Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heditya D. I.
Abstrak :
Rencana penelitian mengenai gambaran analisis suara pada kelompok pascastroke iskemik ini diajukan dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Di Indonesia sendiri saat ini belum ada penelitian yang secara khusus menganalisis gambaran analisis suara pada pasca-stroke iskemik dengan menggunakan alat analisis suara MDVP. Masalah penelitian 1. Apakah terdapat perbedaan gambaran kualitas suara berupa peningkatan rerata nilai parameter akustik pada kelompok pasta-stroke iskemik yang berusia antara 45-70 tahun dibandingkan dengan kelompok kontrol? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi gambaran analisis suara pada pasien pascastroke iskemik? Tujuan penelitian Umum : Mengetahui adanya peningkatan parameter akustik berdasarkan pemeriksaan analisis suara, sehingga diharapkan dapat mencegah adanya gangguan suara yang lebih progresif. Khusus : 1. Mengetahui perbedaan rerata nilai parameter akustik pada kelompok pascastroke iskemik yang berusia antara 45-70 tahun dibandingkan kelompok control. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran kualitas suara pada penderita pasca-stroke iskemik seperti usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kebiasaan penggunaan suara dalam bekerja, derajat deficit neurologik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bintari Nareswari
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Abses leher dalam adalah keadaan infeksi yang dapat menyebabkan komplikasi serius sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Anatomi kompleks leher dan lokasi ruang yang dalam membuat diagnosis dan penatalaksanaan menjadi sulit. Pemeriksaan laboratorium, Computed Tomography (CT) scan dan kultur kuman berperan penting dalam diagnosis maupun tatalaksana abses leher dalam, sehingga penyakit penyerta dan komplikasi dapat terdeteksi secara dini. Tujuan: Mengetahui metode penegakan diagnosis abses leher dalam, gambaran penyakit penyerta dan komplikasi. Metode: Desain penelitian ini adalah studi potong lintang bersifat deskriptif analitik secara retrospektif pada 85 percontoh. Hasil: Laki-laki lebih banyak menderita abses leher dalam (72,9%), faktor etiologi terbanyak adalah odontogenik (60%), ruang peritonsil paling banyak terlibat (42,4%). Penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi dan diabetes melitus, komplikasi yang terbanyak menyebabkan kematian adalah sepsis. Diabetes melitus meningkatkan risiko kematian (p=0,041). Sefalosporin dan metronidazol masih disarankan sebagai antibiotik empiris. Kesimpulan: Tatalaksana abses leher dalam khususnya penderita yang menjalani rawat inap tidak optimal karena pemeriksaan kultur dan CT scan leher belum dilakukan secara rutin. Metode diagnostik terbaik dan tatalaksana komprehensif yang mengikutsertakan departemen terkait lainnya harus selalu dilakukan pada penderita abses leher dalam dengan penyakit penyerta
ABSTRAK
Background: Deep neck abscess is an infection causing serious complications resulting in high morbidity and mortality. The complex deep neck anatomy makes diagnosis and treatment difficult. Laboratory examination, Computed Tomography (CT) scan and bacterial culture play important roles in the diagnosis and treatment of deep neck abscess, so that comorbidities and complications can be detected in early stage. Purpose: To understand the best diagnostic methods, comorbidities and complications. Methods: The study design was cross-sectional study, retrospective analytic descriptive in 85 samples. Results: Men are more likely to suffer from deep neck abscess (72,9%), odontogenic is the most common etiologic factor (60%), the most involved space is peritonsillar space (42,4%). Hypertension and diabetes mellitus are the most common comorbid diseases, sepsis is a dominant complication leading to death. Diabetes mellitus increases the risk of death (p=0,041). Cephalosporin and metronidazol are still recommended as empiric antibiotics. Conclusion: The treatment of deep neck abscess particularly hospitalized patients is not optimum because bacterial culture and CT scan examination are not performed regularly. The best diagnostic methods and comprehensive management involving other relevant departments should always be performed in patients with deep neck abscess with comorbidities
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sesanti Hayuning Tyas
Abstrak :
ABSTRAK Terapi oksigen hiperbarik (TOH) telah direkomendasikan sebagai terapi adjuvan dari terapi utama steroid pada tuli mendadak, dengan mekanisme peningkatan oksigenasi jaringan dan penekanan inflamasi dan edema akibat iskemia. Belum didapatkan penelitian tentang perbandingan ambang perfrekuensi dan signal to noise ratio (SNR) antara terapi steroid metil prednisolon (MP) dibanding kombinasi MP dan TOH pada tuli mendadak. Penelitian uji klinis acak tersamar tunggal ini dilakukan di Poliklinik Neurotologi Departemen THT-KL FKUI/RSCM dan Unit Hiperbarik RSAL Mintohardjo pada bulan Juni-Desember 2013, melibatkan 20 subjek tuli mendadak, dengan 10 subjek kelompok terapi MP dan 10 subjek kelompok terapi MP dan TOH. Analisis dilakukan pada pemeriksaan audiometri nada murni pada 9 frekuensi dan Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) pada 5 frekuensi, pada awal terapi dan hari ke-15. Penelitian ini tidak mendapatkan perbedaan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok, didapatkan kecenderungan perubahan ambang perfrekuensi yang lebih besar pada frekuensi 1000, 2000, 4000, 10000, 12000 dan 16000 Hz pada kelompok MP dan TOH, dan perubahan SNR yang lebih besar pada frekuensi 12000 Hz pada kelompok MP dan TOH. Tidak didapatkannya perbedaan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang bermakna, dimungkinkan karena penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan. Penelitian juga membatasi analisis hingga terapi hari ke-15, sedangkan subjek tuli mendadak di Poli Neurotologi THT-KL RSCM sedianya dilanjutkan evaluasi hingga hari ke-90 (3 bulan). Penelitian lebih lanjut dengan besar subjek yang sesuai serta waktu evaluasi yang lebih lama, diharapkan dapat lebih menganalisis kecenderungan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang lebih besar pada kelompok MP dan TOH.
ABSTRACT Hyperbaric oxygen therapy (HBOT) has been recommended as an adjuvant therapy of primary steroid therapy in sudden deafness, the mechanism by increasing of tissue oxygenation and suppression of inflammation and edema due to ischemia. Differences in frequency threshold and signal to noise ratio changes between methyl prednisolone (MP) therapy with MP and HBOT on sudden deafness, has not been obtained. This single-blind randomized clinical trial study was conducted at the Neurotology clinic of CMH ENT Department and Hyperbaric Unit of Mintohardjo Navy Hospital in June-December, 2013, involving 20 sudden deafness subjects, with 10 subjects in MP therapy group and 10 subjects in MP and HBOT group. Analysis was performed on pure tone audiometric examination at 9 frequencies and Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) at 5 frequencies, at the start of therapy and day 15. This study does not get the statistically significant difference in frequency threshold and SNR changes between the two groups, it was found that the tendency of changes in frequency threshold was greater in frequencies 1000, 2000, 4000, 10000, 12000 and 16000 Hz in the MP and HBOT group, and the change in SNR was greater in frequency of 12000 Hz in the MP and HBOT group. The statistically significant difference in frequency threshold and SNR changes between the two groups does not obtained, possible because this study is preliminary research. The study also restrict the analysis to the 15th day of therapy, while the subject of sudden deafness in Neurotology Clinic of CMH ENT Department originally continued evaluation until the 90th day (3 months). Further studies with larger appropriate subject and a longer evaluation period, is expected to further analyze trends and greater changes in frequency threshold and SNR in the MP and HBOT gorup.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riski Satria Perdana
Abstrak :
ABSTRAK Obstructive sleep apnea (OSA) adalah salah satu dari bentuk gangguan pernapasan saat tidur (sleep disordered breathing) dengan angka prevalensi yang tinggi dan sering tidak terdiagnosis. OSA adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peristiwa kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang mengakibatkan apnea, hipoapnea atau. Gejala klinis OSA sering tidak terdeteksi, namun diduga kuat berhubungan dengan berbagai macam komplikasi medis. Data terkini dari beberapa penelitaan mendokumentasikan hubungan antara OSA dan penyakit kardiovasular, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung, aritmia dan arterosklerosis. PJK merupakan penyebab kematian tertinggi setelah kecelakaan pada usia produktif. Patofisiologi OSA pada kardiovaskular yang sulit dideteksi dapat menyebabkan penatalaksanaan penyakit kardiovaskular menjadi kurang efektif. Keberadaan OSA merupakan prediktor kuat kejadian fatal kardiovaskular pada pasien dengan masalah jantung dan pembuluh darah. peningkatan aktifitas simpatis, aktifasi penanda gangguan metabolik dan penanda inflamasi, dan kerusakan fungsi pembuluh darah, adalah bebarapa mekanisme penyebab yang menjelaskan hubungan antara OSA dan penyakit kardiovaskular. Identifikasi OSA pada PJK menjadi penting untuk menentukan strategi tatalaksana. Keberadaan OSA pada PJK harus betul-betul diperhatikan pada praktek sehari-hari. Berbagai penelitian harus dilakukan untuk mengetahui apakah tatalaksana OSA pada penderita PJK dapat menurunkan morbiditas. Pada penelitian ini, yang melibatkan 62 percontoh, dilaporkan sebanyak 35 (56,5%) percontoh yang semua adalah penderita PJK, juga mempunyai OSA positif berdasarkan pemeriksaan polisomnografi (PSG). Obesitas dan nilai Friedman tounge position menjadi dua faktor risiko bermakna pada OSA dengan PJK. Diketahui keluhan excessive daytime sleepiness adalah keluhan utama yang memiliki hubungan bermakna pada OSA dengan PJK.
ABSTRACT Obstructive sleep apnoea (OSA) is a form of sleep disordered breathing with a high prevalence rate and is often underdiagnosed. OSA is a disease characterized by periodic upper airway collapse during sleep, which then results in either apnea, hypoapnea or both.OSA commonly undetected but it is strongly associated with variety of medical complications. Recent data from several studies has documented the association between OSA and cardiovascular disorder such as hypertension, coronary artery disease (CAD), heart failure, arrhytmias and atherosclerosis. CAD is the most commonly caused fatal even after accident in middle age. The undetectable cardiovascular complication that lead by OSA can make the management of the cardiovascular disorder became uneffective. The presence of OSA may be a strong predictor of fatal cardiovascular events in patients with cardiovascular disease (CVD). Increased sympathetic drive, activation of metabolic and inflammatory markers, and impaired vascular function are some of the proposed mechanisms that could explain the association between OSA and cardiovascular diseases. Understanding these mechanisms is important for identifying treatment strategies. The presence of OSA should be considered in clinical practice, especially in patients with CVD. Randomized intervention studies are needed to establish whether early identification and treatment of OSA patients reduces cardiovascular morbidity. In this study, that involved 62 CAD patient, 35 (56,5%) had OSA based on PSG examination.Obesity and Friedman tounge position degree are two factors that had asscosiation in OSA with CAD.based on our finding, excessive daytime sleepiness is the major complained that have asscosiation in OSA with CAD.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library