Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kevin Bharata
"Latar Belakang Gejala common cold pada COVID-19 dan penyakit respirasi lain menyerupai satu sama lain sehingga seseorang yang mengalami gejala sering kali tidak melakukan perilaku preventif yang sesuai. Untuk mengatasi gejala tersebut, perilaku kesehatan yang sering diterapkan di masa pandemi COVID-19 adalah swamedikasi (self-medication). Swamedikasi ini dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap karena perilaku kesehatan yang baik umumnya didahului oleh pengetahuan dan sikap yang baik juga. Akan tetapi, belum banyak studi yang meneliti hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap COVID-19 dengan swamedikasi common cold. Metode Penelitian dilakukan secara cross-sectional dengan data primer yang diperoleh melalui kuesioner yang sudah divalidasi oleh penelitian sebelumnya. Kuesioner yang digunakan menilai pengetahuan dan sikap terhadap COVID-19, serta perilaku swamedikasi masyarakat ketika mengalami gejala common cold. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Panjunan, Cirebon, dan sekitarnya sebagai wilayah binaan Pengabdian Masyarakat FKUI. Data dianalisis dengan uji Fisher dan dihitung rasio odds dengan interval kepercayaan 95%. Hasil analisis signifikan apabila p<0,05. Hasil Dari 94 responden, 86,2% memiliki pengetahuan baik, dan 95,7% memiliki sikap positif terhadap COVID-19. Sebanyak 95,7% responden mempraktikkan swamedikasi common cold. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai COVID-19 dengan swamedikasi common cold di Kelurahan Panjunan, Cirebon dan sekitarnya. Kesimpulan Pengetahuan dan sikap terhadap COVID-19 di Kelurahan Panjunan, Cirebon dan sekitarnya sudah tergolong baik. Selain itu, swamedikasi untuk gejala common cold merupakan perilaku kesehatan yang sering dilakukan oleh masyarakat di daerah tersebut. Maka dari itu, pengaturan kebijakan dan peningkatan kesadaran masyarakat melalui edukasi mengenai swamedikasi yang tepat perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah dan stakeholder kesehatan lainnya.

Introduction Symptoms of the common cold in COVID-19 and other respiratory diseases resemble each other so someone who experiences these symptoms often do not carry out appropriate preventive behavior. In an attempt to alleviate these symptoms, the health behavior that is often practiced in the COVID-19 pandemic is self-medication. This selfmedication behavior can be influenced by knowledge and attitudes because good health behavior is generally preceded by good knowledge and attitudes as well. However, not many studies have examined the relationship between knowledge and attitude towards COVID-19 and self-medication for the common cold. Method The research was done with a cross-sectional design with primary data obtained through questionnaires that had been validated by previous research. The questionnaire used assesses knowledge and attitudes towards COVID-19, as well as people's self-medication behavior when experiencing symptoms of the common cold. The research was done in Kelurahan Panjunan, Cirebon, and surrounding areas as it is one of the areas supported by FKUI. Data were analyzed using Fisher's exact test and odds ratios with 95% confidence intervals were calculated. The results are significant if p value <0.05. Results Of the 94 respondents, 86,2% had good knowledge, and 95,7% had a positive attitude towards COVID-19. 95,7% of respondents practiced self-medication towards common cold. No significant differences were found between knowledge and attitudes about COVID-19 and self-medication for the common cold in Kelurahan Panjunan, Cirebon and its surrounding areas. Conclusion Knowledge and attitude towards COVID-19 in Kelurahan Panjunan, Cirebon and its surrounding areas are good. Self-medication for the common cold is a health behavior that is often carried out by the community in those areas. Therefore, setting regulations and increasing public awareness through education regarding proper self-medication for the common cold needs to be a concern for the government and other health stakeholders."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Nurshofiyyah Muslimah
"Latar Belakang Demam menjadi gejala yang paling umum pada individu yang terinfeksi COVID-19. Individu yang mengalami demam seringkali mengambil tindakan swamedikasi. Pengetahuan dan sikap individu dapat menjadi faktor keberhasilan swamedikasi. Dengan demikian, diteliti mengenai hubungan antara pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap COVID-19 dengan swamedikasi demam. Metode Penelitian ini menggunakkan studi desain cross-sectional. Intsrumen penelitian berupa kuesioner yang disebarkan secara luring kepada 94 masyarakat di Kelurahan Panjunan, Cirebon, dan sekitarnya yang berisi sosiodemografi, pengetahuan dan sikap terhadap COVID-19, serta perilaku swamedikasi demam. Kemudian data diolah menggunakkan uji chi-square, uji fisher, dan uji regresi. Hasil Proporsi masyarakat yang memiliki pengetahuan baik dan sikap positif terhadap COVID-19 masing-masing sebanyak 86,2% dan 95,7%. Proporsi masyarakat yang melakukan swamedikasi demam adalah 60,6%. Jenis obat yang paling banyak digunakkan oleh dalam melakukan swamedikasi demam adalah parasetamol. Analisis statistik menunjukkan hasil yang tidak signifikan mengenai hubungan antara pengetahuan (p=0,589; OR 1,382; IK95% 0,425 – 4,494) dan sikap (p=0,645; OR 1,571; IK95% 0,212 – 11,673) masyarakat terhadap COVID-19 dengan swamedikasi demam di Kelurahan Panjunan, Cirebon, dan sekitarnya. Terdapat variabel perancu yang tidak dapat disingkirkan menunjukkan hasil signifikan, yaitu usia (p=0,007) dan sosial ekonomi/penghasilan (p=0,017). Kesimpulan Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap COVID-19 dengan swamedikasi demam di Kelurahan Panjunan, Cirebon, dan sekitarnya.

Introduction Fever is one of the common symptom in individuals infected with COVID-19. Individuals who experience fever often take self-medication. Individual knowledge and attitudes can be factors in the success of self-medication. Thus, the relationship between people's knowledge and attitudes towards COVID-19 and self-medication for fever was studied. Method The study design uses a cross-sectional study. The research instrument was a questionnaire distributed offline to 94 residents in Panjunan Village, Cirebon, and nearby containing sociodemographics, knowledge and attitudes towards COVID-19, and fever self-medication behavior. Then the data was processed using the chi-square test, Fisher test and regression test. Results The proportion of respondents with good knowledge and positive attitudes towards COVID-19 is 86.2% and 95.7% respectively. 60,6% of respondents practicing self-medication. The type of drug most commonly used when self-medicating for fever is paracetamol. Statistical analysis showed insignificant results regarding the relationship between knowledge (p=0.589; OR 1.382; CI 95% 0.425 – 4.494) and attitude (p=0.645; OR 1.571; CI 95% 0.212 – 11.673) towards COVID-19 with fever self-medication in Panjunan Village, Cirebon and nearby. There are confounding variables that can not be excluded which show significant results were age (p=0.007) and socio-economic/income (p=0.017). Conclusion There is no relationship between public knowledge and attitudes towards COVID-19 and fever self-medication in Panjunan Village, Cirebon and nearby."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yemima Lazurit Abigael
"Latar Belakang: Hipospadia mengenai 18,6 dari 10.000 angka kelahiran di Eropa pada tahun 2001 sampai dengan 2010. Pasien hipospadia ditatalaksana dengan pembedahan. Terjadinya pandemi menurunkan lama rawat inap pada pasien hipospadia, sehingga dapat berpengaruh terhadap terjadinya komplikasi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan lama rawat inap dan komplikasi pasca pembedahan hipospadia sebelum dan saat pandemi COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong-lintang menggunakan dari data rekam medis pasien rawat inap pasca pembedahan hipospadia di RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 152 subjek sebelum pandemi (1 Januari 2017 hingga 31 Desember 2018) dan 152 subjek saat pandemi (11 Maret 2020 hingga tanggal 31 Desember 2021). Uji statistik yang digunakan adalah uji T tidak berpasangan untuk lama rawat inap dan uji fishcer untuk komplikasi. Hasil: Rerata lama rawat inap pasca pembedahan pada sebelum pandemi Covid-19 adalah sebesar 4,611 hari dan rerata lama rawat inap pasca pembedahan pada saat pandemi Covid-19 sebesar 3,269 hari (p < 0,001) signifikan. Terdapat perbedaan rerata lama rawat inap sebelum dan saat pandemi Covid- 19. Hubungan antara pandemi Covid-19 dengan komplikasi secara keseluruhan (p = 1,000) tidak signifikan. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna sebelum dan saat pandemi Covid-19 dengan lama rawat inap pasca tatalaksana pembedahan dan tidak terdapat hubungan bermakna antara sebelum dan saat pandemi Covid-19 dengan komplikasi.

Background: Hypospadias affected 18.6 out of 10,000 births in Europe from 2001 to 2010. Hypospadias patients are treated with disease. The occurrence of a pandemic reduces the length of stay in hypospadias patients, so it can influence the occurrence of complications. Objective: This study aims to analyze differences in length of stay and complications after stopping hypospadias before and during the COVID-19 pandemic. Method: This research is an analytical observational study with a cross-sectional design using medical record data from inpatients after hypospadias stenosis at RSCM who meet the inclusion and exclusion criteria. includes 152 subjects before the pandemic (1 January 2017 to 31 December 2018) and 152 subjects during the pandemic (11 March 2020 to 31 December 2021). The statistical tests used were the unpaired T test for length of stay and the Fishcer test for complications. Results: The average length of stay after surgery before the Covid-19 pandemic was 4,611 days and the average length of stay after surgery during the Covid-19 pandemic was 3,269 days (p < 0.001), which is significant. There is a difference in the average length of stay before and during the Covid-19 pandemic. The relationship between the Covid-19 pandemic and overall complications (p = 1,000) was not significant. Conclusion: There is a significant relationship before and during the Covid-19 pandemic with length of stay after surgical treatment and there is no significant relationship between before and during the Covid-19 pandemic and complications."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Diva Mahastra Putri
"Latar Belakang
Di masa pandemi COVID-19, terjadi peningkatan suatu isu kesehatan yaitu swamedikasi obat bebas di kalangan masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan persepsi sehat yang dimiliki oleh setiap individu sehingga memicu perilaku swamedikasi. Hingga saat ini, belum diketahui hubungan antara persepsi kesehatan umum dengan swamedikasi obat bebas pada subjek pasca COVID-19.
Metode
Di masa pandemi COVID-19, terjadi peningkatan suatu isu kesehatan yaitu swamedikasi obat bebas di kalangan masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan persepsi sehat yang dapat diukur menggunakan The Short Form 36 Health Survei Questionnaire (SF-36) dan dimiliki oleh setiap individu sehingga memicu perilaku swamedikasi. Hingga saat ini, belum diketahui hubungan antara persepsi kesehatan umum dengan swamedikasi obat bebas pada subjek pasca COVID-19.
Hasil
Sebagian besar persepsi kesehatan umum pada subjek pasca COVID-19 di Kelurahan Panjunan, Cirebon adalah baik. Pada penelitian ini diketahui proporsi responden pasca COVID-19 yang pernah melakukan swamedikasi obat bebas selama 6 bulan terakhir adalah 61 responden (71,8%). Analisis antara persepsi kesehatan umum dan perilaku swamedikasi obat bebas subjek pasca COVID-19 di Kelurahan Panjunan Cirebon dan sekitarnya dengan Uji Fisher yang menunjukkan nilai p=0,029 (OR 5,647; 95% CI 0,693- 45,973) yang menunjukkan adanya hubungan signifikan.
Kesimpulan
Terdapat hubungan signifikan antara persepsi kesehatan umum dan perilaku swamedikasi obat bebas subjek pasca COVID-19 di Kelurahan Panjunan Cirebon dan sekitarnya dengan Uji Fisher yang menunjukkan nilai p=0,029 (OR 5,647; 95% CI 0,693-45,973). Alasan utama responden melakukan swamedikasi adalah karena hemat waktu.

Introduction
During the COVID-19 pandemic, an increasing of a health issue is detected which causes an increasing of self-medication behavior of over-the-counter drugs among the public. This is associated with the decreased quality of life in post COVID-19 patients which can be measured by The Short Form 36 Health Survei Questionnaire (SF-36) about the perception of health that each individual has, thus triggering self-medication behavior. Until now, there is no known relationship between general health perceptions and over- the-counter drug self-medication in post-COVID-19 subjects.
Method
This research was conducted by collecting samples using consecutive sampling method and cross-sectional methods with 85 respondents which fulfilled the inclusion criterias in Panjunan Village, Cirebon, and surrounding areas.
Results
In this study, it was found that the proportion of post-COVID-19 respondents who had self-medicated over-the-counter medications during the last 6 months was 61 respondents (71.8%). Analysis of general health perceptions and over-the-counter self-medication behavior of post-COVID-19 subjects in Panjunan Village Cirebon and its surroundings with Fisher's test showing a p value = 0.029 (OR 5.647; 95% CI 0.693-45.973) which indicates a significant relationship. Overall, the general health perceptions in Panjunan Village, Cirebon and its surroundings is good.
Conclusion
There is a significant relationship between general health perceptions and self-medication behavior of the post-COVID-19 subjects in Panjunan Village, Cirebon and its surroundings with the Fisher Test showing a value of p=0.029 (OR 5.647; 95% CI 0.693- 45.973). The main reason respondents carry out self-medication is because it saves time.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Natalia
"Cryptococcus adalah jamur penyebab tersering pada pasien imunokompromi. Pada penelitian ini, 200 isolat yang berasal dari cairan otak 20 pasien terinfeksi HIV ditetapkan spesies dan serotipenya, serta kepekaannya terhadap obat antifungal (amfoterisin B, flukonazol, vorikonazol, ketokonazol, flusitosin). Spesies dan serotipe Cryptococcus ditetapkan menggunakan medium canavanine glycine bromthymol blue (CGB) dan medium creatinine dextrose bromthymol thymine (CDBT), sementara kepekaan terhadap antifungal diuji dengan metode difusi cakram, NCCLS M-44A, approved guidelines. Spesies C. neoformans ditemukan pada 170 isolat (85%), dengan seluruhnya adalah serotipe A dan 30 isolat adalah C. gattii. Infeksi tunggal C. neoformans ditemukan pada 10 pasien, infeksi tunggal C. gattii pada satu pasien, dan infeksi campuran pada 9 pasien. Cryptococcus spp sensitif terhadap amfoterisin B (93,5%), flukonazol (88,5%), vorikonazol (100%) dan ketokonazol (98%). Resistensi primer terhadap flusitosin ditemukan pada semua isolat C. neoformans dan C. gattii (100%) sebelum dan sesudah terapi. Secara keseluruhan, C. gattii kurang peka dibandingkan C. neoformans terhadap seluruh obat antifungal.

Cryptococcus are common causes of mycoses in imunocompromised patient. In this study, 200 clinical cerebrospinal fluid from 20 HIV patient?s isolates of Cryptococcus were determine their species and serotypes, and their susceptibilities to antifungal (amphotericin B, fluconazole, voriconazole, ketoconazole, flucytosine) were analyzed. Cryptococcus species and serotypes were determined by canavanine glycine bromthymol blue (CGB) medium and creatinine dextrose bromthymol thymine (CDBT) medium, meanwhile antifungal susceptibilities were determined by disk diffusion method, NCCLS M-44A, approved guidelines. Species C. neoformans was found in 170 (85%) isolate with all of them was serotipe A dan 30 isolates (15%) were C. gattii. Single infection of C. neoformans was found in 10 patients, single infection of C. gattii in one patient and mixed infection in nine patients. Cryptococcus spp susceptible to amphotericin B (93,5%), fluconazole (88,5%), voriconazole (100%) and ketoconazole (98%). Primary resistance to flucytosine was found in all isolates C. neoformans and C. gattii (100%) before and after therapy. In general, C.gattii was less susceptible than C. neoformans to all drug tested. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Bintang Riris
"[ABSTRAK
Pasak bumi (PB) (Eurycoma longifolia Jack), adalah tanaman herbal Indonesia yang
digunakan sebagai antimalaria. Penelitian terdahulu meliputi efek anti ageing dan anti
inflamasi, namun belum pernah diteliti tentang efek terhadap aktivitas enzim
antioksidan pada penggunaan ekstrak akar PB. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah pengaruh ekstrak akar PB sebagai antimalaria dapat menurunkan
aktivitas spesifik antioksidan enzimatik. Penelitian ini menggunakan mencit yang
diinfeksi Plasmodium berghei, diterapi dengan ekstrak akar PB, klorokuin 10 mg/kg
BB (kontrol positif, KP), kontrol negatif (akuades, KN), kontrol normal (K0), PB 30
(TI), 60 (TII) dan 90 mg/kg BB (TIII). Parameter yang diukur adalah inhibisi
parasitemia, kadar karbonil, aktivitas spesifik SOD, katalase (CAT). Inhibisi
parasitemia hari ke 7 dari KP, TI, TII dan TIII adalah 69,81%, 39,37%, 41,72% dan
12,92%. Aktivitas spesifik enzim SOD dan CAT plasma tidak ada perbedaan
bermakna. Aktivitas spesifik SOD hati menunjukan perbedaan bermakna antara K0-
KN (p=0,000), K0-KP (p= 0,025), KN-TI (p=0,001), KP-TI (p=0,042), KN-TII
(p=0,002), KN-TIII (0,005). Aktivitas spesifik CAT hati menunjukkan perbedaan
bermakna antara KP-TI (p=0,009), KP-TII (p=0,009), KP-TIII (p=0,014), KP-K0
(p=0,009), TI-TIII (p=0,014), KN-TI (p=0,009), KN-TII (p=0,047), K0-KN
(p=0,047). Kadar karbonil plasma dan hati tidak menunjukkan perbedaan bermakna
antar kelompok. Korelasi positif bermakna (r=0,690, p=0,000) terjadi antara aktivitas
spesifik SOD dan CAT hati. Korelasi negatif bermakna terjadi antara aktivitas
spesifik SOD, CAT hati dan parasitemia (r= -0,637, p=0,000) (r=-0,557, p=0,002).
Kesimpulan: Potensi PB sebagai antimalaria diragukan karena herbal ini juga
memiliki efek antioksidan yang menguntungkan bagi parasit.

ABSTRACT
Pasak bumi (PB)(Eurycoma longifolia Jack), is an Indonesian herb used as
antimalarial. Previous studies had been done on its anti-ageing and anti-inflammation
properties, but its effect on antioxidant enzyme had not been researched. This study
aim to investigate the antimalarial influence of PB extract on the reduction of specific
antioxidant activity of the SOD and CAT enzyme. We used mice infected by
Plasmodium berghei treated with: PB 30, 60, and 90 mg/kg BW as (TI, TII, and
TIII), positive control (chloroquine 10 mg/kg BW) (KP), negative control (aquadest)
(KN), normal mice control (K0). The parameters were: growth inhibition, carbonyl
concentration, specific activity of SOD and CAT. Growth inhibition in 7 day groups
of KP, TI, TII, and TIII were 69,81%, 39,37%, 41,72%, and 12,92%. Specific activity
of plasma SOD and CAT were insignificant between groups. Liver SOD specific
activity showed significant different between K0-KN (p=0,000), K0-KP (p= 0,025),
KN-TI (p=0,001), KP-TI (p=0,042), KN-TII (p=0,002), KN-TIII (0,005). Specific
activity of liver CAT showed significant different between KP-TI (p=0,009), KP-TII
(p=0,009), KP-TIII (p=0,014), KP-K0 (p=0,009), TI-TIII (p=0,014), KN-TI
(p=0,009), KN-TII (p=0,047), K0-KN (p=0,047). Carbonyl concentrations show
insignificant between groups in plasma and liver. Positive correlation (r=0,690,
p=0,000) showed between liver SOD and CAT specific activity, negative correlation
showed between liver SOD (r= -0,637, p=0,000), CAT (r= -0,557, p=0,002) specific
activity and paracytemia. Therefore, The potential use of PB as an antimalarial was of
doubtful effectiveness due to its antioxidant effect which could be beneficial to the
parasite, Pasak bumi (PB)(Eurycoma longifolia Jack), is an Indonesian herb used as
antimalarial. Previous studies had been done on its anti-ageing and anti-inflammation
properties, but its effect on antioxidant enzyme had not been researched. This study
aim to investigate the antimalarial influence of PB extract on the reduction of specific
antioxidant activity of the SOD and CAT enzyme. We used mice infected by
Plasmodium berghei treated with: PB 30, 60, and 90 mg/kg BW as (TI, TII, and
TIII), positive control (chloroquine 10 mg/kg BW) (KP), negative control (aquadest)
(KN), normal mice control (K0). The parameters were: growth inhibition, carbonyl
concentration, specific activity of SOD and CAT. Growth inhibition in 7 day groups
of KP, TI, TII, and TIII were 69,81%, 39,37%, 41,72%, and 12,92%. Specific activity
of plasma SOD and CAT were insignificant between groups. Liver SOD specific
activity showed significant different between K0-KN (p=0,000), K0-KP (p= 0,025),
KN-TI (p=0,001), KP-TI (p=0,042), KN-TII (p=0,002), KN-TIII (0,005). Specific
activity of liver CAT showed significant different between KP-TI (p=0,009), KP-TII
(p=0,009), KP-TIII (p=0,014), KP-K0 (p=0,009), TI-TIII (p=0,014), KN-TI
(p=0,009), KN-TII (p=0,047), K0-KN (p=0,047). Carbonyl concentrations show
insignificant between groups in plasma and liver. Positive correlation (r=0,690,
p=0,000) showed between liver SOD and CAT specific activity, negative correlation
showed between liver SOD (r= -0,637, p=0,000), CAT (r= -0,557, p=0,002) specific
activity and paracytemia. Therefore, The potential use of PB as an antimalarial was of
doubtful effectiveness due to its antioxidant effect which could be beneficial to the
parasite]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soni Siswanto
"Latar belakang. Doksorubisin (DOK), suatu antibiotika antrasiklin, digunakan secara luas untuk terapi antikanker, namun penggunaan DOK dapat menimbulkan efek samping, salah satunya gangguan kognitif. Penggunaan kemoterapi berbasis DOK menunjukkan hingga 76% pasien mengalami penurunan kognitif. Kerusakan otak akibat penggunaan DOK disebabkan oleh peningkatan TNF-α di otak melalui uptake reseptor di sawar darah otak dan peningkatan produksi melalui aktivasi NF-κB. Peningkatan TNF-α lebih lanjut dapat menyebabkan inflamasi kronis yang dapat menimbulkan kematian sel saraf atau penyakit degenerasi saraf. Mangiferin (MAG) merupakan salah satu senyawa neuroprotektif, akan tetapi efek terhadap kerusakan otak akibat pemberian DOK belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek MAG terhadap kerusakan otak yang ditimbulkan oleh pemberian DOK.
Metode. Penelitian dilakukan terhadap tikus Sprague-Dawley yang diinduksi menggunakan DOK dengan dosis total 15 mg/kgBB secara i.p mulai minggu kedua. Pemberian MAG dilakukan secara p.o dengan dosis 30 dan 60 mg/kgBB selama 7 minggu. Parameter yang diamati adalah fungsi kognitif, inflamasi (TNF-α, NF-κB dan iNOS), stres oksidatif (SOD dan MDA) dan histopatologi dengan pewarnaan HE.
Hasil. Pemberian DOK menyebabkan gangguan kognitif yang ditandai dengan penurunan penggiliran labirin Y dan penurunan indeks diskriminasi pada pengenalan obyek baru, disertai peningkatan parameter inflamasi yaitu ekspresi TNF-α, NF-κB dan iNOS. Pemberian MAG bersama DOK menyebabkan peningkatan fungsi kognitif, penurunan inflamasi dan penurunan stres oksidatif serta histopatologi dewan pewarna HE.
Kesimpulan. Berdasarkan hasil pemeriksaan parameter pada penelitian mengindikasikan bahwa mangiferin memiliki efek neuroproteksi terhadap pemberian DOK.

Introduction. Doxorubicin (DOK), an anthracycline antibiotic, is widely used for anticancer therapy, but the use of DOK causing side effects, one of them is cognitive impairment. Up to 76% of patients experienced cognitive decline caused by DOK-based chemotherapy. Brain damage due to the use of DOK lead by an increase in TNF-α in the brain through the receptors uptake in the blood brain barrier and increasing production through activation of NF-κB. Increased TNF-α can further lead to chronic inflammation which can lead nerve cells death or nerve degeneration diseases. Mangiferin (MAG) is one of the neuroprotective compound, but the effect on brain damage induced by DOK is still unknown. This study aims to determine the effect of MAG on brain damage induced by DOK.
Methods. Research carried out on Sprague-Dawley rats induced by DOK i.p with total dose 15 mg/kg that divided into 6 dose and given within 2 weeks, started from 2nd week. The rats was administrated by MAG p.o with dose 30 and 60 mg/kg daily for 7 weeks. Parameters measured were cognitive function, inflammatory parameters (TNF-α, NF-κB and iNOS), oxidative stress parameters (SOD and MDA) and histopatology using HE staining.
Results. DOK cause cognitive disorders that characterized by decreased Y maze alteration and discrimination index in new object recognition, and accompanied by increasing inflammatory parameters that showed in increasing TNF-α, NF-κB and iNOS expressions. Coadministration MAG with DOK led an increasing on cognitive function, reducing the inflammation and oxidative stress.
Conclusion. Based on the results of the study, MAG indicated has a neuroprotective effect on brain damage induced by DOK
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursyahidah
"ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan antibiotik profilaksis bedah bertujuan untuk mencegah infeksi daerah operasi pada pasien yang dianggap mempunyai risiko tinggi. Meskipun kebijakan penggunaan antibiotik profilaksis dalam operasi telah ditetapkan, masih terdapat penggunaan yang tidak sesuai yang dapat menyebabkan peningkatan risiko resistensi antibiotik dan peningkatan biaya perawatan di rumah sakit.Tujuan: Mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis serta efisiensi biaya penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah digestif di RSUPN-CMMetode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif. Data sekunder diambil dari rekam medik pasien rawat inap Departemen Bedah RSUPN-CM selama periode Januari hingga Desember 2015. Pada penelitian ini 102 pasien yang mendapatkan antibiotik profilaksis dievaluasi berdasarkan panduan NHS Lanaskhire untuk ketepatan dosis dan waktu pemberian pada tindakan pembedahan dan panduan antibiotik profilaksis divisi bedah digestif RSUPN-CM untuk pemilihan antibiotik berdasarkan indikasi tindakan.Hasil: Dari 102 pasien penelitian 81,4 pasien mendapatkan antibiotik profilaksis dengan indikasi sesuai tindakan dan 90,8 pasien mendapatkan antibiotik profilaksis tepat dosis. Berdasarkan ketepatan waktu pemberian antibiotik profilaksis, sebanyak 52 pasien mendapatkan antibiotik profilaksis tepat waktu 30 menit . Sementara itu, pasien yang mendapatkan antibiotik profilaksis lebih dari satu dosis yang berarti bukan lagi profilaksis sebanyak 15,7 . Tambahan biaya obat akibat pemberian antibiotik profilaksis yang tidak sesuai pedoman sebesar Rp. 16.016.007,-.Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan masih adanya penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak sesuai pedoman pada pasien bedah digestif RSUPN-CM. Pemberian antibiotik profilaksis yang tidak sesuai pedoman dapat menyebabkan peningkatan biaya perawatan rumah sakit. Diperlukan upaya untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pedoman yang digunakan.
hr>
b>ABSTRACT
"Background Prophylactic antibiotic is used to prevent surgical wound infections in surgery patients who are considered to have high risk of contamination. Despite established guideline, some studies reported inappropriate use of prophylactic antibiotic which potentially increase the risk of antibiotic resistance and hospitalization cost.Aim To evaluate the appropriateness and cost of prophylactic antibiotic usage in digestive surgery patients at Cipto Mangunkusumo hospital.Methods This was a retrospective study conducted on digestive surgery patients. Secondary data were collected from medical records of hospitalized patients in Surgery Department of Cipto Mangunkusumo hospital during the periode January to Desember 2015. In this study, 102 patients receiving prophylactic antibiotics were evaluated based on NHS Lanaskhire guideline for dosage and timimg in accordance with surgical types and guideline of digestive surgery division Cipto Mangunkusumo hospital for antibiotic selection.Results In 102 patients 81,3 patients received prophylactic antibiotics with appropriate indications and 91,2 patients received prophylactic antibiotics with appropriate doses. While 52 patient received prophylactic antibiotic with appropriate timing of 30 minutes. Meanwhile, patients that received prophylactic antibiotics more than once, which means not prophylactic anymore, were accounted for 15,7 . The estimated extra cost due to of inappropriate use of prophylactic antibiotics was Rp. 16.016.007, .Conclusion The results showed that inappropriate use of antimicrobial prophylaxis was still found in digestive surgery Cipto Mangunkusumo hospital and it increased drug cost. The most frequent inappropriateness was the timing of administration followed by inappropriate indication and dose. More work is needed in order to increase the adherence to the guidelines. "
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syelvia Moulita
"HIV merupakan penyakit yang sering terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Keberadaan penyakit penyerta memerlukan terapi bersama dengan obat ARV. Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi antar obat yang berpotensi menyebabkan penurunan atau peningkatan kadar obat dalam darah, yang bisa menimbulkan kegagalan terapi atau efek samping berupa toksisitas. Penelitian ini bertujuan melihat potensi interaksi yang penting secara klinis dari terapi ARV dengan obat komorbidnya. Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental, pengambilan data dilakukan secara potong lintang pada pasien HIV dengan komorbid yang dirawat di rumah sakit Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari 2016 sampai dengan Juli 2017. Data diambil dari electronic health record dan pusat rekam medis RSCM. Dari 224 pasien HIV yang masuk kedalam kriteria inklusi, terdapat 121 pasien yang memenuhi persyaratan dan diambil menjadi subjek penelitian. Potensi interaksi yang penting secara klinis didefinisikan sama dengan potensi interaksi mayor memerlukan modifikasi dosis, jangan diberikan bersamaan, kontraindikasi atau hindari . Hasil penelitian menunjukkan dari 121 pasien, potensi interaksi mayor terjadi pada 18 pasien 14,99 dengan potensi interaksi yang menurunkan kadar ARV pada 14 pasien 11,57 . Kejadian potensi interaksi mayor yang paling banyak terjadi yaitu antara nevirapin dan rifampisin 3,53 . Komorbid terbanyak adalah Tuberkulosis Paru 12,92 . Diperlukan penelitian prospektif pengukuran kadar obat dan efek terapi akibat interaksi obat ARV dengan obat komorbidnya.

HIV is a disease commonly presents with other comorbidities which need concomitant treatments with ARV. Drug-drug interaction is an unavoidable consequence which may potentially lead to an increase or a decrease of affected drug and ultimately resulted in therapeutic failure or otherwise, toxicity.This study was aimed to look at the potential of clinically significant drug-drug interactions between ARV and other treatments. This was a non experimental cross sectional study conducted on HIV patients with comorbids treated at the Cipto Mangunkusumo hospital from January 2016 to Juli 2017. Data were taken from the electronic health record and Cipto Mangunkusumo hospital medical record. From 224 HIV patients who meet the criteria of inclusion, there are 121 patients that rsquo;s fulfilled the conditions and was taken to be the subjects of research. The potential of clinically significant drug-drug interactions are definitioned as potential for major interaction requiring dose modification, do not coadminister, contraindicated or avoid . The results showed that potential for mayor interactions occurred in 18 out of 121 patients 14.99 . Potential decrease of blood ARV level was found in 14 patients 11.57 . The occurance of potential for major interaction mostly happened between nevirapin and rifampisin 3,35 . The most comorbid is pneumonia tuberculosis 12.92 . Prospective study is required to measure drugs level and the effect of therapy consequence ARV drugs interaction with comorbid drugs"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57607
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Larasinta Heriatmo
"Latar Belakang: Phaleria macrocarpa (PM) mengandung mangiferin yang memiliki kemampuan sebagai kelator besi dengan membentuk kompleks. Kompleks dapat menekan akumulasi besi pada pasien talasemia yang rutin transfusi. Kondisi besi berlebih dapat mempengaruhi terjadinya cedera organ ginjal. Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak etanol buah PM sebagai agen kelator besi diamati pada organ ginjal tikus model besi berlebih.
Metode: 30 tikus Sprague-Dawley dibagi acak 6 kelompok: normal (N), besi berlebih (KN), besi berlebih diobati Deferiprone dosis 462,5 mg/kgBB (D), besi berlebih diobati mangiferin dosis 50mg /kgBB (M), besi berlebih diobati ekstrak PM dosis 100mg/kgBB (PM100), besi berlebih diobati ekstrak PM dosis 200mg/kgBB (PM200). Injeksi besi diberikan 2kali/minggu selama 3 minggu dilanjutkan 8 minggu bersama pengobatan. Kadar besi ginjal diukur menggunakan AAS. Kadar urea dan kreatinin plasma serta TNF-α ginjal diukur menggunakan kit.
Hasil: Mangiferin dari ekstrak terdeteksi pada ginjal tikus model besi berlebih diukur dengan HPLC. Mangiferin dan PM tidak dapat menurunkan kadar besi di organ ginjal dan kadar ureum plasma signifikan. Pengaruh mangiferin dan PM pada kadar kreatinin plasma tidak linier. Mangiferin dan PM dapat menurunkan kadar TNF-α ginjal signifikan dengan KN dan D.
Kesimpulan: Mangiferin dan PM memiliki potensi kelator besi dan menurunkan respon inflamasi pada kondisi besi berlebih.

Background: Mangiferin, active compound in Phaleria macrocarpa (PM), has been shown as an iron chelating agent by forming complexes. The complex can reduce iron accumulation in thalassemia patients receive transfusions. Renal organ failure can be impacted by the high iron. This study aims to determine the effectiveness of ethanolic extract of PM fruit as iron chelating agent observed in the kidney of iron overload rat.
Methods: 30 Sprague-Dawley divided randomly six groups: normal (N), iron-overload (KN), iron-overload treated Deferiprone dosage 462,5 mg/kgBW (D), iron-overload treated mangiferin dosage 50mg/kgBW (M), iron-overload treated PM extract dosage 100mg/kgBW (PM100) and iron-overload treated with PM extract dosage 200mg/kgBW (PM200). Iron injection was administered twice/week for 3 weeks, continued 8 weeks with treatment. Kidney iron levels of rats measured using AAS. Plasma urea and creatinine levels as well as renal TNF-α measured using kit.
Results: Mangiferin from extract was detected in the kidney of rat iron overload models which measured using HPLC. Mangiferin and PM cannot significantly reduce plasma urea and kidney iron levels. Effect of mangiferin and PM on plasma creatinine levels not linearly. Mangiferin and PM can reduce renal TNF-α levels significantly.
Conclusion: Mangiferin and PM have ability as iron chelator and reduce inflammatory response caused iron overload.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>