 pasien trauma yang masuk ke ruang resusitasi RSCM. Rerata waktu yang dibutuhkan mulai dari pasien masuk ruang resusitasi sampai primary survey selesai dikerjakan adalah 10(5-60) menit; sampai hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan adalah 55(5-185) menit; sampai hasil pemeriksaan rontgen didapatkan adalah 30(15-210) menit; sampai hasil pemeriksaan USG didapatkan adalah 12,5(5-30) menit; sampai hasil pemeriksaan CT-scan didapatkan adalah 75(15-360) menit. Rerata waktu yang dibutuhkan mulai dari pasien masuk ruang resusitasi sampai dikirim ke kamar operasi adalah 222,5(25-660) menit; sampai dikirim ke ruang rawat tanpa melalui operasi adalah 1440(170-1440) menit. Mortalitas yang terjadi di rumah sakit pasca trauma adalah 41,4%.
Kesimpulan Rerata waktu penanganan pasien trauma di ruang resusitasi RSCM, baik untuk tindakan diagnostik maupun operasi emergensi masih lebih dari 60 menit. Mortalitas pasien pasca trauma 41,4%. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi hubungan antara waktu penanganan pasien dengan mortalitas pasien.

ABSTRACT
Introduction In Cipto Mangunkusumo Hospital trauma algorithm is not available yet. The time spent to manage trauma patients in the resuscitation room also hasn’t been recorded very well. Aim of this study is to analyze how much time needed in the resuscitation room to manage trauma patients. The mortality follow is also recorded.
Methods All consecutive trauma patients who went to the resuscitation room during June to November 2012 are included. The time spent between admission to the resuscitation room until primary survey and diagnostic procedure be done also until patients exit the resuscitation room whether to the operating room or straight to the ward were recorded. In hospitality mortality were also recorded.
Results During the study, there were 41 trauma patients went to the resuscitation room. Median time spent between admission until primary survey was finished was 10(5-60) minutes; until blood work results finished was 55(5-185) minutes; until x-ray results finished was 30(15-210) minutes; until USG results finished was 12,5(5-30) minutes; until CT-scan results finished was 75(15-360) minutes. Median time spent between admission until exiting to the operating room was 222,5(25-660) minutes; until exiting to the ward without operation was 1440(170-1440) minutes. In hospitality mortality was 41,4%.
Conclusion The time spent in the resuscitation room to manage trauma patients both to do the diagnostic procedure and emergency operation was still more than 60 minutes. In hospital mortality was 41,4%. Further study needed to analyze the relationship between those two things.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>