Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wenny Waty
Abstrak :
Bimbingan keterampilan klinik dasar (KKD) memungkinkan program pelatihan yang terstruktur bagi mahasiswa preklinik untuk dapat menguasai keterrunpilan klinik. Mahasiswa dapat mempunyai pendekatan pembelajaran yang berbeda: mendalam, pemukaan, dan strategis. Belum terdapat penelitian yang dipublikasikan untuk mengetahui hubungan antara efek pembelajaran mahasiswa dalam KKD dengan hasil ujian OSCE. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara persepsi mahasiswa tentang bimbingan KKD, pendekatan pembelajaran dalam KKD dan hasil yang didapatkan dalam OSCE. Respenden merupakan 142 mahasiswa tahun pertama dan 170 mahasiswa tahun kedua dari masa 5 tahun pendidikan dokter di Universita Maranatha. Pendekatan pembelajaran mahasiswa dinilai melalui 21 pertanyaan dari kuesioner Approaches to Learning and Studying Inventory (ALSI) yang sudah direvisi dan divalidasi. Responden menjawab 14 pertanyaan mengenai persepsi mereka terhadap bimbingan KKD. Nilai OSCE masing-masing mahasiswa dibandingkan dengan persepsi tentang bimbingan KKD dan pendekatan pembelajaran mereka, Hasil OSCE berhubungan dengan bimbingan KKD (OR = I ,524) pada mahasiswa tahun pertarna, tetapi tidak berhubungan dengan pendekatan pembelajaran mahasiswa. Hasil OSCE juga berhubungan dengan belajar berkelompok (OR= 3,49), sesi OSCE (OR= 3,299), lama waktu persiapan menghadapi OSCE (OR= 2,056), dan rasa stres (OR= 1,933). Untuk mahasiswa tahun kedua, hasi! OSCE berhubungan dengan pendekatan pembelajaran mahasiswa (OR"'· 7,244), tetapi tidak berhubungan dengan bimbingan KKD, Selain itu juga berhubungan dengan lama waktu persiapanmenghadapi OSCE (OR = 6,185). Dengan adanya bibingan KKD yang baik, mahasiswa mempunyai kecendrungan mempunyai pendekatan pembelajaran yang diharapkan, terutama untuk mahasiswa tahun pertama. Pada mahasiswa tahun pertama, hasil OSCE dipengaruhi oleh bimbingan KKD. Sedangkan pendekatan pembelajaran berhubugan dengan hasil OSCE mahasiswa tahun kedua. ......Basic clinical skills training allows a structured training programme for preclinical students in the acquisition of clinical skills. Students can take different approaches to learning: deep, surface and strategic. There is a Jack of published studies about the relationship between students' learning effects in skills laboratory and their performance in an undergraduate OSCE. This study aims to assess the relationship between students' perceptions about basic clinical skills training, students' teaming approaches in learning basic clinical skills and their performance in an undergraduate OSCE Participants are 142 students from year one and 170 students from year two of a 5-year undergraduate medical curriculum in Maranatha University. Students' learning approaches are measured using 21 questions from a revised and validated Approaches to Leeming and Studying Inventory (ALSI). Students answer 14 questions about their perceptions about the clinical skills training. The OSCE's marks of individual students are compared with their perceptions about the basic clinical skills training and their learning approaches. For year one students, performance in OSCE is related to clinical skills training (OR = 1.524), but not to students? learning approaches. It is also related to collaborative learning (OR3,49), OSCE session (OR3,299), preparation time for study (OR2,056), and stress (OR I ,933). For year two students, performance in OSCE is related to students' learning approach (OR7,244), but not to clinical skills training. It is also related to preparation time for study (OR6,185). Conclusion with good clinical skills training, students will have expected learning approaches, especially for year one students. Clinical skills training enables students to perform better in an OSCE for year one students. Students learning approaches are related to OSCE?s performance for year two students.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2010
T20901
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Aulia
Abstrak :
Latar Belakang: Pergeseran dominasi antara laki-laki dan perempuan pada dunia kedokteran terjadi dari waktu ke waktu di berbagai belahan dunia, termasuk di bidang bedah plastik di Indonesia. Profesi yang semula didominasi oleh laki-laki, saat ini didominasi perempuan. Pergeseran dominasi perempuan ini memungkinkan terjadinya masalah-masalah yang berpengaruh pada pendidikan dan pelayanan bedah plastik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena dominasi perempuan pada pendidikan spesialis di Indonesia. Metode: Penelitian ini bersifat kualitatif berupa studi fenomenologi. Penelitian dilakukan pada 3 program pendidikan dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik di Indonesia. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2020. Populasi penelitian terdiri dari 4 kelompok, yaitu peserta didik, dosen, pengelola program studi, dan pengguna lulusan. Responden penelitian dipilih menggunakan metode maximum variation sampling. Setiap responden mendapatkan informed consent, seluruh informasi yang diberikan sifatnya rahasia dan tidak memengaruhi proses pendidikan responden. Metode pengumpulan data berupa studi dokumen, Focus Group Discussion (FGD), dan In-Depth Interview. Data penelitian yang diperoleh dari berbagai metode diatas, kemudian dianalisis dan diolah lebih dalam secara tematik. Hasil: Peneliti membagi tema berdasarkan garis waktu proses pendidikan, yaitu: prapendidikan, intra-pendidikan, dan pascapendidikan. Masing-masing proses memiliki tema yang saling memengaruhi proses pendidikan. Pada masa prapendidikan terdapat karakter personal yang dipengaruhi oleh persepsi positif maupun negatif dari masyarakat. Sedangkan iklim lingkungan kerja, dampak dominasi perempuan, dan dimensi budaya memengaruhi kelancaran intra-pendidikan. Pasca pendidikan dan memasuki dunia kerja, peserta didik menginginkan suatu kondisi lingkungan kerja yang ideal dan terdapat preferensi tempat bekerja tertentu untuk mencapai kondisi well-being. Kesimpulan: Dampak dominasi perempuan selama pendidikan hanya akan berpengaruh pada dinamika kehidupan antar peserta didik dan antara peserta didik dengan dosen sebagai mentor. Namun dominasi ini tidak akan memengaruhi kualitas pendidikan dan beban kerja yang diberikan. Pada penelitian ini juga didapatkan fenomena kesenjangan kepemimpinan tidak terjadi selama pendidikan tetapi terjadi pada pascapendidikan. Namun kesenjangan kepemimpinan bukanlah akibat tekanan dalam komunitas, melainkan kecenderungan dari pribadi perempuan pada umumnya di kelompok masyarakat feminim. ......Introduction: Shifting in gender dominance between men and women in the medical field has occurred from time to time globally, including in Indonesia’s plastic surgery. The profession, which was initially dominated by men, is currently dominated by women. This shift in female dominance might allow problems that affect the education and clinical settings of plastic surgery. This study aims to explore the phenomenon of women's dominance in medical residency education in Indonesia. Method: This study is a qualitative study of phenomenology. It was conducted on 3 medical residency programs specializing in reconstructive and aesthetic plastic surgery in Indonesia. The study began in January 2020. The research population consisted of 4 groups, namely students, lecturers, study program managers, and graduate users. Research subjects were selected using the maximum variation sampling method. Each respondent was provided with informed consent, all information given was confidential and did not affect the educational process of the respondent. Data collection methods include document study, Focus Group Discussion (FGD), and In-Depth Interview. Research data obtained from various methods above was analyzed and processed thematically. Results: The themes were categorized based on the educational process timeline, namely: pre-education, intra-education, and post-education. Each timeline had several themes which mutually influenced the educational process. During pre-education there were personal characters which were affected by positive and negative perceptions from society. Whereas the work environment atmosphere, the impact of women's dominance, and the cultural dimension affected the intra-educational process. After graduating from residency program and entering the career life, students expected an ideal working environment and had certain workplace preferences to achieve their well-being. Conclusion: The impact of women's dominance during education affected the daily dynamics among students and their interaction with lecturers as mentors. However, this dominance did not affect the quality of education and workload. We also found that the phenomenon of leadership disparity did not occur during education but occurred in post-education setting. This leadership disparity was not resulted by pressure in the community, but due to the tendency of the women’s personality in general among the feminine community.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaina Hanum
Abstrak :

Pendahuluan: Kolaborasi penalaran klinis merupakan salah satu bagian penting dalam kolaborasi interprofesi, yaitu kolaborasi berbagai profesi kesehatan dalam menyusun sebuah kerangka berpikir mengenai masalah pasien dan manajemen tatalaksananya. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah kesehatan adalah Integrated Care Pathway (ICP). Salah satu metode pembelajaran dalam program pendidikan interprofesi kesehatan (IPE) tahap lanjut yang diselenggarakan Rumpun Ilmu Kesehatan UI adalah case-based discussion, yaitu diskusi dengan menggunakan kasus pemicu dan kerangka ICP untuk menyusun rencana pengelolaan kesehatan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dalam diskusi kasus tersebut, menggali berbagai faktor yang memengaruhi proses kolaborasi penalaran klinis, serta pemanfaatan ICP yang digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan responden penelitian dilakukan dengan metode maximun variation sampling pada kelompok interprofesi yang mengikuti program IPE RIK UI. Sebanyak empat observasi diskusi dan empat FGD dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dan pemanfaatan kerangka ICP. Empat wawancara mendalam terhadap tutor diskusi dan telaah dokumen terhadap empat kerangka ICP yang telah diisi dilakukan untuk triangulasi data. Hasil penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi penalaran klinis dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap individu dan tahap kelompok, dengan menerapkan seluruh kompetensi kolaborasi terutama kompetensi terkait peran dan tanggung jawab, serta kerja sama tim. Dalam diskusi kolaborasi penalaran klinis, kerangka ICP dapat digunakan sebagai panduan pengelolaan masalah kesehatan individu, namun kurang optimal digunakan dalam pengelolaan masalah kesehatan komunitas. Proses pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa faktor, seperti pengalaman kerja praktik dan kolaborasi, dan usia anggota kelompok interprofesi yang relatif sebaya. Beberapa tantangan pemanfaatan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis antara lain kasus pemicu yang digunakan, prior knowledge mengenai ICP, dominasi profesi dan peran tutor dalam proses diskusi interprofesi. Simpulan: Pembelajaran kolaborasi penalaran klinis dengan menggunakan kerangka ICP bermanfaat utk membantu peserta didik dalam menyusun pengelolaan masalah kesehatan dan meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap berbagai kompetensi kolaborasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan penggunaan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis diantaranya perbaikan kasus pemicu dan kerangka pengelolaan masalah kesehatan, yang disusun secara komprehensif dengan mempertimbangkan keilmuan dan cakupan kompetensi seluruh profesi kesehatan yang akan terlibat dalam pembelajaran tersebut. Kata kunci: kolaborasi penalaran klinis, pendidikan interprofesi kesehatan, kompetensi kolaborasi, kerangka Integrated Care Pathway, case-based discussion

 


Introduction: Collaborative clinical reasoning is an important part of interprofessional collaborative practice, in negotiating patients problem and its management. Integrated Care Pathway (ICP) can be used as a framework in developing comprehensive patient care. Interprofessional education program held by Health Science Cluster Universitas Indonesia implemented case-based discussion as one of the learning methods, to discuss a clinical problem within an interprofessional team using ICP framework. This study aims to explore the collaborative clinical reasoning process in undergraduate interprofessional team, and the use of integrated care pathway framework as a guidance in discussing patient problem and its comprehensive management. Method: This research is a qualitative study with phenomenology design. The selection of respondents was conducted using maximum variety sampling method. A total of four observations and four focus group discussions were conducted to explore the collaborative clinical reasoning process using the ICP framework. In-depth interviews with the tutors of the discussions and document analysis were also conducted as triangulation processes. Result: This study shows that the collaborative clinical reasoning was held in two stages, individual and group stages. All of the collaboration competency domains were applied during the interprofessional discussion, especially roles and responsibilities and teams and teamwork. ICP framework could be used as a guidance in collaborative clinical reasoning process to discuss the patients management and discharge plan. The influencing factors were experience in clinical clerkship and previous exposure to IPE, and the similarities of the team members age. This study also shows few challenges in this learning process, including the clinical case used in the discussion, the need of prior knowledge about the framework, domination during the discussion, and the role of tutor. Conclusion: The interprofessional education on collaborative clinical reasoning using ICP framework could help students discussing clinical problem and developing comprehensive and collaborative care plan. To optimize the process of the discussion and the interaction among interprofessional team members, clinical case used in the discussion should be prepared thoroughly and consider the competency and scope of knowledge of all health profession involved in the IPE program. 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rizka
Abstrak :
Latar belakang: Chief resident merupakan bagian penting dalam proses pendidikan di program studi pendidikan dokter spesialis (PPDS). Salah satu kompetensi chief resident adalah membimbing residen juniornya, namun kompetensi ini jarang diajarkan secara formal. Telah dilakukan program pelatihan Resident as Teacher dengan durasi 5 jam untuk 20 chief resident di PPDS Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek pelatihan tersebut terhadap kemampuan membimbing chief resident.dengan menggunakan metode Kirkpatrick tingkat 1 hingga 3. Metode: Penelitian kualitatif dengan dengan rancangan fenomenologi. Rancangan fenomenologi ini berupa deskripsi perspektif chief resident dan senior mengenai peningkatan kemampuan membimbing chief resident PPDS IPD FKUI setelah mengikuti pelatihan RaT. Sesuai dengan metode evaluasi Kirkpatrick, dilakukan evaluasi kepuasan peserta pelatihan, peningkatan pengetahuan pasca pelatihan, dan Focus Group Discussion untuk chief dan residen junior. Dilakukan pula triangulasi berupa observasi ronde chief dan observasi acara ilmiah siang serta analisis kasus negatif berupa in depth interview serta studi dokumen. Hasil: Berdasarkan hasil kuesioner kepuasan peserta pelatihan, materi pelatihan RaT bermanfaat untuk chief, praktis untuk diterapkan, sesi dalam pelatihan menarik dan instruktur dapat membawakan materi dengan baik. Hasil pre dan post test serta FGD menunjukkan peningkatan pengetahuan chief resident mengenai teknik microskills dan pemberian umpan balik efektif. Materi pelatihan RaT mampu laksana namun hambatan yang didtemui adalah kesulitan mencari waktu membimbing di antara beban pelayanan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan kesulitan memberi umpan balik positif. Simpulan: Pelatihan RaT yang telah dilakukan sesuai dengan kebutuhan chief resident dan mampu meningkatkan pengetahuan serta keterampilan membimbing chief resident. Sebagian besar chief resident belum dapat memberi umpan balik positif. Selain itu, waktu membimbing terbatas karena tugas pelayanan yang banyak di RSCM. ...... Background: Teaching junior resident and medical student is one of the responsibilities of chief resident. However, teaching skill is rarely trained formally to them. A format of Resident as Teacher (RaT) training program was developed and conducted for 20 chief residents in Internal Medicine Residency Program. The aim of this study is to evaluate the improvement of chief?s teaching skill after joining this training program, based on the first three steps of Kirkpatrick evaluation program. Methods: Qualitative research based on phenomenology study was performed within two months after the training. Program questionnaire and pre-post test were conducted to evaluate the first (reaction) and second (learning) step of Kirkpatrick evaluation method respectively. The third step (behavior change) was evaluated by performing Focus Group Discussion for chief residents and junior residents. To increase the validity of the study, triangulation by doing indirect observation or rounds, classroom based activities and document study were done. Negative case analysis was also performed to explore further about the result of FGD. Result: Based on the questionnaire, the participants were satisfied by the RaT program. Pre and post test evaluation and FGD show that there is improvement of knowledge about teaching and giving effective feedback. FGD results supported by observations and document study show that chiefs applied the microskills technique but had difficulty in giving positive feedback, as well as finding appropriate time for discussion within very busy schedule of junior resident in the main teaching hospital. Conclusion: The training fulfills the need of chief resident, improves knowledge of teaching method and giving constructive feedback. However the chief residents was not used to give positive feedback to the junior residents and the busy clinical situation was identified as barrier to effective chief to junior resident learning process.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Listiana Aziza
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Pilot dapat mengalami dehidrasi ringan yang akan mempengaruhi performa kognitif dan keselamatan penerbangan, sehingga pilot perlu mengonsumsi air putih yang cukup. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor dominan yang berhubungan dengan kebiasaan konsumsi air putih pada pilot sipil. Metode: Studi potong lintang menggunakan data sekunder Survei Kebiasaan Hidup Sehat Pada Pilot Sipil di Indonesia Tahun 2016. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik demografi, pekerjaan, pengetahuan, kebiasaan konsumsi sayur dan buah, aktivitas fisik dan indeks massa tubuh (IMT). Aktifitas fisik dikategorikan aktif (frekuensi latihan fisik ≥ 3 kali/minggu) dan kurang aktif (frekuensi latihan fisik < 3 hari/minggu). Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu yang konstan. Hasil: Dari data 644 pilot, terdapat 528 data yang memenuhi kriteria. Sebanyak 59,3% pilot sipil memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup dengan rata-rata konsumsi sebanyak 1910 ± 600 ml/hari. Aktifitas fisik, jenis penerbangan, pengetahuan tentang hidrasi dan indeks massa tubuh merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan kebiasaan konsumsi air putih. Pilot dengan aktifitas fisik aktif memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup 34% lebih tinggi dibandingkan kurang aktif [RRa= 1,34; IK95% 1,16-1,54; p= 0,000]. Pilot sipil dengan jenis penerbangan jarak menengah memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup 16% lebih tinggi dibandingkan dengan jenis penerbangan jarak dekat [RRa= 1,16; IK95% 1,00-1,35;p= 0,045]. Pilot yang memiliki pengetahuan baik tentang hidrasi memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup 20% lebih tinggi dibandingkan dengan pilot pengetahuan kurang [RRa= 1,20; IK95% 1,05-1,38; p= 0,006]. Dibandingkan pilot dengan IMT <18,5kg/m2, pilot dengan IMT 18,5-23 kg/m2 memiliki 4,14 kali lipat [RRa= 4,15; IK95% 1,15-14,88 ; p= 0,029] dan IMT > 23 kg/m2 [RRa= 4,33; IK95% 1,20-15,59; p= 0,025] memiliki 4,33 kali lipat lebih terbiasa mengonsumsi air putih yang cukup. Simpulan: Pilot dengan aktivitas fisik aktif, penerbangan jarak menengah, pengetahuan baik tentang hidrasi dan indeks massa tubuh ≥ 18,5 kg/m2 akan lebih memiliki kebiasaan konsumsi air putih yang cukup.
ABSTRACT
Background: Pilots could risk mild dehydration that would affect cognitive performance and flight safety, so they should have adequate plain water consumption. The purpose of this study was to determine the dominant factor associated with plain water consumption habit among civilian pilots. Methods: A cross-sectional study using secondary data of Healthy Habit Survey on a civilian pilot in Indonesia 2016. The data collected were demographic, job characteristics, knowledge, fruit and vegetable consumption habit, physical activity and body mass index (BMI). Plain water consumption habit was categorized adequate (water consumption ≥ 8 glasses / day, @ glass = 250 ml) and inadequate (<8 glasses / day). Physical activity was categorized active (frequency physical exercise ≥ 3 day/week) and sedentary (frequency physical exercise <3 day/week). Data was analyzed using Cox regression with constant time. Results: Out of 644 data, 528 met inclusion criteria. 59.3% pilots had adequate plain water consumption with mean consumption was 1910 ± 600 ml/hari. Physical activity, type of flights, knowledge about hydration and body mass index were dominant factors associated with plain water consumption habit. Compared to sedentary, active pilots were 34% higher to consume adequate plain water [RRa= 1,34; IK95% 1,16-1,54; p= 0,000]. Compared to short haul flight, pilots with medium haul flight were 16 % more consume adequate plain water, [RRa = 1.16; p = 0.045]. Compared to poor knowledge, pilots with good knowledge were 20% higher to consume adequate plain water [RRa = 1.2; p = 0.006]. Compared to pilots whose BMI <18,5kg/m2, pilots with BMI 18,5-23 kg/m2 and BMI > 23 kg/m2 were respectively 4,14 times [RRa= 4,15; IK95% 1,15-14,88 ; p= 0,029] and 4,33 times [RRa= 4,33; IK95% 1,20-15,59; p= 0,025] higher to have adequate plain water consumption habit. Conclusion: Civilian pilots with active physical activity, operate in medium haul flight, good knowledge about hydration and BMI ≥ 18.5 kg/m2 had more adequate plain water consumption habit.
2016
T46638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoanita Widjaja
Abstrak :
Latar Belakang: Umpan balik merupakan komponen penting dalam pendidikan kedokteran yang dapat meningkatkan pembelajaran. Umpan balik pada tahap akademik memegang peran penting dalam pembelajaran konsep dasar untuk persiapan tahap klinik. Banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas proses umpan balik ini, salah satu di antaranya yaitu aspek budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi aspek budaya dalam proses umpan balik pada peserta didik dan staf pengajar di pendidikan kedokteran tahap akademik. Metode: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Februari sampai Maret 2016 melalui Focus Group Discussion (FGD) peserta didik angkatan 2009 hingga 2014, observasi latihan KKD dan wawancara mendalam staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara (FK UNTAR). Hasil FGD dan wawancara dituliskan dalam bentuk transkrip verbatim, kemudian dilanjutkan dengan analisis tematik dan koding. Analisis hasil observasi dilakukan dengan analisis tematik. Selanjutnya dilakukan reduksi dan penyajian data. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan banyaknya faktor yang berperan dalam proses umpan balik, baik pada saat pencarian maupun pada saat penerimaan dan pemberian umpan balik yang selanjutnya akan menentukan efektivitasnya. Aspek budaya berperan dalam beberapa hal. Budaya collectivism, high power distance dan sopan santun berperan dalam perilaku mencari umpan balik. Budaya femininity, masculinity pada peserta didik, serta terdapatnya kompetensi budaya pada staf pengajar dan dipegangnya prinsip pendidikan nasional Indonesia, Tut Wuri Handayani, berkontribusi dalam efektivitas umpan balik. Kesimpulan: Aspek budaya memegang peran penting dalam proses umpan balik. Peran budaya tampak pada perilaku mencari umpan balik dan merupakan faktor penting untuk meningkatkan efektivitas umpan balik. Institusi perlu meningkatkan kemampuan staf pengajar dan peserta didik dalam memaknai proses umpan balik yang sadar budaya. Kompetensi budaya merupakan salah satu kemampuan yang dapat mendukung hal tersebut. Selain itu, institusi perlu menyusun kebijakan untuk membudayakan umpan balik pada lingkungan pendidikan kedokteran. ......Background: Feedback is an important element in medical education since it can improve learning. Feedback has a significant role in learning in basic concepts during undergraduate medical program as a preparation for learning in the clinical years. A lot of factors influencing feedback process effectiveness, one of them is cultural aspect. This research was aimed at exploring cultural aspect related to feedback process within medical students and faculty in undergraduate medical education program. Method: A qualitative study using an ethnography approach was applied as a research method. Data collection was conducted between February and March 2016 through Focus Group Discussion (FGD) with 2009-2014 batch of medical, direct observation of skills teaching in clinical skills laboratory and in-depth interview with the faculty members of Faculty of Medicine Tarumanagara University. Thematic analysis and coding were used to analyze FGD and in-depth interview transcripts and also observational data. Data reduction and presentation were then conducted. Results: The themes emerged are related to influencing factors in feedback-seeking behaviour, feedback process and feedback effectiveness. Cultural aspects play an important role at some points within the feedback process. Collectivism, high power distance and politeness are cultural aspects found in feedback-seeking behaviour. Femininity-masculinity in medical students along with cultural competence of faculty members and also the principle of ?Tut Wuri Handayani? (the identity of Indonesian national education) are contributing factors in feedback effectiveness. Conclusion: Cultural aspects are the key to understand the influencing factors in feedback-seeking behaviour and feedback effectiveness. There is a need for medical education institution to encourage faculty and medical students‟ cultural awareness within the feedback process. Cultural competence is an important component fit for that purpose. Moreover, institution needs to set a policy in order to establish feedback culture in medical education.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55671
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmeang, Ivonne Ruth Vitamaya Oishi
Abstrak :
Latar belakang: Kurikulum pendidikan dokter di Indonesia disusun berdasarkan kompetensi yang diharapkan dapat dicapai oleh seorang lulusan institusi pendidikan dokter. Salah satu upaya untuk menilai capaian kompetensi tersebut diselenggarakan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Ujian ini merupakan salah satu prasyarat untuk mendapatkan sertifikat tanda registrasi agar dapat memperoleh surat ijin praktik. Sayangnya hasil UKMPPD masih belum memuaskan. Beberapa faktor yang kemungkinan menyebabkan angka kelulusan yang rendah, antara lain: motivasi belajar dan strategi pembelajaran yang dapat diukur menggunakan Motivated Strategies of Learning Questionnaire (MSLQ). Tujuan: Mengetahui hubungan motivasi belajar dan strategi pembelajaran dengan kelulusan uji kompetensi di Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia. Metode: penelitian analitik dengan desain potong lintang dilakukan pada seluruh mahasiswa yang mengikuti UKMPPD November 2018, 148 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan non probability sampling dengan teknik total sampling. Analisi menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil: Mayoritas responden berusia <25 tahun (54,1%), perempuan (59,5%), serta kelulusan UKMPPD sebesar 20,94%. Pada analisis univariat, variabel motivasi yang paling rendah ditemukan pada komponen kecemasan (median 3). Nilai median variabel strategi pembelajaran berkisar antara 5 dan 6. Pada analisis bivariat, nilai variabel motivasi yang memiliki hubungan dengan UKMPPD tertinggi yaitu komponen control of learning belief (r=0,232). Nilai variabel strategi pembelajaran yang memiliki hubungan dngan UKMPPD tertinggi di jumpai pada pada komponen pembelajaran dengan teman (r=0,378). Motivasi dan strategi pembelajaran mahasiswa sudah cukup baik. Namun, terdapat hubungan yang lemah-sedang antara motivasi belajar dan strategi pembelajaran dengan UKMPPD. Pada analisis multivariat menggunakan path analysis, variabel motivasi yang mempunyai pengaruh paling tinggi yaitu komponen control of learning belief (14,774). Nilai variabel strategi pembelajaran yang mempunyai pengaruh paling tinggi dijumpai pada komponen elaborasi (15,234). Motivasi mempengaruhi strategi pembelajaran, strategi pembelajaran mempengaruhi hasil pembelajaran. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mencari faktor lain yang mempengaruhi hasil UKMPPD. Simpulan: Motivasi belajar dan strategi pembelajaran memiliki hubungan yang lemah-sedang dengan hasil pembelajaran.
Intoduction: The curriculum of medical education in Indonesia is developed based on the competencies that expected to be achieved by graduates. To assess the achievement of the competencies is by conducting the National Competency Examination (UKMPPD). National Competency Examination is mandatory to obtain a license for practicing as a physician. Unfortunately, the result is unsatisfied. The success of examination might be influenced by learning motivation and learning strategies, which can be measured by Motivated Strategies of Learning Questionnaire (MSLQ). Objective: To determine the relationship between learning motivation and learning strategy with the success of UKMPPD at Faculty of Medicine, Universitas Methodist Indonesia. Method: An analytical research with cross sectional design was performed. Respondents were all students who took the UKMPPD on November 2018, total sample was 148. The sample selection was done by non probability sampling with a total sampling technique. Data analyzing using Spearman test. Result: The majorityof the respondents were < 25 years old (54.1%), 59.5% is female and the successfull rate of the UKMPPD was 20.94%. The lowest motivation variable was the anxiety component (median = 3). For the learning strategy variables, component was most ly scored ​​5 and 6. The highest corelation between motivation variable and UKMPPD was control of learning belief (r=0.232). Furthermore, the highest corelation of learning strategyvariables and UKMPPD was peer learning (r=0.378). Students' learning motivation and learning strategy were quite good. However, the relation between learning motivation and learning strategy toward the UKMPPD was weak-moderate. Multivariate analysis using path analysis showed that the highest motivation variable was control of learning belief (14,774). The highest learning strategy variable was the elaboration (15.234). Motivation influences learning strategy;learning strategy infleunces the UKMPPD. Further research is needed to explore other factors influence the test results. Conclusion: Learning motivation and learning strategies show weak-modearte correlation toward learning outcomes.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samsul Afandi
Abstrak :
Latar belakang. Berdasarkan penelitian sebelumnya jumlah pasien asma yang tidak terkontrol di Rumah Sakit Persahabatan masih cukup banyak. Penelitian tersebut bertujuan untuk lebih menggambarkan tingkat kontrol pasien asma dan mencari hubungan dengan berbagai faktor risiko yang ada. Metode. Pasien asma persisten yang memenuhi syarat penelitian dikumpulkan sejak Mei 2011 sampai Nopember 2011 kemudian diidentifikasi faktor risiko yang dimiliki. Tingkat kontrol asma diukur menggunakan ACT dan tingkat morbiditas diukur dengan Revised Jones Morbidity Index. Pengukuran kembali dilakukan setiap tiga bulan sampai genap setahun evaluasi. Setelah genap setahun evaluasi akan dinilai hubungan antara nilai ACT dengan faktor risiko serta hubungan antara nilai ACT dengan nilai Revised Jones morbidity index. Hasil. Sampel yang berhasil diikuti sampai satu tahun sebanyak 280 pasien. Prosentase asma terkontrol penuh pada evaluasi bulan ke-0,3,6,9 dan 12 berturut-turut adalah 8,57; 6,79; 11,79; 10,71; 13,93%. Sedangkan asma terkontrol sebagian berturut-turut 27,86; 32,50; 32,50; 36,07; 46,79% dan asma tidak terkontrol berturut-turut 63,57; 60,71; 55,71; 53,22; 39,28. Nilai ACT yang meningkat didapatkan pada 191 pasien (68,2%), tetap atau stabil pada 36 pasien (12,9%) dan menurun pada 53 pasien (18,9%). Nilai ACT yang menurun berhubungan secara bermakna dengan faktor risiko riwayat atopi pada pasien (p = 0,042) dan alergen inciter (p = 0,004). Terdapat hubungan yang kuat antara nilai ACT dengan nilai Revised Jones Morbidity Index pada tiap waktu evaluasi dengan koefisien korelasi (r) di bulan ke-0,3,6,9 dan 12 berturut-turut 0,808; 0,815; 0,851; 0,872; 0,902 dengan nilai p yang sama yaitu 0,000. Kesimpulan. Secara umum tingkat kontrol asma pada pasien asma di poli asma RSP membaik.Nilai ACT yang menurun berhubungan secara bermakna dengan riwayat atopi pada pasien dan alergen inciter.Terdapat hubungan yang kuat antara nilai ACT dengan nilai Revised Jones Morbidity Index. ......Background. Our previous studyshowed that there were still a lot of uncontroled asthma patients in asthma outpatient clinic Persahabatan Hospital, with unknown cause. In this study we elaborate whether morbidity and risk factors can be modified in order to achieve the control status. Methods, The subjects of this study are all asthma patient in asthma outpatient clinic in Persahabatan Hospital from May 2011 to November 2011 (six month period) and signed the informed consent. All eligible subjects will interviewed to identify the risk factors including inducer and inciter of asthma. Asthma control status measure using Asthma Control Test (ACT) and degree of morbidity measure using Revised Jones Morbidity Index. Evaluation were done every three months. After complete one year of evaluation, the correlation between change tendency of asthma control status and risk factors will analyze using Chi Square test. The correlation between ACT value and Revised Jones morbidity index value will analyze using Spearman test. Result. 313 patients were enrolled and 33 patients were excluded because lost of contact, and 280 patients were complete evaluate for 12 month. Full asthma control at 0,3,6,9 and 12 month of evaluation were 8,57; 6,79; 11,79; 10,71; 13,93% respectively. Partial control at 0,3,6,9 and 12 month of evaluation were 27,86; 32,50; 32,50; 36,07; 46,79% respectively. The uncontrolled asthma at 0,3,6,9 and 12 month of evaluation were 63,57; 60,71; 55,71; 53,22; 39,28. Asthma control status was getting better in 191 patients (68,2%), stable in 36 patients (12,9%) and worsened in 53 patients (18,9%). The worsening asthma control status has significant correlation with patient’s atopic history (p = 0,042) and alergen as inciter (p = 0,004). There are significan correlation with strong coefficient of correlation ( r ) between the value of ACT and Revised Jones Morbidity Index that found in every time of evaluation (0,3,6,9 and 12 month) with the value of r were 0,808; 0,815; 0,851; 0,872; 0,902 respectively with the same p value (0,000). Conclusion. Overall,Patient’s asthma control status in asthma clinic Persahabatan Hospital after 12 month of evaluation was getting better. The worsening one were significant associated with patient’s atopic history and alergen as inciter. There is strong correlation between the value of ACT and Revised Jones Morbidity Index.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryanti
Abstrak :
Latar belakang: Interprofessional education (IPE) merupakan strategi yang digunakan untuk menyiapkan tim kolaborasi interprofesional di masa mendatang. Namun dengan adanya berbagai pembatasan interaksi sosial di masa pandemi COVID-19 mendorong adanya inovasi dalam metode pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang sebuah modul pembelajaran interprofesional daring di Fakultas Kedokteran Universitas Batam (FK UNIBA) sebagai strategi untuk mempersiapkan tim kolaborasi di masa yang akan datang. Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed-method untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran kebutuhan pemangku kepentingan terhadap rancangan pembelajaran IPE daring. Responden terdiri dari pimpinan PRODI, dosen dan mahasiswa beberapa PRODI di Fakultas Kedokteran Universitas Batam (FK UNIBA). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur dan focus group discussion (FGD). Data direkam dan dibuat verbatim, selanjutnya dilakukan coding dan disusun menjadi tema dan subtema. Evaluasi terhadap rancangan pengajaran IPE daring dilakukan dengan mengukur persepsi mahasiswa terhadap pendidikan interprofesional sebelum dan sesudah mengikuti modul menggunakan kuesioner IEPS (Interdisciplinary Education Perception Scale) Hasil: Penelitian kualitatif (wawancara terstruktur dan FGD) terhadap unsur pimpinan, 2 orang dosen, dan 5 orang mahasiswa setiap program studi menghasilkan sebanyak 14 tema dan 47 subtema yang dijabarkan ke dalam capaian pembelajaran modul, topik kajian, aktivitas pembelajaran, dan karakteristik peserta didik modul IPE daring. Evaluasi modul dilakukan dengan menguji perbedaan persepsi 252 mahasiswa terhadap pendidikan interprofesional pra dan pascamodul. Hasil uji bivariat Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan bermakna skor persepsi terhadap pendidikan inteprofesional pascamodul dibandingkan pramodul( p=0,00). Terdapat perbedaan bersifat positif, yaitu adanya jumlah perolehan skor pascamodul yang lebih tinggi daripada perolehan skor pra modul sebanyak 141 orang. Peningkatan skor persepsi juga terlihat dari hasil analisis bivariat Prodi Kedokteran, Keperawatan, Kebidanan, dan Psikologi. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi modul IPE daring FK UNIBA telah berhasil meningkatkan persepsi mahasiswa terhadap kompetensi dan otonomi, kebutuhan yang dirasakan untuk bekerjasama, dan persepsi mengenai bekerjasama interprofesional. Terobosan ini merupakan sebuah solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan bagi pembelajaran interprofesional di masa pandemi. Latar belakang: Interprofessional education (IPE) merupakan strategi yang digunakan untuk menyiapkan tim kolaborasi interprofesional di masa mendatang. Namun dengan adanya berbagai pembatasan interaksi sosial di masa pandemi COVID-19 mendorong adanya inovasi dalam metode pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang sebuah modul pembelajaran interprofesional daring di Fakultas Kedokteran Universitas Batam (FK UNIBA) sebagai strategi untuk mempersiapkan tim kolaborasi di masa yang akan datang. Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed-method untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran kebutuhan pemangku kepentingan terhadap rancangan pembelajaran IPE daring. Responden terdiri dari pimpinan PRODI, dosen dan mahasiswa beberapa PRODI di Fakultas Kedokteran Universitas Batam (FK UNIBA). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur dan focus group discussion (FGD). Data direkam dan dibuat verbatim, selanjutnya dilakukan coding dan disusun menjadi tema dan subtema. Evaluasi terhadap rancangan pengajaran IPE daring dilakukan dengan mengukur persepsi mahasiswa terhadap pendidikan interprofesional sebelum dan sesudah mengikuti modul menggunakan kuesioner IEPS (Interdisciplinary Education Perception Scale) Hasil: Penelitian kualitatif (wawancara terstruktur dan FGD) terhadap unsur pimpinan, 2 orang dosen, dan 5 orang mahasiswa setiap program studi menghasilkan sebanyak 14 tema dan 47 subtema yang dijabarkan ke dalam capaian pembelajaran modul, topik kajian, aktivitas pembelajaran, dan karakteristik peserta didik modul IPE daring. Evaluasi modul dilakukan dengan menguji perbedaan persepsi 252 mahasiswa terhadap pendidikan interprofesional pra dan pascamodul. Hasil uji bivariat Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan bermakna skor persepsi terhadap pendidikan inteprofesional pascamodul dibandingkan pramodul( p=0,00). Terdapat perbedaan bersifat positif, yaitu adanya jumlah perolehan skor pascamodul yang lebih tinggi daripada perolehan skor pra modul sebanyak 141 orang. Peningkatan skor persepsi juga terlihat dari hasil analisis bivariat Prodi Kedokteran, Keperawatan, Kebidanan, dan Psikologi. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi modul IPE daring FK UNIBA telah berhasil meningkatkan persepsi mahasiswa terhadap kompetensi dan otonomi, kebutuhan yang dirasakan untuk bekerjasama, dan persepsi mengenai bekerjasama interprofesional. Terobosan ini merupakan sebuah solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan bagi pembelajaran interprofesional di masa pandemi. ......Introduction: Interprofessional education (IPE) is an approach used to prepare future interprofessional collaboration teams. However, restrictions of social interaction during the COVID-19 pandemic has driven innovation in learning strategies. Therefore, this study is aimed at designing an online interprofessional learning module at the Faculty of Medicine, University of Batam (FK UNIBA) as a strategy to prepare collaborative teams in the future. Method: This study utilised a mixed-method approach. Semi-structured interview and focus group discussions were used to explore the needs of stakeholders (dean, 2 teachers, and 5 students from each study program) regarding online IPE instructional design. Evaluation of the online IPE instructional design was carried out by measuring 252 students' perceptions towards interprofessionalism before and after completing the module by using Interdisciplinary Education Perception Scale, Indonesia version. Result: The first phase of qualitative research resulted in 14 themes and 47 sub-themes which were translated into learning outcomes, study topics, learning activities, and student characteristics of online IPE modules. The second phase of quantitative research was carried out by examining the differences in 252 students' perceptions of pre- and post-module. The results of the Wilcoxon bivariate test showed that there was a significant difference in perception scores for post-module compared to pre-module (p<0,05). There is a positive improvement, in which 141 students had higher post-module scores compared to those of the pre-module. The increase in perception scores was also seen from the results of the bivariate analysis of all study programmes. Conclusion: This study shows that the implementation of the online IPE module has succeeded in increasing students' perceptions of competence and autonomy, the perceived need to cooperate, and the perception of interprofessional collaboration. This innovative learning strategy can be considered for interprofessional learning during a pandemic.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah
Abstrak :
Latar belakang: Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasiona1 "Veteran" Jakarta (FK UPNVJ) sejak tahun 2006 telah melakukan perubahan kurikulum dari kurikulum konvensional menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Perubahan tersebut membawa dampak pada perubahan lingkungan pembelajaran. Mengingat lingkungan pembelajaran merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran mahasiswa, dan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan mahasiswa, maka sudah waktunya bagi FK UPNVJ untuk melakukan penilaian terhadap lingkungan pembelajaran, dan salah satu cara penilaian adalah melalui persepsi mahasiswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat ada tidaknya perbedaan antara persepsi mahasiswa dari berbagai tingkat terhadap lingkungan pembelajaran dan untuk mengidentifikasi hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi belajar mahasiswa yang diwakili dengan indeks prestasi semester. Metode: Desain penelitian menggunakan cross sectional yang dilakukan di FK UPNVJ pada bulan Nopember 2010 dan melibatkan 299 responden mahasiswa tingkat 2,3 dan 4. Penelitian dilakukan dengan menggunakan quesioner DREEM (Dundee Ready Educational Environment Measure) untuk menilai persepsi mahasiswa terhadap lingkungan beJajar. Pengolahan data dengan menggunakan SPSS vcrsi 13. Hasil: Analisis data menunjukkan nilai rata~rata skor Dreem seluruh responden adalah 128/200, yang berarti lebih banyak sisi positif. Terdapat perbadaan yang bermakna mengenai persepsi mahasiswa terbadap lingkungan pembelajaran dari mahasiswa yang berbeda tingkat. Terdapat hubungan bermakna antara persepsi mahasiswa tingkat 3 terhadap lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik mereka. Kesimpulan: Mahasiswa menilai proses pembelajaran yang ada saat ini di FK UPNVJ sudah cukup baik. Menurut persepsi mahasiswa tingkat 3 lingkungan pembelajaran mempunyai pengaruh langsung terhadap prestasi akademik mahasiswa, namun menurut mahasiswa tingkat 2 dan 4 lingkungan tidak secara langsung mempengaruhi prestasi akademik mahasiswa. ......Background: Faculty of Medicine. University of National Development "Veteran" Jakarta (UPNVJ) has revised its curriculum from conventional to competency-based curriculum (CBC) since 2006. These changes had an impact on the learning environment. Given that learning environment is an important factor in student learning as well as a detemining factor for student success, then ifs time for FK UPNVJ to conduct an assessment of the learning environment, and one way to do that is through the perception of students. The purpose of this study is to see whether perceptions of students on learning environment differs according to their level of training and to identify the relationship between learning environment and academic achievement of students which represented by their GPA. Method: This study started on November 2010 using cross sectional design with 299 students involved as respondens. Research carried out by using questioner DREEM (Dundee Ready Educational Environment Measure) to assess students' perceptions of learning environment. Processing data using SPSS version 13. Results: Data analysis shows that rating of all respondents Dreem score is 128/200, which means the learning environment in FK UPNVJ has more positive side, There are significant differences regarding students' perceptions of the learning environment according to their level of training. There is a significant relationship between students perceptions of learning environment with their academic achievement in 3rd grade students. Conclusion: According to student perception the learning environment at Faculty of Medicine UPNVJ had more positif side. Learning environment has a direct impact on students academic achievement in the 3rd grade students but in the 2nd and 4th grade students, learning environment does not directly affect students academic achievement.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T21163
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>