Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizky Abi Rachmadi
"Eschericia coli (E. coli) dianggap sebagai masalah di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang yang menyebabkan penyakit bawaan makanan, infeksi saluran kemih dan infeksi hematogen. Menambah masalah E. coli juga menjadi lebih resistan terhadap obat. Oleh karena itu pencarian alteratif sangat penting. Jamu tradisional, terutama di negara berkembang sering digunakan, salah satunya adalah biji pepaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah biji pepaya memiliki efek antibakteri terhadap E. coli. Biji pepaya dikeringkan dan diolah menjadi ekstrak yang dilarutkan dalam etanol 96% untuk mendapatkan konsentrasi 33%, 22%, 16,5% dan 11%.
Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimen laboratorium dengan menggunakan metode pengenceran untuk mendapatkan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration (MBC). Hasil data dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mana E. coli ditantang oleh Ciprofloxacin dari 3200 mikroliter / ml. Data yang dihasilkan bersifat semi kuantitatif dan diolah dengan analisis deskriptif. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa 16,5% ekstrak biji pepaya adalah MIC dan MBC terhadap E. coli. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa biji pepaya memiliki efek antibakteri terhadap E. coli.

Eschericia coli (E. coli) is considered a problem throughout the world, especially in developing countries that cause foodborne diseases, urinary tract infections and hematogenous infections. Adding to the problem of E. coli also becomes more resistant to drugs. Therefore alternative search is very important. Traditional herbal medicine, especially in developing countries is often used, one of which is papaya seeds. This study aims to determine whether papaya seeds have an antibacterial effect on E. coli. Papaya seeds are dried and processed into extracts dissolved in 96% ethanol to get concentrations of 33%, 22%, 16.5% and 11%.
The research design used was a laboratory experiment using a dilution method to obtain Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC). The results of the data were compared with a control group in which E. coli was challenged by Ciprofloxacin of 3200 microliters / ml. The data generated is semi-quantitative and processed with descriptive analysis. From the results of the study, it was found that 16.5% papaya seed extract was MIC and MBC against E. coli. The conclusion of this study is that papaya seeds have an antibacterial effect on E. coli.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kahlil Gibran
"Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram negatif penyebab berbagai infeksi oportunistik dan nosokomial. Bakteri ini tidak peka terhadap berbagai golongan antibiotik sehingga menjadi kendala utama dalam penanganan infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola kepekaan Pseudomonas aeruginosa terhadap beberapa golongan antibiotik. Desain penelitian bersifat cross-sectional dengan analisis data sekunder dari isolat Pseudomonas aeruginosa yang terdapat di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI dari tahun pertengahan 2013-2019. Dari 396 sampel yang didapat, Pseudomonas aeruginosa mengalami perubahan tingkat kepekaan terhadap 37 antibiotik yang diiuji dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil evaluasi diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kepekaan tertinggi terdapat pada antibiotik golongan polimiksin. Adapun tingkat kepekaan yang rendah terdapat pada antibiotik ampicillin, ampicillin/sulbactam, amoxicillin, amoxicillin/a.clavulanat, cefazolin, cefoxitin, cefuroxime, cefotiam, cefotaxime, cotrimoxazole, chloramphenicol, dan nitrofurantoin. Kedepannya, penelitian mengenai evaluasi pola kepekaan antibiotik perlu dilakukan secara kontinyu agar mendapatkan pola terapi yang sesuai.

Pseudomonas aeruginosa is a Gram-negative bacterium that causes a variety of opportunistic and nosocomial infections. These bacteria are not sensitive to various classes of antibiotics so they become a major problem in infection management. This study aims to establish a pattern of Pseudomonas aeruginosa sensitivity to several antibiotic classes. The research design was cross-sectional with secondary data analysis of Pseudomonas aeruginosa isolates in the Clinical Microbiology Laboratory of the Faculty of Medicine UI from mid-2013-2019. Of the 396 samples obtained, Pseudomonas aeruginosa experienced changes in the level of sensitivity to 37 antibiotics tested from year to year. Based on the results of the evaluation above, it can be said that the highest level of sensitivity is in the polymyxin group antibiotics. The low level of sensitivity is found in the antibiotics ampicillin, ampicillin/sulbactam, amoxicillin, amoxicillin/clavulanic acid, cefazolin, cefoxitin, cefuroxime, cefotiam, cefotaxime, cotrimoxazole, chloramphenicol, and nitrofurantoin. In the future, research to evaluate the pattern of antibiotic sensitivity needs to be carried out continuously in order to obtain the appropriate therapy pattern."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradipta
"Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, dimana salah satu bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pyogenes. Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit-penyakit penting mulai dari infeksi kulit hingga penyakit yang dapat membahayakan nyawa seperti glomerulonephritis. Hingga saat ini, penyembuhan untuk bakteri Streptococcus pyogenes masih bergantung dengan antibiotik jenis penicillin maupun ciprofloxacin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ekstrak biji pepaya (Carica papaya L) memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Streptococcus pyogenes dengan melihat konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM). Penelitian ini dilakukan menggunakan uji in-vitro dengan cara mikrodilusi tabung. Ekstrak biji pepaya digunakan dengan variasi konsentrasi 16.5%, 11%, 8.25%, dan 5.5%. KHM ekstrak biji pepaya ditemukan pada konsentrasi 16.5% ditandai dengan larutan yang bening pada tabung dengan konsentrasi ekstrak sebesar 16.5%. Dilain pihak, KBM ekstrak biji pepaya ditemukan pada konsentrasi 5.5%, yang ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni bakteri pada agar darah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak biji pepaya berpotensi sebagai agen antibakteri untuk melawan bakteri Streptococcus pyogenes

Nowadays, infection is still a major problem in Indonesian health management. Streptococcus pyogenes is an example of a bacteria that needs more attention since it can cause a mild infection on skin untill a deadly infection such as glomerulonephritis. In Indonesia, treatment for Streptococcus pyogenes infection is still heavily dependent on the use of penicillin or ciprofloxacin. This reasearch’s objective is to discover if papaya’s seed (Carica papaya L) has an antibacterial activity for Streptococcus pyogenes by measuring the Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC). This reasearch was done by in vitro test using a microdilution tube. Papaya’s seed extracted in varied concentration which is 16.5%, 11%, 8.25%, and 5.5%. The results showed that Minimum Inhibition Concentration (MIC) of papaya’s seed extract concentration is 16.5% shown by a clean solution in tube. On the other hand, Minimum Bactericidal Concentration (MBC) of papaya’s seed extract is 5.5% with no colony growth found in the blood agar specimen. In conclusion, papaya’s seed extract has a good potential to be an antibacterial to treat Sptretococcus pyogenes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifaha Ihsan
"Latar belakang: Hingga saat ini, Acinetobacter baumannii menjadi salah satu bakteri yang sulit untuk dikendalikan karena tingginya potensi untuk mengalami resistensi terhadap berbagai antibiotik. Informasi mengenai pola kepekaan antibiotik terhadap Acinetobacter baumannii perlu diketahui sebagai dasar penyusunan panduan pengobatan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tren pola kepekaan isolat bakteri Acinetobacter baumannii terhadap beberapa antibiotik di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM Tahun 2013-2019.
Metode: Peneliti mengumpulkan data sekunder dari hasil uji kepekaan yang didapat dari laporan sebelumnya dan telah dimasukan ke dalam perangkat lunak WHONET dari periode tahun 2013-2019 lalu mengolahnya menggunakan Microsoft Excel.
Hasil: Total jumlah isolat keseluruhan periode tahun 2013-2019 yang didapatkan sebesar 292 isolat. Pada penelitian ini, terdapat 5 dari 15 antibiotik yang diujikan memiliki kepekaan diatas 50% antara lain amikasin, tigesiklin, trimethoprim/sulfamethoxazole, kolistin dan polimiksin B. Simpulan: Berdasarkan penelitian dari perbandingan data yang dilakukan selama 6 tahun di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM, terlihat bahwa tren pola kepekaan antibiotik relatif mengalami peningkatan pada sebagian besar golongan karbapenem, aminoglikosida, sefalosporin, tetrasiklin, dan sulfonamide, meskipun dengan kepekaan yang rendah, kurang dari 50%, sedangkan golongan lipopeptida dengan kepekaan yang tinggi. Antibiotik yang memiliki potensi besar yang dianjurkan dalam pengobatan adalah polimiksin B dan kolistin karena memiliki tren pola kepekaan antibiotik yang meningkat dan tingkat rata-rata kepekaan yang tinggi selama lima tahun terakhir.

Background: Until now, Acinetobacter baumannii is a difficult bacteria to control because it has high potential for resistance to various antibiotics. Information regarding the pattern of antibiotic sensitivity to Acinetobacter baumannii needs to be known in order to formulate a treatment guide.
Purpose: This study aims to determine the sensitivity pattern trend of Acinetobacter baumannii isolates to several antibiotics in the Clinical Microbiology Laboratory of FKUI-RSCM 2013-2019.
Methods: Researchers collected secondary data from the results of sensitivity tests obtained from previous reports and entered into the WHONET software from the 2013-2019 period and processed them using Microsoft Excel..
Results: The total number of isolates in the 2013-2019 period was 292 isolates. In this study, there were 5 out of 15 antibiotics tested to have a sensitivity above 50% including amikacin, tigesiklin, trimethoprim/sulfamethoxazole, kolistin and Polimiksin B.
Conclusion: Based on research from data comparisons carried out for 6 years in the Clinical Microbiology Laboratory FKUI-RSCM, this research shows that the trend of antibiotic sensitivity patterns has relatively increased in most of the carbapenems, aminoglycosides, cephalosporins, tetracyclines, and sulfonamides, although with a low sensitivity, less than 50%, while the lipopeptide group with high sensitivity. The antibiotics with high potential recommended for treatment are polymyxin B and colistine due to the trend of increasing antibiotic sensitivity patterns and high rates of sensitivity over the past five years.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
gamael Marcel
"Resistensi antibiotik masih menjadi masalah sampai saat ini di dunia. Beberapa data kepekaan antibiotik di rumah sakit di Indonesia menunjukkan tingginya resistensi pada bakteri yang ditemukan. Namun sayangnya, data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tidak diperbaharui setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data kepekaan beberapa antibiotik pada bakteri Escherichia coli di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM serta evaluasinya untuk penggunaan sehari-hari di dunia klinis. Penelitian deskriptif ini menggunakan desain Cross-sectional. Total sampel berjumlah 486 isolat dari berbagai pasien periode Agustus 2013 hingga Juli 2019. Secara umum, golongan antibiotik yang sebagian besar memiliki angka kepekaan yang tinggi antara lain Golongan Beta-Laktam Cephalosporine, Golongan Beta-Laktam Carbapenem, Golongan Aminoglikosida, dan Golongan lainnya seperti Polymyxin B, Colistin, Fosfomycin, dan Nitrofurantoin. Beberapa antibiotik dari golongan Beta-Laktam Penicillin menunjukkan angka kepekaan yang tinggi jika ditambahkan Beta-Laktamase Inhibitor seperti Clavulanic acid atau Tazobactam. Golongan antibiotik dengan angka kepekaan yang tinggi dapat lebih digunakan untuk penggunaan klinis.

Antibiotic resistance is still being a problem until now in the world. Several data on antibiotic sensitivity in hospitals in Indonesia show resistance in the bacteria found. However, the figures, data from the Ministry of Health Republic Indonesia do not update every year. This study aims to provide data on the sensitivity of several antibiotics towards Escherichia coli in the Clinical Microbiology Laboratory of FKUI-RSCM and its evaluation for daily clinical use. This descriptive study using cross-sectional design. The total sample is 486 isolates taken from various patients from August 2013 to July 2019. In general, antibiotic groups having high sensitivity are Beta-Lactam Cephalosporine, Beta-Lactam Carbapenem, Aminoglycosides, and other group such as Polymyxin B, Colistin, Fosfomycin, and Nitrofurantoin. Some antibiotics from Beta-Lactam Penicillin show high sensitivity if added with Beta-Lactamase Inhibitor such as Clavulanic acid or Tazobactam. Antibiotics groups having high sensitivity could be used for clinical using.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Fathurrahman
"ABSTRACT
Infectious diseases still become of the main health problems in Indonesia and the treatment still rely on antibacterial drugs which possess wide range of side effects. Papaya leaves are predicted to contain antibacterial activity and can be developed as an alternative treatment against bacterial infection. This study objectives are to determine the antibacterial activity of papaya leaves extract on inhibition of Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA) growth and bactericidal activity against MSSA. Papaya leaves were extracted with Ethanol 96% then filtered and diluted with sterile distilled water until it reach 33%, 22%, 16.5%, and 11% concentration. Minimum Inhibition Concentration (MIC) is obtained if there is no turbidity found inside the microtiter plate and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) is tested using Blood agar and observed for colony growth after incubation in 37o Celsius for 24 hours. The result of this study are, MIC for papaya leaves extract starting at 8.25% concentration. MBC starts from 11% papaya leaves extract concentration. The study shown antibacterial activity of papaya leaves extract, especially against MSSA.

ABSTRACT
Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan penanganannya masih bergantung kepada obat antibiotik yang memiliki banyak efek samping. Ekstrak daun papaya (Carica Papaya) dengan sifat anti bakterinya dapat dikembangkan sebagai alternatif untuk melawan penyakit infeksi oleh bakteri. Studi ini bertujuan untuk mengetahui sifat antibakteri dari ekstrak daun pepaya (Carica papaya) dalam Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) bakteri Methicillin Sensitive Streptococcus Aureus (MSSA). Daun pepaya diekstrak menggunakan Ethanol 70% lalu di saring dan dilarutkan menggunakan aquades steril hingga mencapai konsentrasi 33%, 22%, 16.5%, dan 11%.
KHM ditentukan dengan ditidaktemukannya kekeruhan didalam plat microtiter, sedangkan untuk menentukan KBM dilakukan dengan menanam ulang hasil campuran plat mickrotiter ke agar darah lalu diinkubasi kembali dalam suhu 37o Celsius. Dalam studi ini didapatkan hasil KHM dari ekstrak daun papaya pada konsentrasi 8.25% Sedangkan untuk KBM mulai dari konsentrasi ekstrak 11%. Hasil dari studi ini mengkonfirmasikan kemampuan antibakteri dari daun pepaya terutama dalam melawan MSSA."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachel Brilian Ivananda
"Latar Belakang
Peserta didik bidang kesehatan yang menjalani pendidikan profesi sering berinteraksi dengan pasien dan lingkungannya, sehingga kepatuhan praktik cuci tangan menjadi sangat penting. Ketidakpatuhan terhadap prosedur cuci tangan berpotensi meningkatkan risiko penularan hospital-acquired infections (HAIs). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kepatuhan cuci tangan di kalangan peserta didik bidang kesehatan di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI).
Metode
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional untuk mengamati 200 kesempatan cuci tangan berdasarkan 5 Momen Cuci Tangan dari WHO pada peserta didik program studi kedokteran (FK), kedokteran gigi (FKG), keperawatan (FIK), dan farmasi (FF). Data dianalisis menggunakan SPSS untuk menentukan persentase kepatuhan, dan dilakukan uji Chi-Square, uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, serta uji Mann-Whitney.
Hasil
Studi ini melibatkan 200 kesempatan cuci tangan peserta didik bidang kesehatan di RSUI. Dari jumlah tersebut, peserta didik melakukan cuci tangan pada 115 kesempatan (57,5%). Pada 98 dari 115 (85,22%) kesempatan, peserta didik menggunakan hand rub, namun hanya 56 kesempatan (57,14%) yang sesuai dengan rekomendasi durasi WHO (20-30 detik). Berdasarkan 5 Momen Cuci Tangan WHO, peserta didik FK dominan menerapkan momen ke-5 (41,38%), peserta didik FIK dominan menerapkan momen ke-4 (32,5%), dan peserta didik FKG serta FF hanya menerapkan momen ke-5 karena keterbatasan interaksi dengan pasien. Tingkat kepatuhan terhadap enam langkah cuci tangan mencapai 83,62%. Perbedaan signifikan dalam kepatuhan jumlah langkah cuci tangan ditemukan antara peserta didik FK dan FIK di RSUI (p-value <0,05).
Kesimpulan
Tingkat kepatuhan cuci tangan peserta didik bidang kesehatan di RSUI tergolong rendah, dengan perbedaan signifikan dalam jumlah langkah cuci tangan antara peserta didik FK dan FIK.

Introduction
Health sciences students undergoing professional training consistently engage with patients and their environments, causing adherence to hand hygiene practices critically important. Non-compliance with handwashing procedures can potentially increase the risk of transmission of hospital-acquired infections (HAIs). This study aims to evaluate the level of hand hygiene compliance among health sciences students at the Universitas Indonesia Hospital (RSUI).
Method
This study utilized a cross-sectional design to observe 200 hand hygiene opportunities based on the WHO's 5 Moments for Hand Hygiene among students in the faculties of medicine, dentistry, nursing, and pharmacy. Data were analyzed using SPSS to determine compliance percentages, and statistical tests including the Chi-Square test, Kolmogorov- Smirnov normality test, and Mann-Whitney test were conducted.
Results
This study involved 200 hand hygiene opportunities among health sciences students at the University of Indonesia Hospital (RSUI). According to this total, students performed handwashing in 115 instances (57.5%). From this number, students used hand rub in 98 instances (85.22%), but only 56 instances (57.14%) fulfilled the WHO-recommended duration (20-30 seconds). According to the WHO's 5 Moments for Hand Hygiene, medical students predominantly applied the 5th moment (41.38%), nursing students predominantly applied the 4th moment (32.5%), and dentistry and pharmacy students only applied the 5th moment due to limited patient interaction. Compliance with the six steps of handwashing reached 83.62%. A significant difference in adherence to the number of handwashing steps was found between medical and nursing students at RSUI (p-value <0.05).
Conclusion
The level of handwashing compliance of health students at RSUI is relatively low, with significant differences in the number of handwashing steps between FK and FIK students.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merry Ambarwulan
"

Latar Belakang : Infeksi intraabdomen (IIA) merupakan respons inflamasi peritoneum oleh mikroorganisme penyebab sepsis dan kematian kedua terbanyak di ruang intensive care unit (ICU).1,2Complicated intra-abdominal infection worldwide observational study (CIAOW) menunjukkan angka kematian infeksi intraabdomen komplikata sebesar 10,5%. Terapi antimikroba atau antibiotik merupakan hal penting dalam penanganan IIA. Dalam mendukung keberhasilan penanganan kasus IIA dibutuhkan informasi akurat mengenai karakteristik dan pola kepekaan terhadap antibiotik yang dapat digunakan sebagai acuan penggunaan antibiotik pada kasus IIA. Tujuan: Mendapatkan karateristik mikrobiologis dan klinis pada kasus IIA dan mengetahui hubungan antara faktor klinis dan mikrobiologi dengan luaran klinis pasien.

Metode: Data diambil secara prospektif  dengan desain pontong lintang. Sampel penelitian berupa jaringan intraabdomen dan darah yang diambil saat pembedahan. Uji identifikasi dan uji kepekaan dilakukan untuk deteksi bakteri aerob dan bakteri anaerob. Hasil:. Infeksi intraabominal komplikata lebih banyak dibandingkan IIA non-komplikata (63,63%), kasus sepsis (63,63%) dan peritonitis (45,45%). Infeksi intraabominal terkait rumah sakit lebih banyak dibanding IIA komunitas yaitu 56,36%). Patogen yang paling sering ditemukan adalah Eschericia coli (34,78%), Klebsiella pneumoniae (10,86%) dan Enterococcus faecalis ((8,69%). Pola kepekaan terhadap amikasin, meropenem, ertapenem dan tigesiklin adalah 100% pada isolat E. coli, sementara piperasilin/tazobaktam lebih rendah (90,62%), seftazidim dan sefepim (68,75%). Ditemukan E. coli resisten multiobat  (62,5%), K. pneumoniae resisten multiobat (50%) dan E. faecalis resisten multi obat (50%). Terdapat hubungan antara faktor klinis sepsis dengan luaran klinis. Pemberian terapi antimikroba sebaiknya mengacu kepada rekomendasi yang dibuat berdasarkan pola kuman dan pola kepekaan setempat.

Kesimpulan: Bakteri Gram negatif masih merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada kasus IIA. Dengan tingginya temuan bakteri resisten multiobat makan pemberian antimikroba harus mempertimbangkan cakupan antimikroba terhadap patogen penyebab.

<

Background: Intraabdominal infection (IAI) is the peritoneum inflammatory process due to microorganisms, the leading cause of sepsis, and the second cause of death in the intensive care unit (ICU). Complicated intra-abdominal infection worldwide observational study (CIAOW) showed the mortality rate of complicated IAI of 10.5%. Antimicrobial therapy or antibiotics is important in managements of IAI. Accurate information is needed to improve IAI management; regarding the characteristics and patterns of sensitivity of antibiotics as a reference for antibiotics use in IAI.

Aim: This study aims to obtain microbiological and clinical pictures in IAI and the correlation between clinical and microbiological factors with the patient’s clinical outcomes.

Method: Data were collected prospectively using a cross-sectional design. The sampel in this study is intraabdomen tissue and blood that was taken during surgery. Identification and antimicrobial sensitivity testing was carried out to detect aerob and anaerob bacteria.

Result: Complicated cases is larger in number more than non-complicated IAI (63.63%), sepsis (63.63%) and peritonitis (45.45%). Hospital-related IAI much more than community IAI (56.36%). The most common pathogens are Eschericia coli 34.78%), Klebsiella pneumoniae (10.86%) and Enterococcus faecalis (8.69%). The sensitivity of amikacin, meropenem, ertapenem and tigesycline was 100% in E. coli, while piperacillin/ tazobactam was lower (90.62%), ceftazidime and cefepime (68.75%). It was found that multi-drug E. coli was (62.5%), multi-drug resistant K. pneumoniae (50%) and multi-drug resistant E. faecalis (50%). There is correlation between sepsis clinical factors with patient’s outcome. The administration of antimicrobial therapy should refer to recommendations made based on local microba and sensitivity patterns. 

Conclusion: Gram-negative bacteria are still the most common bacteria found in patient intraabdominal infections. With the high findings of multi-drug resistant bacteria, antimicrobial administration must consider the antimicrobial coverage of the causative pathogen.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Astika Dewi
"Pendahuluan: Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan kasus tuberkulosis (TB) terbanyak di dunia dan termasuk dalam lima negara dengan kasus Multidrug resistance tuberculosis (TB MDR) tertinggi. Tes cepat yang digunakan di Indonesia adalah geneXpert® MTB/RIF, tetapi geneXpert® MTB/RIF hanya dapat mendeteksi resistensi terhadap rifampisin masih merupakan produk luar negeri, harganya mahal dan memiliki keterbatasan dalam pendistribusian. Prüfen® GB101 merupakan tes cepat yang dapat digunakan untuk mendeteksi Mycobacterium tuberculosis (MTB) dan menentukan kepekaannya terhadap rifampisin dan isoniazid, dapat menggunakan kit uji yang merupakan teknologi dalam negeri (TKDN). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian hasil pemeriksaan sputum antara Prüfen® GB101 dan geneXpert® MTB/RIF. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang pada sputum yang diambil dari pasien terduga tuberkulosis di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) Depok pada bulan Mei hingga September 2023. Pemeriksaan sputum dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA), PRÜFEN® GB101, dan geneXpert® MTB/RIF. Hasil: Terdapat 81 dahak yang dianalisis dalam penelitian ini. Kesesuaian hasil deteksi MTB menggunakan Prüfen® GB101 dengan geneXpert® MTB/RIF pada dahak langsung memberikan nilai kappa 0,7 (p <0,001). Kesesuaian hasil uji sensitivitas MTB terhadap rifampisin menggunakan Prüfen® GB101 dengan gen Xpert® MTB/RIF pada sputum langsung memberikan nilai kappa sebesar 1 (p <0,001). Kesimpulan: Prüfen® GB101 memiliki kesesuaian yang kuat dengan gen Xpert® MTB/RIF dalam mendeteksi MTB pada sputum langsung, sehingga Prüfen® GB101 merupakan assay yang memiliki performa yang sesuai dengan gen Xpert® MTB/RIF dalam mendeteksi MTB pada sputum langsung. Prüfen® GB101 memiliki kesesuaian yang sangat kuat dengan gen Xpert® MTB/RIF dalam menentukan kepekaan terhadap rifampisin, sehingga Prüfen® GB101 merupakan uji yang memiliki performa yang sama dengan gen Xpert® MTB/RIF dalam mendeteksi MTB pada sputum langsung.

Introduction: Indonesia is the second country with the most tuberculosis (TB) cases in the world and is among the five countries with the highest cases of multidrug resistant tuberculosis (MDR TB). The rapid test used in Indonesia is geneXpert® MTB/RIF, but geneXpert® MTB/RIF can only detect resistance to rifampicin, an import product that is expensive and has limitations in distribution. Prüfen® GB101 is a rapid test that can be used to detect Mycobacterium tuberculosis (MTB) and determine the susceptibility of MTB to rifampicin and isoniazid. Prüfen® GB101 can use kits that are available in domestic technology. This study aims to determine the suitability of sputum examination results between Prüfen® GB101 and geneXpert® MTB/RIF. Methods: A cross-sectional study was conducted on sputum taken from suspected tuberculosis patients at Universitas Indonesia Hospital Depok from May to September 2023. Sputum was examined microscopically for acid fast bacilli (AFB), PRÜFEN® GB101, and geneXpert® MTB/RIF. Results: Eighty-one sputum were analyzed in this study. The concordance of MTB detection results using Prüfen® GB101 with geneXpert® MTB/RIF in direct sputum gave a kappa value of 0.7 (p <0.001). The concordance of MTB sensitivity test results to rifampicin using Prüfen® GB101 with geneXpert® MTB/RIF in direct sputum gave a kappa value of 1 (p <0.001). Conclusion: Prüfen® GB101 has a strong concordance with the Xpert® MTB/RIF gene in detecting MTB in direct sputum Prüfen® GB101 has equal performance with the Xpert® MTB/RIF gene in detecting MTB on direct sputum. Prüfen® GB101 has a very strong agreement with gene Xpert® MTB/RIF in determining susceptibility to rifampicin Prüfen® has the same performance as gene Xpert® MTB/RIF in detecting MTB on direct sputum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armando Rahadian
"Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) adalah masalah kesehatan global dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di banyak negara berkembang. Indonesia menempati peringkat ke – 2 pasien TB terbanyak di dunia dengan jumlah 969.000 kasus per tahun dan cakupan diagnosis terkonfirmasi pemeriksaan bakteriologis hanya 55% dari seluruh kasus TB ternotifikasi. Penegakan diagnosis TB dengan metode kultur bakteri membutuhkan waktu lama sehingga diperlukan metode baru yang dapat mempersingkat waktu identifikasi TB yaitu dengan tes cepat molekuler.
Metode: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi akurasi diagnostik tes cepat molekuler Prufen Gb101 dalam identifikasi M. tuberculosis pada pasien terduga TB paru menggunakan spesimen sputum dengan kultur Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT) sebagai baku emas.
Hasil: M. tuberculosis terdeteksi pada 46 dari 81 subjek penelitian berdasarkan pemeriksaan Prufen Gb101 dengan sensitivitas 100% (95% CI, 99,0 – 100), spesifisitas 76,09% (95% CI, 61,2 – 87,4), PPV 76.09% (95% CI, 65,5% – 84,2) dan NPV 100% (95% CI , 90,0 – 100). Sensitivitas yang tinggi menunjukkan tes ini dapat mengidentifikasi dengan baik infeksi TB pada pasien terduga TB paru.
Kesimpulan: Prufen Gb101 dapat memberikan tambahan penilaian dalam menegakkan diagnosis pada pasien dan memenuhi kriteria WHO sebagai uji penapis pada diagnosis TB paru.

Introduction: Tuberculosis (TB) is a global health problem and a major cause of morbidity and mortality in many developing countries. Indonesia has the second highest number of TB patients in the world with 969,000 cases per year and the coverage of confirmed diagnosis by bacteriological examination is only 55% of all notified TB cases. Confirmation of TB diagnosis by bacterial culture method takes a long time, so a new method that can shorten TB identification time is needed, namely molecular rapid tests.
Methods: This study aimed to evaluate the diagnostic accuracy of the Prufen Gb101 molecular rapid test in identification of M. tuberculosis in patients with suspected pulmonary TB using sputum specimens with Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT) culture as the gold standard.
Results: M. tuberculosis was detected in 46 of 81 study subjects based on the Prufen Gb101 assay with a sensitivity of 100% (95% CI, 99.0 - 100), specificity of 76.09% (95% CI, 61.2 - 87.4), PPV of 76.09% (95% CI, 65.5% - 84.2) and NPV of 100% (95% CI, 90.0 - 100). The high sensitivity indicates that the test can correctly identify TB infection in patients with suspected pulmonary TB.
Conclusion: Prufen Gb101 can provide additional assessment in establishing a diagnosis in patients and meets WHO criteria as a screening test in the diagnosis of pulmonary TB.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>