Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Arfan
Abstrak :
Latar Belakang: Lebih dari 50 % kasus neuroblastoma datang dengan stage lanjut. Untuk itu, perlu upaya deteksi dini kasus neuroblastoma agar terapi menjadi lebih tepat dan terarah. Salah satu upaya deteksi dini tumor adalah dengan dengan menemukan mikro RNA (miRNA) yang berpotensi sebagai petanda hayati. Jenis tumor yang berbeda mengekspresikan profil miRNA yang berbeda pula. Dengan meneliti profil miRNA pada penderita neuroblastoma, maka bisa diketahui miRNA mana yang berperan sebagai petanda hayati neuroblastoma. Metode: Mikro RNA yang terkandung di dalam eksosom plasma diekstraksi dan disekuens dengan teknologi Next Generation Sequencing menggunakan mesin MiSeq. Data yang didapat menjalani normalisasi dan dilakukan analisis lanjutan yakni mencari miRNA yang terekspresi signifikan secara statistik di sampel plasma dan jaringan terkait dengan stage (M vs Non M), luaran (Meninggal vs Hidup), dan status amplifikasi gen MYCN (teramplifikasi atau tidak). Hasil: Pada parameter stage, terdapat 40 miRNA pada plasma dan 20 miRNA pada jaringan yang terekspresi signifikan. Di parameter luaran, terdapat 35 miRNA pada plasma dan 39 miRNA pada jaringan yang terekspresi signifikan. Pada analisis MYCN, terdapat 11 miRNA pada plasma dan 110 miRNA pada jaringan yang terekspresi signifikan. Mikro RNA-375 ter-upregulated secara signifikan pada stage M. Pada parameter luaran, miRNA-92a-3p ter-upregulated secara signifikan pada luaran meninggal. Mikro RNA 92a-3p dan miR-99a-5p ter-upregulated secara signifikan pada sampel yang terdapat amplifikasi gen MYCN. Kesimpulan: Mikro RNA 375 terekspresi signifikan pada parameter stage M. Mikro RNA 92a-3p terekspresi signifikan pada parameter luaran meninggal. Mikro RNa 92a-3p dan miR-99a-5p terekspresi signifikan pada parameter gen MYCN teramplifikasi. Ketiga miRNA ini, yakni miR-375, miR-92a-3p, miR-99a-5p berpotensi menjadi petanda hayati pada neuroblastoma. ......Background: More than 50 % of neuroblastoma cases present in advance stage. An early detection effort is needed to direct the treatment with precision. One such effort is to find potential micro RNA (miRNA) that functions as biomarker. Different tumor type produces different miRNA expression profile. The study of miRNA profile in neuroblastoma may pave way to identify potential miRNA that may play role as biomarker in neuroblastoma. Methods: Exosomal miRNA were extracted and sequenced using MiSeq, a Next Generation Sequencing platform machine. The counts obtained underwent normalization and further analysis of significantly expressed miRNA in stage (M vs Non M), Output (Deceased or Alive), and MYCN gene amplification (present or not) in both plasma and tissue samples were done. Results: In stage parameter, there were 40 and 20 miRNAs significantly expressed in plasma and tissue. In output parameter, there were 35 and 39 miRNAs significantly expressed in plasma and tissue. In MYCN parameter, there were 11 and 110 miRNAs significantly expressed in plasma and tissue. Micro RNA-375 was significantly upregulated in stage M. In output parameter, miRNA-92a-3p was significantly upregulated in deceased cases. Micro RNA 92a-3p and miR-99a-5p were significantly upregulated in samples with amplified MYCN gene. Conclusion: Micro RNA 375 was significantly expressed in stage M. Micro RNA 92 a- 3p was significantly expressed in deceased cases. Micro RNA 92a-3p and miR-99a-5p were significantly expressed in amplified MYCN samples. Those three miRNAs, miR- 375, miR-92a-3p, miR-99a-5p have potential to be biomarkers for neuroblastoma.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cipuk Muhaswitri
Abstrak :
Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK adalah penyakit akibat stres oksidatif penyebab menurunnya fungsi paru sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderitanya.Tes baku untuk mengukur kualitas hidup PPOK adalah COPD AssessmentTest CAT . Vitamin C sebagai antioksidan banyak terdapat di cairan pelapis epitel paru. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara kadar vitamin C serum dan skor CAT pada PPOK. Penelitian potong lintang ini dilakukan di RSUP Persahabatan,Jakarta Timur, melibatkan 47 subjek dengan metode consecutive sampling. Data karakteristik subjek dan asupan vitamin C secara FFQ semikuantitatif didapatkan melalui wawancara. Data klasifikasi klinis, fungsi paru, komorbid, skor CAT didapatkan dari rekam medis dan wawancara. Status gizi ditentukan berdasarkan Indeks Masa Tubuh IMT , dan kadar vitamin C serum dengan spektrofotometer. Semua subjek laki-laki, rerata usia 66,6 tahun, sebagian besar bekas perokok berat dengan fungsi paru rendah. Status gizi kurang pada 25 subjek, skor CAT kategori ringan, asupan vitamin C cukup, dan kadar vitamin C rendah. Tidak didapatkan korelasi antara kadar vitamin C serum dan skor CAT. ......COPD is a disease due to oxidative stress causing low pulmonary function, resulting in low quality of life. A standard test to measure the quality of life in COPD is COPD Assessment Test CAT . Vitamin C as antioxidant is widely available in the pulmonary epithelial fluid. This study aimed to investigate the correlation between serum vitamin C level and CAT score in COPD. This cross sectional study was conducted at Persahabatan Hospital, East Jakarta, involving 47 subjects using consecutive sampling method. Interview was used to assess subjects rsquo characteristics and vitamin C intake using semi quantitative FFQ. Clinical classification, lung function, comorbidity, and CAT scores were gathered from medical records or interview. BMI was used to determine nutritional status, while vitamin C serum level was assessed using spectrophotometry. All subjects were male, mean age was 66.6 years, mostly ex heavy smokers, with decreased lung function, and 25 were undernourished. Vitamin C intake was sufficient, but low in serum vitamin C level and CAT score. There was no correlation between serum vitamin C levels and CAT score.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Any Safarodiyah
Abstrak :
Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK merupakan penyakit dengan penurunan fungsi paru, yang melibatkan stres oksidatif pada patogenesisnya. Likopen diketahui merupakan salah satu karotenoid utama pada jaringan paru dengan aktivitas antioksidan sangat kuat. Penelitian potong lintang ini dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, melibatkan 47 subjek dengan tujuan mengetahui korelasi antara kadar likopen serum dengan fungsi paru pada penderita PPOK. Karakteristik subjek dan asupan likopen didapatkan melalui wawancara menggunakan food frequency questionairre FFQ semi-kuantitatif. Kategori diagnosis PPOK didapatkan dari rekam medis atau wawancara. Status gizi ditentukan berdasarkan Indeks Masa Tubuh IMT , fungsi paru ditentukan menggunakan spirometri, dan kadar likopen serum diukur dengan High Performance Liquid Chromatography HPLC . Semua subjek laki-laki, terbanyak berusia ge;60 tahun, hampir separuh bekas perokok berat, 51 berstatus gizi normal. Asupan likopen 4.407 256 ndash;18.331 mg/hari, lebih rendah daripada asupan orang sehat. Kadar likopen serum 0,57 0,25 mmol/L, setara dengan orang sehat. Terdapat korelasi positif p=0,001; r=0,464 antara kadar likopen serum dengan VEP1/KVP, namun tidak terdapat korelasi kadar likopen serum dengan VEP1/Prediksi dan KVP/Prediksi. ......Chronic Obstructive Pulmonary Disease COPD is a disease with decreasing pulmonary function, involving oxidative stres on its pathogenesis. Lycopene is one of the main carotenoids in lungs, with very potent antioxidant property. This cross sectional study was conducted at Persahabatan Hospital Jakarta, involving 47 subjects, aiming to investigate the correlation between serum lycopene level and lung function in COPD subjects. Interview was used to assess subjects rsquo characteristics and lycopene intake using semi quantitative food frequency questionnaire FFQ . COPD grouping was gathered from medical records or interview. Body mass index BMI was used to determine nutritional status, lung function test conducted by spirometry, while lycopene serum level was assessed using High Performance Liquid Chromatography HPLC method. All subjects were male, majority ge 60 years old, almost half ex heavy smokers, about 51 were in normal nutritional status. Lycopene intake was 4,407 256 ndash 18,331 mg day, lower compared to healthy subjects rsquo . Serum lycopene level was 0.57 0.25mmol L, similar to normal level in healthy individuals. There was a correlation p 0.001 r 0.464 between serum lycopene level and FEV1 FVC, but no correlations between serum lycopene level and FEV1 , neither was FVC .
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismulat Rahmawati
Abstrak :
Latar belakang: Tatalaksana tuberkulosis resistan obat membutuhkan obat antituberkulosis suntik lini kedua yang menyebabkan efek samping ototoksik menetap. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalens ototoksik pada pasien tuberkulosis resistan obat dan faktor-faktor yang berhubungan. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien TB resistan obat yang sedang mendapat obat kanamisin atau kapreomisin sebagai bagian paduan obat pada pengobatan tahap awal periode Januari-September 2017 di RSUP Persahabatan. Ototoksik ditentukan berdasar kriteria American Speech Language and Hearing Association (ASHA) tahun 1994 dengan membandingkan nilai audiometri dasar sebelum pengobatan dan saat penelitian. Hasil: Sebanyak 72 pasien ikut pada penelitian ini. Ototoksik didapatkan pada 34 pasien (47,2%). Ototoksik pada bulan pertama pengobatan yaitu 5 subjek (14,7%) dan 19 subjek 56 tanpa keluhan gangguan pendengaran. Ototoksik lebih sering didapatkan pada penggunaan kanamisin (47,9%) dibandingkan kapreomisin (36,8%). Terdapat berhubungan bermakna antara faktor usia dan ototoksik dengan peningkatan risiko sebesar 5 pada setiap penambahan usia 1 tahun, p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). Kelompok subjek dengan komorbid DM dan peningkatan kreatinin serum didapatkan prevalens ototoksik lebih tinggi meskipun tidak bermakna secara statistik. Faktor jenis kelamin, IMT, riwayat penggunaan OAT suntik, status HIV dan total dosis obat juga tidak didapatkan hubungan bermakna dengan ototoksik. Kesimpulan: Ototoksik merupakan efek samping yang sering terjadi pada pengobatan fase awal pasien TB resistan obat. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan lebih baik.
Background: The treatment of drug resistance tuberculosis needs second line injection antituberculosis drug that associated with irreversible ototoxic. The aim of this study is to know the prevalence of ototoxicity in tuberculosis drug resistance patients and the contributing factors. Methods: This is a cross sectional study among drug resistance TB patients who receive kanamysin or capreomycin as a part of drug regimen during intensive phase in January to September 2017 at Persahabatan hospital. Ototoxic defined according to American Speech Language and Hearing Association (ASHA) 1994 criteria by comparing baseline audiometric examination before treatment with current result. Results: Seventy two patients were included in this study. The prevalence of ototoxicity was found in 34 patients (47,2%). Ototoxic found in 5 subjects (14,7%) during the first month of treatment and 19 subjects 56 without hearing disturbance complain. Ototoxic in kanamisin group (47,9%) is more frequent compared with capreomisin (36,8%). Ototoxicity was associated with age, the risk increases 5 every 1 year older p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). The prevalences of ototoxicity are higher in diabetes and increasing serum creatinin patients but statistically not significance. Sex, body mass index, the history of using injectable antiTB drug, HIV status and total dosis were not associated with ototoxicity. Conclusion: Ototoxicity is common in intensive phase of drug resistance tuberculosis treatment. Further study needed to determine the association of contributing factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Purwitasari
Abstrak :
Latar Belakang: Asma merupakan penyakit respirasi kronik yang terjadi sebesar 1-18 pada seluruh populasi di berbagai negara. Pada beberapa dekade terakhir ini prevalens asma meningkat di dunia. Penyebab peningkatan prevalens asma tidak terlepas dari faktor pencetus yang mendasari. Risiko asma pada petugas kebersihan telah banyak dilaporkan pada beberapa penelitian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalens asma pada penyapu jalan raya di Jakarta. Metode: Desain penelitian ini yaitu potong lintang pada penyapu jalan raya di 5 wilayah kota Jakarta. Pengambilan sampel menggunakan cluster sampling dengan melakukan pemeriksaan spirometri berdasarkan Pneumobile Project Indonesia, uji bronkodilator, uji variabilitas, wawancara menggunakan kuesioner Asthma Screening Questionnaire ASQ dan Asthma Control Test ACT . Kriteria inklusi adalah laki-laki dan perempuan berumur 15-60 tahun, mengisi inform consent dan masa kerja ge; 2 tahun.Hasil: Hasil dari penelitian ini terdapat 5 orang yang terdiagnosis asma. Prevalens asma pada penyapu jalan raya di Jakarta yaitu 3,2 .Kelompok terbanyak dengan status asma yaitu perempuan 4 orang 80 , umur > 40 tahun 80 , masa kerja le; 10 tahun sebanyak 4 orang 80 , status gizi lebih banyak dengan IMT ge; 25 gizi lebih sampai obesitas 4 orang 80 , bukan perokok sebanyak 4 orang 80 , tidak memakai APD 80 , mempunyai riwayat asma pada keluarga 3 orang 60 dan tidak mempunyai riwayat atopi 3 orang 60 . Riwayat asma pada keluarga merupakan faktor yang bermakna secara statistik terhadap status asma pada penyapu jalan di Jakarta p=0,00 .Kesimpulan: Riwayat asma pada keluarga merupakan faktor yang bermakna secara statistik terhadap status asma pada penyapu jalan di Jakarta p=0,00 . Prevalens asma pada penyapu jalan raya di Jakarta yaitu 3,2 .Kata Kunci: Penyapu jalan, prevalens, asma ......Background Asthma is a common, chronic respiratory disease affecting 1 18 of the population in different country. In the last decades, a continuous increase in the prevalence of asthma has been observed worldwide. An increase prevalence of asthma depends on the underlying factors. Excess risk of asthma among cleaning workers has been reported in a number of general population studies. The aim of this study was to determine the prevalence of asthma among street sweepers in Jakarta.Method This research design is cross sectional with the subject are street sweepers in Jakarta Indonesia. Sample collection using a cluster sampling through spirometry examination based on Pneumobile Project Indonesia, bronchodilator test, variability test, questionnaire of Asthma Screening Questionnaire ASQ and Asthma Control Test ACT . The inclusion criteria are male and female, signed an inform consent, 15 60 years old and work period ge 2 years.Results The result of this study that there are 5 subjecs being diagnosed of asthma. The prevalence of asthma among street sweepers in Jakarta is 3,2 . The largest group with status asthma are female 80 , age 40 years old 80 , working time le 10 years 80 , BMI ge 25 80 , non smoker 80 , work without mask 80 , family history of asthma 60 and without history of atopy 60 . There was a statistically significant relationship between family history of asthma and asthma status in this study p 0,00 .Conclusion There was a statistically significant relationship between family history of asthma and asthma status in this study p 0,00 . The prevalence of asthma among street sweepers in Jakarta is 3,2 .Keyword asthma, prevalence, street sweeper
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Angasreni
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker paru merupakan kanker terbanyak kedua yang terdiagnosis dan menjadi penyebab terbanyak kematian akibat kanker. Pemberian afatinb sebagai terapi target Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI saat ini telah menjadi terapi standar untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di Indonesia, termasuk di RSUP Persahabatan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pemberian terapi afatinib pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan. Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis fisik dan elektronik, dilakukan di Poli Onkologi RSUP Persahabatan, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib pada Januari 2018-Desember 2021 di Poli Onkologi RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria penelitian. Hasil: Didapatkan 116 subjek penelitian, pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib di RSUP Persahabatan dengan karakteristik lebih banyak laki-laki (52,6%), kelompok usia <65 tahun (80,2%), suku Jawa (81,9%), tanpa faktor risiko keganasan di keluarga (82,8%). Saat terdiagnosis subjek penelitian lebih banyak dengan stage IVA (75%), metastasis pleura (59,5%), mutasi EGFR delesi ekson 19 (53,4%) status tampilan 0-1 (75,9%) dan metastasis otak didapatkan pada 19% subjek. Nilai median progression free survivival (PFS) subjek penelitian yang mendapat afatinib adalah 13 bulan (95%IK 10,5-15,5 bulan), dan nilai median overall survival (OS) adalah 17 bulan (95%IK 14,9-19,1 bulan). Angka tahan hidup satu tahun yang didapat 65,1% dan Objective Respons Rate (ORR) adalah 36,1%. Sebanyak 35,3% subjek mendapatkan penurunan dosis afatinib 20 mg atau 30 mg. Toksisitas nonhematologi tersering pada pada penelitian ini adalah diare (74,1%), diikuti oleh stomatitis (61,2%), ruam kulit (59,5%) dan paronikia (49,1%). Kesimpulan: Afatinib sebagai terapi lini pertama memberikan luaran yang cukup baik untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan dengan efek samping samping nonhematologi yang dapat dikelola. Riwayat penurunan dosis afatinib tidak memengaruhi angka kesintasan. ......Background: Lung cancer is the second most diagnosed cancer and the most common cause of death from cancer. Afatinib as targeted therapy with Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI) has now become standard therapy for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations in Indonesia, including at RSUP Persahabatan. This study was conducted to analyze the administration of afatinib therapy in lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital. Metode: Design of the study was retrospective cohort using secondary data, physical and electronic medical records at Oncology Clinic Persahabatan Hospital with total sampling technique. Subject of this study were medical records of lung adenocarcinoma patients with EGFR mutation and received afatinib therapy by January 2018- December 2021 which met the inclusion criteria. Results: There were 116 subjects of lung adenocarcinoma with EGFR mutation and received afatinib at Persahabatan Hospital, with predominant of male (52,6%), age <65 years old (80,2%), Javanese (81,9%), without history of cancer in family (82,8%). Most of subjects are diagnosed as lung adenocarcinoma at stage IVA (75%), with most of them have pleural metastases (59,5%), EGFR mutation with exon 19 deletion (53,4%), performa status 0-1 (75,9%), and brain metastases were found in 19% of subject. The median progression free survival (PFS) of subjects was 13 months (95% CI 10.5-15.5 months), and the median overall survival (OS)was 17 months (95% CI 14.9- 19.1 months). The one-year survival rate was 65.1% and the Objective Response Rate (ORR) was 36,1%. As many as 35.3% of subjects had adjustment dose of afatinib to 20 mg or 30 mg The most common non-hematological toxicity found was diarrhea (74.1%), followed by stomatitis (61.2%), skin rash (59.5%) and paronychia (49.1%). Conclusion: Afatinib as a first-line therapy provides a good outcome for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital with manageable non-hematological adverse events. History of adjustment dose of afatinib did not affect survival rate.
2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Derallah Ansusa Lindra
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengukur volume paru pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta untuk mengetahui prevalens peningkatan nilai volume paru pada pasien PPOK stabil. Metode : Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang (cross sectional study) pada pasien PPOK stabil yang berkunjung di Poliklinik Asma-PPOK RSUP Persahabatan Jakarta. Dilakukan uji volume paru dengan menggunakan gas dilusi MBNW pada pasien PPOK stabil yang diambil secara konsekutif antara bulan Februari-Maret 2016. Hasil : Uji Spirometri dan Volume paru dilakukan pada 36 subjek didapatkan 3 subjek (8.3%) termasuk kedalam PPOK Grup A, 10 subjek (27.8%) PPOK Grup B, 9 subjek (25%) PPOK Grup C dan 14 subjek (8.9%) PPOK Grup D. Usia <60 tahun 9 subjek (25%) dan ≥60 tahun 27 subjek (75%). Rerata VEP1 % prediksi 47.81%, rerata nilai KRF 2476.39 ml, rerata nilai VR % 76.16%, rerata nilai VR/KPT 42.03% dan nilai rerata KRF/KPT 59.09%. Peningkatan VR pada Grup PPOK C-D dibanding Grup PPOK A-B, peningkatan juga terjadi pada VR/KPT dan KRF/KPT pada Grup C-D masing-masing 62.9% dan 71.4%. Nilai VR/KPT mempunyai hubungan bermakna dengan skala MmRC, Uji jalan 6 menit dan eksaserbasi dalam 1 tahun, namun nilai KRF/KPT berhubungan bermakna dengan skala MmRC dan skala CAT. Kesimpulan : Nilai VR/KPT mempunyai hubungan bermakna dengan skala MmRC, Uji jalan 6 menit dan eksaserbasi dalam 1 tahun, namun nilai KRF/KPT berhubungan bermakna dengan skala MmRC dan skala CAT.
ABSTRACT
Background: This is a preliminary study to measure lung volume in patients with stable COPD in RSUP Persahabatan Jakarta to determine the prevalence of the increasing value of the lung volume in patients with stable COPD. Method: This study used a cross-sectional study design of outpatiens with stable COPD who visited Asthma-COPD clinic Persahabatan Hospital, Jakarta. The Lung volume test using a gas dilution MBNW taken consecutively from February to March 2016. Results: Test Spirometry and Lung volumes performed on 36 subjects. There were 3 subjects (8.3%) the COPD group A, 10 subjects (27.8%) COPD Group B, 9 subjects (25%) COPD Groups C and 14 subjects (8.9%) COPD Group D. At the age <60 years of 9 there were subjects (25%) and ≥60 years of 27 subjects (75%). The result of FEV1% 47.81%, of FRC 2476.39 ml, of RV% 76.16%, of RV / TLC 42.03% and of FRC / TLC 59.09%. The measurement of VR were in Group C-D COPD, the increase also occurred in RV / TLC and FRC / TLC in Group C-D respectively 62.9% and 71.4%. Value RV / TLC has a significant relationship with the MmRC scale, a 6-minutes walking test and exacerbation within one year, however of FRC / TLC significantly associated with MmRC scale and CAT scale. Conclusion: Value RV / TLC has a significant relationship with the MmRC scale, a 6-minutes walking test and exacerbation within one year, however of FRC / TLC significantly associated with MmRC scale and CAT scale.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggar Jito
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan : Tuberkulosis saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia dan Indonesia menempati urutan kedua kasus TB paru di seluruh dunia. Faktor risiko terpenting terinfeksi TB adalah malnutrisi. Keadaan ini mempengaruhi perjalananpenyakit sehingga menentukan prognosis pengobatan dan meningkatkan angka mortalitas. Malnutrition screening tools MST sebagai alat penapisan risiko malnutrisi banyak dipergunakan pada rawat inap dandiharapkan dapat menilai hubungan status gizi pasien dengan bacterial load di tingkat pelayanan primer/rawat jalan. Metode : penelitian mempergunakan desain potong lintang dengan 185 sampel yang diambil dengan cara stratified consecutive sampling di Puskesmas Rujukan mikroskopis PRM wilayah Kota bekasi pada penderita TB paru kasus baru yang belum mendapatkan terapi Obat anti tuberkulosis OAT. Hasil : Karakteristik subjek TB paru kasus baru di puskesmas menurut usia dengan nilai tengah 37 tahun IQR 25-51, laki-laki 61,6, perokok 44,3, Kontak serumah 27,6, IMT gizi kurang 56,8, hipoalbumin 18,4, anemia 54,6 kavitas 27 dan keluhan sebagian besar subjek batuk 2-3mgg, demam dan mudah lelah. Terdapat perbedaan bermakna kadar albumin, IMT, skor risiko MST, dan gejala klinis batuk berdahak, batuk kering, sesak napas, nafsu makan turun, berat badan turun dan keringat malam. Skor MST p=2 dan nafsu makan turun mempunyai risiko untuk menderita TB dengan bacterial load 1 ,2 dan 3 . Skor MST dapat dipergunakan sebagai prognosis derajat keparahan penderita TB paru kasus baru di pelayanan kesehatan primer. ......Background and aim: Currently tuberculosis still become global health problems and Indonesia is as the second number of tuberculosis globally. Most important risk factor of tuberculosis is malnutrition. This condition affects to pathogenesis of tuberculosis so it will be determining treatment prognosis and increasing mortality. Malnutrition Screening Tools MST often uses at hospitalized patients to decide malnutrition risk and hopefully it has correlation between nutritional status and bacterial load at primary health center outpatients. Method: A cross sectional study was conducted among 185 samples new case without tuberculosis drug treatment and stratified consecutive sampling at microscopic reference community health center of Bekasi city. Results: Data from total 185 participants with median age 37 years IQR 25 51, male 61,6, smokers 44,3, household contact 27,6, BMI underweight 56,8, Hipoalbumin 18,4, anemia 54,6, cavity 27 and most of clinical manifestations are prolong cough, fever and weak. There are correlation among variabels consist of albumin level, BMI, MST score, productive and dry cough, dyspnea, loss of appetite and weight and night sweat. MST score p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Akza Putrawan
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Penyakit kardiovaskular merupakan komorbid yang sering terjadi dan menjadi penyebab kematian pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penyakit kardiovaskular menjadi salah satu faktor prediksi tahan hidup pasien PPOK. Pemeriksaan echocardiography merupakan pemeriksaan yang akurat dan menyediakan informasi untuk evaluasi fungsi jantung.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi jantung pasien PPOK berdasarkan temuan echocardiography di RSUP Persahabatan Jakarta. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan.Penelitian dilakukan dari Januari-Juni 2017. Subjek yang memenuhi kriteria akan dilakukan anamnesis, spirometri dan echocardiography. Hasil: Sebanyak 70 pasien ikut serta dalam penelitian ini dan dilakukan echocardiography. Usia rerata subjek adalah 65,68 ± 7,65. Subjek terbanyak adalah laki-laki (95,7%). Pada penelitian ini ditemukan 5,7% subjek memiliki gagal jantung kiri, 11,4% memiliki gagal jantung kanan, 30% hipertensi pulmoner, 8,6% mengalami dilatasi ventrikel kanan dan 11,4% mengalami pembesaran ventrikel kiri. Analisis statistik menemukan hubungan bermakna antara tricuspid annular plane excursion(TAPSE) dengan eksaserbasi pada PPOK(p<0,05). Terdapat hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kontraksi ventrikel kanan, hipertensi pulmoner dan dilatasi ventrikel kanan. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara derajat keparahan PPOK dengan dimensi, tekanan dan kontraksi jantung. Kesimpulan: Prevalens gangguan fungsi jantung tinggi pada pasien PPOK dan memiliki hubungan dengan eksaserbasi pada PPOK. Pasien dengan fungsi paru rendah memiliki kecenderungan untuk memilki gangguan di jantung.
Background/Aim: Cardiovascular disease is a frequent comorbidity and cause of death in chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Cardiovascular disease is one of predictive of survival in COPD. Echocardiography provides accurate and rapid information to evaluate cardiac function. The aim of this study is to elucidate the cardiac function based on echocardiography findings in stable COPD patients in the Persahabatan Hospital Jakarta. Methods: This study is a cross sectionalstudy among stable COPD patients who visit asthma-COPD clinics in Persahabatan Hospitals from January to June 2017. Interview, spirometry dan echocardiography perform to all subject who meet the ctiteria. Results: A total 70 subject with COPD perform echocardiography with mean ages 65,68 ± 7,65. Most of subject were men (95,7%). In this study found 5,7% subjects with left ventricle failure, 11,4% with right ventricle failure, 30% with pulmonary hypertension, 8,6% with right ventricle dilatation and 11,4% left ventricle hypertrophy. Statistic analysis have found significant association between tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) and exacerbation in COPD patient (p<0,05). In this study found significant relationship between body mass index (BMI) and right ventricle contraction, pulmonary hypertension and right ventricle dilatation. There were no significant relationship between COPD severity and cardiac dimension, pressure and contraction. Conclusion: Prevalence of cardiac function abnormality were high in COPD patient and have relationship with exacerbation of COPD. Patient with lower lung function tender to have cardiac problem.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan salah satu penyebab terbanyak batuk kronik dan menjadi faktor risiko terjadinya eksaserbasi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), menurunkan kualitas hidup dan memperparah gejala respirasi dan pencernaan. Total 40 pasien diikutkan pada penelitian ini. Pasien diambil secara konsekutif dari poliklinik asma PPOK di RSUP Persahabatan dimulai dari bulan Mei 2017. Diagnosis PPOK berdasarkan GOLD 2017 yaitu nilai spirometri VEP1/KVP pasca bronkodilator < 0.7. Diagnosis PRGE menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas apabila ditemukan kerusakan mukosa esofagus. Kriteria eksklusi yaitu eksaserbasi dan kelainan esofagus yang sudah diderita sebelumnya. Metode: Penelitian ini adalah potong lintang pada pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan mulai bulan Juli sampai Nopember 2017. Sebanyak 40 pasien dipilih secara konsekutif sejak bulan Mei 2017. Pemeriksaan berupa wawancara, spirometri dan endoskopi dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil: Subjek yang mengikuti penelitian sebanyak 40. Prevalens PRGE pada PPOK adalah 40% (16/40). Tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua grup berdasarkan usia, jenis kelamin, Indeks Brinkman (IB) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Keterbatasan aliran udara yang lebih berat dan nilai spirometri pascabronkodilator yang lebih rendah memiliki kecenderungan terjadinya PRGE lebih besar walaupun secara statistik tidak bermakna. Rerata pasien berusia lanjut dan mempunyai riwayat merokok. Eksaserbasi dan skor CAT berhubungan secara bermakna (p < 0.05) dengan kejadian PRGE. Penggunaan obat-obatan PPOK seperti LABA, LAMA dan SABA tidak berubungan bermakna dengan PRGE. Gejala dada terbakar (heartburn) bermakna secara statistik (p < 0.05) sebagai tanda PRGE. Kesimpulan: Prevalens PRGE cukup tinggi pada pasien PPOK dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pasien bukan PPOK dengan gejala dispepsia di Jakarta. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan PRGE sebagai salah satu komorbid yang penting pada PPOK. Penelitian kohort dan strategi pencegahan disarankan untuk dilakukan selanjutnya. ......Background/Aim: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is one of the most common causes of chronic cough and is a potential risk factor for exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD), decreasing quality of life in COPD patients, aggravating symptoms both respiratory and gastro-intestinal. Total 40 patients were recruited consecutively from the outpatient of Asthma and COPD clinic at Persahabatan hospital Jakarta started from May 2017. The diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD) was based on the mucosal break on the esophageal lining through endoscopic examination. Exclusion criteria were COPD exacerbation and known esophageal disease. Methods: This is a cross sectional study among stable COPD patients who visited asthma-COPD clinics at Persahabatan Hospital from July to November 2017. 40 patients were recruited consecutively started from May 2017. Interview, spirometry and endoscopy performed to all subjects who meet the inclusion criteria. Results: A total 40 subjects were enrolled in our study. Prevalence of GERD in COPD was 40%. There was no significant difference between the two groups regarding age, sex, Index Brinkman (IB) and Body Mass Index (BMI), although in the RE group has a slightly higher BMI. More severe airflow obstruction tends to increase in GERD group although no significant statistical difference Most patients were elderly and smoker/ex. Exacerbation and CAT score were significantly associated with GERD (p<0.05). Post BD spirometry showed greater airway and severe COPD tends to also had GERD similar to results of other studies. Respiratory medication such as ICS + LABA, LAMA and SABA statistically insignificant with GERD. Heartburn as a symptom showed statistically significant to predict GERD (p < 0.05). Conclusion: Prevalence of GERD was high in COPD patient and even higher than previously reported in general patient with dyspepsia syndrome in Jakarta. Physician should consider GERD as one of the most important comorbidities in COPD. Cohort study and preventive strategy are warranted in the future.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>