Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Hadisetyono
"ABSTRAK
Hak paten merupakan bagian dari pada Hak Kekayaan Intelektual, secara umum pengertian HKI yaitu sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektuaI manusia, dimana sebagai bagian dari hukum harta benda (hukum kekayaan). Perlindungan Paten diberikan untuk perlindungan dalam bidang teknologi termasuk teknologi produk farrnasi atau obat. Hak monopoli dari yang dimiliki pemegang paten mengakibatkan obat menjadi mahal sehingga banyak kalangan masyarakat tidak mampu membelinya pada hal obat tersebut sangat diperlukan, maka pemiliknya pada prinsipnya adalah bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri pada hubungan hukumnya. Hanya dalam perkembangan selanjutnya kebebasan itu mengalami perubahan, yaitu misalnya pembatasan berbpa adanya pengambilalihan oleh Negara.
Kebutuhan terhadap kebijakan tentang PeIaksanaan Paten Oleh Pemerintah sangat mendesak sehubungan dengan penyakit menular HIVIAIDS yang perkembangannya dari tahun ke tahun sedemikian cepat, tingginya angka korban yang meninggal akibat penyakit HIV/AIDS serta semakin meningkatnya jumlah penderita HIVIAIDS, hal ini perlu pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasinya.
Dengan adanya campur tangan Pemerintah dengan melaksanakan Paten obat antiretroviral (lamivudin dengan Nomor Paten ID 0 002 473 dan Nevirapin dengan Nomor Paten ID 0 001 338), mama harga that dapat ditekan menjadi Iebih murah bahkan diberikan dengan gratis kepada penderita HIVIAIDS, sehingga semakin banyak penderita HIVIAIDS yang dapat menggunakan obat tersebut, namun kenyataannya masih banyak penderita HIVIAIDS yang belum memanfaatkan atau menggunakan obat anti retroviral tersebut.
Permasalahannya adalah sebagai berikut : "Kendala-kendala apakah yang dihadapi penderita HIVIAIDS dalam memperoleh obat-obat anti retroviral 7', khusunya that anti retroviral yang dilindunggi paten, dan paten tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah.
Berdasarkan basil riset bahwa hambatan penderita HIVIAIDS terhadap akses that anti retroviral adalah dalam pelayanan kesehatan dan disebabkan juga oleh penderita HIVIAIDS sendiri yang belum bersedia untuk menggunakan obat anti retroviral karena berbagai pertimbangan.

ABSTRACT
Rights of health of patient HIV/AIDS constraints faced by the patient HIV/AIDS in obtaining drugs of anti retroviral as exploitation of patent by Government. Patent right represent the part of intellectual equity, in general congeniality intellectual property rights that is as rights for properties of arising out or born because intellectual ability of human being, where as part of good and chattel law (law of properties). Patent protection given for the protection of in the field of technology of is inclusive of technology of product of pharmacy or drug. Monopolistic rights from owned by the patent holder result the drug become costly so that a lot of society circle unable to buy it though the drug matter very needed, hence its owner in principle is free go to any length as according to its, and give the content desired own at its contractual terms. Only in growth here in after that freedom experience of the change, that is for example demarcation in the form of existence of take over by State.
Requirement to policy about exploitation of patent by imperative Government referring to contagion HIV/AIDS which its growth from year to year in such a way quickly, height of victim number dying effect of disease HIV/AIDS and also progressively the increasing of amount of patient HIV/AIDS, this matter is governmental need immediately bring an action against to overcome it.
With the existence of Governmental interference by exploitation patent medicine the antiretroviral (lamivudin with the number of patent id 0 002 473 and nevirapin with the number of patent id 0 001 338), hence drug price can be depressed to become cheaper is even given free of charge to patient HIV/AIDS, so that more and more patient HIV/AIDS which can use the drug, but in reality still a lot of patient HIV/AIDS which not yet exploited or use the drug of anti retroviral. Its problems shall be as follows: "Constraints whether/what faced by the patient HIVIAIDS in obtaining drugs of anti retroviral?", especially medicine anti retroviral which protected by patent, and Exploitation of Patent By Government.
Pursuant to result research into that resistance of patient HIVIAIDS to accessing drug antiretroviral in health service and caused also patient HIVIAIDS by self which not yet have the kindness to use the drug of anti retroviral because various consideration.
"
2007
T20833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryati
"ABSTRAK
Anak sebagai penerus cita-cita bangsa, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mentalnya.. Dalam upaya pembinaan dan perlindungan terhadap anak, seringkali terjadi pelanggaran hukum dan anak terpaksa hams berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini dapat terjadi pada siapa saja tanpa mengenal status sosial dan ekonomi.
Penempatan seorang anak di dalam Lembaga Pemasyarakatan menghadapkan anak pada sejumlah masalah. Anak tidak hanya sekedar kehilngan kemerdekaan tetapi juga rentan terhadap berbagai eksploitasi dan stigmatisasi. Untuk itu selama berada di dal am Lapas, anak perlu mendapatkan perawatan rohani dan jasmani secara terns menerus agar anak tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. lingkungan sebaiknya tetap terjaga agar anak merasa tentram dan aman sehingga terwujud suatu kondisi Lapas Anak yang "Ramah Anak"
Upaya-upaya pemenuhan perawatan rohani dan jasmani anak didik di Lapas Anak Wanita Tangerang dilakukan melalui berbagai program pembinaan yaitu program pembinaan kepribadian dan program pembinaan kemandirian. Namun di dalam pelaksanaannya banyak kendala yang dihadapi antara lain dalam bidang manajeman organisasi, keterbatan saran dan prasarana, Sumber Daya Manusia, peran serta masyarakat dan partisipasi anak.
Pelaksanaan pemenuhan hak perawatan rohani dan jasmani anak didik di Lapas anak Wanita belum maksimal, sehingga perlu peningkatan di berbagai bidang.

ABSTRACT
Child is the next generation for nation, that needs the building and protecting to guarantee the growth and development both physically and mentally. In building and protecting the child, it has been happened the law break frequently, so then it forces child stays in correction institution. It happens to anybody without considerating social or economic status.
Placing a child in correction institution makes some problems occur. Child not only losses of freedom but also closes to any exploitation and stigma. For this reason, during staying in the correctional institution, child needs mental and physic care continuosly for growing and developing well. It hopes that environtment can keep the child feels comfort and safe, so the juvenile correctional institution condition that "Friendly for children" could be created.
The effortsto fullfil the mental and physic care for juvenile in female juvenile correctional institution in Tangerang could be done by doing some building programs. They are character building program and independence building program. We face some obstacles in doing these, for example, problems in organization management, limited infrastructures, human resources problem, and the involvement of society and child participate.
The program implementation to fullfil the juvenile rights for mental and physic care in Tangerang-Female Juvenile Correctional Institution does not maximize yet, so that it needs some improvements in all aspects.
"
2007
T20805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Farrel Firdiansyah Putra
"Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menjelaskan tentang Keputusan Tata Usaha Negara yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Tesis ini membahas mengenai Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa Keputusan Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta dalam Pemberhentian Mahasiswa. Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian doktrinal. Sengketa yang terjadi dalam Perkara Nomor 24/G/2021/PTUN.BL antara mahasiswa dengan universitas swasta adalah perbuatan hukum yang memiliki sifat administratif sehingga menyebabkan dampak hukum bagi kedua belah pihak, Objek Gugatan ialah Surat Keputusan Rektor Universitas Teknokrat Indonesia tertanggal 27 Januari 2021 tentang Pemberhentian sebagai Mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia. Simpulan yang didapat berdasarkan hasil analisis adalah Keputusan Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta dalam pemberhentian mahasiswa termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara. Hal ini karena RektorPerguruan Tinggi Swasta dianggap sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menjalankan urusan pemerintahan di bidang pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penegakan hukum terhadap keputusan pimpinan perguruan tinggi swasta terkait pemberhentian mahasiswa dalam Perkara Nomor 24/G/2021/PTUN.BL dilakukan melalui proses peradilan administratif di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

State Administrative Decision According to Article 1 number 9 of Law Number 51 of 2009 concerning the Second Amendment to Law Number 5 of 1986 concerning State Administrative Courts, it explains that State Administrative Decisions are written decisions issued by state administrative bodies or officials containing state administrative legal actions based on applicable laws and regulations, which are concrete, individual, and final, which have legal consequences for a person or civil legal entity. This thesis discusses the Authority of State Administrative Courts in resolving disputes over Decisions of Private Higher Education Leaders in Dismissing Students. The research method used in this study uses doctrinal research. The dispute that occurred in Case Number 24/G/2021/PTUN.BL betweenstudents and private universities is a legal act that has an administrative nature so that it causes legal impacts for both parties. The Object of the Lawsuit is the Decree of the Chancellor of Teknokrat Indonesia University dated January 27, 2021 concerning Dismissal as a Student of Teknokrat Indonesia University. The conclusion obtained based on the results of the analysis is that the Decision of the Head of a Private Higher Education Institution in dismissing students is included in the category of State Administrative Decisions. This is because the Chancellor of a Private HigherEducation Institution is considered a State Administrative Agency or Official who carries out government affairs in thefield of education in accordance with the provisions of laws and regulations. Law enforcement against the decision of the head of a private higher education institution regarding the dismissal of students in Case Number 24/G/2021/PTUN.BL is carried out through an administrative court process at the State Administrative Court (PTUN)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rifadi
"Dalam ilmu hukum, hak milik atas merek adalah hak kebendaan yang tidak berwujud (intangible right), oieh karena itu hak milik atas merek merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dimiliki manusia sejak lahir sebagaimana dikemukakan oleh John Locke pelopor teori hukum alam. Walaupun demikian perlindungan hak merek baru timbul jika ada pengakuan negara akan keberadaan hak tersebut, pengakuan ini dalam sistim hak kekayaan intelektual dikenal dengan "pendaftaran".
Suatu merek apabila sudah didaftarkan akan menjadi kewajiban negara untuk melindungi, menghormati, dan melaksanakan penegakan hukum jika terjadi pelangggaran. Praktiknya masih sering terjadi kasus pelanggaran hak atas merek yang umumnya menimpa merek terkenai dengan tujuan mencari keuntungan secara cepat tanpa melakukan promosi, pelanggaran seperti ini disebut persaingan curang.
Persaingan curang dalam bidang merek biasanya dilakukan kompetitor dengan cara membuat merek yang mirip-mirip balk dari segi kemasan maupun pengucapannya, sehingga apabila khalayak tidak jell dan umumnya ini sering terjadi akan terkecoh dan menganggap barangljasa yang dibeli berasal dari produsen yang sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab masih terjadinya persaingan curang hak milik atas merek dikarenakan secara substansi belum diatur khusus didalam berbagai perundang-undangan merek yang pemah berlaku di Indonesia, oleh karena itu masih menggunakan aturan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

The concept of law the right to a mark is an intangible right, otherwise its a part of human right aspect bring when was born as declare John Locke in his natural law theory. Although, the protection right to mark will be exist if there is being recognized by the state. The recognized in the intellectual property system called "registration".
A mark has registered in the General Register of Mark will be granted by state to protect, to respect, and to fulfill law enforcement from illegal conduct. Unfortunately, many cases criminal offences in the field of mark still happened every time, this act we called unfair competition.
Unfair competition of mark has done by competitor, they made a mark similarity will be confused a public especially consume product. Resulting this research indication that unfair competition still happened because not arranged in mark law yet otherwise still using general provision in the criminal law and civil law."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20703
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dendy Lesmana Ellion
"Pemenuhan (perlindungan) hak asasi manusia bagi anak perkawinan campuran merupakan masalah yang berkaitan dengan efektivitas hukum. Oleh karena itu hak anak atas status kewarganegaraan menjadi ruang lingkup penelitian ini. Dengan demikian analisis sosiologi hukum dalam pemberian status kewarganegaraan dalam rangka mengetahui efektivitas hukum perlindungan hak asasi manusia bagi anak perkawinan campuran menjadi tujuan penelitian ini. Untuk itu teori efektivitas hukum dan pandangan aliran kriminologi kritis terhadap hak asasi manusia menjadi kerangka teori dan konseptual penelitian.
Hasil penelitian menunjukan bahwa hak asasi manusia bagi anak hasil perkawinan campuran telah terjamin dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan anak di Indonesia. Namun demikian pemenuhan perlindungan hak asasi manusia bagi anak perkawinan campuran belum optimal terlaksana dalam proses pemberian kewarganegaraan terhadap anak perkawinan campuran.
Kesimpulan penelitian bahwa pengaturan persyaratan umur dan ketentuan peralihan mengenai tenggat waktu pendaftaran dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menjadi faktor penyebab belum optimalnya perlindungan hak asasi manusia terhadap anak dari perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing. Selain itu adanya keberatan atau protes terhadap pemberian kewarganegaraan kepada anak hasil perkawinan campuran menjadi salah satu penyebab dari belum efektifnya perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi anak dari hasil perkawinan campuran.

The human rights implementation (protection) for children of mix marriages is a problem related to the effectiveness of law. Therefore, the children's rights for citizenship status become the scope of this research. Thus the sociology of law analysis in granting citizenship status in order to identify the effectiveness of human rights protection law for children of mixed marriages is the objective of this research. For that the law effectiveness theory and the view of critical criminology on human rights become the theoretical framework and research conceptual.
The results indicated that human rights for children of mixed marriages have been guaranteed under legislation relating to children in Indonesia. However, the implementation of human rights protection for children of mixed marriages has not been optimally implemented in the process of granting citizenship to children of mixed marriages.
This research concluded that the arrangement on age requirements and transitional provisions regarding the application deadlines under Law Number 12 Year 2006 is a factor influencing the not optimal human rights protection for children of mixed marriages between Indonesian and foreign citizens. Besides, the objection or protest against the granting of citizenship to children of mixed marriages become one of the causes for ineffective human rights protection for children of mixed marriages.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26669
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Hudson
"Tesis ini membahas tentang legal standing masyarakat adat yang belum atau tidak ditetapkan sebagai kesatuan masyarakat hukum melalui peraturan daerah (perda) karena menjadi masalah tentang bagaimana dapat membuktikan kedudukan hukumnya di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara ketika memperjuangkan tanah ulayat. Sebagaimana yang penulis teliti pada putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 584 tahun 2022 yang pada pokoknya menegaskan bahwa legal standing Masyarakat Hukum Adat (MHA) harus dibuktikan secara hukum melalui Perda yang merujuk pada ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan (2) UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode deskriptif analitis dimana teori teori hukum digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah putusan hakim. Sebagai simpulan terdapat perbedaan pendapat antara penetapan ketua pengadilan TUN yang harusnya jadi pintu masuk masyarakat adat lolos dismissal sebagai kesatuan MHA dengan majelis hakim yang mengadili perkara sengketa yang berkesimpulan masyarakat adat harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan Perda. Kemudian bagi masyarakat adat yang belum mendapatkan pengakuan Perda dapat menggunakan pasal 6 ayat 2 Perma No 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai dasar pelaksana “self determination” (menentukan nasib sendiri) untuk pembuktian legal standing sebagai kesatuan MHA. Masyarakat Adat harus menyusun bukti bukti dalam gugatan tentang unsur unsur syarat kesatuan MHA sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2 Perma No 2 Tahun 2016 untuk selanjutnya dibuktikan dan diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara, jadi tidak perlu harus ada Perda.

This thesis discusses the legal position of indigenous peoples who have not been or have not been established as a legal community unit through regional regulations (perda) because it becomes a problem of how to maintain their legal standing before the State Administrative Court when fighting for communal land. As the author examines the cassation decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 584 of 2022 which in essence emphasizes that the legal position of Indigenous Peoples (MHA) must be legally proven through a Regional Regulation which refers to the provisions of Article 67 paragraph (1) and (2) of the Forestry Law Number 41 of 1999. The form of research used is normative legal research with descriptive analytical methods where legal theories are used as an analytical knife in dissecting judge's decisions. For example, there is a difference of opinion between submitting the head of the TUN court which should be so that the entrance of indigenous peoples passes dismissal as an MHA Association and the panel of judges adjudicating lawsuits that conclude that indigenous peoples must first obtain recognition from a regional regulation. Then for indigenous peoples who have not received regional regulation recognition, they can use article 6 paragraph 2 of Perma No. 2 of 2016 concerning Guidelines for Proceeding in Disputes on Determining Development Locations for the Public Interest in the State Administrative Court as the basis for implementing "self-determination" to prove legal standing as a unit MHA. Indigenous peoples must compile evidence in a lawsuit regarding the elements of the MHA unitary requirements as stipulated in Article 6 2 Perma No 2 of 2016 to be further proven and tested at the State Administrative Court, so there is no need for a regional regulation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhariyono A.R.
"ABSTRAK
Pidana denda sebenarnya sudah dikenal sejak Iama, namun baru pada abad ini dapat dimulai masa keemasan pidana denda. Sebab itu pula, kemudian pidana denda ini berhasil menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama, terutama di negara-negara Eropa dan beberapa negara maju Iainnya yang telah menentukan dan menerapkan kebijakan pidana denda sebagai atternatif pidana hilang kemerdekaan. Pidana denda merupakan perkembangan pemidanaan generasi ketiga setelah generasi pertama yang dimuiai dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana utama untuk mengganti pidana mati dan generasi kedua yang ditandai dengan perkembangan pidana kemerdekaan itu sendiri yang di berbagai negara ada beberapa alternatif dan sistem yang berbeda.
Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku ll dan Buku III KUHP dalam perjalanannya dipengaruhi oieh faktor eksternal, antara Iain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda. Selain itu, pidana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana daiam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal perkembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternative sanction) untuk pidana hilang kemerdekaan dengan pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan, Sebaliknya, faktor kemampuan masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang reiatif tinggi. Demikian pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan.
Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara karena pidana penjara selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda juga dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang- undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana, dan pidana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan karena secara materi yang bersangkutan merasa kekurangan, jika mungkin menyita harta benda untuk menutupi denda yang belum atau tidak dibayar dengan cara pelelangan). Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.
Selain pidana denda, perlu diintrodusir mengenai sanksi ganti kerugian (restitutif) dan/atau denda administratif untuk perkara-perkara tertentu yang memerlukan pemulihan dan perbaikan, dalam hal ini perlu dikembangkan adanya keadilan restoratif yang secara turun temurun telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia berdasarkan adat dan budaya bangsa.
Keseluruhan upaya di atas pada dasarnya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni ?Kemanusiaan yang adil dan beradab". Nilai kemanusiaan yang beradab adalah penavujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oieh tindak pidana. Pidana denda dapat mendekatkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan utilitarian view yang diintegrasikan dengan konsep kemanusiaan yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana berat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat."
Depok: 2009
D1026
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raharusun, Yohanis Anton
"Disertasi ini membahas mengenai desentralisasi asimetrik dalam negara kesatuan ditinjau dari perspektif perkembangan ketatanegaraan Indonesia: studi terhadap format pengaturan asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua dalam periode 1950 sampai 2012. Dalam penelitian ini, dikaji dan dianalisis mengenai penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen-elemen dasar pemerintahan daerah meliputi: (1) urusan dan kewenangan, (2) kelembagaan (3) personil (4) sumber keuangan (5) perwakilan (6) pelayanan publik, (7) pembinaan dan pengawasan. Permasalahan yang dikaji adalah (1) apakah kebijakan otonomi khusus dalam perspektif praktik ketatanegaraan Indonesia hanya diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua. (2) penerapan desentralisasi asimetrik dapat menciptakan percepatan dan pencapaian tujuan demokratisasi ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah. (3) strategi penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) dan penelitian empiris dengan titik berat pada penelitian normatif. Sedangkan pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus/istimewa (1950-2012) dalam praktiknya masih memperlihatkan pola sentralistik yang dominan dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah. Kebijakan desentralisasi asimetrik yang dipraktikkan di ketiga daerah tersebut memiliki karakter asimetrik yang berbeda-beda dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sesuai karakter perundang-undangan yang berlaku di ketiga daerah tersebut. Perbedaan tersebut dalam hal pengaturan tentang urusan dan kewenangan, kelembagaan, perwakilan dan sistem pemilihan kepala daerah, kebijakan fiskal dan pelayanan publik. Perbedaan asimetrik lainnya adalah, Yogya lebih didasarkan pada alasan historically driven with some culturally oriented goals, Aceh lebih didasarkan pada alasan politically driven with religiously oriented goals dan Papua lebih di dasarkan pada alasan politically driven with slight religiously oriented goals. Meskipun terdapat perbedaan penerapan berbagai elemen dasar pemerintahan daerah tersebut di atas, namun kebijakan asimetrik yang diberikan kepada ketiga daerah tersebut dalam kenyataannya lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal yang besar dapat tersebut diharapkan membawa perubahan yang siginifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Namun, dalam kenyataannya titikberat kebijakan fiskal yang besar tersebut tidak diikuti dengan penerapan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan belum dapat memberikan manfaat dan perubahan yang signifikan, terutama dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan percepatan pencapaian tujuan demokrasi dan demokratisasi.
Temuan yang diperoleh dari hasil penelitian sebagai jawaban terhadap research quetions dari penelitian adalah, bahwa kebijakan desentralisasi asimetrik yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal yang didasarkan pada pertimbangan politik (politicaly driven) tanpa adanya suatu grand design atau blue print kebijakan asimetrik secara menyeluruh berdasarkan elemen-elemen dasar Pemerintahan Daerah. Ketujuh elemen dasar di atas, secara integrated merupakan alat tools untuk melihat substansi asimetrik untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut dipakai sebagai tools untuk mempertajam penerapan desentralisasi asimetrik di ketiga daerah tersebut di atas. Penataan terhadap elemen-elemen dasar tersebut haruslah bersifat terpadu dan menyeluruh, pendekatan yang bersifat piece-meal yang dilakukan akan selalu menghasilkan outcomes yang kurang optimal bahkan seringkali menimbulkan ketegangan antara Pusat dan Daerah. Oleh karena itu, dalam perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang manakala pemerintah masih memberikan kebijakan-kebijakan yang bersifat khusus/istimewa terhadap daerah lain di Indonesia sebagai solusi politik dalam mempertahankan integritas negara kesatuan, maka diperlukan penataan terhadap ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut merupakan suatu keniscayaan yang perlu diatur dalam payung hukum dalam bentuk perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena desentralisasi asimetrik dalam perspektif negara kesatuan Republik Indonesia telah memiliki landasan konstitusional dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut dapat saja dijadikan rujukan bagi Daerah lainnya di Indonesia untuk meminta status khusus atau keistimewaan yang sama seperti yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua, mengingat ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut masih menimbulkan multi tafsir sehingga perlu dipertegas kembali makna ketentuan tersebut, manakala Pemerintah bermaksud akan melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945.

This study discusses asymmetrical decentralization in a unitary state viewed from the perspectives of Indonesian constitutional development. It focuses on the format of asymmetrical arrangements for Yogyakarta, Aceh, and Papua during the period of 1950 through 2012. It analyzes the specific asymmetrical characteristics of the special autonomy for the three provinces based on the 7 basic elements of a local government which comprise of: (1) local authority; (2) local institutions (3) personnel/staffing; (4) local sources of revenue, (5) representation and election system of regents, (6) public services, and (7) guidance and supervision. Specifically the issue analyzed here in this study include: (1) why the special autonomy in the perspective of the constitutional development given only to Yogyakarta, Aceh, and Papua and (2) whether the implementation of asymmetrical decentralization expected to accelerate democracy improvement and the realization of a democratic life, viewed from the perspective of the basic elements of local government, and (3) how this strategy of implementing asymmetric decentralization in Yogyakarta, Aceh, and Papua viewed from the perspective of the basic elements of local government can expedite welfare. This is a normatively legal study with a historical approach. The data collection was done through document study and interviews. The collected data were then analyzed qualitatively.
The study found that various types of local government regulations in Indonesia including the special autonomy regulations (1950-2012) in practice still indicate traces of centralistic patterns in implementing the local government elements. Through broad observation, the three provinces are seen to have differed slightly. The asymmetrical arrangements for Yogyakarta have been historically driven with some culturally oriented objectives; the asymmetrical arrangements for Aceh have been religiously driven through political maneuvers; and the asymmetrical arrangements for Papua have been politically driven with ethnic and some slight religiously oriented purposes. This discussion has been done in light of a local government elements and the implementation of asymmetric decentralization based on the local government elements. The asymmetric decentralizations implemented in three provinces have distinctive asymmetric features. They have not fully followed the asymmetric features found in the special autonomy regulations for these three provinces. The differences may be observed in the arrangements of authorization, institutions, representation and election system of regents, fiscal policies, and public services. Despite the above differences, the asymmetrical arrangements given to these three provinces have been heavily focused on fiscal policies ? which have been meant to bring about significant improvements in the running of the local governments, i.e. improvements of public services. In reality, the special autonomy has not resulted in significant improvements, particularly in the betterment of social welfare and the acceleration to reach democracy and democratization.
In summary, the asymmetrical decentralization granted for these three provinces in the form of heavily fiscal advantages, have been more politically driven without grand design or blue print of comprehensive asymmetric decentralization policy, which should have been strictly based on the local government elements. The seven basic elements are an integral tool to view the asymmetric substance to enhance prosperity and welfare of the people. The seven basic elements are utilized as tools to sharpen the implementation of asymmetric decentralization in the three regents above. Arrangement of the basic elements should be integrated and comprehensive; a piece-meal approach would always create outcomes less optimal or even cause tension between Central and Regions. Therefore, in the constitutional practices in the future, especially considering the central government still grants special policies to other regions in Indonesia as a political solution to maintain the integrity of the unitary state, then it is necessary to better arrange the seven basic elements of local governments under an umbrella law in the form of special regulations. As one may observe, asymmetrical decentralization is found in the Constitution 1945, Article 18B verse (1). It is possible for other regions in Indonesia to request special status such that granted to Yogyakarta, Aceh and Papua, remembering the Constitution 1945, Article 18B verse (1) still create multiple interpretations, such that it needs reinforcement the meaning of that clause, should the Government want to do the Fifth amendment of the Constitution 1945."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuhadi Irsyad
"Disertasi ini mengkaji Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam [NAD] dan relevansinya dengan Sistem Peradilan Nasional. Fokus kajian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif-analitis. Analisis penelitian dengan paradigma kombinasi empat teori utama: Living law Ehrlich, Maslahah Mursalah Al-Syafi'i, Taqnin lbnu Muqaffa, Desentralisasi dan Distribution of Power sebelum perubahan dan Separation of Power dengan titik berat check and balances pasca perubahan UUD 1945.
Hasil penelitian ini menyarankan agar eksistensi Mahkamah Syar'iyah yang pernah berjaya di Aceh pada abad XVI-XVII, dapat berfungsi kembali secara baik dalam Negara Kesatuan RI dengan cara DPRA dan Pemda NAD membentuk Qanun-qanuu yang dibutuhkan masyarakat untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Qanun-qanun yang berwawasan nasional Islami, menjamin Mahkamah Syar'iyah dapat eksis berdampingan dalam Sistem Peradilan Nasional.

The study is about the Islamic Court Justice ( Mahkamah Syar'iyah) in the Province of Nanggoe Aceh Dannssalam [NAD] and its relevance with the National Courtship Justice System. The focus of this study is on a qualitative research based on descriptive-analysis design using four main theories for its paradigm: Living law by Ehrlich, Maslahah Mursalah by Al-Syafi'i, Taqnin by Ibnu Muqaffa, Decentralization and Distribution of Power before the amendment and Separation of Power with its focus on check and balances after the amendment of the Rules of 1945.
The study suggests that the existence of Mahkamah Syar'iyah which once gained its grandeur in Aceh in XVIth-XVIIth centuries can play its role and function well in the Republic of Indonesia through the Aceh People Assembly and the Government of Aceh which form the rules the society needs to implement the Shariah completely. The rules are hoped to be Islamic-nationalistic that guarantee the existence of Malgkamah Syar'iyah along with the existence of National Courtship Justice System.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1010
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andari Yurikosari
"Disertasi ini membahas bagaimana campur tangan negara dalam pemutusan hubungan kerja yang mengalami berbagai kebijakan yang berbeda-beda dari suatu kurun waktu tertentu ke kurun waktu yang lain. Penelitian ini menggunakan teori negara kesejahteraan. Tujuan negara kesejahteraan adalah melindungi kaum pekerja dalam rangka mencapai kesejahteraan hidupnya. Baik Undang-undang Dasar Sementara 1950 maupun Undang-undang Dasar 1945 mencantumkan hak para pekerja untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Bagaimana Peraturan Perundang-undangan, putusan P4D, P4P dan Pengadilan menerapkan prinsip tersebut ? Kebijaksanaan suatu negara dalam pembangunan bangsa tergantung kepada tahap di mana negara itu berada. Indonesia sebagai negara merdeka sama dengan negara-negara lainnya memulai kemerdekaan dengan tahap mengembangkan persatuan bangsa (unifikasi), yang dilanjutkan dengan tahap industrialisasi. Setelah itu seharusnya Indonesia masuk ke dalam tahap negara kesejahteraan (welfare state). Namun sampai 1998 Indonesia masih menghadapi ancaman retaknya persatuan bangsa, krisis ekonomi yang menciptakan meningkatnya pengangguran, tetapi tetap berkeinginan mensejahterakan rakyat yang didapat dilihat dari lahirnya berbagai undang-undang untuk melindungi pihak yang lemah. Undang-undang itu antara lain: Undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Boleh dikatakan seperti negara-negara berkembang lainnya Indonesia ingin mencapai tiga tahap: unifikasi, industrialisasi dan negara kesejahteraan secara serentak. Tahap pembangunan bangsa mempengaruhi kebijakan negara dalam Pemutusan Hubungan Kerja."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
D1509
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>