Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hafiz Yusaryahya
Abstrak :
Penyakit infeksi masih menjadi sepuluh besar penyebab kematian di Indonesia. Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling banyak diresepkan oleh dokter untuk mengatasi penyakit infeksi. Namun, penggunaan antibiotik sering tidak tepat sasaran dan tidak dibutuhkan. Data tentang evaluasi penggunaan antibiotik di Departemen Bedah RSCM masih minim. Metode defined daily dose (DDD) dapat digunakan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif pada orang dewasa

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan metode pengambilan data secara cross sectional. Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari rekam medis pasien dewasa yang dirawat di lantai 4 zona B gedung A RSCM dari bulan Januari hingga Maret 2015. Penggunaan antibiotik pasien dihitung menggunakan metode defined daily dose (DDD) dengan DDD/1000 patient-days sebagai unit pengukuran. Sampel penelitian ini berjumlah 307 orang. Diagnosis terbanyak pada sampel penelitian adalah jenis neoplasma (104 kasus), nefrourologi (49 kasus), dan trauma (42 kasus). Antibiotik lebih sering diberikan lewat jalur parenteral (5316.5 vial) dibandingkan oral (1182 vial/tablet). Antibiotik dengan DDD/1000 patient-days tertinggi adalah sulbactam (231.3 DDD/1000 patient-days), seftriakson (166 DDD/1000 patient-days), dan sefiksim (96.5 DDD/1000 patient-days). Untuk penelitian selanjutnya, perlu dihubungkan DDD/1000 patient-days antibiotik dengan diagnosis atau prosedur pembedahan untuk mengetahui ketepatan penggunaan antbiotik.
Infectious disease still becoming top ten cause of death in Indonesia. Antibiotic is one of the most common prescribed drug to treat infectious disease. However, the use of antibiotics often mistargeted and unnecessarily needed. Evaluation of antibiotics usage in Surgical Department of RSCM is still few. Defined daily dose (DDD) method could be used to quantitatively evaluate the usage of antibiotic in adult patient.

This study is an observational descriptive study. Data collected cross-sectionally from medical record of adult inpatient in B zone, 4th floor of building A RSCM for January until March 2015 period. Patient’s antibiotics usage were calculated using defined daily dose method with DDD/1000 patient-days as a unit measurement. The number of patients whose medical record were extracted is 307 person. The most common diagnosis of the patients were neoplasm (104 cases), nephrourology (49 cases), and trauma (42 cases). Antibiotics were more frequently administered parenterally (5316.5 vial) rather than orally (1182 tablet). Antibiotics with the highest DDD/1000 patient day are sulbactam (231.3 DDD/1000 patient-days), ceftriaxone (166 DDD/1000 patient-days), dan cefixime (96.5 DDD/1000 patient-days). For further research, DDD/1000 patient-days need to be correlated with the diagnosis or surgical procedure to know the appropriate use of antibiotics.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Bestari
Abstrak :
Salah satu faktor yang dianggap berperan menyebabkan peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat. Indonesia adalah salah satu negara dengan angka infeksi yang masih tinggi sehingga tingkat penggunaan antibiotika pun relatif tinggi. Salah satu infeksi dengan insiden yang tinggi adalah infeksi saluran napas bawah. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui kuantitas penggunaan antibiotika pada pasien dengan pneumonia di unit rawat inap penyakit dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari hingga Maret 2015 dengan parameterDefined Daily Dose (DDD)/100 pasien-hari. Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang, menggunakan rekam medik pasien. Jumlah sampel adalah 115 orang, dengan jumlah pasien yang didiagnosis pneumonia komunitas 56 orang dan pneumonia nosokomial 53 orang. Antibiotika dengan penggunaan terbanyak adalah azitromisin (35,71 DDD/100 hari pasien), seftriakson (31,34 DDD/ 100 pasien-hari), meropenem (28,83 DDD/100 pasien-hari), sefepim(27,44 DDD/100 pasien-hari), dan levofloksasin (19,64 DDD/100 pasien-hari). ...... Inappropriate use of antibiotic could increase the number of resistant bacterias. Indonesia is a country with high incidence of infection, therefore the use of antibiotics is relatively high. Lower respiratory tract infection is one of the infection with highest incidence. This study aimed to assess the quantity of antibiotic utilization in internal medicine inpatients ward in Cipto Mangunkusumo Hospital during January to March 2015. This study is a descriptive cross-sectional study using medical record as the data source. The number of sample is 115 patients, with 56 patients diagnosed with community acquired pneumonia and 53 patients diagnosed with nosocomial pneumonia. The most frequently used antibiotics are azithromycin(35,71 DDD/100 patient-days), ceftriaxone(31,34 DDD/ 100 patient-days), meropenem (28,83 DDD/100 patient-days), cefepime(27,44 DDD/100 patient-days), dan levofloxacine (19,64 DDD/100 patient-days).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dheanita Nissrina Andini
Abstrak :
Latar belakang: Resistensi antibiotik adalah salah satu masalah kesehatan global yang dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat terkait penggunaan antibiotik. Dengan adanya pandemi COVID-19 yang memengaruhi segala aspek kehidupan, perlu dilakukan penelitian terkait tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan antibiotik masyarakat saat ini termasuk faktor sosiodemografi yang berhubungan. Hal ini diperlukan sebagai salah satu dasar untuk menentukan intervensi apa yang dapat dilakukan nantinya dalam menangani peningkatan angka resistensi antibiotik dari sisi masyarakat. Penelitian dilakukan pada masyarakat DKI Jakarta sebagai provinsi dengan jumlah kasus COVID-19 paling tinggi di Indonesia (20.6%).  Metode: Penelitian ini bersifat cross-sectional dan dilakukan dengan sampel minimal 385 orang yang berdomisili di Jakarta dan berusia minimal 18 tahun. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner tervalidasi KAPAQ dengan skor <50%, 50-70%, dan >70% masing-masing menunjukkan nilai pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan antibiotik yang rendah, sedang, dan tinggi. Analisis data dilakukan menggunakan uji Chi-Square untuk menilai hubungan antara variabel pengetahuan, sikap, dan perilaku serta faktor-faktor yang berhubungan dengan ketiga variabel tersebut.  Hasil: Proporsi terbesar responden pada variabel pengetahuan (45,2%), sikap (54,8%), dan perilaku (64,3%) menunjukkan nilai dalam kategori tinggi. Terdapat hubungan yang bermakna antara kategori nilai pengetahuan dengan sikap (p<0,001), pengetahuan dengan perilaku (p<0,001), dan sikap dengan perilaku (p<0,001). Jenis kelamin dan bidang pekerjaan berhubungan dengan ketiga tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku (p<0,05). Sedangkan tingkat pendidikan hanya berhubungan dengan tingkat pengetahuan (p<0,05) dan riwayat swamedikasi antibiotik hanya berhubungan dengan tingkat sikap dan perilaku (p<0,05). Umur, status pernikahan, dan riwayat COVID-19 tidak menunjukkan hubungan yang bermakna pada tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan antibiotik.  Kesimpulan: Sebagian besar responden menunjukkan nilai pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan antibiotik pada kategori tinggi. Tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku didapatkan saling berhubungan dan bermakna secara statistik. Faktor sosiodemografi yang memiliki hubungan bermakna dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan antibiotik adalah jenis kelamin, bidang pekerjaan, tingkat pendidikan, dan riwayat swamedikasi antibiotik. ......Introduction: Antibiotic resistance is one of the global health problems which could happen because of insufficient knowledge in antibiotic use among general public. With the COVID-19 pandemic affecting all aspects of human life, a study about knowledge, attitude, and practice level on antibiotic use is needed to be carried out, including possible associated sociodemographic factors. It is needed to determine which intervention is suitable to overcome the increasing number of antibiotic resistance from the consumer’s side. This study was conducted in DKI Jakarta because the highest proportion of COVID-19 cases in Indonesia came from this province. Method: It is a cross-sectional study with a minimum sample of 385 people living in DKI Jakarta and aged 18 or above. This study used a validated KAPAQ questionnaire with score <50%, 50-70%, and >70% representing high, moderate, and low knowledge, attitude, and practice, respectively. Data analysis was conducted using Chi-Square analysis to analyze the correlation between knowledge, attitude, and practice level. Chi-Square analysis was also used to analyze the correlation between possible associated factors with those three variables.  Result: The score of the biggest respondent proportion in knowledge (45,2%), attitude (54,8%), and practice (64,3%) on antibiotic use were considered high. There was a statistically significant correlation between knowledge and attitude (p<0,001), knowledge and practice (p<0,001), and also between attitude and practice (p<0,001). Sex and occupation fields show a statistically significant correlation with knowledge, attitude, and practice level (p<0,05). Meanwhile, education level only correlates significantly with knowledge level (p<0,05) while history of self-medication with antibiotic correlate significantly with both attitude and practice level (p<0,05). Age, marital status, and history of COVID-19 are not showing any statistically significant correlation with knowledge, attitude, and practice level on antibiotic use.  Conclusion: Most respondents’ score in knowledge, attitude, and practice in antibiotic use are in the high category. This study shows a statistically significant correlation between knowledge, attitude, and practice level in antibiotic use. The sociodemographic factors that correlate significantly with knowledge, attitude, and practice level are sex, occupation field, education level, and history of self-medication with antibiotic.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Nisrina Yunasty
Abstrak :
Resistensi antibiotik sebagai konsekuensi dari penggunaan antibiotik secara berlebihan nyatanya telah menjadi salah satu ancaman kesehatan masyarakat global yang membutuhkan tindakan segera. Studi menyatakan bahwa pemberian resep yang tidak tepat, ketidakpastian diagnosis, tekanan dari pasien, dan juga persepsi publik merupakan faktor yang memengaruhi penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Pendekatan untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik berbasis pendidikan dibuktikan dapat meningkatkan praktik peresepan, terutama pada dokter junior. Maka dari itu, tingkat pengetahuan, sikap, dan juga perilaku terkait pemberian resep yang tepat, pengeluaran, serta penggunaan antibiotik harus diketahui pada mahasiswa kedokteran dan juga pada mahasiswa non-kedokteran sebagai langkah awal dari pemberian intervensi dalam menangani peningkatan angka resistensi antibiotik ini. Penelitian ini dilakukan menggunakan desain potong lintang deskriptif analitik pada 653 mahasiswa aktif Universitas Indonesia yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok fakultas kedokteran dan fakultas non-kedokteran yang didapatkan menggunakan metode clustered convenience sampling. Kuesioner KAPAQ oleh Karuniawati et al digunakan pada penelitian ini yang membagi skor responden menjadi tiga kategori yaitu Tinggi (>70%), sedang (50-70%), dan rendah (<50%).Uji mann-whitney dilakukan untuk menganalisis perbedaan skor PSP antara kedua kelompok program studi. Kemudian, uji chi-square dan kruskal wallis juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antar komponen PSP. Pengetahuan, sikap, dan perilaku yang tinggi dalam penggunaan antibiotik nyatanya didapatkan pada mayoritas mahasiswa di Universitas Indonesia (Pengetahuan tinggi 59,1%; Sikap tinggi 68%; Perilaku tinggi 64,2%). Hasil dari analisis yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,001) antara kedua kelompok program studi di setiap komponen PSP. Kemudian, hubungan yang bermakna juga didapatkan antara komponen pengetahuan dengan sikap (p<0,001), pengetahuan dengan perilaku (p<0,001), dan juga antara sikap dengan perilaku (p<0,001) baik pada kelompok mahasiswa kedokteran maupun non-kedokteran.Mayoritas mahasiswa di Universitas Inonesia memiliki tingkat Pengetahuan, Sikap, dan juga Perilaku yang tinggi mengenai penggunaan antibiotik. Perbedaan yang bermakna didapatkan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan antibiotik pada mahasiswa kedokteran dan non-kedokteran di Universitas Indonesia. Hubungan positif juga ditemukan antara komponen pengetahuan, sikap, dan juga perilaku pada mahasiswa kedokteran dan mahasiswa non-kedokteran. ......Antibiotic resistance as a consequence of the excessive use of antibiotics has in fact become a global public health threat that requires immediate action. Studies shows that inappropriate prescribing, uncertainty of diagnosis, pressure from patients, and also public perception are factors that influence the inappropriate use of antibiotics. Optimizing the use of antibiotics with an education-based approach has shown an improvement in prescribing practices, especially for junior doctors. Therefore, the level of knowledge, attitudes, and practice related to proper prescribing, dispensing, and use of antibiotics must be known from medical students and also from non-medical students as a first step in providing interventions to deal with this increasing number of antibiotic resistance. This study was conducted using a descriptive analytic cross-sectional design on 653 active students at the University of Indonesia which were divided into two groups, medical students group and the non-medical students group which were obtained using the clustered convenience sampling method. The KAPAQ questionnaire by Karuniawati et al was used in this study which divided the respondents's scores into three categories, High (>70%), moderate (50-70%), and low (<50%). The mann-whitney test was conducted to analyze the difference in PSP scores between the two study program groups. Then, the chi-square and Kruskal Wallis tests were also used to determine the relationship between PSP components. High knowledge, attitudes, and practice in the use of antibiotics were actually found in the majority of students at the University of Indonesia (High knowledge 59.1%; High attitude 68%; High practice 64.2%). The results of the analysis conducted in this study showed that there was a significant difference (p<0.001) between the two study program groups in each PSP component. Then, a significant relationship was also found between the components of knowledge and attitudes (p<0.001), knowledge and behavior (p<0.001), and also between attitudes and behavior (p<0.001) in both groups of medical and non-medical students. The majority of students at the University of Indonesia have a high level of Knowledge, Attitude, and Practice regarding the use of antibiotics. Significant differences were found between knowledge, attitudes, and behavior of using antibiotics in medical and non-medical students at the University of Indonesia. A positive relationship was also found between the components of knowledge, attitudes, and also behavior in both medical students and non-medical students.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Nathanael
Abstrak :
Pendahuluan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) adalah penyakit menular yang terjadi di hidung, faring, laring dan sinus. Gejala ISPA umum terjadi pada masyarakat Indonesia dan seringkali diobati sendiri. Penelitian tentang hubungan antara pengetahuan dan praktik pengobatan mandiri terhadap ISPA masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat pengetahuan, mengevaluasi praktik pengobatan mandiri ISPA dan mencari hubungan kedua faktor tersebut. Peneliti juga ingin mengetahui ketepatan pemilihan obat dengan gejala ISPA yang dialami. Metode Desain penelitian ini adalah cross-sectional, dan menggunakan kuesioner online yang disebar melalui Google Form. Uji Cronbach dan Pearson menunjukkan bahwa kuesioner tersebut masing-masing mempunyai reliabilitas dan validitas yang dapat diterima (a=0.773). Analisis data menggunakan statistik deskriptif untuk menganalisis informasi demografi, tingkat pengetahuan dan praktik pengobatan mandiri. Uji Chi-Square digunakan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan kesesuaian penggunaan obat dan gejala yang dialami. Hasil Tingkat pengetahuan baik, cukup dan kurang dimiliki masing-masing oleh 44,1%, 51% dan 4,9% subjek. Praktik pengobatan mandiri yang dilakukan subjek secara umum dapat diterima. Sebagian besar subjek sudah tepat memilih obat untuk mengatasi gejala infeksi saluran pernapasan atas (56% untuk rinorea, 95% untuk demam, dan 85% untuk batuk). Namun, tidak ditemukan hubungan antara tingkat pengetahuan dan kesesuaian pemilihan obat untuk gejala demam (p = 0,384), batuk (p = 0,660) dan rinorea (p = 0,837). Kesimpulan Sebagian besar subjek memiliki pengetahuan cukup dan dapat memilih obat dengan tepat sesuai gejala infeksi saluran pernapasan atas. Walaupun demikian dalam penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara tingkat pengetahuan dengan ketepatan pemilihan obat untuk gejala infeksi saluran pernapasan atas. ......Introduction Upper respiratory tract infection (URTI) is an infectious disease that affects the upper respiratory tract. URTI symptoms are common within the Indonesian population. Hence, URTI symptoms are frequently self-medicated. Research about the association between knowledge and self-medication practices for URTI is limited. Therefore, this study aims to measure the level of knowledge, evaluate the self-medication practices for URTI and find the association between the two factors. We also want to find the appropriateness of their self-medication practices based on URTI symptoms. Method Design of this study was cross-sectional, using an online questionnaire was distributed through Google Form. Cronbach’s and Pearson test showed that the questionnaire had acceptable reliability (a=0.773) and validity respectively. Data analysis involved descriptive statistics to analyse the demographic information, level of knowledge and self-medication practices. Chi-Square test was done to determine the association between level of knowledge and appropriateness of drug indication. Results Good, adequate, and poor level of knowledge were possessed by 44.1%, 51% and 4.9% of respondents respectively. The self-medication practices of the participants were generally acceptable. Most of the self-medication practices for symptoms were appropriate (56% for rhinorrhea, 95% for fever and 85% for cough). However, there was no association between the level of knowledge and the appropriateness of self-medication practices for fever (p = 0,384), cough (p = 0,660) and rhinorrhea (p = 0,837). Conclusion Most of the subjects had adequate knowledge and could choose the appropriate medications according to the symptoms of URTI. However, in this study there was no relationship between the level of knowledge and the appropriateness of drug use for symptoms of URTI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Adelia Selena
Abstrak :
Latar Belakang: Diare merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi pada anak usia sekolah (5-12 tahun). Umumnya, gejala diare ringan dan disebabkan oleh infeksi virus yang bersifat self-limiting sehingga menimbulkan perilaku swamedikasi pada orang tua kepada anaknya. Perilaku swamedikasi perlu didasari oleh pengetahuan orang tua yang baik untuk mencapai penggunaan obat rasional. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan orang tua dengan pola swamedikasi diare pada anak usia sekolah (5-12 tahun) dan faktor-faktor yang memengaruhinya di Tangerang dan sekitarnya. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional. Responden adalah orang tua yang memiliki anak 5-12 tahun dan berdomisili di Tangerang dan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya serta disebarkan secara daring dalam bentuk Google Form. Analisis hubungan variabel dilakukan dengan menggunakan Kruskal Wallis dan Mann Whitney. Hubungan dinyatakan bermakna apabila p<0,05. Hasil: Prevalensi swamedikasi diare anak di penelitian ini sebesar 81,9% dengan mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan baik (59,6%) dan ketepatan pemilihan obat sebesar 84,9%. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan orang tua dengan ketepatan pemilihan obat diare anak (p = 0,511). Faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan tingkat pengetahuan orang tua adalah jenis kelamin (p=0,036) dan pekerjaan (p=0,02). Faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan ketepatan pemilihan obat diare anak adalah jenis kelamin (p=0,002). Kesimpulan: Pada penelitian ini, tingkat pengetahuan orang tua sudah tergolong baik. Namun, tidak didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan orang tua dengan ketepatan pemilihan obat diare pada anak usia sekolah (5-12 tahun). ......Introduction: Diarrhea is a common health problem that occurs in school-aged children (5-12 years old). Generally, the symptoms of diarrhea are mild and self-limiting and giving rise to self-medication behavior among parents towards their children. Self- medication behavior needs to be based on good parental knowledge to achieve rational drug use. Therefore, this research aims to determine the association between the level of parental knowledge and the pattern of self-medication for diarrhea in school-aged children (5-12 years old) and the influencing factors in Tangerang and surrounding areas. Method: This research was conducted with a cross-sectional design. Respondents are parents who have children aged 5-12 years and lived in Tangerang and surrounding areas. This research uses a questionnaire instrument that has been tested for validity and reliability and distributed online as Google Form. Analysis of variable association was carried out using the Kruskal Wallis and Mann Whitney tests. The association is declared significant if p<0.05. Results: The prevalence of self-medication for diarrhea in children in this study was 81.9% with the majority of respondents having a good level of knowledge (59.6%) and accuracy in drug selection was 84.9%. There was no significant association between parents’ knowledge level and the accuracy in children’s diarrhea drug selection (p=0.511). Factors that have a significant association with the level of parents’ knowledge are gender (p=0.036) and occupation (p=0.02). The factor that has a significant association with the accuracy in children’s diarrhea drug selections is gender (p=0.002). Conclusion: In this study, the level of parents’ knowledge was considered good. However, there was no significant association between parents’ knowledge level and the accuracy in children’s diarrhea drug selection in school-aged children (5-12 years).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ravenda Tyara Kinanti
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi saluran pernapasan atas merupakan penyakit yang umum terjadi pada anak usia sekolah (5-12 tahun). Gejala umumnya bersifat ringan dan self-limiting disease, sehingga menimbulkan perilaku swamedikasi oleh orang tua kepada anak. Perilaku swamedikasi harus dilandasi dengan pengetahuan yang baik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan orang tua dengan pola swamedikasi gejala infeksi saluran pernapasan atas pada anak usia sekolah (5-12 tahun) di DKI Jakarta. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain cross-sectional. Subjek penelitian merupakan orang tua dengan anak usia 5-12 tahun yang berdomisili di DKI Jakarta. Penelitian menggunakan instrumen kuesioner yang sudah diuji validitas dan reliabilitas, dan disebarkan secara online dalam bentuk google form. Analisis hubungan variabel dilakukan dengan uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney. Hubungan dinyatakan bermakna apabila p<0.05. Hasil: Prevalensi swamedikasi gejala infeksi saluran pernapasan atas pada anak di penelitian ini adalah 90%. Mayoritas orang tua (60%) memiliki tingkat pengetahuan cukup dan sudah tepat dalam pemilihan obat (73.5%). Terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan orang tua dengan ketepatan pemilihan obat gejala infeksi saluran pernapasan atas pada anak (p=0.021). Faktor dengan hubungan bermakna terhadap tingkat pengetahuan orang tua adalah jenis kelamin (p=0.028), pekerjaan (p=0.004), dan pendapatan (p=0.003). Faktor dengan hubungan bermakna terhadap ketepatan pemilihan obat adalah jenis kelamin (p=0.047). Kesimpulan: Mayoritas orang tua memiliki tingkat pengetahuan cukup dan sudah tepat dalam pemilihan obat. Berdasarkan analisis didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap ketepatan pemilihan obat untuk gejala infeksi saluran pernapasan atas pada anak usia sekolah. ......Introduction: Upper respiratory tract infection is common in school-aged children (5-12 years). Symptoms are generally mild and self-limiting and it gives rise to self-medication behaviour by parents towards children. Self-medication behaviour must be based on good knowledge. Therefore, aims of this study is to determine the relationship between the level of parental knowledge and the pattern of self-medication for symptoms of upper respiratory tract infections in school-aged children (5-12 years) in DKI Jakarta. Method: This research was conducted with a cross-sectional design. The subjects were parents with children aged 5-12 years who live in DKI Jakarta. The study used a questionnaire instrument that has been tested for validity and reliability, and distributed online as a Google form. Analysis of variable association was carried out using the Kruskal-Wallis and Mann-Whitney tests. The association is declared significant if p<0.05. Results: The prevalence of self-medication for symptoms of upper respiratory tract infections in children in this study was 90%. Most parents (60%) have sufficient knowledge and are appropriate in selecting drugs (73,5%). There is a significant association between the level of parental knowledge and the accuracy of choosing medication for symptoms of upper respiratory tract infections in children (p=0.021). Factors with a significant association to the level of parental knowledge were gender (p=0.028), occupation (p=0.004), and income (p=0.003). The factor with a significant association to the accuracy of drug selection is gender (p=0.047). Conclusion: Most of parents have a sufficient level of knowledge and are appropriate in selecting drugs. Based on the analysis, a significant association was found between the level of knowledge and the accuracy of drug selection for symptoms of upper respiratory tract infections in school-aged children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuko Ade Wahyuni
Abstrak :
Pendahuluan: Penggunaan kafein lebih direkomendasikan dalam tatalaksana apnoe of prematurity (AOP) karena selain memberikan efektivitas yang tidak berbeda, namun juga memiliki keuntungan terapeutik lain dibandingkan teofilin atau aminofilin. Dalam kondisi ketersediaan kafein yang masih terbatas di Indonesia, RSAB Harapan Kita mengupayakan penggunaan sediaan kafein oral terhadap pasien bayi prematur yang dirawat di unit perawatan intensif neonatologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui capaian kadar kafein dalam plasma neonatus prematur yang mendapatkan kafein oral tersebut. Metode: Penelitian potong lintang ini mengumpulkan data rekam medis serta mengambil sampel darah untuk mengukur kadar kafein dalam darah neonatus prematur selama periode Maret – Agustus 2022 di RSAB Harapan Kita Jakarta dengan kriteria insklusi neonatus dengan usia gestasi 35 minggu atau kurang yang mendapat terapi kafein. Jenis kafein yang digunakan adalah caffeine base oral dengan dosis inisial 10mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis rumatan 2,5 mg/kgBB/hari. Pengukuran kadar kafein dalam darah dilakukan setelah hari terapi kelima dengan menggunakan metode GCMS/MS. Hasil: Terdapat 33 subjek neonatus prematur yang diobservasi secara klinis serta dilakukan pemeriksaan kadar kafein dalam darah, dengan median usia gestasi 32 minggu (kisaran 25 – 34 minggu) dan rerata berat badan lahir 1296,8 (±307,8) gram. Sebanyak 97% subjek mencapai kisaran kadar terapeutik kafein pada keadaan steady state (4,49 – 20,63 mg/L). Subjek yang mengalami gejala AOP di hari terapi kafein ketujuh sebanyak 30,3%, mayoritas (27,2%) merupakan apnea tipe campuran. Efek samping yang paling banyak ditemui pada subjek penelitian ini adalah peningkatan diuresis. Kesimpulan: Mayoritas neonatus prematur yang mendapat caffeine base oral mencapai target kadar kafein darah 5 – 25 mg/L disertai penurunan kejadian AOP. Efek samping yang tersering adalah peningkatan diuresis namun tidak disertai kemaknaan klinis. ......Introduction: The use of caffeine is more recommended for the management of apnea of ​​prematurity (AOP) because, in addition to providing no difference in effectiveness, it also has other therapeutic advantages over theophylline or aminophylline. Because of the limited availability of caffeine in Indonesia, Harapan Kita National Women and Children Health Center seeks to use oral caffeine preparations for premature infants treated in the neonatology intensive care unit. This study aims to determine the achievement of caffeine levels in the plasma of premature neonates who received oral caffeine. Methods: This cross sectional study collected medical records and took blood samples to measure blood caffeine levels of preterm infants born in the period March – August 2022 at RSAB Harapan Kita Jakarta who fulfilled the inclusion criteria of neonates with a gestational age of 35 weeks or less and received caffeine therapy. The type of caffeine used was an oral caffeine base with an initial dose of 10mg/kg and continued with a maintenance dose of 2.5 mg/kg/day. Measurement of caffeine levels in the blood was carried out after the fifth day of therapy using the GCMS/MS method. Results: There were 33 preterm infants who were clinically observed and tested for caffeine levels in the blood, with a median gestational age of 32 weeks (range 25-34 weeks) and a mean birth weight of 1296.8 (±307.8) grams. A total of 97% of subjects reached the therapeutic range of caffeine levels at a steady state (4.49 – 20.63 mg/L). Subjects who experienced AOP symptoms on the seventh day of caffeine therapy were 30,3%, the majority (27,2%) were mixed type apnoe. The most common side effect found in the subjects of this study was an increase in diuresis. Conclusion: Most of the preterm infants who received oral caffeine base achieved targeted blood caffeine levels of 5 – 25 mg/L with reduced incidence of AOP. The most common side effect was increased diuresis but there was no clinical significance.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nusmirna Ulfa
Abstrak :
Latar Belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya dan biasanya mempunyai banyak komorbid seperti hipertensi, diabetes mellitus (DM) dan penyakit kardiovaskular. Selain itu pasien PGK juga berisiko mengalami komplikasi jangka panjang seperti anemia, gangguan mineral dan tulang, sehingga memerlukan pengobatan dengan beberapa jenis obat (polifarmasi). Obat-obatan pada pasien PGK digunakan dalam waktu jangka panjang sehingga berpotensi terjadi interaksi antar obat. Semakin banyaknya interaksi obat maka akan meningkatkan risiko efek samping obat (ESO). Pasien PGK juga sangat rentan mengalami peningkatan risiko akumulasi obat dan efek samping karena adanya perubahan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik. Selain itu pada pasien PGK stadium 5 dengan hemodialisis (HD) terdapat beberapa obat yang terdialisis dalam proses HD sehingga dapat mengurangi efektivitas pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola peresepan pada pasien PGK stadium 5 yang menjalani HD rutin serta kaitannya dengan potensi interaksi obat (PIO) dan kemungkinan ESO yang dapat diakibatkan oleh interaksi antar obat tersebut. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang pada pasien PGK stadium 5 dengan HD rutin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari 2020 sampai dengan Juli 2021. Data diambil dari rekam medis unit HD, rekam medis pusat, electronic health record (EHR) dan hospital information system (HIS). Untuk mengetahui PIO dilakukan penilaian berdasarkan perangkat lunak Lexicomp dan penilaian kausalitas ESO dengan menggunakan algoritma Naranjo. Hasil: Didapatkan 147 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan terdapat 101 jenis obat dengan 2767 kali peresepan dalam waktu 3 bulan. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi antar obat sebanyak 89% pasien. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi kategori mayor sebanyak 14% pasien, kategori moderat sebanyak 88% pasien, dan kategori minor sebanyak 37% pasien. Proporsi pasien yang dicurigai mengalami ESO akibat interaksi obat sebanyak 50% (66 pasien) dari 131 pasien yang mengalami PIO. Pada hasil multivariat, hanya komorbid DM yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat. Kesimpulan: Sebanyak 89% pasien PGK stadium 5 dengan HD mengalami potensi interaksi obat dan hipertensi merupakan efek samping terbanyak yang dicurigai akibat interaksi obat. Komorbid DM mempunyai peran yang cukup penting untuk terjadinya efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat pada pasien PGK stadium 5 dengan HD ......Background: The prevalence of end-stage renal disease in Indonesia has increased every year and usually has many comorbidities such as hypertension, diabetes mellitus (DM) and cardiovascular disease. In addition, there is also a risk of long-term complications, thus requiring treatment with several types of drugs (polypharmacy). The higher the frequency of drug interactions, the higher the risk of adverse drug reaction (ADR). Chronic kidney disease (CKD) patients are also very susceptible to an increased risk of drug accumulation and ADR due to changes in pharmacokinetic and pharmacodynamic parameters. In addition, CKD stage 5 patients with hemodialysis (HD) have several drugs that are dialyzed in the HD process so that it can reduce the effectiveness of treatment. The purpose of this study was to determine the prescribing pattern in stage 5 CKD patients on routine HD and its relationship to DDI and the possibility of ADR that could be caused by interactions between these drugs. Methods: This was an observational study with a cross-sectional design in CKD stage 5 patients on routine HD at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period January 2020 to July 2021. Data were taken from HD unit medical records. To determine the DDI, an assessment was carried out based on the Lexicomp software and ADR causality assessment using the Naranjo algorithm. Results: A total of 147 patients met the inclusion criteria and there were 101 types of drugs with 2767 prescriptions within 3 months. The proportion of patients who received treatment with potential DDI is 89% of patients. The proportion of patients who received DDI in the major category was 14%, the moderate category was 88%, and the minor category was 37%. From 131 patients with DDI, the proportion of patients suspected having ADR cause by DDI is 50% (66 patients). Multivariate analysis found that only DM had statistically significant relationship with ADR that are suspected due to DDI. Conclusion: In this study, 89% of patients received treatment with potential DDI and hypertension is the most suspected ADR due to drug interactions. Comorbid DM has an important role in the occurrence of ADR due to DDI in stage 5 CKD patients on HD.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fernando Wahyu
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Salah satu fungsi vitamin D adalah mengatur proliferasi dan maturasi sel darah. Beberapa penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan rendahnya kadar vitamin D dengan kejadian dan kesintasan pada pasien LMA. Data terbaru menunjukkan bahwa prevalensi insufisiensi vitamin D di Indonesia lebih dari 50%, meskipun Indonesia termasuk negara dengan paparan sinar matahari yang tinggi. Keadaan ini kemungkinan juga dialami oleh pasien LMA di Indonesia sehingga dapat memperburuk prognosis penyakitnya. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti hubungan kadar vitamin D dengan prognosis pasien LMA di Indonesia. Selain vitamin D, beberapa sitokin yang dipengaruhi oleh vitamin D seperti IL-6 (sitokin proinflamasi) dan IL-10 (sitokin antiinflamasi) dapat mempengaruhi regulasi hematopoiesis normal dan keganasan pada pasien LMA. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui hubungan antara kadar vitamin D, IL-6, IL-10, dan rasio IL-6/IL-10 dengan kesintasan 1 tahun pasien LMA. Metode: Penelitian dengan desain kohort retrospektif dilakukan pada 43 pasien LMA di RSCM dan RS Kanker Dharmais. Sebanyak 43 serum darah pasien LMA dianalisis dengan metode ELISA untuk memperoleh kadar vitamin D, IL-6 dan IL-10. Analisis kesintasan 1-tahun dilakukan dengan Kaplan Meier estimator. Hasil: Tidak terdapat hubungan antara kadar vitamin D (HR: 0.817 95%CI 0.352-1.901), IL-6 (HR: 1.057 95%CI 0.525-2.128), IL-10 (HR: 0.586 95%CI 0.294-1.168) dan rasio IL-6/IL-10 (HR: 0.823 95%CI 0.411-1.646) serum dengan kesintasan 1-tahun pasien LMA. Tidak ada korelasi antara vitamin D dengan kadar kadar IL-6, IL-10, dan rasio IL-6/IL-10. Kesimpulan: Tidak diperoleh hubungan bermakna antara kadar vitamin D, IL-6, IL-10, dan rasio IL-6/IL-10 dengan kesintasan 1-tahun, namun kami menyadari bahwa besar sampel yang digunakan masih jauh dari cukup. Hasil analisis menunjukkan ada tendensi vitamin D merupakan faktor proteksi pada kesintasan 1 tahun, sedangkan ratio IL-6/IL-10 merupakan faktor risiko pada kesintasan 1 tahun. ......Background and aim: Vitamin D was known to the proliferation and maturation of blood cells. Several studies have shown that there is an association between low vitamin D levels with incidences and survivals of AML patients.Previous data had shown that about half of Indonesian have vitamin D insufficiency, even though Indonesia is a tropical country with high sun exposure. Vitamin D insufficiency might also worsen the condition and prognosis of AML patients in Indonesia. Up to date, the relationship between vitamin D levels and the prognosis of AML patients in Indonesia was not known. Several cytokines related to vitamin D, including IL-6 (pro-inflammatory cytokines) and IL-10 (anti-inflammatory cytokines) might also influence the regulation of hematopoiesis in normal and malignant conditions. Thisstudy was aimed to determine the association between vitamin D concentrations, serum IL-6, IL-10 and the ratio of IL-6/IL-10 with 1-year Survival Rate in Indonesian Acute Myeloblastic Leukemia Patients. Method: This was a retrospective cohort study done in 43 AML patients in RSCM and RS Kanker Dharmais. We analyzed 43 serum samples for vitamin D, IL-6 and IL-10 concentrations using ELISA. Survival analysis was done using Kaplan Meier estimator. Result: There was no correlation between the levels of vitamin D (HR: 0.817 95%CI 0.352-1.901), IL-6 (HR: 1.057 95%CI 0.525-2.128), IL-10 (HR: 0.586 95%CI 0.294-1.168) and ratio IL-6/IL-10 (HR: 0.823 95%CI 0.411-1.646) with 1 year survival of AML patients. There was no correlation between vitamin D and levels of IL-6, IL-10 and ratio IL-6/IL-10. Conclusion: There is no correlation between vitamin D, IL-6, IL-10 and ratio IL-6/IL-10 with 1-year survival of AML patients. No association was found between vitamin D, IL-6, IL-10, ratio IL-6/IL-10. However, the study was done in a limited sample size. Analysis showed a tendency for vitamin D to be a protective factor at 1 year survival, while the ratio IL-6/IL-10 was a risk factor at 1 year survival.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>