Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Matthew Alexander Setiadi
Abstrak :
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan alasan dibalik peningkatan keasertifan Tiongkok terhadap kritik di bidang olahraga pada masa kepemimpinan Xi Jinping. Tiongkok sebagai negara telah memanfaatkan bidang olahraga sebagai salah satu instrumen kebijakan luar negerinya guna mencapai kepentingan negaranya. Bidang olahraga dimanfaatkan sebagai instrumen kebijakan luar negeri oleh Tiongkok melalui Ping Pong Diplomacy maupun penyelenggara Olimpiade. Akan tetapi, Tiongkok mendapatkan kritik internasional yang konstan, terutama pada isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pemerintahan Xi Jinping meresponsnya dengan lebih asertif melalui tidak hanya menggunakan norma internasional bahwa bidang olahraga tidak boleh dipolitisasi, tetapi juga disertai dengan aksi seperti permintaan maaf secara langsung. Untuk memahami alasan dibalik peningkatan keasertifan Tiongkok, penelitian ini menggunakan analisis kebijakan luar negeri dengan teori realisme neoklasik secara kualitatif. Penelitian ini menunjukan bahwa intensifikasi respons internasional Tiongkok ini karena adanya dorongan faktor sistemik dan faktor domestik serta pentingnya bidang olahraga bagi Tiongkok. Faktor sistemik mempengaruhi intensifikasi respons internasional Tiongkok karena adanya peningkatan rivalitas strategis Tiongkok dengan aktor internasional. Kemudian, faktor domestik ditenagai oleh kekuatan rezim pemerintahan Tiongkok dibawah kepemimpinan Xi Jinping ditenagai oleh kekhawatiran akan legitimasi Partai Komunis Cina. Terakhir, bidang olahraga menjadi sarana untuk melakukan intensifikasi respons internasional karena mampu menarik perhatian internasional dan kebanggaan bagi warga negara Tiongkok. ......This thesis aims to explain China’s increasing assertiveness toward international critics of Xi Jinping’s leadership. China has utilized sports as part of its foreign policy instrument to achieve its national interest. China uses sport as a foreign policy instrument through Ping Pong Diplomacy and Olympic host. However, China gains constant criticism from international society, especially on Human Rights violations. China, under Xi Jinping’s leadership, responds more assertive by not only using the international norm that sports should not be politicized but also followed by follow-up action such as actively seeking apologies. To understand the reasoning behind the increasing assertiveness, this research uses foreign policy analysis with neo-classical realism theory and is conducted qualitatively. This research shows China’s increasing assertiveness because of systemic and domestic factors. Systemic factor influences China's assertiveness through China's increasing strategic rivalry. Furthermore, domestic factors fueled by regime insecurities on China Communist Party legitimacy. Lastly, sport becomes a platform to intensify China’s international response because of its ability to attract international attention and social pride.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inara Pangastuti
Abstrak :
Indonesia merupakan negara yang cukup lambat dalam merespons seruan PBB untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam seluruh proses perdamaian, termasuk dalam operasi pemeliharaan perdamaian. Indonesia membutuhkan waktu tujuh tahun untuk merespons seruan tersebut dengan melakukan pengiriman penjaga perdamaian perempuan. Hambatan-hambatan yang dihadapi di tingkat nasional juga membuat pengiriman personel perempuan tersebut hanya dapat dilakukan dalam jumlah yang relatif minim. Kendati demikian, pengiriman penjaga perdamaian perempuan Indonesia mengalami lonjakan peningkatan pada tahun 2015-2021. Lonjakan pengiriman yang terjadi pada tahun 2019 bahkan berhasil membuat Indonesia menduduki peringkat delapan besar negara pengirim penjaga perdamaian perempuan terbanyak di dunia. Menanggapi fenomena tersebut, penelitian ini mempertanyakan mengapa Indonesia meningkatkan pengiriman penjaga perdamaian perempuannya pada tahun 2015-2021. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan kerangka analisis kebijakan luar negeri yang turut berusaha mengidentifikasi hubungan antara konsepsi peran nasional dengan kebijakan peningkatan yang diambil. Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan peningkatan pengiriman penjaga perdamaian perempuan tersebut merupakan wujud performa peran dari konsepsi peran nasional yang ditampilkan secara dominan oleh Indonesia, yakni konsepsi peran penjaga perdamaian. Kendati demikian, penelitian ini juga menemukan sejumlah konteks lain yang turut berkontribusi dalam mewujudkan peningkatan ini, yaitu komitmen peningkatan pengiriman penjaga perdamaian perempuan yang disampaikan dalam kampanye dan keanggotaan Indonesia di DK PBB, adanya kepentingan birokratik dan dukungan dari aktor-aktor perumus kebijakan pengiriman pasukan Indonesia, dan kehadiran Menteri Luar Negeri yang mampu memberikan dukungan politik yang dibutuhkan untuk merealisasikan kebijakan ini. ......Indonesia has demonstrated a relatively reluctant response to UN calls in increasing the involvement of women in peacekeeping operations. It took seven years for the country to finally send a number of female peacekeepers as a response to the call. Obstacles found at the nation’s deployment mechanism also prevent the country from sending a great number of female peacekeepers. However, a relatively huge increase in the deployment of Indonesian female peacekeepers was apparent in the year 2015 to 2021. The rising number of female peacekeepers deployed in 2019 has even managed to turn Indonesia as the world’s eight largest female troops/police contributing countries (T/PCCs). Therefore, this study inquires why Indonesia has increased the deployment of its female peacekeepers in 2015 to 2021. To answer this question, this study employs an analytical framework of Foreign Policy Analysis (FPA) which also seeks to trace the relationship between national role conception and the adopted foreign policy. This study finds that the policy of increasing Indonesian female peacekeepers deployment is a form of role performance enacted to Indonesia’s dominant role conception as a defender of peace. However, this research also finds a number of other relevant contexts that have contributed to realizing this policy, namely the commitment to increase Indonesian female peacekeepers deployment as a campaign material and contribution during Indonesia’s non-permanent membership in the UN Security Council, the existence of bureaucratic interests and support from Indonesian troops deployment policy makers, and the presence of a Minister of Foreign Affairs who is able to provide the necessary political support to realize this policy.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusdam Arrang Bua
Abstrak :
War on Terror merupakan alasan dasar dari intervensi Amerika Serikat (AS) di Afghanistan. Sebagai tujuan lanjutan dalam memerangi terorisme AS bersama masyarakat internasional berupaya untuk mendemokratisasi Afghanistan. Namun demikian, upaya tersebut menghadapi beberapa kendala. Salah satu diantaranya adalah peningkatan produksi opium/perdagangan narkotik dari tahun 2002 hingga 2003. Amerika Serikat merespon hal tersebut dengan mengimplementasikan strategi counternarcotics, setelah baik pemerintah Inggris maupun Afghanistan tidak dapat menghasilkan kemajuan yang signifikan dalam upaya yang sama. Namun strategi tersebut gagal mencapai tujuannya. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat faktor eksternal dan internal yang menghambat pengimplementasian strategi. Faktor eksternal bersumber dari Taliban dan petani opium. Disisi lain, faktor internal bersumber dari Amerika Serikat sendiri yaitu ketidaksistematisan implementasi proses strategi dan kompleksitas proses pembuatan kebijakan terhadap upaya counternarcotics di Afghanistan. ......War on Terror was foundational of U.S presence in Afghanistan. As a futher goals for combating terrorism, U.S along with international community have tried to democratize Afghanistan. However, the efforts faced some obstacles. One of them was the increase of opium production/drug trafficking from 2002 to 2003. This condition was responded by the implementation of U.S counternarcotics strategy, after both the British and Afghanisthan government were unable to create a significant achievement in the previous efforts. However the strategy failed to meet its end. This research finds that there are external and internal factors, which inhibit implementation of the strategy. The external factor comes from Taliban and opium farmer. On the other hand, the internal factors comes from the United States itself, which are the unsystematic of strategy process implementation and the complexity of policy making process toward the counternarcotics efforts in Afghanistan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Andika
Abstrak :
Indonesia dan Belanda merupakan dua negara yang memiliki ikatan kuat berdasarkan sejarah kolonialisme selama berabad-abad lamanya. Bahkan, sejak Indonesia merdeka pada 1945, kedua negara telah terlibat dalam berbagai dinamika hubungan bilateral yang cukup fluktuatif. Akan tetapi, kuatnya hubungan tersebut berbanding terbalik dengan perkembangan pembahasannya dalam ranah akademis, terutama dalam kajian ilmu hubungan internasional. Penulis meninjau perkembangan literatur mengenai hubungan bilateral Indonesia-Belanda pasca 1945 melalui sembilan belas literatur yang ditinjau berdasarkan metode taksonomi dengan membagi pembahasan menjadi tiga tema besar, yaitu 1) Hubungan Politik; 2) Hubungan Ekonomi; dan 3) Hubungan Sosial Budaya. Tinjauan pustaka ini disusun dengan tujuan untuk mengidentifikasi konsensus, perdebatan, dan kesenjangan dalam literatur terkait topik ini. Selain itu, penulis juga mengamati tren-tren berupa tema penulisan, asal penulis literatur, serta disiplin ilmu yang digunakan. Penulis menemukan bahwa memori masa lalu menghambat hubungan bilateral seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini kemudian berkontribusi pula terhadap terhambatnya diskusi akademik mengenai topik tersebut. Tinjauan pustaka ini juga mengidentifikasi Masa Revolusi yang merupakan perang antara Indonesia dan Belanda pada tahun 1945-1949 setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya sebagai isu paling dominan dalam pembahasan mengenai hubungan bilateral Indonesia-Belanda pasca 1945. Lalu, celah penelitian yang penulis temukan adalah pembahasan yang cenderung tumpang tindih, minimnya perspektif Indonesia, kurangnya pembahasan mengenai kerja sama bilateral, serta absennya pembahasan mengenai cara Indonesia berurusan dengan trauma kolonialisme. ......Indonesia and the Netherlands are the two countries that have strong ties based on the history of colonialism for centuries. In fact, since Indonesia's independence in 1945, the two countries have been involved in various dynamics of bilateral relations which have been quite volatile. However, the strength of this relationship is inversely proportional to the development of its discussion in the academic realm, especially in the study of international relations. The author reviews the development of literature on bilateral relations of Indonesia-the Netherlands after 1945 through seventeen literatures reviewed based on the taxonomic method by dividing the discussion into three major themes, namely 1) Political Relations; 2) Economic Relations; and 3) Socio-Cultural Relations. This literature review was prepared with the aim of identify the consensus, debate, and gaps in the literature related to this topic. Apart from that, the author also observes trends in the form of writing themes, scholar’s origin, and the disciplines used. The author finds that past memories hamper bilateral relations over time. This then contributes to the inhibition of academic discussion on the topic. This literature review also identified the Masa Revolusi which was a war between Indonesia and the Netherlands in 1945-1949 after Indonesia proclaimed its independence as the most dominant issue in the discussion on the bilateral relations of Indonesia-the Netherlands after 1945. Then, the gaps in the research that the authors found were discussions that tended to overlap, the lack of an Indonesian perspective, the lack of discussion on bilateral cooperation, and the absence of discussion about how Indonesia deals with the trauma of colonialism.
2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Abudzar Al Ghiffari
Abstrak :
Proliferasi budaya populer telah memicu minat akademik yang signifikan terhadap dampaknya yang beragam terhadap video gim dalam hubungan internasional. Tulisan ini bertujuan untuk secara komprehensif memetakan kondisi penelitian saat ini di bidang video gim dalam studi hubungan internasional menggunakan metode taksonomi yakni pengorganisasian topik ke dalam subset-subset tema yang berisi literatur-literatur serupa.  Tulisan ini menyelidiki masalah seputar representasi dalam video gim, mencakup penggambaran budaya, gender, dan ideologi politik yang beragam, serta mengeksplorasi pengaruh potensial mereka terhadap persepsi internasional dan pemertahankan stereotip. Lebih lanjut, makalah ini mempelajari dinamika rumit manipulasi politik dalam video gim, mengeksplorasi cara struktur naratif dan mekanika permainan dapat dimanfaatkan untuk membentuk opini publik dan memajukan agenda politik tertentu. Dengan memetakan secara holistik kondisi penelitian saat ini di domain-domain yang berbeda, tulisan ini memberikan gambaran komprehensif bagi para akademisi, pembuat kebijakan, dan praktisi yang ingin memahami interaksi rumit antara video gim dan hubungan internasional. Tulisan ini mengidentifikasi kesenjangan penelitian yang ada, menyoroti tren yang muncul, dan menekankan perlunya kolaborasi interdisipliner dan penelitian empiris lebih lanjut. ......The proliferation of popular culture has triggered significant academic interest in their diverse impact on video games in international relations. This paper aims to comprehensively map the current research landscape in the field of video games within the context of international relations using a taxonomic approach, organizing topics into subsets containing related literature. Specifically, this paper investigates issues concerning representation in video games, encompassing the portrayal of cultural, gender, and political ideological diversity, while exploring their potential influence on international perceptions and the perpetuation of stereotypes. Furthermore, this study examines the intricate dynamics of political manipulation within video games, exploring how narrative structures and gameplay mechanics can be leveraged to shape public opinion and advance specific political agendas. By holistically mapping the current research conditions across these different domains, this paper offers a comprehensive overview for academics, policymakers, and practitioners seeking to understand the complex interplay between video games and international relations. It identifies existing research gaps, highlights emerging trends, and underscores the need for interdisciplinary collaboration and further empirical investigation.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dhiwa Fathi
Abstrak :
Performa ambivalen Norwegia terhadap komitmen Rezim Paris semakin intens pasca keputusan Norwegia untuk mengekspansi pendirian kilang migas di kawasan Arktik serta memperkuat komitmen iklim melalui Climate Act. Hal ini berimbas pada kegagalan konstan Norwegia dalam memenuhi target pengurangan emisi (NDC)—tertinggal jauh dibandingkan negara-negara Nordik lainnya. Penelitian ini menjawab alasan intensifikasi performa ambivalen Norwegia dengan menggunakan kerangka analisis kebijakan luar negeri di bawah payung Teori Peran dan Konsep Transformasi Negara. Temuan utama dalam penelitian ini mengacu pada status prominen Norwegia di ranah iklim merupakan wujud performa dari konsepsi peran sebagai Pemimpin Upaya Mitigasi Perubahan Iklim. Namun, derajat kontradiksi semakin intens pada tahun 2016-2023 lantaran proses manifestasi peran diintervensi oleh konteks-konteks khusus yang turut menempatkan optimalisasi migas sebagai kepentingan strategis. Benang merah dari temuan ini dibagi ke dalam dua tingkatan. Di tingkat perumusan kebijakan Norwegia, kompetisi politik domestik mencapai titik konvergensi antara iklim dan migas bermuara pada kebutuhan kapabilitas materiil partai politik yang bersumber dari pendapatan migas serta penjaringan legitimasi melalui isu iklim sebagai agenda populis. Adapun absensi kontrol aktivitas migas dalam Rezim Paris dalam ranah struktural menjadi celah bagi pemenuhan komitmen pengurangan emisi. ......Norway’s ambivalent performance towards its Paris Agreement has intensified following its decision to expand oil and gas infrastructure in the Arctic and simultaneously strengthen climate commitments through the Climate Act. This duality has led to Norway's consistent failure to meet its Nationally Determined Contributions, lagging behind other Nordic countries. This study examines the reasons behind Norway's intensified ambivalent by employing a foreign policy analysis framework grounded in Role Theory and the Concept of State Transformation. The main findings indicate that Norway's prominent status in the climate arena reflects its role as a Leader in Climate Mitigation Efforts. However, from 2016-2023, the degree of contradiction has increased due to the interplay of special contexts that prioritize the optimization of petroleum interests as a strategic necessity. These findings can be categorized into two levels. At the policymaking level, domestic political competition converges on climate and oil interests, driven by the need for political parties to secure material capabilities sourced from oil revenues and to garner legitimacy by elevating climate issues as a populist agenda. Additionally, the structural absence of controls on oil activities within the Paris Agreement creates a gap that hinders the fulfillment of NDC commitments.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriawan
Abstrak :
Tesis ini meneliti fenomena pengesahan undang-undang penjaga pantai Tiongkok pada tahun 2021 yang kontradiktif dengan hukum internasional. Undang-undang ini memberi penjaga pantai kewenangan untuk menghancurkan infrastruktur dan kapal asing di wilayah perairan yang diklaim Tiongkok. Karenanya, banyak yang memprediksi dan berspekulasi bahwa undang-undang penjaga pantai dapat membawa ketidakstabilan di kawasan. Tapi, setelah satu tahun sejak efektif disahkan, tidak banyak yang berubah. Tesis ini kemudian mempertanyakan “mengapa Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai pada tahun 2021?” Demi menjawab pertanyaan tersebut, tesis ini berpijak pada teori realisme neoklasik, menganalisis baik faktor sistemik dan faktor unit. Penulis berpendapat bahwa ada tiga faktor unit yang berkontribusi terhadap keputusan Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai di tahun 2021: (1) persepsi Tiongkok mengenai faktor sistemik; (2) reformasi agensi penegak hukum laut; (3) perjuangan kekuatan Xi Jinping. Metodologi yang digunakan pada tesis ini adalah studi kasus dengan model penelusuran kausal dan alir. Tesis ini menemukan bahwa Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai pada tahun 2021 untuk mengimbangi tekanan sistemik yang terus meningkat dan memberi landasan hukum kepada penjaga pantai yang baru direstrukturisasi untuk melindungi hak serta kepentingan Tiongkok di laut sengketa. ......The present thesis scrutinises the phenomenon of the enactment of the China Coast Guard Law in 2021 which contradicts international law. The law allows the coast guard to demolish other countries' structures built and foreign vessels in water claimed by China. Hence, many have predicted and speculated that the law will bring instability to the region. But After one year of being effective, nothing much has changed. This thesis then asked the question “why China passed the coast guard law in 2021?” To answer the question, this thesis is grounded in neoclassical realism, analysing both systemic and domestic factors. The author argues that there are three domestic factors that contribute to China’s decision to pass the coast guard law in 2021: (1) China’s perception regarding systemic factor; (2) maritime law enforcement reform; and (3) Xi Jinping power struggle. The methodology used in this thesis is case study with process tracing and flow model. This thesis found that China enacted the coast guard law in 2021 to balance the ever-increasing systemic pressures and to provide the newly reinstituted coast guard a legal foundation to safeguard the rights and interests in the disputed.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angle Caroline
Abstrak :
Sanksi merupakan alat kebijakan luar negeri yang digunakan ketika diplomasi tidak lagi efektif. Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu negara yang sudah menggunakan sanksi sejak abad ke-19, salah satunya terhadap Kuba. Secara historis, AS dan Kuba merupakan dua negara yang telah menjalin hubungan, terutama dalam bidang ekonomi. Namun, semua ini berubah ketika Fidel Castro memerintah Kuba pada tahun 1961 yang melancarkan Revolusi Kuba dan tidak lagi sejalan dengan kepentingan  AS, yaitu mengikuti nilai-nilai liberal. Sebagai respon, AS memberlakukan sanksi ekonomi di bawah sepuluh pemerintahan yang berbeda. Kendati demikian, 17 Desember 2014 menjadi titik balik hubungan kedua negara dengan diumumkannya normalisasi hubungan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, penelitian ini berupaya menjelaskan dan menganalisis faktor-faktor yang membawa AS pada keputusan normalisasi hubungan dengan Kuba. Penelitian ini pun menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan kerangka teori realisme neoklasik. Argumen utama dari penelitian ini adalah keputusan AS melakukan normalisasi hubungan dengan Kuba ditentukan oleh faktor sistemik dan domestik. Pada tingkat sistemik, distribusi kapabilitas relatif AS, sifat lingkungan strategis AS, dan  menentukan tekanan sistem bagi AS. Kemudian, pada tingkat domestik, keputusan tersebut dipengaruhi oleh aktor domestik, polarisasi politik domestik dan tantangan politik pada pemerintahan Obama, serta respon pemerintahan Obama terhadap dinamika politik domestik terkait hubungan AS dan Kuba. ......Sanction is a foreign policy tool used when diplomacy fails to be effective. The United States (US) is one of the countries that has been using sanctions since the 19 century, including against Cuba. Historically, US and Cuba had established relations, particularly in the economic field. However, this all changed when Fidel Castro became the leader of Cuba in 1961 and carried out the Cuban Revolution. Such action was not in line with the US interest which aimed to promote liberal values. In response, US imposed economic sanctions under ten different administrations. Nevertheless, December 17, 2014, marked a turning point of the relationship between these two countries with the announcement of the normalizations of relations. Therefore, this study aims to explain and analyze the factors that led US to the decision of normalizing relations with Cuba. This research utilizes a qualitative research methodology with a framework of neoclassical realism theory. The main argument of this study is that the decision of US to normalize relations with Cuba is determined by systemic factors that are intervened by domestic factors, resulting in the decision of normalization. At the systemic level, the relative distribution of power, the geographic proximity between US and Cuba, as well as the geopolitical context and international events, exert structural pressure on US. At the domestic level, the decision is influenced by domestic actors, political polarization and challenges within the Obama administrations, as well as the Obama administration’s response to the domestic political dynamics related to US-Cuba relations.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satrio Budi Pambagyo
Abstrak :
Program pendidikan internasional adalah sebuah alat diplomasi publik yang sejatinya memiliki posisi penting bagi suatu negara (terlebih negara adidaya) dalam rangka memperluas kepentingan nasional mereka. Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu negara adidaya yang mengendalikan dan mengoptimalkan program pendidikan internasional baik yang bersifat satu arah ataupun dua arah sebagai alat diplomasi dalam waktu yang cukup lama dimulai dari Fulbright (1946); KL-YES (2002); hingga YSEALI (2013). Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat tahun 2016 secara tidak langsung mengancam berbagai kebijakan luar negeri Pemerintah AS terdahulu yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip kebijakan ‘Make America Great Again’ dan ‘America First’ seperti Program YSEALI yang mana hanya bersifat satu arah dan cenderung tidak mendahulukan kemajuan kualitas pemuda AS; tidak sesuai dengan pengajuan untuk mengurangi dana program pendidikan internasional dalam anggaran fiskal tahun 2018 yang disampaikan oleh Donald Trump; serta sifatnya yang serupa dengan Program Inisiatif Let Girls Learn milik Michelle Obama yang diberhentikan kemudian. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya untuk membahas mengenai peranan politik birokrasi yang melatarbelakangi keberlanjutan program diplomasi publik AS konteks pendidikan YSEALI dibawah Pemerintahan Trump. Adapun konsep dan teori yang memandu penelitian ini yakni konsep ‘diplomasi publik’ milik Joseph S. Nye, Jr. dan teori ‘model pengambilan keputusan politik birokrasi’ milik Graham T. Allison yang mana dikemas dalam metodologi penelitian bersifat kualitatif dengan jenis penelitian eksplanatif. Penelitian ini beranggapan bahwa faktor politik birokrasi disamping Donald Trump berperan penting dalam keberlanjutan YSEALI sebagaimana faktor tersebut tetap melihat YSEALI sebagai salah satu agenda kebijakan luar negeri AS dalam sektor diplomasi publik konteks pendidikan yang penting dalam mencapai kepentingan nasional AS. ......The international education program is a public diplomacy tool that actually has an important position for a country (especially superpower country) in order to expand their national interests. The United States (U.S.) has become one of the superpowers that controls and optimizes international education programs, both one-way and two-way as a tool of diplomacy for quite a long time, starting with Fulbright (1946); KL-YES (2002); to YSEALI (2013). The election of Donald Trump as President of the United States in 2016 indirectly threatened various foreign policies of the previous U.S. Government which were deemed not in line with the policy principles of 'Make America Great Again' and 'America First' such as the YSEALI program which was only one-way and tended not to prioritizing the quality advancement of U.S. youth; does not comply with the proposal to reduce international education program funding in the 2018 fiscal year budget submitted by Donald Trump; and similar in nature to Michelle Obama's Let Girls Learn initiative which was terminated later. Therefore, this study seeks to discuss the role of bureaucratic politics which is the background for the continuation of the U.S. public diplomacy program in the educational context of YSEALI under the Trump Administration. The concepts and theories that guide this research are the concept of 'public diplomacy' owned by Joseph S. Nye, Jr. and the theory of 'bureaucratic political decision-making model' owned by Graham T. Allison which is packaged in a qualitative research methodology with an explanatory research type. This research assumes that bureaucratic political factors besides Donald Trump play an important role in the sustainability of YSEALI as these factors still see YSEALI as one of the U.S. foreign policy agendas in the public diplomacy sector in the context of education which is important in achieving U.S. national interests.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Windya Laksmi
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas tinjauan perubahan strategi pendanaan terorisme di Indonesia khususnya yang dijalankan oleh Jemaah lslamiya (JI) dan jejaringnya. Analisis dalam tesis ini menggunakan dasar leori Martha Crenshaw tentang kelogisan berpikir dari teroris. Kajian literatur dalam penelitian ini menemukan sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan strategi pendanaan terorisme yang kemudian menjadi indikator perlimbangan bagi teroris dalam menentukan strategi pendanaan bagi organisasinya. Penelitian ini adalah penelitian kualitalif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlunya kerangka hukum yang komprehensif terkait percepatan kriminalisasi pendanaan terorisme, dan pentingnya tata kelola pemerintahan yang baik sehingga tenvujudnya mekanisme koordinasi dan kerjasama yang kuat antar instansi yang, terkait dengan upaya pencegahan dan pemberanlasan tindak pidana pendanaan terorisme di Indonesia.
Abstract
This thesis discusses about an overview of changes in the strategy of terrorist financing in Indonesia especially run by Jemaah lslamiya (JI) and its network. The analysis in this thesis is based on the theory of Martha Crenshaw which is about the logical thinking of terrorists. Literature study in this research found some factors that influence the changes of the strategy of terrorist financing. Those factors become the consideration indicators in detemiining the organization?s funding strategy. This research is qualitative descriptive interpretive. The result of research recommends that the necessity of a comprehensive legal framework related to the acceleration of the criminalization of the financing terrorism. and the importance of good govermance, so that the establishment of coordination mechanisms and strong cooperation between institutions related to the prevention and eradication of terrorist financing in Indonesia.
2012
T30490
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>