Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ajeng Gracia Patricia
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan Mengetahui efek jangka pendek pemberian anti-VEGF intravitreal bevacizumab (IVB) sebagai terapi ajuvan pada perubahan regresi neovaskularisasi iris dan perubahan tekanan intra okular (TIO) serta menilai hubungan antara kadar VEGF cairan akuos dengan perubahan TIO pada glaukoma neovaskular (NVG). Desain Peneitian ini merupakan uji klinis tunggal Metode Sebanyak 20 mata pada 18 subyek NVG dengan TIO tidak terkontrol dan neovaskularisasi iris dilakukan injeksi intravitreal bevacizumab 0.05mL(1.25mg) setelah dilakukan parasentesis sebelumnya Hasil Injeksi intravitreal bevacizumab secara klinis menyebabkan regresi neovaskularisasi iris pada seluruh pasien dengan NVG dan terjadi penurunan tekanan intra okular yang bermakna pada 1 minggu pasca injeksi (P=0.003). Kadar VEGF pre-injeksi yang tinggi berbanding lurus dengan TIO namun tidak bermakna secara statistik (r = 0.191, p=0.420) Kesimpulan Injeksi intravitreal bevacizumab terbukti efektif dalam regresi neovaskularisasi iris dan menurunkan TIO pada pasien glaukoma neovaskular
ABSTRACT Purpose To determine short term efficacy of intravitreal bevacizumab (IVB) against neovascularization regression and intraocular pressure (IOP) changes and its correlation with vascular endothelial growth factor. Design Single arm study clinical trial Method Twenty eyes from 18 subjects of NVG patients with iris neovascularization and uncontrolled IOP received 0.05mL/1.25mg of IVB. Aqueous humor samples were obtained through paracentesis just before IVB Results Intravitreal bevacizumab injection can remarkably reduce iris neovascularization in NVG patients. There is significant IOP reduction a week after injection (p=0,003). High VEGF level before injection related linearly with IOP, but no statistically significance is found (r=0,191, p=0,420) Conclusion Intravitreal bevacizumab injection is proven effective to regress iris neovascularization and reduce IOP in NVG patients
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Fedora
Abstrak :
Latar Belakang: Silicone oil (SO) merupakan salah satu substitusi vitreus yang digunakan pasca vitrektomi pars plana (VPP) dalam manajemen ablasio retina rhegmatogen. Beberapa komplikasi penggunaan SO meliputi katarak, peningkatan tekanan bola mata, emulsifikasi, keratopati hingga menurunnya ketebalan dan densitas vaskular makula. Tujuan: Mengetahui perubahan ketebalan makula sentral serta densitas vaskular pleksus superfisial pada pasien ablasio retina rhegmatogen pasca VPP dengan tamponade SO. Metode: 41 pasien ablasio dianalisis dalam studi ini yang menggunakan dua desain: observasional prospektif tanpa pembanding untuk membandingkan efek tamponade SO minggu-1 dengan minggu-4 dan potong lintang untuk membandingkan mata kontralateral dengan minggu-1 pasca tamponade SO. Hasil: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD) serta superficial perfusion density (SPD) pada minggu-1 lebih rendah dibandingkan mata kontralateral (p<0,001). Pada minggu-4 pasca tamponade SO ditemukan peningkatan CST, SVD, SPD dibandingkan minggu-1 meskipun tidak signifikan secara statistik. Pada analisis tambahan, didapatkan usia diatas 50 tahun mengalami kecenderungan penurunan SVD (p 0,033) dan SPD (0,011) dibandingkan kelompok usia muda. Kesimpulan: Tidak didapatkan penurunan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula di minggu-4 pasca PPV dengan SO. Didapatkan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula yang lebih rendah di minggu-1 pasca tamponade SO dibandingkan mata kontralateral ......Background: Silicone oil (SO) is one of the vitreous substitutes used after pars plana vitrectomy (PPV) for rhegmatogenous retinal detachment (RRD) management. Complications arising from SO include cataracts, increased ocular pressure, emulsification, keratopathy, and decreased macular thickness and vascular density. Objective: To determine changes in central macular thickness and superficial vascular density in RRD patients after PPV with SO. Method: 41 patients were included in this study, which comprises two designs: a prospective observational without comparison to compare the effect of SO tamponade week-1 with week-4 and a cross-sectional design to compare the contralateral eye with week-1 after SO tamponade. Results: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD), and superficial perfusion density (SPD) were lower at week 1 after PPV with SO compared to the contralateral eye (p<0.001). At week 4 after PPV with SO, there was an increase in CST, SVD, and SPD compared to week 1, although not statistically significant. In additional analysis, we found that those aged over 50 had tendencies toward decreased SVD (p 0.033) and SPD (0.011) compared to the younger age group. Conclusion: There was no reduction in central macular thickness or superficial vascular density at week 4 after PPV with SO in RRD patients. Central macular thickness and superficial vascular density were lower on week 1 after SO tamponade compared to the contralateral eye.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ressa Yuneta
Abstrak :
"ABSTRAK
" Tujuan: menilai kadar Hypoxia-inducible Factor-1? HIF-1? dan Intercellular Adhesion Molecule-1 ICAM-1 vitreus pada retinopati diabetik proliferatif yang diberikan bevacizumab intravitreal, serta hubungan keduanya terhadap ketebalan makula sentral previtrektomi.Metode: tiga puluh dua mata dirandomisasi menjadi 2 kelompok, yaitu yang mendapatkan suntikan bevacizumab intravitreal 1-2 minggu previtrektomi dan kelompok kontrol langsung dilakukan vitrektomi . Penghitungan kadar HIF-1? dan ICAM-1 dilakukan dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay ELISA . Ketebalan makula sentral diukur saat awal, previtrektomi, serta 2, 4, dan 12 minggu pascavitrektomi dengan menggunakan Stratus OCT.Hasil: rerata kadar HIF-1? vitreus dalam ng/mg protein pada kelompok kontrol dan bevacizumab intravitreal masing-masing 0,020 0,006;0,077 dan 0,029 0,016;0,21 . Kadar ICAM-1 vitreus dalam ng/mL adalah 20,10 3,41;40,16 dan 23,33 0,63;68,5 . Rerata kadar HIF-1? dan ICAM-1 vitreus didapatkan tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.Simpulan: bevacizumab intravitreal 1-2 minggu previtrektomi belum dapat membuat kadar HIF-1? lebih rendah daripada kelompok kontrol. Kadar ICAM-1 kelompok bevacizumab didapatkan lebih tinggi pada kelompok kontrol. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara ketebalan makula sentral previtrektomi terhadap kadar HIF-1? dan ICAM-1.Kata kunci: retinopati diabetic proliferatif, HIF-1?, ICAM-1, bevacizumab "
" "ABSTRACT
"Purpose to assess the levels of Hypoxia inducible factor 1 HIF 1 and intercellular adhesion molecule 1 ICAM 1 in vitreous of proliferative diabetic retinopathy patients which were given intravitreal bevacizumab IVB , as well as its relation to the central macular thickness CMT measured prior to vitrectomy.Method this was post test only randomized clinical trial open label, in which thirty two eyes were randomized into two groups, one that received an IVB injection at 1 2 weeks previtrectomy and the control group. Measurement of HIF 1 and ICAM 1 was conducted using enzyme linked immunosorbent assay ELISA . The CMT were measured at the initial visit, prior to vitrectomy, and at follow up time 2, 4, and 12 weeks postoperative using Stratus OCT.Result The mean levels of HIF 1 vitreous ng mg protein in the control group and IVB respectively 0.020 0.006 0.077 and 0.029 0.016 0.21 . Vitreous levels of ICAM 1 ng mL in control group and IVB group were 20.10 3.41 40.16 and 23.33 0.63 68.5 . The mean levels of HIF 1 and ICAM 1 vitreous obtained did not differ significantly between the two groups.Conclusion Intravitreal bevacizumab 1 2 weeks prior to vitrectomy was not enough to make the levels of HIF 1 lower in IVB group. Median of ICAM 1 level in IVB group was higher than control group. There were no correlation between CMT with HIF 1 and ICAM 1 levels.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Rahayu
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran tajam penglihatan dan ketebalan makula sentral paska terapi loading dose bevacizumab intravitreal pasien age-related macular degeneration AMD neovaskular antara yang memiliki karakter predominan subretinal dengan intraretinal fluid. Metode yang digunakan adalah Uji klinis pre-post intervensi bevacizumab intravitreal pada dua kelompok AMD yang berbeda. Sampling secara konsekutif membagi 38 subyek penelitian menjadi 2 kelompok AMD dengan hasil OCT predominan subretinal fluid SRF 20 mata dan intraretinal fluid IRF 18 mata . Evaluasi luaran tajam penglihatan, ketebalan makula sentral, dan perubahannya dilakukan sepanjang dan sesudah loading dose selesai. Rerata tajam penglihatan pada baseline berbeda signifikan antara kelompok SRF 56,41 huruf ETDRS dan IRF 43,72 huruf ETDRS . Paska loading dose tidak terdapat perbedaan bermakna dari perubahan tajam penglihatan maupun ketebalan makula sentral antara kedua kelompok, tetapi luaran tajam penglihatan pada kelompok SRF tetap lebih tinggi dan didapati ketebalan makula sentral kelompok SRF lebih rendah secara signifikan. AMD neovaskular baik dengan gambaran SRF maupun IRF saat baseline, mendapat manfaat yang sebanding dari terapi bevacizumab intravitreal meskipun rerata tajam penglihatan dan penurunan ketebalan makula sentral lebih baik jika terdapat SRF. ......This study aimed to compare visual acuity VA and central macular thickness CMT outcome of loading dose intravitreal bevacizumab treatment between neovascular age related macular degeneration AMD patients with character of predominant subretinal and intraretinal fluid. This study performed pre post interventional clinical study of two different AMD groups, treated with loading dose intravitreal bevacizumab. Consecutive sampling distributed 38 samples based on OCT into group with predominant subretinal fluid SRF group 20 eyes and intraretinal fluid IRF 18 eyes VA, CMT, and their changes were evaluated during and after loading dose was completed. Mean VA at baseline eventually was significantly different where SRF group 56,41 letters were better than IRF group 43,72 letters . No statistically significant difference of mean VA change or CMT change between group, however VA in SRF group remained higher and CMT in SRF group were lower than IRF group. Neovascular AMD, with both SRF and IRF at baseline, benefits from loading dose intravitreal bevacizumab treatment although mean visual acuity and mean central retinal thickness are better in those with SRF.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hisar Daniel
Abstrak :
Azitromisin, terapi alternatif dari terapi triplet standar yang memiliki berbagai efek samping, belum diketahui pasti apakah konsentrasi intraokular sudah cukup untuk mencegah replikasi maupun eradikasi toksoplasmosis. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kadar azitromisin pada darah vena, vitreus, dan koroid/retina hewan coba kelinci pasca pemberian azitromisin oral setara dosis manusia. Sebanyak masing-masing empat kelinci albino New Zealand White diberikan tiga regimen perlakuan pada penelitian utama: pemberian azitromisin 26mg/kgBB setara dengan azitromisin 500 mg dosis manusia pada kelompok I setiap hari, 26mg/kgBB setiap dua hari, dan 50 mg/kgBB kgBB setara dengan azitromisin 1000 mg dosis manusia 1 kali dalam 1 minggu selama 2 minggu pemantauan. Preparat retina, koroid dan vitreous diperiksa dengan kromatografi cair ndash; spektrometri massa untuk menentukan kadar azitromisin. Rasio Kmaks/KHM berada jauh diatas batas peningkatan yang menjadi kriteria antibiotik concentration dependent Kmaks/KHM > 10 kali . Kelompok pertama, kedua dan ketiga meningkat lebih dari 100, 74 dan 79 kali, berturut-turut. Rerata kadar azitromisin di vitreus tetap lebih tinggi dari pada KHM pada kelompok 1 68,15 42,95 ng/ml dan kelompok 2 7,73 2,31 ng/ml .
Azithromicyn, an alternative for standard triplet therapy which the later has deleterious side effects, is not precisely known whether intraocular concentration is sufficient to halt replication and promote toxoplasmosis eradication. This study aimed to evaluate azithromicyn level in venous blood, vitreous, and choroid/retinal tissues in rabbits after oral azithromicyn administration equivalent to human doses. Four New Zealand albino rabbits each were given one of the following treatments: administration of azithromycin 26mg / kgBW equivalent to azithromycin 500 mg human dose daily group 1 , 26mg / kgBB every two days group 2 and 50 mg / kgBB kgBB equivalent to azithromycin 1000 mg human dose 1 time in 1 week group 3 for 2 weeks of monitoring. Retinal, choroid and vitreous preparations were examined by liquid chromatography - mass spectrometry to determine azithromycin levels. Cmax/MHC ratio was far above criterion for concentration dependent antibiotics Cmaks / MHC ratio > 10 times Cmax/MHC ratio in group 1,2 and 3 were increased by more than 100, 74 and 79 times, respectively. Mean azithromycin levels in vitreous remained higher than MHC: group 1 68.15 42.95 ng / ml and group 2 7.73 2.31 ng / ml . The azithromycin level in the retina-choroid was higher than that of venous blood after 14 days of oral azithromycin.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Whisnu Bambang Jatmiko
Abstrak :
Latar Belakang: Limfoma Non-Hodgkin (LNH) sel B merupakan jenis keganasan yang paling sering ditemui di regio adneksa okular, dimana sebagian besar jenisnya merupakan derajat indolen yang memiliki manifestasi klinis yang ringan dan tidak spesifik, sehingga pasien seringkali datang dengan kondisi morbiditas yang buruk disertai dengan turun atau hilangnya fungsi penglihatan.BCL-10 sebagai salah satu biomarker yang diketahui memiliki peranan sebagai agen pro-apoptosis yang seharusnya menekan perkembangan tumor, justru lebih banyak ditemukan pada LNH sel B. Tujuan: Menilai hubungan antara ekspresi biomarker BCL-10 terhadap prognosis yang berupa overall survival (OS), progression free survival (PFS) dan event free survival (EFS) pada pasien dengan LNH sel B adneksa okular. Metode: Pewarnaan imunohistokimia menggunakan antibodi BCL-10 dilakukan pada jaringan LNH sel B adneksa okular di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2016 – Juni 2021 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dan sitoplasma dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 5 lapang pandang dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya Hasil: Total 47 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi BCL-10 serta hubungannya dengan prognosis. Kelompok usia > 61 tahun saat terdiagnosis limfoma memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk meninggal (p=0,03). Jenis histopatologi terbanyak adalah Extranodal Marginal Zone Lymphoma (EMZL) sebanyak 83%. Ekspresi BCL-10 pada nukleus dan sitoplasma lebih banyak ditemukan pada LNH sel B derajat agresif (p<0,01 dan p=0,01). Persentase masing-masing prognosis adalah OS 80%, PFS 55%, dan EFS 82%. Tidak terdapat hubungan antara ekspresi BCL-10 pada prognosis (p>0,05), namun uji Regresi-Cox menunjukkan bahwa ada kecenderungan hubungan antara jenis histopatologi dengan semakin rendah nilai OS, PFS, dan EFS berdasarkan nilai hazard ratio. (HR=1,07; HR= 0,74; HR=0,08) Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi BCL-10 di nukleus dan sitoplasma dengan prognosis baik OS, PFS, dan EFS. Namun terdapat kecenderungan hubungan antara ekspresi positif dan intensitas kuat pada sitoplasma dengan semakin rendah nilai laju kesintasan, laju bebas progresivitas, dan laju bebas kejadian. Sementara itu, terdapat korelasi kuat antara semakin tua pasien saat terdiagnosis limfoma dengan risiko yang lebih besar untuk meninggal dan ekspresi BCL-10 lebih banyak ditemukan pada LNH sel B derajat agresif. ......Background: B-cell Non-Hodgkin Lymphoma (NHL) is the most common type of malignancy in the ocular adnexa region. Most types are indolent grades with mild and non-specific clinical manifestations, so patients often come with poor morbidity accompanied by a decrease or loss of visual function. BCL-10, known as one of the biomarkers which have a role as a pro-apoptotic agent that suppresses tumor development, is even more found in B-cell NHL. Objective: To assess the relationship between the expression of the BCL-10 and the prognosis in the form of overall survival (OS), known progression-free survival (PFS) and event-free survival (EFS) in patients with ocular adnexal B-cell NHL. Methods: Immunohistochemical staining using BCL-10 antibody was performed on ocular adnexal B cell NHL tissue in paraffin blocks derived from medical record data from June 2016 – June 2021 at RSCM. Expression assessment was carried out on the nucleus and cytoplasm by manual and semi-quantitative methods in 5 fields of view from the photographs and processed into Qupath software. The assessment results were then cross-checked with the patient's clinical data recorded in the main table and then statistically analyzed to determine the relationship between the two. Results: A total of 47 patients with paraffin block availability were analyzed based on clinical data and BCL-10 expression and its relationship with prognosis. When diagnosed with lymphoma, the age group > 61 years had a ten times greater risk of dying (p=0.03). The most common histopathological type was Extranodal Marginal Zone Lymphoma (EMZL), with 83%. BCL-10 expression in the nucleus and cytoplasm was found more in aggressive B cell NHL (p<0.01 and p=0.01). The percentage of each prognosis is OS 80%, PFS 55%, and EFS 82%. There was no relationship between BCL-10 expression and prognosis (p>0.05). However, the Cox-Regression test showed a tendency for a relationship between the type of histopathology and lower OS, PFS, and EFS values based on the hazard ratio. (HR=1.07; HR=0.74; HR=0.08). Conclusion: There is no significant relationship between BCL-10 expression in the nucleus and cytoplasm with OS, PFS, and EFS prognosis. However, there is a tendency for a relationship between positive expression and strong intensity in the cytoplasm with lower survival rates, progression-free rates, and event-free rates. Meanwhile, there is a strong correlation between the older the patient when diagnosed with lymphoma and the greater risk of death and BCL-10 expression is found more in aggressive B-cell NHL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alia Nessa Utami
Abstrak :
Latar Belakang: Tata laksana edema makula terus dievaluasi, dengan terapi anti-VEGF sebagai lini pertama. Subthreshold micropulse laser (SML) diajukan sebagai alternatif adjuvan. Studi retrospektif terdahulu menunjukkan efektivitas SML 577-nm sebagai monoterapi pada edema makula dengan ketebalan di bawah 400 μm. Akan tetapi, data prospektif efektivitas SML sebagai adjuvan masih minim. Tujuan: Menilai pengaruh pemberian kombinasi bevacizumab dan laser SML 577-nm dibanding bevacizumab monoterapi terhadap ketebalan makula sentral dan tajam penglihatan pasien edema makula diabetik ringan-sedang. Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental lengan ganda. Dilakukan randomisasi acak terhadap pasien edema makula diabetik dengan rentang ketebalan makula 300-600 μm, kelompok kontrol mendapatkan protokol standar. Kelompok studi mendapatkan adjuvan laser SML kuning satu minggu pascainjeksi. Pasien menjalani follow-up penilaian tajam penglihatan dan ketebalan makula sentral pada 28 dan 35 hari pascainjeksi. Hasil: Terdapat 26 subjek yang terbagi rata pada kelompok studi dan kontrol. Ditemukan signifikansi nilai CMT pada kontrol 28 hari dan 35 hari pascainjeksi baik pada kelompok studi (p=0,011 dan 0,014) maupun kontrol (p=0,006 dan p=0,001). Akan tetapi, tidak ditemukan perbedaan signifikansi selisih nilai CMT antara kedua kelompok pada kontrol 28 hari (p=0,317) dan 35 hari (p=0,84). Tidak ditemukan perbedaan selisih TPDK ETDRS antara kelompok studi dan kontrol pada kelompok 28 hari (p=0,568) dan 35 hari (p=0,128) pascainjeksi. Kesimpulan: Kombinasi SML dengan bevacizumab intravitreal dapat mengurangi ketebalan makula sentral dan memperbaiki tajam penglihatan namun tidak ditemui perbedaan yang signifikan dengan monoterapi standar. ......Background: The management of macular edema is constantly evaluated, with anti-VEGF therapy being the first line. Subthreshold micropulse laser (SML) has been proposed as an alternative adjuvant. A previous retrospective study demonstrated the effectiveness of 577-nm SML as monotherapy in macular edema with CMT below 400 μm. However, prospective data on the effectiveness of SML as an adjuvant are lacking. Objective: To assess the effect of the combination of bevacizumab and 577-nm SML laser compared to bevacizumab monotherapy on central macular thickness and visual acuity in mild-moderate diabetic macular edema patients. Methods: This research is a double arm experimental study. A randomized trial was performed on diabetic macular edema patients with macular thickness range of 300-600 μm. The control group received a standard protocol and the study group received a yellow SML laser adjuvant one week after injection. Patients underwent follow-up assessment of visual acuity and central macular thickness at 28 and 35 days postinjection. Results: There were 26 subjects which were equally divided into study and control groups. Significant decrease in CMT were found in study group (p=0.011 and 0.014) and the control group (p=0.006 and p=0.001). However, there was no significant difference in delta CMT values between the two groups in the 28-day (p=0.317) and 35-day controls (p=0.84). There was no difference in ∆TPDK ETDRS between the study and control groups at 28 days (p=0.568) and 35 days (p=0.128) after injection. Conclusion: The combination of SML and intravitreal bevacizumab can reduce central macular thickness and improve visual acuity but there was no significant difference with standard monotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Inno Luminta
Abstrak :
Latar Belakang: Karsinoma sel sebasea adalah keganasan yang cukup sering ditemukan pada populasi Asia dan bersifat agresif dengan tingkat rekurensi lokal dan metastasis jauh yang tinggi. Peningkatan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) tumor suppressor gene p53 dan Ki-67 sebagai penanda aktifitas proliferasi pada tumor kepala dan leher menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas proliferasi dengan buruknya prognosis. Tujuan: Menilai ekspresi p53 dan Ki-67 pada karsinoma sel sebasea yang dihubungkan dengan faktor prognostik klinis dan histopatologi pada karsinoma sel sebasea yaitu ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), metastasis jauh, diferensiasi, penyebaran pagetoid, dan invasi perineural. Metode: Pulasan IHK menggunakan antibodi p53 dan Ki-67 dilakukan pada jaringan karsinoma sel sebasea di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2017 – Juni 2022 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 1 lapang pandang dengan minimal jumlah sel sebanyak 500 sel dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya. Hasil: Total 34 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi p53 dan Ki-67. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi p53 pada hasil penelitian menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu adanya metastasis, invasi perineural, dan penyebaran pagetoid. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi Ki-67 pada penelitian ini menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu ukuran tumor yang lebih besar, metastasis, diferensiasi buruk, dan invasi perineural. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi buruk pada karsinoma sel sebasea. Terdapat proporsi sampel dengan ekspresi Ki-67 tinggi yang lebih banyak dan nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor, metastasis, berdiferensiasi buruk, serta invasi perineural, meskipun hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dan secara statistik tidak bermakna. Pada pulasan p53 terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal proporsi pulasan dengan ekspresi tinggi serta nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor. ......Sebaceous cell carcinoma is a relatively common malignancy in the Asian population, characterized by aggressive behavior with high rates of local recurrence and distant metastasis. Increased expression of immunohistochemical marker such as tumor suppressor gene p53 and Ki-67, a proliferation marker, in head and neck tumors suggests a correlation between proliferation activity and poor prognosis. Objective: This study aims to evaluate the expression of p53 and Ki-67 in sebaceous cell carcinoma and its association with clinical and histopathological prognostic factors, including tumor size, lymph node involvement, distant metastasis, cell differentiation, pagetoid spread, and perineural invasion. Methods: Immunohistochemical staining using p53 and Ki-67 antibodies was performed on paraffin-embedded sebaceous cell carcinoma tissues obtained from medical records between June 2017 and June 2022 at RSCM. Expression assessment was conducted on nuclei using manual and semi-quantitative methods on 500 cells per field processed with Qupath software. The results were cross-checked with patients' clinical data recorded in a master table and statistically analyzed to determine their relationship. Results: A total of 34 patients were analyzed based on clinical data and p53 and Ki-67 expression. There was no statistically significant association between p53 expression and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). However, high p53 expression was associated with a higher proportion of poor prognostic factors, such as metastasis, perineural invasion, and pagetoid spread. Similarly, there was no statistically significant association between Ki-67 expression categories and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). High Ki-67 expression was more frequently observed in cases with larger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion. Conclusion: This study found no significant statistical association between Ki-67 and p53 expression with poor prognostic factors in sebaceous cell carcinoma. Nonetheless, a higher proportion of samples with high Ki-67 expression and higher median values were observed in cases with bigger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion, although these differences were not statistically significant. For p53 expression, significant differences were found in terms of proportion and median values concerning tumor size prognostic factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rayhani Fadhila
Abstrak :
Latar belakang: Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi masih menjadi penyebab tersering gangguan penglihatan di dunia terutama di area terpencil. Phoropter lipat merupakan alat baru yang diciptakan untuk memeriksa kelainan refraksi secara mandiri. Tujuan: Mengetahui validitas phoropter lipat dibandingkan dengan refraksi subjektif konvensional (baku emas) pada miopia dan astigmatisme pada populasi dewasa muda. Metode: Desain potong lintang pada pasien miopia dan astigmatisme yang berusia 18-<40 tahun. Seluruh subjek diperiksa status refraksinya dengan refraksi subjektif konvensional yang dilanjutkan dengan pengukuran refraksi menggunakan phoropter lipat. Validitas phoropter lipat dianalisis dengan kurva ROC dan Bland Altman. Hasil: Terdapat 134 subjek (203 mata) yang terdiri dari miopia (92,6%) dan astigmatisme (62,6%). Rerata sferikal ekuivalen (SE) antara refraksi subjetif konvensional dan phoropter lipat adalah -2,160D (1,68) dan -2,468D (1,64) pada miopia, sedangkan pada astigmatisme -2,252D (1,76) dan -2,585D (1,75). Phoropter lipat memiliki sensitivitas yang tinggi (96,77%) serta spesifisitas yang rendah (61,11%). Nilai area under the curve (AUC) phoropter lipat sangat baik, 0,966. Perbedaan rerata antara hasil refraksi subjektif dan phoropter lipat sekitar 0,308 – 0,359 dengan rentang LoA -1,562 – 2,219 pada miopia dan LoA -1,707 – 2,373 pada astigmatisme. Kesimpulan: Phoropter lipat memiliki validitas yang baik dalam mengukur kelainan refraksi berbasis SE penderita miopia dan astigmatisme dewasa muda. ......Background: Uncorrected refractive error remains the main cause of vision impairment particulary in remote areas. The Folding Phoropter device is a new self-refraction tool that allows users to determine their own refractive error. Objective: To determine the validity of the folding phoropter compared with conventional subjective refraction (gold standard) in myopic and astigmatism young adults. Method: A cross-sectional study in myopic and astigmatism patients aged 18-<40years. All subjects had their refractive status checked using conventional subjective refraction followed by refraction measurements using a folding phoropter. The validity of the folding phoropter was analyzed by ROC curves and Bland Altman. Results: The 134 participants (203 eyes) enrolled consisted of myopia (92.6%) and astigmatism (62.6%). Mean spherical equivalent (SE) measured by conventional subjective refraction and folding phoropter were -2.160D (1.68) and -2.468D (1.64), respectively in myopia, while in astigmatism, mean SE were and -2.252D (1.76) and -2.585 D (1.75). The folding phoropter had high sensitivity (96.77%) and low specificity (61.11%). The folding phoropter had very good AUC, 0.966. The average difference between the results of subjective refraction and folding phoropter was around 0.308 – 0.359 with a range of LoA -1.562 – 2.219 in myopia and LoA -1.707 – 2.373 in astigmatism. Conclusion: The folding phoropter has good validity in measuring SE-based refractive errors in young adults with myopia and astigmatism.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Indira Sari
Abstrak :
Tujuan: Menganalisis efek pemberian sitikolin terhadap kerusakan sel ganglion tikus pada Etambutol Optik Neuropati (EON). Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba tikus. Lima belas ekor tikus Wistar dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok etambutol (B), kelompok etambutol dan sitikolin (C). Kelompok B dan C diberikan perlakuan selama 30 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menilai densitas sel ganglion retina, dan imunohistokimia untuk menilai ekspresi bcl-2 dan caspase-3. Hasil: Densitas sel ganglion retina tikus dengan intoksikasi etambutol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin lebih tipis dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,005), peningkatan ketebalan lapisan sel ganglion ini karena pembentukan vakuola pada sitoplasma sel ganglion. Tikus dengan sitikolin didapatkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi (p=0,001), dan ekspresi caspase-3 yang lebih rendah (p=0,02) dibandingkan tikus yang tidak mendapatkan sitikolin. Simpulan: Sitikolin memberikan efek proteksi terhadap sel ganglion retina dengan EON, dinilai dari morfologi sel ganglion dan ekspresi caspase-3 dan bcl-2.
Objective: To analyze the effects of citicoline administration on rat ganglion cell damage in Ethambutol Optic Neuropathy (EON). Method: This study was an experimental study with rat experiments. Fifteen Wistar rats were divided into three groups, the non-treatment group (A), the ethambutol group (B), the ethambutol and citicoline group (C). Group B and C were given treatment for 30 days, then histopathological examination was performed to assess retinal ganglion cell density, and immunohistochemistry to assess bcl-2 and caspase-3 expression. Result: retinal ganglion cell density of rat with ethambutol intoxication that received citicoline were higher than those who did not get citicoline (p = 0.001). The rat ganglion layer that received citicoline was thinner than those who did not get citicoline (p = 0.005), the increase in thickness of the ganglion cell layer was due to the formation of vacuoles in the cytoplasm of ganglion cells. Rat with citicoline obtained higher bcl-2 ganglion expression (p = 0.001), and lower caspase-3 expression (p = 0.02) than rat that did not get citicoline. Conclusions: Citicoline have a protective effect on retinal ganglion cells with EON, judged by the morphology of ganglion cells and caspase-3 and bcl-2 expressions.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>