Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lis Riana Dora M.P.
"ABSTRAK
Sejak pembentukan negara Republik Rakyat Cina (1949), kebijakan Cina terhadap Korea sangat dipengaruhi oleh pertimbangan keamanan. Cina memandang Korea Utara sebagai wilayah penyangga antara dirinya dengan kekuatan-kekuatan lain, seperti: Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan dan Uni Soviet. Dalam masa Mao Zedong, kebijakan luar negeri Cina di Semenanjung Korea dipusatkan pada Korea Utara dan tidak menjalin hubungan dengan Korea Selatan. Berdasarkan politik dan ideologi, Cina memihak Korea Utara menentang Korea Selatan yang didukung Amerika Serikat dan Jepang. Berbeda dengan Mao, di bawah pimpinan Deng Xiaoping, Cina menjalin hubungan ekonomi secara informal dengan Korea Selatan pada tahun 1980-an. Selanjutnya dalam era pasca-Perang Dingin, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1992, Beijing menormalisasi hubungan diplomatik dengan Seoul. Namun, hal ini bukan berarti bahwa Cina meninggalkan Korea Utara. Beijing tampak berusaha memelihara hubungan baik dengan Pyongyang. Dengan menggunakan pendekatan keterkaitan antara faktor-faktor internal dan eksternal yang dikemukakan Samuel S. Kim, skripsi ini berusaha menjelaskan pelaksanaan kebijakan luar negeri Cina di Semenanjung Korea dalam era pasca- Perang Dingin (1989-1994), termasuk sikap Cina terhadap tiga isu penting di kawasan itu, yakni: nuklir Korea Utara, unifikasi Korea, dan masa depan Korea Utara. Ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina di Semenanjung Korea, yaitu: kepemimpinan dan elite; kepentingan ekonomi; serta kepentingan politik dan keamanan. Sedangkan faktor-faktor eksternal utama yang mempengaruhi kebijakan Cina tersebut ialah normalisasi hubungan Cina-Soviet, serta jatuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan runtuhnya Uni Soviet (berakhirnya Perang Dingin); serta hubungan Cina dan Amerika Serikat. Pembahasan permasalahan juga dikaitkan dengan tulisan Kenneth Lieberthal, A. Doak Bamett, Hans J. Morgenthau, Susan Shirk, dan William T. Tow."
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nike Qisthiarini
"Lingkungan dan pembangunan merupakan isu yang telah lama dibahas dalam masyarakat internasional. Dalam hal ini terdapat kesepakatan internasional bahwa keduanya harus diintegrasikan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Istilah pembangunan berkelanjutan di Indonesia sudah sejak lama dikenal namun sayangnya implementasinya di lapangan belum cukup baik. NGO sebagai salah satu aktor yang memiliki peran strategis banyak membantu dalam mendorong mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dalam hal ini kita dapat melihat upaya NGO dalam mendorong pembangunan berkelanjutan dengan proyek-proyek yang dilaksanakan. Salah satu NGO yang mendorong mewujudkan upaya berkelanjutan adalah WI-IP. Lebih khusus, dapat dilihat dalam proyek Green Coast. Proyek Green Coast merupakan proyek rehabilitasi ekosistem pesisir pasca tsunami Aceh dan Nias. Proyek Green Coast merupakan proyek rehabilitasi ekosistem dengan menggabungkan upaya pemberdayaan ekonomi. Dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai peran dan strategi WI-IP dalam proyek ini. Penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode kajian kepustakaan. Hasil penelitian ini memperlihatkan strategi yang digunakan WI-IP dalam proyek ini antara lain information politics, leverage politics dan accountability politics.

Environment and development is an issue that has long been discussed within the international community. In this case there is international agreement that they should be integrated to achieve sustainable development. The term sustainable development in Indonesia have long been known for implementation on the ground but unfortunately not good enough. NGOs as one of the actors who have a strategic role in encouraging a lot of help to achieve sustainable development in Indonesia. In this case we can see the efforts of NGOs in promoting sustainable development with projects undertaken. One NGO that encourages ongoing efforts to realize is WI-IP. More specifically, it can be seen in the Green Coast project. Green Coast Project is a project of post-tsunami rehabilitation of coastal ecosystems in Aceh and Nias. Green Coast project is the rehabilitation of the ecosystem by combining the efforts of economic empowerment. In this study, will discuss the role and WI-IP strategy in this project. The study is a qualitative research study using the literature. The results of this study show that the strategy used WI-IP in the project include information politics, leverage politics and accountability politics."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sasya Amanda Marchigianni
"Feminisasi migrasi memainkan peranan penting dalam perkembangan proses migrasi beberapa dekade terakhir. Feminisasi migrasi tidak dimaksudkan untuk dipahami secara sempit sebagai meningkatnya jumlah perempuan yang bermigrasi saja, tetapi juga berubahnya pekerjaan atau kesempatan yang tersedia dan menurunnya kondisi terkait pekerjaan maupun kesempatan lain tersebut. Namun, tendensi yang terjadi dalam kajian migrasi adalah melihat feminisasi migrasi sebagai suatu pergeseran tren semata. Feminisasi migrasi juga cenderung digambarkan sebagai sesuatu yang sifatnya positif bagi perempuan. Perlu dipertanyakan apakah fenomena ini bermanfaat bagi perempuan sendiri, atau malah tetap memarjinalisasi. Memandang feminisasi migrasi dari perspektif feminis akan mampu mengungkap apakah migrasi merupakan suatu pilihan yang memerdekakan dan memberdayakan bagi perempuan. Atau di sisi lain, migrasi justru membuat perempuan semakin terpuruk.

The feminization of migration plays an important role in the development of migrating the past few decades. The feminization of migration is not meant to be understood narrowly as the increasing number of women who migrate, but also a change in jobs or opportunities available and the decreasing of work-related conditions and such other opportunities. However, a tendency that occurs in the study migration is that the feminization of migration is seen as nothing more than a shift in the migration trend. The feminization of migration also tends to be portrayed as something that has positive impacts for women. The question remains whether this phenomenon is an empowerment for women themselves, or on the contrary, serve to marginalize them even more. Looking at the phenomenon from a feminist perspective will be able to reveal whether migration is an option that is liberating and empowering for women. Or on the other hand, migration has made women face worse discrimination and marginalization.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alief Einstein
"Penelitian ini bertujuan meneliti bagaimana kepala desa wanita menghadapi permasalahan dalam pemilihan kepala desa dan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal-hal yang akan digambarkan adalah, mendapat gambaran dari permasalahan yang dihadapi informan dalam pemilihan kepala desa; mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi informan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa; mendapat gambaran dan pengalaman dan pengetahuan informan yang berkenaan dengan kemampuannya dalam menyelenggarakan pemerintahan desa; dan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi informan, apakah berkenaan dengan permasalahan jender atau bukan.
Penelitian ini dilakukan di pedesaan Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas dan Purbalingga. Lokasi penelitian untuk kedua kabupaten tersebut adalah pada tiga belas desa dan tiga belas kecamatan yang berlainan, dengan Sembilan informan wanita dan empat informan pria.
Pendekatan penelitian ini menggunakan analisis yang lebih bersifat kualitatif. Data kuantitatif dalam tesis ini, hanya digunakan sejauh dapat mengungkapkan gambaran secara umum saja, misalnya untuk menganalisis data dari Departemen Dalam Negeri dan Biro Pusat Statistik.
Fakta yang ada dari temuan penelitian memperlihatkan bahwa adanya masalah-masalah khusus yang dihadapi kepala desa wanita dalam pemilihan kepala desa. Permasalahannya ditinjau dari pandangan jender tertentu dalam masyarakat yang menghambat partisipasi wanita. Hambatan partisipasi wanita dalam penelitian ini digambarkan dari pandangan jender yang memang "sudah" dilekatkan dalam masyarakat dan dampak dari pandangan itu.
Pandangan jender yang memisahkan dunia wanita dan pria secara tegas masih sangat umum dalam masyarakat kita. Pandangan jender yang muncul dalam penelitian ini terdiri dari stereotip, subordinasi, dan kekerasan jender. Dampak pandangan ditinjau dari sudut diskriminasi.
Fakta selanjutnya yaitu, adanya perbedaan jender dalam penyelenggaran pemerintahan desa, sehingga menimbulkan ketidakadilan jender dalam bentuk kekerasan, subordinasi, dan beban kerja berlebih pada wanita.
Fakta terakhir, tentang kemampuan kepala desa wanita yang tidak kalah dengan kepala desa pria. Wanita yang diberi kesempatan menjadi kepala desa, ternyata memiliki kualitas kemampuan dan ciri karakteristik positif lainnya, yang dapat mengimbangi dengan gambaran seperti yang dimiliki kepala desa pria.
Peneliti di sini hanya ingin memberikan gambaran mengenai permasalahan yang dihadapi kepala desa wanita dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Sebab penelitian mengenai permasalahan yang dihadapi wanita dalam bidang politik dan pemerintahan di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan. Bahkan penelitian mengenai kepala desa wanita dengan perspektif wanita belum ada sama sekali yang melakukannya. Selain itu peneliti tidak mempunyai maksud menggeneralisasikan hasil data ini. Manfaat dari data awal ini adalah bahwa mungkin dapat digunakan sebagai pedoman untuk penelitian lebih jauh yang berhubungan dengan topik ini."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuning Suliasih Purwaningrum
"Penelitian ini merupakan penelitian kepada kelompok perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) yang kawin dengan laki-laki Warga negara Asing (WNA) dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini mengungkapkan bahwa perempuan WNI yang mengawini laki-laki WNA dalam prakteknya mengalami banyak hambatan dalam mengakses haknya sebagai warga negara, seperti hak sipil, hak politik, hak ekonomi, dan hak sosial. Pembatasan tersebut berpangkal dari pembedaan kedudukan perempuan WNI yang didefinisikan dalam UU Kewarganegaraan yang mengikuti status hukum suarninya yang berwarga negara asing. UU Kewarganegaraan yang disusun dengan semangat nasionalisme sempit dan menyangsikan loyalitas perempuan sebagai warga negara telah berdampak kepada peraturan lain, seperti keimigrasian, kebijakan agraria, serta peraturan lain yang bersifat strategis. Peraturan-peraturan tersebut saat ini sudah tidak relevan lagi karena masalah kewarganegaraan tidak lagi sebatas masalah nasionalisme, akan tetapi merupakan perlindungan terhadap setiap warga. yang dijamin dalam banyak peraturan, termasuk diantaranya dalam CEDAW.

This research is focusing on a group of Indonesian women who arc married to foreign men. The Qualitative approach is used in this research. The research found that Indonesian women married to foreign husbands have limited access to their rights as citizens simply due to marrying foreign husbands. The existing citizenship laws state that one family is to adopt one nationality which is the husbands nationality. The implication for these women is limited access to resources such as property, certain types of work, and limited access to political involvement since the women's legal status is identified with the foreign national husband. Therefore, she is considered part foreigner instead of Indonesian. The citizenship laws were made just after Indonesia declared freedom from western colonization which caused the concept of citizenship to be based on "narrow-minded" nationalism. This is no longer relevant since citizenship now is guaranteed by many laws and international conventions such as CEDAW which consider citizenship a right that protects every person."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristian Thomas Djara
"Tesis ini mengkritik pendekatan human security PBB melalui implementsi resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 dalam isu kekerasan seksual (pemerkosaan dan perbudakan seksual) di Timor Leste pada masa konflik (1975-1999). Penulis menggunakan metode studi literature dengan dokumen Chega CAVR sebagai rujukan data kekerasan seksual di Timor Leste pada masa konflik. Teori yang digunakan adalah teori feminisme radikal kultural yang menekankan pada tiga konsep dasar, yakni budaya patriarki, power dan penindasan yang berdampak pada gagasan revolusioner untuk mengakhiri penindasan. Penulis ingin menunjukkan proses pengarusutaman gender dalam operasi perdamaian PBB (UNTAET) di Timor Leste sebagai implementasi resolusi 1325 yang berimplikasi pada pembentukan CAVR namun gagal melawan budaya bisu yang disebabkan oleh budaya patriarki. Budaya bisu perempuan Timor Leste ini membentuk impunitas pelaku kekersaan seksual di Timor Leste pada masa konflik dan berlanjut hingga kini. Tesis ini menemukan dua hal, yakni secara teoritis, adanya integrasi pendekatan human security PBB dengan lensa gender dalam isu kekerasan seksual dalam konflik. Secara empiris, CAVR bukanlah implementasi gagasan revolusioner teori feminisme radikal kultural. Mobilitas CAVR hanya merekomendasikan proses peradilan bagi milisi pro-integrasi di Timor Leste tetapi kurang menargetkan militer Indonesia sebagai pelaku utama kekerasan seksual terhadap perempuan Timor Leste pada masa konflik.

This paper criticizes UN human security approach through the implementation of UN Security Council resolution 1325 on sexual violence issue (rape and sexual slavery) in Timor Leste during the conflict (1975-1999). The method used is literature study with CAVR Chega document as reference for data on sexual violence in Timor Leste during the conflict. The theory used is cultural radical feminism which emphasizes three basic concepts, patriarchal culture, power and oppression impacted on revolutionary ideas to end oppression. The author show gender mainstreaming process in Timor Leste UN peace operations (UNTAET) as the implementation of resolution 1325 and the implications for the foundation of CAVR Commission that failed to change culture of silence caused by patriarchal culture. This silent culture of East Timorese women promotes impunity for perpetrators of sexual assault in Timor Leste during conflict period. This paper discovers two main things: theoretically, the integration of the UN human security approach with gender lens in sexual violence issue during conflict. Empirically, CAVR is not the implementation of revolutionary idea based on cultural radical feminism theory. The CAVR's mobility urges judicial process for pro-integration militias in Timor Leste but lacked demanding on Indonesian military as main perpetrator of sexual violence against East Timorese women during the conflict"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Setiyo Wibowo
"Tesis ini membahas mengenai advokasi Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN (TF-AMW) terhadap ASEAN dalam perlindungan hak-hak buruh migran periode 2007-2010. TF-AMW merupakan suatu jejaring masyarakat sipil yang berupaya menekan ASEAN sebagai organisasi regional guna mengadopsi instrumen yang dibuatnya agar seluruh negara di Asia Tenggara meratifikasi standar internasional dalam perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran. Dengan metode kualitatif, penelitian ini berupaya menganalisis bagaimana jejaring TF-AMW terbentuk, bagaimana strategi advokasi yang diterapkan untuk mengadvokasi ASEAN, dan bagaimana hasil dari advokasi tersebut. Penelitian ini menarik kesimpulan bahwa belum berhasilnya advokasi TF-AMW dipicu oleh terbatasnya ruang politik dari ASEAN kepada kelompok masyarakat sipil, dominannya norma-norma ASEAN Way yang sebenarnya mencerminkan bagaimana organisasi ini memandang hak-hak buruh migran sebagai isu HAM, dan tidak adanya momentum politik.

This thesis discusses the advocacy of Task Force on ASEAN Migrant Workers (TF-AMW) to ASEAN in protecting the rights of migrant workers from 2007 to 2010. TF-AMW is a civil society network which pushes ASEAN, as a regional organization, to adopt its instrument so that all Southeast Asian countries ratify the international standard of protection and promotion the rights of migrant workers. Applying the qualitative method, this research aims at analyzing the network of TF-AMW is formed, its strategies of advocacy to ASEAN, and the result of the advocacy. This research concludes that TF-AMW?s advocacy has not yet succeeded due to lack of political space from ASEAN to civil society group, the dominance of ASEAN Way norms which actually reflect the regional organization views toward the rights of migrant workers as part of human rights issue, and absence of political momentum."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lathiefah Widuri Retyaningtyas
"Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana gerakan feminis transnasional membingkai isu-isu perempuan dalam hubungan internasional. Gerakan feminis transnasional adalah gerakan untuk memajukan hak asasi perempuan yang bekerja serentak baik pada tingkat lokal, nasional maupun global. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus tunggal terhadap Delhi Gang-Rape 2012. Dengan menggunakan perspektif feminis transnasional, penelitian ini menunjukkan bahwa gerakan feminis transnasional berhasil menimbulkan kesadaran terhadap hak-hak dan perlindungan perempuan khususnya dalam isu melawan perkosaan, turut mendorong terjadinya perubahan kebijakan di India dalam meredefinisikan dan mereformasikan hukum serta undang-undang mengenai perkosaan, turut mempelopori penggunaan media sosial sebagai mesin penggerak ekspresi perlawanan terhadap perkosaan. Kemampuan feminis transnasional memengaruhi media massa nasional dalam mengadvokasi isu perkosaan sebagai kejahatan kemanusiaan telah berhasil mendorong perubahan struktur birokrasi di India. Dengan begitu gerakan feminis transnasional menjadi salah satu aktor HI non-negara yang dapat mempengaruhi interaksi di tingkat lokal, nasional dan maupun global.Kata kunci: Feminis Transnasional, Perkosaan, Perkosaan Berkelompok.

This study aims to analyze how transnational feminist movements frame women 39 s issues in international relations. The transnational feminist movements is a movement to promote the rights of women working simultaneously at the local, national and global levels. This study utilizes qualitative methods with a single case study of the 2012 Delhi gang rape. Employing a transnational feminist perspective, this study shows that transnational feminist movements succeeded in raising awareness of women 39 s rights and protection, especially on the issue of rape. Transnational feminist movements have also contributed to policy changes in India in redefining and reforming laws on rape, as well as pioneering the use of social media as a medium for expression against rape. The ability of transnational feminists to influence national mass media in advocating the issue of rape as a crime against humanity has succeeded in inducing change in bureaucratic structures in India. Thus, the transnational feminist movement has become a non state actor in IR capable of influencing interaction at the local, national and global levels.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T51525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.A.Sg. Dwinta Kuntaladara
"Jika kawasan pada umumnya memilih untuk hanya mendukung universalitas HAM, maka tidak demikian bagi ASEAN. Ia mendukung prinsip universal melalui instrumen-instrumen HAM internasional. Dengan bersamaan, ia membuat AHRD yang turut mengatur bahwa HAM harus ditegakkan dengan mempertimbangkan partikularitas regional maupun nasional. Penelitian ini menganalisis bagaimana diskursus kontestasi HAM menjelaskan pembuatan AHRD tersebut. Penelitian ini berupaya mendapatkan penjelasan yang mendalam dan tuntas melalui pendekatan kualitatif dan interpretatif. Penelitian ini juga menggunakan logika dari Queer Theory yang memungkinkan untuk mengalisis kasus tersebut. Ternyata ditemukan bahwa ketika AHRD dianalisis dengan menggunakan teori tersebut, AHRD dapat dipahami sebagai dokumen yang menawarkan jawaban bagi kebutuhan realita sosial ASEAN.

Regions in general choose to only support universality in human rights. However, ASEAN supports universality through various international instruments. At the same time, the region also supports particularity through its AHRD by considering both regional and national particularities. This research aims to see how the contestation between both principles explain this case. In doing so, this research uses qualitative and interpretative approaces to achieve deep and thorough explanations. It also uses the logics of Queer Theory in realising such goal. When AHRD is analysed using that logic, it is found, that the document offers answers to ASEAN’s social reality.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S47339
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezti Muthia
"Penelitian ini memaparkan tentang pemaknaan self-determination yang awalnya dipahami sebagai hak untuk merdeka dan memisahkan diri melalui Declaration on the Granting of Independence to Colonial Peoples, menjadi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam konteks HAM bagi indigenous peoples. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif interpretif, penelitian ini mengeksplorasi perdebatan pada proses penyusunan teks deklarasi indigenous rights di PBB yang dimulai pada tahun 1984-2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, walaupun pemaknaan pada akhirnya diterima secara resmi sebagai self-determination yang dibatasi, masih terdapat unsur-unsur ldquo;kolonialisme berlanjut rdquo; advanced colonialism yang masih berlanjut yang menyebabkan masih sulitnya negara menerima pemaknaan self-determination yang bersifat internal. Selain itu, dipaparkan pula mengenai kondisi pengakuan masyarakat adat di Indonesia sebagai refleksi atas permasalahan terhadap pemaknaan self-determination.

This study elaborates the meaning of self determination which was originally conceived as the right to independence and secession by Declaration on the Granting of Independence to Colonial Peoples, becomes the rights to self determination in the context of rights for indigenous peoples. By using qualitative interpretive approach, this study explores the debate on the process of preparing the text of the UN Declaration on Indigenous Rights from 1984 2007. The result shows that,even though the meaning is accepted formally in form of restricted self determination, there are elements of advanced colonialism that led to the difficulty for states to accept the context of internal meaning of self determination. This study also presents the condition on recognition of ldquo masyarakat adat rdquo in Indonesia as a reflection on the problems on the meaning of self determination."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66416
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>