Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Firdaus
"Penelitian ini berkisar tentang aktifitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), PPSW (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita) dalam melakukan pendidikan politik kepada kelompok perempuan yang ada di masyarakat. Aktiftas PPSW ini dalam perjalanannya menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi partsipasi politik perempuan di masyarakat yaitu di kelurahan Pondok Rangon, Jakarta Timur.
Penelitian ini dilatarbelangi dengan kondisi makro Indonesia setelah kejatuhan rejim Orde Baru dimana terjadi partisipasi politik masyarakat. Kondisi seperti itu juga membuat kelompok-kelompok perempuan, yang selama ini termarginalkan dalam politik, ikut berpartisipasi dalam berbagai hal. Tak terkecuali anggota kelompok perempuan yang berada di lapis bawah dan menamakan dirinya kelompok "Melati" yang selama ini didampingi PPSW di daerah Pondok Rangon, juga ikut berpartisipasi politik dalam lingkup komunitasnya.
Dari latar belakang persoalan seperti disebut di atas, pertanyaan penelitin diajukan seputar; pertama, bagaimana gambaran partisipasi politik di kalangan anggota kelompok perempuan lapis bawah (kelompok Melati) yang ada di Pondok Rangon, Jakarta Timur. Kedua, bagaimana gambaran pendidikan politik sebagai bentuk sosialisasi politik yang dilakukan PPSW terhadap anggota kelompok perempuan lapis bawah. Ketiga, bagaimana dampak pendidikan yang dilakukan PPSW dengan partisipasi politk perempuan lapis bawah yang selama ini terjadi di Pondok Rangon.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitati Hal ini dilakukan untuk bisa menggambarkan partisipasi politik anggota kelompok perempuan Melati, dan pendidikan politik yang dilakukan PPSW selama ini di Pondok Rangon, dan bagaimana dampak pendidikan politik itu secara mendetail.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendidikan politik yang dilakukan PPSW selama ini mempunyai pengaruh pada tingkatan anggota kelompok yang menjadi kader lokal. Sedangkan pada tingkatan anggota kelompok Melati lainnya, dampak pendidikan tersebut kurang banyak manfaatnya, bahkan bagian kelompok ini hanya memanfaatkan kelompok Melati sebagai sarana untuk simpan pinjam semata. Atau dengan meminjam analisa Caroline Q.N. Moser, seorang analisis gender, bahwa bagian kelompok perempuan ini hanya menggunakan kelompok sebagai wahana untuk pemenuhan kebutuhan "praktis" semata.
Rekomendasi dari hasil peneletian ini, PPSW selaku LSM pendamping harus melakukan refleksi terhadap pendidikan politik yang selama ini dilakukan terhadap kelompok perempuan dampingannya. Dalam konteks itu, pendidikan "community organazing" yang menjadi "awal (inti)" dalam strategi pendidikan politik yang digagas PPSW, harus dicermati ulang dalam implementasinya dilapangan. Sementara itu, pada tingkat kelompok Melati, anggota yang menjadi kader harus terus melakukan tugas-tugas "pengorganisasiannya" secara kontinue, terkhusus di lingkup komunitas Pondok Rangon."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harya Pratama
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S8261
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yohannes Wasi Gede Puraka
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S6877
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismira Lutfia
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S10580
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ova Kurniawan
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1994
S6770
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizqi Fauzi
"Penelitian ini menjelaskan pola asuh anak pada keluarga militer dalam hubungannya dengan institusi pendidikan militer orang tua, studi ini berfokus pada TNI Angkatan Darat. Penelitian ini mengisi kelemahan kajian pola asuh anak di keluarga militer terdahulu yang berfokus pada jenis-jenis pola asuh keluarga militer, implikasi penempatan militer terhadap hubungan orang tua militer dengan anaknya, serta pendidikan militer dan kehidupan prajurit setelahnya. Peneliti berargumen bahwa dalam mengasuh anak, anggota militer menerapkan nilai-nilai militer yang diperoleh selama pendidikan militer sebab latar pendidikan orang tua militer menjadi dasar dalam mengasuh anak. Keluarga militer menyerap nilai-nilai militer karena batas profesional dan pribadi di dalam militer sangat tipis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, data utama diperoleh melalui wawancara mendalam dengan anggota militer lulusan sekolah pendidikan dan pembentukan militer (Akademi, Sekolah Bintara, dan Sekolah Tamtama) yang telah berkeluarga dan memiliki anak dalam kerangka indikator total institution. Penelitian ini menunjukan bahwa terdapat keterkaitan antara teknik pola asuh dengan nilai-nilai militer yang diperoleh orang tua selama pendidikan militernya. Meskipun demikian, tidak seluruh teknik pola asuh orang tua militer berkaitan pendidikan militer mereka. Penelitian ini menunjukan terdapat perbedaan praktik-praktik indikator institusi total dalam institusi pendidikan militer yang diteliti yaitu Akademi Militer, Sekolah Bintara, dan Sekolah Tamtama. Penelitian ini juga menunjukan bahwa terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keterkaitan antara pola asuh orang tua militer dengan nilai-nilai militer dari institusi pendidikan militer, yaitu faktor internal keluarga dan faktor eksternal keluarga.

This research describes the parenting of children in military families in relation to parents' military educational institutions, this study focuses on the TNI - AD. This research fills in the weaknesses of the former study of child parenting in military families which focuses on the types of military family parenting, the implications of military deployment on the relationship between military parents and their children, and also military education and the lives of soldiers afterward. Researchers argue that in parenting children, military members apply military values obtained during military education because the educational background of military parents is the basis for parenting the children. Military families absorb military values because the professional and personal boundaries within the military are very thin. This study uses a qualitative approach, the main data obtained through in-depth interviews with members of the military who graduated from military education institutions (Akademi, Sekolah Bintara, and Sekolah Tamtama) who are married and have children within the total institution indicator framework. This study shows that there is a link between parenting techniques and military values acquired by parents during their military education. However, not all of the parenting techniques of military parents are related to their military education. This research shows that there are differences in the practices of total institution indicators in the military education institutions studied, namely the Akademi, Sekolah Bintara, dan Sekolah Tamtama. This study also shows that there are factors that influence the relationship between military parents' parenting and military values from military education institutions, namely family internal factors and family external factors."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvia Rahmawati
"Berkebalikan dengan kemunduran peran militer dalam kehidupan sosial dan politik praktis di Indonesia pasca runtuhnya otoritarianisme Orde Baru, anak-anak muda tetap antusias untuk berkarir sebagai tentara. Beberapa studi berpendapat bahwa fenomena tersebut disebabkan adanya pembebasan biaya pendidikan yang ditawarkan oleh militer, jaminan karir pasti dengan gaji dan tunjangan-tunjangan yang sesuai. Studi-studi lainnya menyebutkan bahwa hal itu ditentukan oleh adanya peluang meningkatkan status sosial, implementasi semangat patriotisme, tingginya nasionalisme, keinginan untuk mewujudkan perdamaian, dan misi kemanusiaan. Pada dasarnya penulis setuju dengan studi-studi tersebut. Namun, studi-studi tersebut masih terbatas dalam membahas aspek immaterial yang masih relevan dalam mendasari keputusan anak-anak muda Indonesia untuk berkarir sebagai tentara dewasa ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa fenomena tersebut juga disebabkan oleh penerimaan atas citra militer Indonesia berkaitan dengan budaya organisasi khas yang dimiliki dan profesionalitas yang secara progresif terus ditunjukkan. Citra militer terkonstruksi dan terus diinternalisasi melalui agen-agen sosialisasi, seperti keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah, kelompok teman sebaya, media massa, media sosial, hingga film. Hasilnya, terdapat penerimaan positif masyarakat atas citra militer yang ditunjukkan, yang pada gilirannya berpengaruh dalam pembentukan persepsi anak muda untuk berkarir sebagai tentara. Penulis menggunakan data yang diperoleh melalui studi pustaka, studi dokumen, dan wawancara bersama sejumlah taruna aktif Akademi Militer dan siswa Sekolah Menengah Atas.

In contrast to the decline in the military's role in practical social and political life in Indonesia after the collapse of the Orde Baru authoritarianism, young people remain enthusiastic about a career as a soldier. Several studies argue that this phenomenon is due to the exemption of education fees offered by the military and guaranteed career guarantees with appropriate salaries and benefits. Other studies say that it determines the opportunity to increase social status, implement the spirit of patriotism, high nationalism, desire to realize peace, and humanitarian missions. Basically, the authors agree with these studies. However, these studies are still limited in discussing the immaterial aspects that are still relevant in underpinning the decisions of young Indonesians to have careers as soldiers today. This research findings show that this phenomenon is also caused by the acceptance of the Indonesian military image, related to its distinctive organizational culture and organizations that progressively show professionalism. The military image is constructed and continues to internalize through socialization agents, such as family, neighborhood, schools, peer groups, mass media, social media, and films. As a result, there is a positive public acceptance of the military image shown, which influences the formation of young people's perceptions of a career as a soldier. The author uses data obtained through literature studies, document studies, and interviews with several active cadets of the Military Academy and senior high school students."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Namira
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses resosialisasi identitas militer dalam diri para taruna selama menjalani masa pendidikan di Akademi Angkatan Udara. Studi-studi lainnya menjelaskan bahwa institusi pendidikan militer memang berperan penting dalam proses pembentukan identitas militer, tetapi tidak menjamin efeknya dalam jangka waktu yang panjang karena penerapan identitas militer akan ditentukan saat taruna sudah menjalani masa dinasnya. Peneliti setuju bahwa proses resosialisasi identitas militer tidak terlepas dari pentingnya peran akademi militer, dimana di dalamnya terjadi proses indoktrinasi nilai-nilai militer, seperti nasionalisme dan patriotisme. Tetapi, tidak hanya akademi saja yang berperan, melainkan latar belakang taruna pun juga memiliki peranan penting. Taruna yang berasal dari keluarga militer akan lebih mudah untuk beradaptasi dan menyerap doktrin militer daripada yang berlatar belakang keluarga non-militer. Terkait hal tersebut, penelitian ini akan menggunakan konsep resosialisasi yang dikemukakan oleh Barnao untuk menjelaskan tahapan dari proses resosialisasi tersebut dan menggabungkannya dengan kerangka konsep habitus dan modal budaya oleh Bourdieu. Hasil temuan dari penelitian ini menyatakan bahwa dalam tahapan awal proses resosialisasi, taruna dari keluarga militer memang akan lebih unggul dalam hal pengetahuan, persiapan, dan pengalaman. Akan tetapi, hal tersebut hanya berlaku pada tahap awal preliminary atau proses adaptasi hingga tahap transisi awal saat taruna masuk ke AAU. Untuk tahap transisi selanjutnya hingga taruna lulus dari AAU, modal budaya dari keluarga taruna tidak lagi berperan signifikan dalam menentukan keberhasilan dan keunggulannya, melainkan modal budaya militer yang terdapat di AAU yang akan lebih dominan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif pada Akademi Angkatan Udara sebagai fokus penelitiannya.

This study aims to explain the process of resocializing military identity in cadets during their education period at the Air Force Academy. Other studies explain that military education institutions do play an important role in the process of forming military identity, but do not guarantee the effect in the long term because the application of military identity will be determined when the cadets have completed their service period. The researcher agrees that the process of resocializing military identity cannot be separated from the important role of the military academy, in which there is a process of indoctrination of military values, such as nationalism and patriotism. However, it is not only the academy that plays a role, but the background of the cadets also has an important role. The cadets who come from military families will find it easier to adapt and absorb military doctrine than those from non-military families. In this regard, this study will use the concept of resocialization proposed by Barnao to explain the stages of the resocialization process and combine it with the framework of the concept of habitus and cultural capital by Bourdieu. The findings of this study indicate that in the early stages of the resocialization process, cadets from military families will indeed be superior in terms of knowledge, preparation, and experience. However, this only applies at the initial preliminary stage or the adaptation process until the initial transition stage when cadets enter the AAU. For the next transition stage until the cadets graduate from the AAU, the cultural capital of the cadet families will no longer play a significant role in determining their success and excellence, but the military cultural capital contained in the AAU will be more dominant. This research was conducted using qualitative methods at the Air Force Academy as the focus of the research."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikam Gading Fajar Romadhon
"Studi ini berupaya untuk menganalisis bagaimana persepsi masyarakat terhadap wacana anggota militer aktif untuk mengisi jabatan strategis di kementerian/lembaga di Indonesia. Studi sebelumnya menjelaskan bahwa secara historis militer dan sipil di Indonesia memiliki hubungan yang erat, terutama era orde baru. Studi-studi sebelumnya turut memperlihatkan bahwa terdapat sentimen dan pengaruh atas persepsi masyarakat terhadap militer. Selain itu, terdapat persepsi bahwa tokoh militer merupakan salah satu alternatif sebagai pemimpin, dan memiliki pengaruh dalam pemerintahan. Peneliti memiliki argumentasi bahwa persepsi masyarakat terkait dengan rencana pemerintah Indonesia untuk memperbolehkan anggota militer aktif untuk mengisi jabatan strategis di kementerian/lembaga akan menuai respon negatif dari setiap generasi yang ada, baik generasi Z, generasi milennial, dan generasi X akan cenderung memandang hal tersebut sebagai re-implementasi dwifungsi ABRI. Namun, peneliti memiliki keyakinan bahwa terdapat perbedaan cara pandang dari setiap generasi dalam melihat rencana kebijakan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persepsi yang bersifat negatif dan positif dari wacana kebijakan pemerintah tersebut, di mana generasi terdapat cara pandang yang berbeda yang ditunjukkan oleh Generasi X dalam menilai wacana kebijakan tersebut dibandingkan Generasi Z dan Generasi Y. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif yang akan mencari tahu bagaimana persepsi masyarakat dari setiap generasi yang berbeda melalui wawancara mendalam.

This study analyzes the public perception about the plan to let the active military to get the strategic position on ministry/government institution. Previous studies explain that Indonesia has a historical relationship with civil-military relations, especially in the new era. The previous studies also explained any sentiment of public perception about the military and how the public perception can influence the military and policy decisions. Besides that, the previous study also explained that the military figure can be the alternative leader and has an influence in government. Researcher has an argument that public perception about the to let active military members occupy strategic positions will get the negative responses from the public and think if it is the reimplementation of Dwifungsi ABRI. However, researcher is sure that the generation gap contributes to the different point of view from every generation to analyze that plan. The result of this research shows there are negative and positives public perception about the government plan, and the result also shows that any different point of view mechanism from Gen X than Gen Z and Y.   This research used descriptive qualitative research that will find out how the public perception from different generations through in-depth interviews."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winston Tommy Watuliu
"Kepolisian Demokratis Democratic Policing) Reserse Polri dengan
Pendekatan Soft Systems Methodology
Penerapan bernegara di masa otoritarianisme di masa lalu menempatkan Polri untuk tunduk
pada kontrol militer dan mengadopsi cara-cara militeristik dalam menegakkan hukum dan
melayani masyarakat. Akibatnya lahirlah berbagai bentuk penyimpangan mandat tugas seperti
pelanggaran HAM, penggunaan kekerasan secara berlebihan (excessive use of force), dan
penyalahgunaan kekuasaan serta korupsi. Sebagai upaya menjaga keseimbangan dalam kepolisian
demokratis (democratic policing) membutuhkan sumber daya dari kapasitas negara (state
capacity) dan keinginan dari pemerintah untuk melaksanakan kekuasaan negara. Suatu
pemerintahan yang demokratis harus bersedia untuk mengembangkan lembaga-lembaga negara
seperti kepolisian yang memungkinkan secara efektif memerangi kejahatan dan gangguan sosial,
sementara pada saat yang bersamaan membatasi kemampuan polisi untuk melakukan kekuatan
fisik yang dapat melanggar HAM.
Terdapat tiga dimensi kapasitas negara dalam kepolisian demokratis (Fichtelberg, 2013)
yaitu organisasi, profesionalisme dan legalitas. Ketiga dimensi dari kapasitas negara tersebut
belumlah cukup untuk dapat membangun kepolisian demokratis di suatu negara, terdapat
beberapa dimensi lain yang perlu ditelaah untuk memperkuat kapasitas negara dalam kepolisian
demokratis seperti dimensi institusi (Klockars, 1993), politik (Berkley, 1970), budaya (Bayley,
2006, & Dixon, 1999).
Dalam upaya memperkuat kapasitas negara (state capacity) dalam kepolisian demokratis
Reserse Polri, digunakan soft system methodology berbasis riset tindakan di mana alat bantu
intelektual berupa human activity systems dalam bentuk root definition, yang kemudian dibuat
model konseptualnya untuk research interest dan problem solving interest. Sesuai dengan kaidah
dalam soft system methodology berbasis riset tindakan, proses pembandingan dan debating ini
untuk tujuan penelitian teoretik yang melibatkan peneliti, promotor dan ko promotor serta para
penguji lainnya sebagai academic reviewers. Sedangkan untuk problem solving interest
melibatkan para pemangku kepentingan dari transformasi kepolisian konvensional kepada
kepolisian demokratis Reserse Polri dan praktisioner SSM.
Hasil penelitian ditemukan bahwa konstruksi teoritis untuk research interest yaitu perlunya
penguatan melalui pengembangan tiga dimensi kapasitas negara dalam kepolisian demokratis
yaitu organisasi, profesionalisme dan legalitas (Fichtelberg, 2013) yang dapat diperkuat dan
dikembangkan dengan dimensi institusi (Klockars, 1993), politik (Berkley, 1970), budaya
(Bayley, 2006, Dixon, 1999). Pengembangan dari tiga dimensi menjadi enam dimensi dari
kapasitas negara dalam membangun kepolisian demokratis merupakan novelty dari penelitian
yang bersifat research interest. Dimensi institusi, politik dan budaya juga merupakan dimensi
yang penting dan harus ada dalam kapasitas negara dalam membentuk institusi kepolisian
demokratis. Bareskrim Polri memiliki peluang untuk dapat melakukan transformasi kepolisian
melalui kepolisian demokratis (democratic policing) melakukan inovasi tata kelola kepolisian
sebagai pelayan publik, menjunjung tinggi supremasi hukum, etika kepolisian, dan hak asasi
manusia, menjaga akuntabilitas dan transparansi, struktur dan manajerial yang efektif dan efisien
dalam rangka mewujudkan perlindungan dan pelayanan terhadap masyarakat demokratis.

The implementation of the life of state during the past authoritarian era has put the
Indonesian National Police under the military control and that the Indonesian Police had to adopt
militaristic methods in enforcing the law and in serving the people. This has caused many forms
of dereliction of duty such as violation of human rights, excessive use of force, abuse of power
and corruption. The effort to maintain the balance in democratic policing requires resources from
the state capacity and political will of the government to implement the power of the state. A
democratic government must be willing to develop state institutions such as police institution
which will fight against crime and social problems, and at the same time restrict police capability
that may violate against human rights.
There three dimensions of the state capacity in democratic policing (Fichtelberg, 2013), namely
organization, professionalism and legality. These three dimensions of the state capacity, however,
are not yet enough to develop democratic policing in a nation. There are still other dimensions to
be explored in order to strengthen the state capacity in democratic policing, such as institutions
(Klockars, 1993), politics (Berkley, 1970), and culture (Bayley, 2006, & Dixon, 1999).
In the effort of strengthening the state capacity in democratic policing in the Criminal
Investigation Division, the Indonesian Police uses an action research based soft system
methodology whereby intellectual device of human activity systems in the forms of root
definition, which then becomes the conceptual model for research interest and problem solving
interest. In accordance with the principle in the action research based soft system methodology,
the process of comparing and debating is for theoretical research purpose which involves
researchers, promotors and co-promotors as well as other examiners being the academic
reviewers. On the other hand, problem solving interest involves the stakeholders of the
transformation from conventional police to democratic police in the Criminal Investigation
Division, the Indonesian Police and SSM practitioners.
The research results show that the theoretical construction for research interest is the need of
empowerment through the development of three dimensions of state capacity in democratic
policing, namely organization, professionalism and legality (Fichtelberg, 2013), which can be
strengthened and developed with such other dimensions as institutions (Klockars, 1993), politics
(Berkley, 1970), and culture (Bayley, 2006, & Dixon, 1999).The development from three
dimensions to six dimensions of the state capacity in establishing democratic police constitutes
novelty of research having the nature of research interest. Institution, politics and cultures are
three important dimensions and they should exist in the state capacity in establishing democratic
policing. The Criminal Investigation Division of the Indonesian National Police has the chance to
implement police transformation through democratic policing and to make innovation in good
governance of the police as public servant, to uphold the supremacy of law, police ethics, human
rights, to keep accountability and transparency, effective and efficient structure and management
in the framework of providing protection and services to a democratic society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library