Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
"

Latar Belakang: Setiap individu memiliki antigen sel darah merah (SDM) yang unik pada membrannya. Terdapat lebih dari 300 antigen SDM yang dapat membagi darah ke dalam 36 sistem golongan. Adanya variasi pada antigen sel darah merah menyebabkan uji kecocokan darah antara pasien dengan donor wajib dilakukan guna mencegah terjadinya reaksi antara antigen donor dengan antibodi pasien. Pasien thalassemia memerlukan transfusi darah rutin yang dapat meningkatkan risiko terbentuknya aloantibodi, sehingga seringkali sulit untuk menemukan darah donor yang kompatibel. Unit Transfusi Darah (UTD), dalam rangka menjamin keselamatan pasien, harus mampu menyediakan darah donor tanpa antigen yang dapat menyebabkan reaksi transfusi. Pemeriksaan genotipe akan memberikan gambaran variasi antigen SDM donor, sehingga memudahkan pencarian donor yang sesuai untuk resipien.

Tujuan: Mengetahui adanya variasi genotipe antigen SDM pada donor sehingga dapat diupayakan penyerasian antigen darah donor untuk pasien transfusi berulang.

Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan desain potong lintang. Subyek pada penelitian ini adalah donor untuk pasien thalassemia. Sampel darah donor dikumpulkan untuk dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO, Rhesus, ekstraksi DNA, dan genotipe antigen SDM.

Hasil dan Diskusi: Dari total 161 subyek penelitian, distribusi ABO/Rhesus donor adalah 68 subyek O+(42,24%), 43 subyek A+, 41 subyek B+, dan 9 subyek AB+. Setelah dilakukan pemeriksaan genotipe antigen SDM, didapatkan golongan darah dengan genotipe tersering untuk masing-masing golongan darah sebagai berikut Ce (98%) pada Rhesus, k/k (100%) pada Kell, Jka/Jkb (40,76%) pada Kidd, Fya/Fya (74,84%) pada Duffy, Dib/Dib (99,36%) pada Diego, Dob/Dob (80,89%) pada Dombrock, Coa/Coa (100%) pada Colton, Yta/Yta (98.09%) pada Cartwright, MN (47,37%), s (86,54%) pada MNS dan Lub/Lub (100%) pada Lutheran. Pada studi ini juga ditemukan beberapa antigen darah langka seperti cE (1,33%), cEe (2%), CEe (1,33%), Fyb (1,29%), DiaDib (0,64%), YtaYtb (1,91%), dan S (1,94%). Perlu diperhatikan antigen darah langka yang ditemukan pada donor/ populasi umum, bila ditransfusikan kepada pasien dengan antigen umum, dapat memicu timbulnya antibodi.

Kesimpulan: Pada penelitian ini ditemukan beberapa variasi genotipe antigen golongan darah pada donor, termasuk antigen langka. Perbedaan variasi antigen sel darah merah donor dan pasien dapat menyebabkan timbulnya aloantibodi, terutama pada pasien transfusi berulang. Oleh karena itu, pemeriksaan genotipe antigen SDM diharapkan dapat mengurangi reaksi transfusi dan meningkatkan keamanan pasien, terutama pasien yang membutuhkan transfusi berulang.

Kata kunci: antigen sel darah merah, genotipe, donor, aloantibodi


Background: Every individual has unique antigens on their red blood cells surface. There are more than 300 antigens of red blood cells that differentiate blood into 36 blood group systems. Due to the variation in antigen of red blood cell, it is a must to perform blood group matching between the patients and donors blood to prevent reactions between the donors antigen and patients antibody in the blood. Thalassemia patients require regular transfusions which resulting in the production of alloantibody, hence making it difficult to find compatible blood. Blood Transfusion Units (UTD) is required to provide blood without antigen that can trigger transfusion reaction to ensure patient safety. Red blood cell antigen genotyping from the donor can describe the variation of red blood cell antigen from the donor.

Aims: To identify the genotype variation of the donor red blood cells antigen, hence optimizing the donors antigen matching in patients with regular transfusion.

Methods: This was a descriptive observational study with cross sectional design. Subjects in this study were donor for thalassemia patients. Blood samples from donors underwent several examinations, such as the ABO blood type testing, Rhesus testing, DNA extraction, and red blood cell antigen genotyping.

Results and Discussions: From a total of 161 research subjects, the distribution of ABO/Rhesus blood grouping are 68 of O+(42,24%), 43 of A+, 41 of B+, and 9 of AB+. From the red blood cell antigen genotyping, variations of red cell antigens were found in several blood group systems as follows, Rhesus, Kidd, Kell, Duffy, MNS, Diego, Dombrock, Colton, Cartwright, and Lutheran. Our findings also shown several rare antigens such as cE (1,33%), cEe (2%), CEe(1,33%), Fyb (1,29%), DiaDib (0,64%), YtaYtb (1,91%), S (1,94%). It is important to note that rare blood antigens were found in donors/ general population, if blood is transfused to patients, it can trigger the alloantibody production.

Conclusion: Our study found there were genotype variations in the blood antigen of donor, some of them were rare types. The difference of red blood cell antigen between donors and patients may lead to the development of alloantibody, especially in patients who need multiple transfusion. Therefore, red blood cell antigen genotyping is expected to decrease the incidence of transfusion reactions and increase patient safety, especially in patients that required multiple transfusions.

Keywords: Red blood cells antigen, genotyping, donor, alloantibody

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saskia Aziza Nursyirwan
"Latar Belakang: Kanker kolorektal (KKR) adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas terkait kanker. Pemeriksaan baku emas yang dilakukan untuk mendiagnosis kanker kolorektal hingga saat ini adalah histopatologi, yang didapat dari biopsi saat kolonoskopi. Oleh karena tidak semua pasien mau untuk menjalani pemeriksaan invasif di awal rencana diagnosis, maka pendekatan non-invasif baru yang dapat melengkapi dan meningkatkan strategi untuk diagnosis non invasif dan manajemen kanker kolorektal sangat dibutuhkan. Circulating tumor cell (CTC) dalam darah diharapkan dapat digunakan sebagai penanda diagnostik yang non-invasif pada pasien dengan KKR.
Tujuan: Penelitian ini merupakan uji diagnostik CTC pada KKR menggunakan metode isolasi dan analisis CTC imunomagnetik seleksi negatif menggunakan Easysep™ dan marker mesenkimal kanker CD44.
Metode: potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa yang diduga kanker kolorektal di RSCM selama bulan September 2020 hingga September 2021. Analisis uji diagnostik digunakan untuk mencari titik potong beserta nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), rasio kemungkinan positif (RKP), dan rasio kemungkinan negatif (RKN) CTC dalam mendeteksi KKR.
Hasil: Sebanyak total 80 subjek penelitian, didapatkan mean umur 56 ± 11 tahun. Proporsi subjek berdasarkan jenis kelamin yaitu 46,3% pasien perempuan dan 53,8% pasien lelaki. Sebanyak 77,5% subjek mengalami kanker kolorektal, 7,5% polip adenoma, dan 15% polip inflamasi/ hiperplastik. Uji diagnostik CTC untuk mendeteksi KKR (KKR dibandingkan dengan polip inflamasi/hiperplastik + polip adenoma), dengan titik potong CTC >1,5 sel/mL, didapatkan hasil sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, RKP, RKN berturut-turut sebesar 50%; 88,89%; 93,94%; 34,04%; 4,5; dan 0,56. Selain itu didapatkan variabel diferensiasi kanker memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan jumlah CTC.
Simpulan: Pemeriksaan CTC memiliki sensitifitas yang rendah dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis KKR. Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan menjadi pemeriksaan penunjang diagnostik non-invasif kanker kolorektal sebelum menjalani pemeriksaan yang lebih invasif yaitu kolonoskopi dan biopsi histopatologi.

Background: Colorectal cancer (CRC) is one of the leading causes of cancer-related morbidity and mortality. The gold standard for diagnosing colorectal cancer is histopathology, which is obtained from a biopsy during colonoscopy. Since not all patients are willing to undergo invasive testing at the outset of the first diagnotic plan, new non-invasive approaches that can complement and enhance strategies for non-invasive diagnosis and management of colorectal cancer are urgently needed. Circulating tumor cells (CTC) in the blood are expected to be used as a non-invasive diagnostic marker in patients with CRC.
Purpose: This research is a diagnostic test of CTC on CRC using the isolation and analysis of negative selection immunomagnetic method with Easysep™ and CD44 cancer mesenchymal marker.
Method: Cross-sectional study of adult patients with suspected colorectal cancer at RSCM during September 2020 to September 2021. Diagnostic study analysis was used to find the cut-off point along with sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), positive likelihood ratio (PLR), and negative likelihood ratio (NLR) of CTC in detecting CRC.
Results: A total of 80 research subjects, the mean age was 56 ± 11 years. The proportion of subjects by gender was 46.3% female and 53.8% male patients. A total of 77.5% of the subjects had colorectal cancer, 7.5% adenoma polyps, and 15% inflammatory/ hyperplastic polyps. The CTC diagnostic analysis to detect CRC (CRC compared with inflammatory/hyperplastic polyps + adenoma polyps), with a CTC cut-off point of  > 1.5 cells/mL, showed that the sensitivity, specificity, PPV, NPV, PLR, NLR were 50%; 88.89%; 93.94%; 34.04%; 4.5; and 0.56, respectively. In addition, it was found that the cancer differentiation variable had a significant relationship (p<0.05) with the number of CTCs.
Conclusion: CTC examination has low sensitivity and high specificity for diagnosing CRC. This examination can be considered as a non-invasive diagnostic support for colorectal cancer before undergoing more invasive examinations, which are colonoscopy and histopathological biopsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bernard As Dakhi
"Latar Belakang: Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian yang paling sering pada pasien AR dengan laju1,5-1,6 kali lebih tinggi dari populasi non AR. Prevalensi gagal jantung pada AR dua kali lipat dibanding non AR. Karakteristik pasien AR Indonesia berbeda dibanding pasien di Negara Barat. Masih sedikit penelitian yang melihat korelasi faktor resiko non tradisional dengan disfungsi diastolik.
Tujuan: Mengetahui apakah ada korelasi faktor resiko non tradisional yaitu lama menderita penyakit, derajat aktivitas penyakit dan skor disabilitas dengan disfungsi diastolik pada wanita penderita AR.
Metode: Desain penelitian adalah potong lintang pada wanita penderita AR yang berobat ke poli Rematologi RSCM dari Oktober 2015-Januari 2016.Sampel penelitian belum pernah dinyatakan menderita penyakit jantung sebelumnya.Disfungsi diastolik dinilai secara ekhokardiografi. Lama menderita sakit diperoleh dengan wawancara langsung, sementara aktivitas penyakit dan tingkat disabilitas dinilai dengan menghitung skor DAS28 dan skor HAQ-DI.
Hasil: Disfungsi diastolik dijumpai pada 30,8 % partisipan ( masing-masing 13,5% tingkat ringan dan sedang, dan berat sebesar 3,8% ). Rerata lama menderita AR 26,5 bulan (rentang 2-240), rerata DAS28-CRP 2,69±1,11 sementara DAS28-LED 3,65 (rentang 1,13-7,5), rerata skor HAQ-DI 0,29 (rentang 0-2,38). Hipertropi LV dijumpai pada 34,6% partisipan, rerata EF 66,7±5,76%. Kelainan katup dijumpai pada 34,6% partisipan. Korelasi antara lama sakit, DAS28-CRP, DAS28-LED and skor HAQDI dengan E/A secara berurutan adalah (r= - 0,065; p=0,89), (r=0,393; p=0,38), (r=0,357; p=0,43), (r=0,630; p=0,12) ; sementara dengan E/E? secara berurutan adalah (r=0,136; p=0,77), (r= - 0,536; p=0,21), (r= - 0,393; p=0,38), (r=0,374; p=0,41).
Simpulan: Lama menderita sakit, derajat aktivitas penyakit dan derajat disabilitas, tidak memiliki korelasi yang bermakna secara statistik dengan disfungsi diastolik. Angka hipertropi jantung juga cukup tinggi, dan kelainan katup yang paling sering di jumpai adalah regurgitasi ringan.Dengan tingginya angka proporsi disfungsi diastolik pada penelitian ini maka diusulkan agar dirumuskan strategi penatalaksanaan jantung pada pasien-pasien AR untuk mencegah progresifitasnya.

Background: Cardiovascular is the main cause of death in RA, with the rate of 1.5-1.6 times higher than non RA population .The prevalence of HF in RA is 2 times fold of non RA. RA patients characteristics in Indonesia is different from the ones in western. There are only few studies about correlation between non traditional risk factor and diastolic dysfunction in RA patients.
Objective: To study the correlation between each of the non traditional risk factors including disease duration,disease activity and disability score with the diastolic dysfunction in women with RA.
Methods: A cross-sectional, consecutive sampling study conducted to 52 RA women without any previous history of cardiovascular disease. All participants underwent an echocardiography to asses the diastolic dysfunction and other findings associated. Duration of disease is assesed by direct interview, while the disease activity by calculating DAS28 and disability sore by HAQ-DI.
Results: Diastolic dysfunction was found in 30.8 % of study participants ( 13.5 % for each low and moderate grade, while severe was 3.8% ). Mean of disease duration was 26.5 months (range 2-240), mean DAS28-CRP 2.69±1.11 while mean DAS28-ESR 3.65 (range 1.13-7.5), HAQ-DI score 0.29 (range 0-2.38). LV hypertrophy was found in 34.61% participants. Mean EF 66.7±5.76%. Valve abnormality was found in 34.6% study participants. Correlation between duration of disease, DAS28-CRP, DAS28-ESR and HAQDI score with E/A in sequence was (r= - 0.065; p=0.89), (r=0.393; p=0.38), (r=0.357; p=0.43), (r=0.630; p=0.12) ; while with E/E? in sequence was (r=0.136; p=0.77), (r= - 0.536; p=0.21), (r= - 0.393; p=0.38), (r=0.374; p=0.41).
Conclusions; Duration of the disease, the disease activity score and disability score in our RA study participants had no correlation with diastolic dysfunction. The most valvular abnormality findings was mild regurgitation. Since there was a big proportion of participants with diastolic dysfunction, it is encouraged to make a stepwise approach of cardiovascular management in patients with RA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pradipto Utomo
"Latar Belakang: Persentase kasus pleuritis TB mencapai 20% dari total jumlah kasus TB ekstra paru. Penegakkan diagnosis efusi pleura TB cukup sulit karena tindakan biopsi pleura yang bersifat invasif dan rendahnya sensitivitas pemeriksaan BTA cairan pleura. Adenosine deaminase (ADA) dapat menjadi reference test dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi namun ketersediaannya pada pelayanan kesehatan primer masih terbatas.
Tujuan: Menganalisis model prediksi diagnosis efusi pleura TB
Metode: Studi ini menggunakan metode potong lintang. Penelitian tersebut dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Variabel independen terdiri dari usia, nyeri dada pleuritik, efusi pleura unilateral, cairan pleura kesan eksudat mononuklear dominan, sitologi malignansi negatif, gambaran ultrasonografi dan rasio netrofil-limfosit darah. ADA ≥35 untuk menentukan efusi pleura TB. Hubungan variabel independen dengan efusi pleura TB dianalisis secara bivariat, secara multivariat, pembuatan kurva ROC dan kalibrasi dengan Hosmer-Lemeshow
Hasil: Didapatkan 91 subjek dengan karakteristik jenis kelamin pria 41 subjek (45,1%) sedangkan wanita 50 subjek (54,9%). Malignansi merupakan komorbid terbanyak dengan 52 subjek (57,1%). Proporsi kelompok efusi pleura TB sebesar 25,3%. Faktor-faktor yang memengaruhi penegakkan diagnosis efusi pleura TB pada penelitian ini adalah gambaran ultrasonografi kompleks OR 5,655 (IK 95% 1,700-18,812), glukosa cairan pleura ≤70 mg/dL OR 11,262 (IK 95% 2,931-43,276) dan cairan pleura eksudat mononuklear dominan OR 8,567 (IK 95% 2,114-34,715). Pada ROC didapatkan AUC 0,841 dengan p<0,001 IK 95% (0,762-0,926). Didapatkan sistem skor dengan nilai cut-off ≥2 dengan probabilitas 92,8%.
Simpulan: Faktor-faktor yang memprediksi diagnosis efusi pleura TB adalah gambaran ultrasonografi kompleks, glukosa cairan pleura ≤70 mg/dL dan cairan pleura kesan eksudat mononuklear dominan. Didapatkan sistem skor dengan nilai cut-off ≥2 dengan probabilitas 92,8%.

Background: Percentage of TPE reach 20% of total EPTB cases. The diagnosis of TPE is difficult due to pleural biopsy procedure invasiveness and acid fast stain low sensitivity. Adenosine deaminase (ADA) can become reference test with high sensitivity and specificity but availability in primary health care is limited.
Objective: Analyze prediction model in diagnosis of tuberculous pleural effusion.
Methods: This study uses a cross-sectional method. The study was conducted at Cipto mangunkusumo Hospital. Independent variables consist of age, pleuritic chest pain, unilateral pleural effusion, glucose pleural fluid ≤70 mg/dL, exudative mononuclear pleural effusion, negative cytology malignancy, ultrasound characteristic and blood neutrophil-lymphocyte ratio. ADA ≥35 suggests TPE. The variaables analyzed bivariately, multivariately, ROC curve and Hosmer-Lemeshow.
Results: There were 91 subjects with characteristic of male 41 subjects (45,1%) and female 50 subjects (54,9%). Malignancy was the most frequent comorbid with 52 subjects (57,1%). Factors associated with TPE diagnosis are complex ultrasound characteristic OR 5,655 (CI 95% 1,700-18,812), pleural fluid glucose ≤70 mg/dL OR 11,262 (CI 95% 2,931-43,276) and exudative mononuclear dominant pleural effusion OR 8,567 (CI 95% 2,114-34,715). In ROC curve conclude AUC 0,841 with p<0,001 CI 95% (0,762-0,926). The result is a scoring system cut-off value ≥2 with probability 92,8%.
Conclusion: Predicted factors of TPE diagnosis are complex ultrasound characteristic, low pleural fluid glucose and exudative mononuclear dominant pleural effusion. The result is scoring system with cut-off value ≥2 with probability 92,8%.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library