Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Yosiepin Mulyadi
"Apotek merupakan suatu tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat Kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek berupa memberikan informasi dan pengobatan bagi pasien dalam pengobatan diri sendiri swamedikasi agar pasien lebih mengerti dan tujuan dari pengobatan dapat tercapai PT Kimia Farma Apotek bergerak di bidang perapotekan dengan cabang tersebar di seluruh Indonesia Dalam memberikan pelayanan kefarmasian Apotek Kimia Farma memiliki standar yang baik dalam fasilitas dan manajemen karena menggunakan sistem jaringan dengan skala nasional Apoteker Pengelola Apotek APA harus memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengelola apotek sehingga dapat melayani kebutuhan perbekalan farmasi kepada masyarakat dengan baik Apoteker juga harus mampu menjalankan peran manajerial di apotek yaitu mengenai keterampilan apoteker dalam mengelola apotek secara efektif seperti pengelolaan keuangan perbekalan farmasi dan sumber daya manusia
Pharmacy is a pharmacy where to do the work distribution of pharmaceuticals and other medical supplies to the community Activities of pharmacy services at pharmacies in the form of providing information and treatment for patients in self medication swamedikasi in order to better understand the patient and the goals of treatment can be achieved Kimia Farma Apotek to provide pharmacy services have a good standard of facilities and management for use with the national network system Pharmacy Pharmacist Manager APA must have the knowledge and skills in managing a pharmacy that can serve the needs of pharmaceutical supplies to the community well Pharmacists should also be able to run a managerial role in the pharmacy the pharmacist about the skills to effectively manage the pharmacy such as financial management pharmaceuticals and human resources"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Klarisa
"Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) masih menjadi perhatian bagi masyarakat luas karena tidak dapat disembuhkan secara sempurna. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa virus HIV masih dapat ditemukan di jenazah sampai beberapa waktu setelah kematian, tanpa diketahui apakah masih mampu bereplikasi dan menginfeksi orang. Karena itu, penelitian ini ingin mengetahui kemampuan replikasi virus HIV di dalam sel darah putih secara in vitro dengan meniru kondisi seperti yang terjadi pada proses setelah kematian yaitu tidak terpapar oksigen.
Penelitian menggunakan disain eksperimental dengan menggunakan darah 'Orang dengan HIV-AIDS' (ODHA) yang masih hidup untuk menggantikan darah jenazah ODHA terinfeksi HIV. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan sampel darah yang dapat diteliti hingga rentang waktu 48 jam dengan suhu 26-32°C seperti suhu yang lazim terjadi pada umumnya jenazah di Indonesia. Darah terinfeksi HIV tersebut diperiksa 'viral load' dan diambil sel darah putihnya. Sel darah putih tersebut dicampur kembali dengan plasma darahnya, dan ditutup minyak goreng yang sudah dipanaskan agar tidak terjadi paparan oksigen untuk mendekati kondisi postmortem. Suspensi dikultur dan supernatannya diperiksa dengan 'Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction' (RT PCR) untuk melihat hasil replikasi virus HIV.
Hasil penelitian ini menunjukkan, virus HIV masih bereplikasi sampai waktu 48 jam setelah paparan oksigen dihentikan. Selain itu terdapat perubahan morfologi sel darah putih yaitu efek 'cytopathic effect' (CPE) pada sel di dalam kultur yang menunjukkan adanya infeksi antar sel.
HIV infection is still a community problem that cannot be solved perfectly. Recent studies show HIV virus can still be found in dead bodies, altough there were no evidence that indicate HIV infection from dead bodies. This research aims to elaborate HIV virus replication in leucocyte in vitro imitating dead bodies physiologic condition of oxygen deprivation. Research is conducted using experimental design using blood samples taken from living HIV-infected persons to substitute for HIV-infected dead bodies. This subtitution held because of the difficulty to obtain blood sample from dead bodies, and studied until 48 hours postmortem on 26-32°C. HIV-infected blood was examined for viral load. The leucocyte were separated from the blood and mixed with blood plasma. This suspension stored in the tube and the upper surface added with heated cooking oil to prevent oxygen exposure. The suspension was centrifuged, the leucocyte were cultured. After cultured, the supernatan was scanned with Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT PCR) to detect replication of HIV. The replication of HIV virus were detected up to 48 hours. The study also found morphologic changes of leucocyte due to cytopathic effect which showed cell-to-cell infections."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Agusalam Budiarso
"Fotografi merupakan bagian terintegrasi standard prosedur pemeriksaan forensik dan dapat berperan sebagai petunjuk, keterangan pengganti barang bukti maupun sebagai barang bukti itu sendiri. Dokumentasi fotografi forensik memiliki tujuan menghasilkan gambar yang berkualitas dan akurat. Akurasi gambar dapat dinilai dari kesesuaian antara keadaan sebenarnya (atau setidaknya mendekati) saat pengambilan gambar dan pemeriksaan dilakukan oleh dokter pemeriksa dengan interpretasi orang lain yang melihatnya di waktu yang berbeda. Hasil studi observasional potong lintang menggunakan 55 sampel penelitian gambar digital kamera DSLR didapatkan panjang fokal lensa 50mm memiliki hubungan bermakna (p < 0,05). Sedangkan rentang nilai bukaan lensa (f7,1-f8,0), kecepatan rana (1/100 detik-1/125 detik) dan sensitivitas sensor (ISO = 800-1600) dengan penggunaan cahaya tambahan flashlite dapat dijadikan acuan dasar settingan kamera digital pada pemeriksaan genitalia kasus kekerasan seksual pada anak saat ini. Selain itu, didapatkan kesesuaian keseluruhan interpretasi sedang antara dua ahli forensik (k = 0,457), kesesuaian interpretasi pada area labia minor masih dapat diterima (k = 0,238) dan fourchette posterior (k = 0,230), serta kesesuaian interpretasi kuat pada area hymen (k = 0,643).
Photography is an integrated part of standard forensic examination procedures and can act as a guide, substitute information for evidence as well as evidence itself. Forensic photography documentation aims to produce quality and accurate images. Image accuracy can be assessed from the conformity of the actual situation (or at least approaching) when shooting an image and doctors examinations with the interpretation of other people who see it at different times. The results of a cross-sectional observational study using 55 DSLR camera digital image research samples obtained that 50mm lens focal length had a significant relationship (p <0.05). While the range of lens aperture (f7,1-f8,0), shutter speed (1/100 seconds-1/125 seconds) and sensor sensitivity (ISO = 800-1600) with additional use of flashlite can be used as a basic reference for digital camera settings on child sexual violence cases examination. In addition, it was found that the overall interpretation conformity was moderate between two forensic experts (k = 0.457), interpretation conformity could still be fair in the minor labia (k = 0.238) and posterior fourchette (k = 0.230), also substantial in the hymen (k = 0.643)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55531
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Suripto
"Data yang baik adalah data bebas bias kognisi. Keterangan ahli bebas bias kognisi harus mampu menjawab perkembangan keilmuan dan perubahan dinamis dan terbaru sehingga mampu memberikan informasi dan keahlian berbasis bukti terhadap kasus Forensik dan Medikolegal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta mengetahui penyebab terjadinya bias kognisi pada Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di Indonesia. Pada penelitian ini, wawancara dilakukan terhadap 24 orang Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal terkait potensi bias kognisi yang dapat terjadi, kemudian dianalisis dengan menghubungkan antara potensi bias kognisi dengan Taksonomi Bloom serta Standar Kompetensi dan Subkompetensi Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal. Hasil penelitian didapatkan 763 skenario unik yang teridentifikasi. Taksonomi Bloom dengan tingkatan paling banyak yang berhubungan dengan bias kognisi teridentifikasi pada tingkat Apply, Analyze, dan Remember. Kompetensi dan Subkompetensi yang banyak berhubungan dengan bias kognisi teridentifikasi pada Kompetensi 1 tentang Etika Profesi dan Profesionalitas Luhur Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Kompetensi 2 tentang Mawas Diri, Pengembangan Pribadi dan Belajar Sepanjang Hayat, dan Kompetensi 5 tentang Landasan Ilmiah Kedokteran Forensik. Potensi bias kognisi yang telah teridentifikasi dapat menjadi masukan bagi para pihak yang berhubungan dengan proses pembentukan Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal, khususnya Fakultas Kedokteran serta Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Indonesia, dalam menyusun materi pembelajaran, pelatihan, serta penilaian untuk membentuk Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal yang menghindari menyampaikan keterangan ahli yang bias kognisi.
Optimal data are free from cognitive biases. Cognitive biases-free expert testimony must be able to answer the challenge of knowledge development, dynamical changes and latest updates to be able to provide evidence-based expert testimonies in Forensic and Medicolegal cases. This research aims to identify and to find out the cause of cognitive biases in Forensic Medicine and Medicolegal field in Indonesia. Research was conducted through interviews on 24 board-certified Forensic and Medicolegal Specialists with topics of potential cognitive biases, and further analyzed through associating with Bloom’s Taxonomy, and Competency and Subcompetency of Forensic and Medicolegal Specialist in Indonesia. There was 763 unique scenarios identified from interviews. Cognitive domain of Bloom’s Taxonomy with highest association identified are Apply, Analyze, and Remember. Competency and Subcompetency with highest association identified are 1st competency about Profession ethics and Professionalism in Forensic Medicine and Medicolegal (Etika Profesi dan Profesionalitas Luhur Kedokteran Forensik dan Medikolegal), 2nd competency about Self-introspection, personal development and long-life learning (Mawas Diri, Pengembangan Pribadi dan Belajar Sepanjang Hayat), and 5th competency about Scientific-based forensic medicine (Landasan Ilmiah Kedokteran Forensik). Identified potential cognitive biases can be given as input for stakeholders in forming Forensic and Medicolegal Specialists, specifically Faculty of Medicine and Indonesian College of Forensic Medicine and Medicolegal (Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Indonesia), to compose learning materials, trainings, and assessments to form Forensic and Medicolegal Specialists that avoids giving biases in expert testimonies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library