Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Made Wahyuni
Abstrak :
Latar belakang : Rasa kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi tindakan medis atau operasi pada anak lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Sebaiknya saat anak masuk masuk kamar bedah sudah diberikan obat premedikasi. Premedikasi melalui tetes hidung mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan melalui jalur lainnya. Obat premedikasi yang umum diberikan melalui fetes hidung adalah midazolam dan ketamin. Metode : Penelitian ini dilakukan pada 30 subyek penelitian yang akan menjalani tindakan medis elektif, ASA I atau II dengan uji klinis tersamar ganda. Subyek penelitian dibagi dua kelompok ; Kelompok Midazoiam yaitu premedikasi tetes hidung midazolam dosis 0,2 mglkgbb dan kelompok Ketamin yaitu premedikasi tetes hidung ketamin dosis 4 mglkgbb. Dilihat dan dicatat skor tingkat sedasi dan kecemasan awal sebelum diberikan premedikasi, dan 20 menit setelah diberikan premedikasi. Efek samping pasta premedikasi juga dilihat dan dicatat. Hasil : Tingkat sedasi yang efektif didapatkan pada 86,7% anak pada kelompok midazolam, sedangkan hanya 46,7% yang mencapai tingkat sedasi efektif pada kelompok ketamin, dengan p>0,005. Berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif dicapai oleh 93,3% anak dari kelompok yang mendapat midazolam, dibandingkan dengan kelompok ketamin yang hanya menunjukkan berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif pada 46,7% anak, dengan p<0,05. Efek samping yang terjadi adalah hipersalivasi yang terjadi pada 3 anak yang mendapat ketamin, dan muntah pada 1 anak dari kelompok ketamin. Kesimpulan : Premedikasi tetes hidung midazolam menunjukkan tingkat sedasi dan mengurangi kecemasan yang lebih baik dibandingkan dengan ketamin.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinal Effendi
Abstrak :
Latar Belakang : Penggunaan penanda anatomis jarak tiromental (TMD) dan skor Mallampati banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan. Penelitian ini mengevaluasi perbandingan tinggi badan terhadap jarak tiromental (RHTMD) sebagai salah satu prediktor kesulitan visualisasi laring kemudian dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati yang merupakan prediktor yang sudah ada sebelumnya. Metode Penelitian : Data didapatkan dari 277 pasien yang dijadwalkan operasi elektif yang akan dilakukan anestesia umum. Pengukuran TMD, RHTMD dan penilaian skor Mallampati dilakukan preoperasi. Laringoskopi dan penilaian skor Cormack-Lehane dilakukan oleh residen anestesi minimal tahun kedua. Data kemudian diolah menggunakan SPSS 15 untuk mendapatkan nilai AUC, sensitifitas, spesifitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Nilai AUC dari RHTMD, TMD dan skor Mallampati kemudian dibandingkan untuk memperlihatkan performa dari masing-masing prediktor. Hasil : Kesulitan visualisasi laring didapatkan pada 28 orang (10,1%), luas daearah dibawah kurva AUC RHTMD (85,5%) sedikit lebih baik dibandingkan TMD (82,7%) dan jauh lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati (61,4%), dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa akurasi RHTMD lebih baik bila dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati. ...... Background : Preoperatif evaluation anatomycal landmark of TMD and Mallampati score has widely used to identify potentially difficult laryngoscopies; however it’s predictive reliability is unclear. This research purpose are to evaluate the ratio height to thyromental distance (RHTMD) as a new predictor of difficult laryngoscopies compare to thyromental distance (TMD) and Mallampati score. Methode : The authors collect data on 277 consecutive patients schedule to receive general anesthesia for elective surgery. TMD, Mallampati score and RHTMD are evaluated preoperatively. Residents of anesthesia minimum at second years performed laryngoscopy and grading (as in Cormack-Lehane classifications). all data processed with spss 15 to get the AUC, sensitivity, spesifity, positive predictive value and negative predictive value. The AUC of each predictor were compared to determine the perform. Result : Difficult visualisation of the laryng occur in 28 patient (10,1%). The AUC of RHTMD (85,5%) is better compared to TMD (82,7%) and much better if compared to Mallampati score (61,4%). The authors conclude thatRHTMD had better accuracy in predicting difficult laryngoscopy than TMD and Mallampati score.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Prediksi kedalaman rongga epidural pada pediatrik untuk menghindari komplikasi tertusuknya dura. Rumus Bosenberg 1 mm/kgbb merupakan rumus yang sering digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga epidural (loss of resistance) pada pasien pediatrik pada ras Kaukasia. Terdapat perbedaan anatomi antara ras Asia dan Kaukasia, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah rumus Bosenberg 1 mm/kgbb tepat digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu dan faktor apa saja yang berhubungan untuk menentukan kedalaman rongga epidural. Metode : Penelitian ini adalah uji Bland Altman dan analisis regresi dengan pengambilan data dari rekam medis pasien pediatrik ras Melayu yang menjalani tindakan anestesia epidural pada bulan Januari 2011-Juli 2015 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 67 subjek yang menjalani tindakan anestesia epidural. Data yang diolah berupa usia, berat badan, tinggi badan dan loss of resistance (LOR). Dengan menggunakan SPSS 22, dilakukan uji Bland Altman terhadap LOR aktual dan LOR yang didapat berdasarkan rumus Bosenberg. Analisis regresi linear digunakan pada variabel usia, berat badan dan tinggi badan untuk menentukan hubungan antara ketiga variabel ini terhadap LOR. Hasil : Empat belas subjek dikeluarkan dalam penelitian karena data tidak lengkap dan terdapat kriteria ekslusi pada subjek. Tersisa 53 subjek yang masuk dalam penelitian ini. Uji Bland Altman menghasilkan rentang nilai limit of agreement -4,41 sampai 3,15. Nilai ini mempunyai rentang yang cukup lebar dari nilai limit of agreement yang diharapkan (-1,25 dan 1,25). Pada analisis bivariat diperoleh korelasi sangat kuat terhadap usia (r= 0,809), berat badan (r=0,966), dan tinggi badan (r=0,906). Analisis regresi linear menghasilkan tiga persamaan dari tiap-tiap variabel dengan nilai R 2 tertinggi adalah berat badan (92,7%) diikuti tinggi badan (75,9%) dan usia (57%). Simpulan: Rumus 1 mm/kgbb tidak tepat digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Terdapat hubungan antara usia, berat badan, dan tinggi badan terhadap jarak kulit ke rongga epidural.
ABSTRACT
Background : Skin-epidural distance prediction on pediatric patient undergoing procedure is necessary to prevent complication. Bosenberg prediction formula of 1 mm/kg of body weight is widely used in Caucasian pediatric patient. However, there is anatomical variation between Caucasian and Asian which created question on the accuracy of Bosenberg prediction formula if used on Malayan pediatric population and factors related to skin-epidural distance in these population. Methods : This study use cross-sectional design in which the data from medical record was used to collect information about age, weight, height and skin-epidural distance from pediatric (loss of resistance) patient undergoing epidural procedure. SPSS 22 was used to perform statistical calculation on this set of data. Accuracy of Bosenberg formula was analysed using Bland-Altman test in which the skinepidural distance measured using loss of resistance (LOR) compared with prediction from Bosenberg formula. Linear regression analysis was used to identify predictor variable for skin-epidural distance. Result : 67 subject was recruited for the study in which 14 was not included in analysis because the exclusion criteria. Bland-altman test reveal limit of agreement between -4,41 and 3.15 which is significantly larger than the expected limit of agreement (-1,25 to 1.25). There is strong corelation between age, weight and height to skin-epidural distance. The regression model derived from weight variable have the strongest power to predict skin-epidural distance (R value for weight, height and age based model is 92.7%, 75.9% and 57% respectively. Conclusion : The Bosenberg prediction formula of 1 mm/kg of body weight is not accurate to predict skin-epidural distance in Malayan pediatric population. There is relationship between age, height, and weight to skin-epidural distance in Malayan pediatric patient.
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Sumaratih
Abstrak :
Penggunaan propofol semakin populer untuk sedasi selama tindakan endoskopi saluran cerna. Selain dengan bolus berkala, akhir-akhir ini telah tersedia pemberian propofol teknik target-controlled infusion (TCI). Teknik tersebut mungkin lebih menguntungkan karena dosisnya lebih efisien, efek samping yang lebih rendah dan waktu pulih yang lebih cepat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keluaran antara pemberian propofol teknik bolus berkala dengan TCI pada tindakan endoskopi saluran cerna. Keluaran yang diteliti adalah dosis total propofol, konsumsi permenit, biaya total, efek samping dan waktu pulih. METODE: Lima puluh pasien (bolus, n=25, TCI, n=25), ASA I-III, usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2 dirandomisasi untuk mendapatkan sedasi dengan pemberian propofol bolus berkala (IB) atau target-controlled infusion (TCI) setelah dipremedikasi fentanil 1 µg/kgBB. Pasien kelompok bolus mendapatkan dosis propofol awal 1mg/kgBB dan tambahan 0.3 mg/kgBB hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pasien kelompok TCI menggunakan aplikasi rumusan Scnider dan mendapatkan dosis konsentrasi effect-site (Ce) 3 µg/ml yang kemudian dinaikkan atau diturunkan 0.5 µg/ml hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pemantauan dilakukan pada tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dosis propofol, kedalaman sedasi dan waktu pulih. HASIL: Durasi tindakan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p=0.718). Dosis total propofol, konsumsi permenit dan biaya total lebih besar pada kelompok TCI (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Pada kedua kelompok hipotensi, desaturasi dan waktu pulih tidak berbeda bermakna (p=0.248, p=0.609, p=0,33). SIMPULAN: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian propofol teknik bolus berkala lebih efisien pada dosis total, konsumsi permenit dan biaya total dibandingkan TCI. Angka kejadian hipotensi dan desaturasi serta waktu pulih sebanding pada kedua kelompok. ...... Propofol has become increasingly popular for sedation during gastrointestinal endoscopic procedure. Beside intermittent bolus, recently targetcontrolled infusion (TCI ) technic has become available for administration of propofol. It has been suggested that these device may offer advantages by efficient doses, lower side effect and faster recovery time. This study aims to compare the outcome of propofol administration technic via intermittent bolus and TCI in gastrointestinal endoscopic procedures. The outcomes investigated were propofol total dose and minute consumption, total cost, side effect and recovery time. METHODS: Fifty patients (bolus, n= 25, TCI, n=25), ASA physical status I-III, aged 18- 65 years, BMI 18-30 kg/m2 were randomly assigned to receive intermittent bolus administration (IB) or target-controlled infusion (TCI) of propofol sedation after premedication 1 µg/kgBB of fentanyl. Patients in the bolus grup received an initial propofol dose 1 mg/kgBB and additional 0.3 mg/kgBB until IOC value 45-60 is reached. Patients in the TCI group received initial concentration effect-site (Ce) 3 µg/ml using Schnider pharmacokinetic model, and then either increased or decreased 0.5 µg/ml until IOC value 45-60 is reached. Vital signs, oxygen saturation, propofol dose, sedation deepth and the recovery time were evaluated. RESULTS: Procedure duration time between two groups were not significantly different (p=0.718). Propofol total dose and minute consumption and total cost are higher in TCI group (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Hypotension, desaturation and recovery time were not significantly different (p=0.248, p=0.609, p=0,33) in both groups. CONCLUSION: Our result suggest that IB technic was more efficient for total dose, minute consumption and total cost than TCI. Hypotension, desaturation and recovery time profiles were comparable between two groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58553
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kambey, Barry Immanuel
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Pemasangan kateter vena sentral (CVC) merupakan suatu tindakan yang cukup rutin dilakukan dalam lingkungan perawatan intensif maupun peri-operatif. Diperlukan suatu metode atau rumus sederhana dan akurat untuk memperkirakan kedalaman kateter CVC yang tepat. Tujuan : Mengevaluasi posisi dan kedalaman kateter vena sentral dengan menggunakan rumus Peres ([tinggi badan/10]-2) dan pengukuran topografi anatomi, serta menilai insiden malposisi pada pemasangan CVC. Metode : Penelitian ini merupakan studi observasional analitik. Lima puluh pasien yang menjalani pemasangan kateter vena sentral (CVC) dengan pendekatan vena subklavia kanan dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok Rumus Peres ([tinggi badan/10]-2) dan kelompok Pengukuran Topografi Anatomi. Hasil perhitungan prediksi dipakai untuk menentukan batas fiksasi kulit. Kedalaman CVC dievaluasi dengan mengukur jarak antara ujung distal kateter CVC dengan karina pada radiografi dada. Hasil pengukuran tersebut dianalisis dengan uji statistik Bland Altman. Hasil : Karakteristik pada kedua kelompok adalah sama. Dari uji statistik didapatkan pada kelompok Rumus Peres rerata jarak antara karina dengan ujung distal kateter CVC adalah sebesar 1,5 cm dibawah karina (IC 95% 1,2 sampai 1,9 cm) limit agreement 0,0 sampai 3,0 cm, sedangkan rerata jarak pada kelompok pengukuran topografi anatomi sebesar 0,85 cm (IC 95% 0,5 sampai 1,1 cm) limit of agreement -0,5 sampai 2,2 cm. Pada penelitian ini insiden malposisi ditemukan sama pada kedua kelompok (masing-masing 3 insiden). Simpulan : Rumus Peres dan Pengukuran Topografi Anatomi tidak tepat dalam memprediksi kedalaman kateter CVC pada orang Indonesia. Kata kunci. Kateter vena sentral (CVC), subklavia kanan, metode prediksi, rumus Peres, topografi anatomi.
ABSTRACT
Background: The central venous catheter (CVC) insertion is a routine in either intensive care or perioperatively circumstances. Simple and accuracy method or rule are needed to predict the optimum depth of Aim : Evaluating the position and depth of central venous catheters by using the formula Peres ([height / 10] -2) and Landmark measurement, as well as assessing the incidence of malposition of the installation of CVC Method: This research is an analytic observational study. Fifty patients undergoing central venous catheter (CVC) with the right subclavian vein approach is divided into two groups: Formula Peres ([height / 10] -2) and Anatomy Topography Measurement group. The results of the calculations used to determine the boundary prediction skin fixation. CVC depth was evaluated by measuring the distance between the distal end of the catheter CVC with karina on chest radiographs. The measurement results were analyzed by statistical tests Bland Altman. Result: The patients characteristic are equal in both groups. In Peres Group we found that the mean of the distal CVC is 1,5 (0,82) cm under carina (IC 95% 1,2 to 1,9 cm), with the limit of agreement 0,0 cm to 3,0 cm, and the means of landmark groups is 0,85 (0,73) cm (IC 95% 0,5 to 1,1 cm) with limit of agreement - 0.5 cm to 2,2 cm. The incidence of malposition was found similar in both groups. Conclusion: The result shows that both prediction methods are not accurate to predict the depth of CVC insertion in Indonesian people. Keywords: Central venous catheter (CVC), right subclavian, prediction methods, Pere?s formula, landmarks.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bondan Irtani Cahyadi
Abstrak :
Latar belakang: Aritmia jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada operasi jantung. Stroke merupakan komplikasi penting dari fibrilasi atrial pascaoperasi (FAPO). Lama rawat di rumah sakit bertambah dengan adanya FAPO. Terapi medikamentosa yang sudah ada untuk penanganan FAPO belum memuaskan hasilnya. Neuromodulasi saraf vagus menggunakan Transcutaneous Vagus Nerve Stimulation (TVNS) berpotensi untuk mengurangi FAPO dan inflamasi pascaoperasi jantung sehingga layak untuk diteliti.
Metodologi: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal yang dilakukan terhadap pasien dewasa yang menjalani operasi jantung pintas koroner dan katup elektif di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang pada bulan April-Juli 2023. Sebanyak 66 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi dua kelompok secara tersamar. Kelompok pertama mendapat perlakuan TVNS dan kelompok kedua sham TVNS. Perekaman dan pengamatan EKG kontinyu selama 3 hari pasca operasi dan kadar IL-6 diukur 24 jam praoperasi dan 72 jam pascaoperasi. Uji statistik menggunakan Chi Square dan Mann Whitney.
Hasil penelitian: Pada luaran primer, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna durasi per episode FAPO (p=0,069) dan peningkatan kadar IL-6 pascaoperasi (p=0,64) pada kelompok TVNS dan sham TVNS. Demikian juga pada luaran sekunder, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada durasi awal tanpa terapi standar fibrilasi atrial (p=0,64), kebutuhan vasopressor inotropik (p = 0,517 dan 0,619) dan beban fibrilasi atrial (p=0,07).
Kesimpulan: TVNS tidak memberikan perbedaan bermakna pada durasi per episode FAPO dan derajat inflamasi pascaoperasi bedah jantung dewasa. ......Background: Postoperative arrhythmia is a frequent complication in cardiac surgery. Stroke is an important complication of postoperative atrial fibrillation (POAF). The length of hospital stay increases with POAF. Existing medical therapy for POAF has not shown satisfactory results. Vagus nerve neuromodulation using Transcutaneous Vagus Nerve Stimulation (TVNS) has a potential effect to reduce FAPO and inflammation after cardiac surgery, so it is beneficial to study.
Methodology: This study was a single-blind randomized control trial conducted on adult patients undergoing elective coronary bypass graft and heart valve surgery at Dr. Kariadi General Hospital in April-July 2023. A total of 66 subjects who met the inclusion criteria were randomly divided into two groups in a blinded manner. The first group received TVNS treatment and the second group received sham TVNS. Continuous ECG recording and reading for 3 days after surgery and IL-6 levels were measured 24 hours preoperatively and 72 hours postoperatively. Statistical analysis using Chi-Square and Mann-Whitney test.
Results: In the primary outcome, there was no significant difference in duration per episode of POAF (p=0.069) and the increase of postoperative IL-6 levels (p=0.64) in the TVNS and sham TVNS groups. Similarly in secondary outcomes, there were no significant differences in the initial duration without standard therapy of atrial fibrillation (p=0.64), the need for inotropic vasopressors (p = 0,517 and 0,619), and the burden of atrial fibrillation (p=0.07).
Conclusion: No significant difference in the duration per episode of FAPO and the degree of inflammation after adult cardiac surgery with TVNS treatment.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Nugroho
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Pemasangan sungkup laring tanpa menggunakan obat pelumpuh otot membutuhkan tingkat kedalaman anestesia yang cukup untuk mendepresi refleks jalan napas sehingga menghindari tersedak, batuk dan laryngospasm. Tes klinis yang mudah, akurat dan aplikatif diperlukan untuk menghindari terjadinya komplikasi seperti di atas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui keefektivan trapezius squeezing test sebagai indikator kedalaman anestesia saat pemasangan sungkup laring dihubungkan dengan Bispectral Index. Metode : Setelah lolos kaji etik dan mendapatkan persetujuan klinik, 105 pasien ASA 1-2 dilakukan pemasangan sungkup laring dengan trapezius squeezing test sebagai prediktor kedalaman anestesia. Semua pasien mendapatkan premedikasi midazolam 0,05mg/kgBB dan fentanyl 1 mcg/kgBB. Induksi dilakukan dengan propofol titrasi, dengan kedalaman anestesia diukur dengan trapezius squeezing test. Pemasangan sungkup laring dilakukan bila trapezius squeezing test negatif. Dicatat keberhasilan pemasangan sungkup laring. Tekanan darah, laju nadi dan nilai Bispectral Index juga didokumentasikan. Hasil : Sungkup laring berhasil dipasang pada 88 pasien sedangkan 14 pasien gagal dilakukan pemasangan sungkup laring walaupun trapezius squeezing test negatif. Nilai median Bispectral Index saat trapezius squeezing test negatif adalah 35. Kesimpulan : Trapezius squeezing test merupakan indikator klinis yang dapat diandalkan untuk menilai kedalaman anestesia saat pemasangan sungkup laring.
ABSTRACT
Background : Laryngeal mask insertion without using muscle relaxant requires a level of depth of anesthesia sufficient to depress airway reflexes to avoid choking, coughing and laryngospasm. Easy, accurate and applicable clinical tests are required to avoid complications as above. The purpose of this study was to determine the effectiveness of the trapezius squeezing test as an indicator of the depth of anesthesia when inserting laryngeal mask airway associated with Bispectral Index. Methods : After ethical clearance and receive informed consent, 105 ASA 1-2 patients were done laryngeal mask insertion with trapezius squeezing test as a predictor of anesthesia depth. All the patient were receive premedication midazolam 0,05 mg/kg and fentanyl 1 mcg/kg. Induction were done by propofol titration with anesthesia depth is measured by trapezius squeezing test. Laryngeal mask were inserted when trapezius squeezing test negative. The successful of laryngeal mask insertion was recorded. Blood pressure, pulse rate and Bispectral Index score were also documented. Result :Larygeal mask successfully inserted in 88 patients while 14 patients failed despite the negative results of trapezius squeezing test. The median score of Bispectral Index when trapezius squeezing test negatif was 35. Conclusion : Trapezius squeezing test is a reliable clinical indicator to assess the depth of anesthesia during laryngeal mask insertion.
2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Rahmatisa
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Nitrous oxide merupakan gas anestesia inhalasi yang sering ditambahkan pada saat induksi anestesia inhalasi pada anak. Kontroversi penggunaan N2O sendiri masih ada hingga saat ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan laju induksi anestesia, respons hemodinamik, dan komplikasi yang timbul selama menggunakan N2O saat induksi inhalasi anestesia pada pasien anak. Metode. Delapan puluh orang anak usia 1-5 tahun ASA 1 dan 2 yang menjalani anestesia umum, dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan secara acak. Kelompok A sevofluran 8 vol% ditambah oksigen, dan kelompok B sevofluran ditambah oksigen dan N2O 50%. Hasil utama yang diukur adalah laju induksi, dan hasil lainnya adalah respons laju nadi, tekanan darah sistolik, diastolik, serta insidens komplikasi desaturasi, eksitasi, laringospasme, dan breath holding.. Hasil. Laju induksi kelompok B yaitu 35+8.13 detik, lebih cepat dibandingkan kelompok A yaitu. 54.12+5.89 detik Respons laju nadi, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok. Insidens komplikasi desaturasi dan laringospasme tidak terjadi pada penelitian ini. Eksitasi terjadi lebih sedikit pada kelompok B yaitu 10.3% dibandingkan 26.8% pada kelompok A, namun tidak bermakna secara statistik. Breath holding terjadi pada 2 orang (4.9%) di kelompok A, dan tidak terjadi di kelompok B, insidens breath holding tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Kesimpulan. Laju induksi inhalasi pada anak menggunakan sevofluran ditambah oksigen dan N2O lebih cepat dibandingkan tanpa N2O Respons hemodinamik dan insidens komplikasi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.
ABSTRACT
Background. Nitrous oxide is an anesthetic agent that are often added during inhalation induction of anesthesia in pediatric patients. Controversy over the use of N2O is still there to this day. The purpose of this study was to determine differences in the induction time of anesthesia, hemodynamic response, and the complications that arise during the use of N2O inhalation induction of anesthesia in pediatric. Methods. Eighty children aged 1-5 years old ASA 1 and 2 who underwent general anesthesia, were divided into 2 treatment groups at random. Group A was 8 vol% sevoflurane plus oxygen, and group B was oxygen plus sevoflurane and 50% N2O. We measured the induction time, hemodynamic response heart rate, systolic and diastolic blood pressure, and also the incidence of complications desaturation, excitation, laryngospasm, and breath holding. Result. Induction time of group B was 35+8.13 seconds, faster than group A 54.12 +5.89 seconds. The response of heart rate, systolic blood and diastolic blood pressure was not significantly different between the two groups. Desaturation and laryngospasm did not occur in this study. Excitation occurs less in group B that was 10.3% compared to 26.8% in group A, but that was not statistically significant. Breath holding occurred in 2 patients (4.9%) in group A, and did not occur in group B, breath holding incidence also did not differ significantly between the two groups. Conclusion. Inhalation induction time in children using sevoflurane, oxygen and N2O was faster, than without N2O. Hemodynamic response and the incidence of complications was not significantly different between groups.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julian Fitra
Abstrak :
ABSTRAK
LatarBelakang: Menentukan prediktor yang paling akurat dalam menilai sulitvisualisasi laring(DVL) dengan menggunakan skor mallampati (MMT) , Jarak sternomental(SMD) dan jarak buka mulut(IIG), baik secara tunggal maupun dalam kombinasi. Metode: Sebanyak 283 pasien ikut serta dalam penelitian dan dievaluasi kemungkinan mereka mengalami sulit visualisasi laring. Kesulitan visualisasi laring dinilai dengan laringoskopi langsung berdasarkan klasifikasi Cormack Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV ditentukan sebagai sulit visualisasi laring. Kondisi ini juga diperkirakan dengan menggunakan prediktor jalan napas, yaitu MMT, SMD dan IIG. Titik potong untuk masing-masing prediktor adalah skor Mallampati III dan IV, ≤ 12,5 cm, dan ≤ 3 cm. Selanjutnya, ditentukan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif serta nilai area di bawah kurva (AUC) dari setiap prediktor tersebut, baik secara tunggal maupun dalam kombinasi. Prediktor independen DVL ditentukan dengan melakukan analisis regresi logistik. Hasil: Sulit visualisasi laring ditemukan pada 29 (10,2%) subyek penelitian. Nilai sensitivitas, spesifisitas, prediksi positif dan luas AUC prediktor jalan napas adalah: MMT (20,8%; 99,7%; 71,4%; 68%), SMD (72,4%; 97,2%; 75%; 88%), dan IIG (41,4%; 99,4%; 85,7%; 73%). Penelitian kami menunjukkan bahwa kombinasi prediktor terbaik adalah gabungan prediktor SMD + IIG. Kombinasi tiga prediktor MMT + SMD + IIG ternyata menunjukkan nilai AUC yang sama dengan kombinasi dua prediktor SMD + IIG. Kesimpulan: Penelitian ini menganjurkan gabungan prediktor IIG + SMD sebagai model diagnostik yang optimal untuk memperkirakan sulit visualisasi laring pada populasi ras Melayu di Indonesia.
ABSTRAK
Background: To determine the most accurate predictor in evaluating difficult visualization of larynx (DVL) using indicators of modified mallampati test (MMT), sternomental distance (SMD) and inter incisor gap (IIG), either in isolation or in combination. Methods: Two hundred eighty three patients were participated in the study and evaluated for their possibility of having DVL. The difficulty of larynx visualization was evaluated using direct laryngoscopy based on grading of the Cormack and Lehane (CL) classification. The CL grades III and IV were considered as difficult visualization of larynx. DVL was also predicted using the airway predictors of MMT, SMD and IIG. The cut-off points for the airway predictors were Mallampati III and IV; ≤ 12,5 cm, and ≤ 3 cm, respectively. Moreover, sensitivity, specificity, positive and negative predictive value and area under the curve (AUC) of each predictor were determined, either in isolation or in combination. Independent predictors of DVL were determined using logistic regression analysis. Results: Difficulty to visualize the larynx was found in 29 (10.2%) subjects. The sensitivity, specificity, positive predictive value and AUC for the airway predictors were: MMT (20.8%; 99.7%; 71.4%; 68%), SMD (72.4%; 97.2%; 75%; 88%), and IIG (41.4%; 99.4%; 85.7%; 73%). The best combination of predictors was SMD + IIG with an AUC of 90.2%. Triple combination of MMT + SMD + IIG showed the same value of AUC with combination of two predictors, SMD + IIG. Conclusion: This study suggests the combination of IIG + SMD predictors as the optimal diagnostic model to predict DVL in a Malay race population in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Norman Rabker Jefrey Tuhulele
Abstrak :
Latar Belakang: Sedasi yang efektif adalah terjaganya kedalaman sedasi dan analgesia serta mengendalikan pergerakan pasien selama prosedur ERCP berlangsung. Propofol merupakan obat anestetik sedasi yang tidak memiliki efek analgesia dan memiliki efek depresi kardiovaskular dan respirasi yang tergantung dosis. Penambahan ketamin dosis kecil diharapkan dapat menurunkan kebutuhan dosis propofol dalam mempertahankan kedalaman sedasi dan analgesia serta kestabilan hemodinamik dan respirasi. Penelitian ini akan membandingkan keefektifan sedasi antara campuran ketamin dan propofol (ketofol) konsentrasi 1:4, dan propofol - fentanil pada prosedur ERCP. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda pada 36 pasien yang menjalani prosedur ERCP, dengan usia 18-60 tahun, ASA I-III, BMI 18-30 kg/m 2, yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok KF (n=18) dan kelompok PF (n=18). Kedua kelompok obat menggunakan metode infus kontinyu dengan syringe pump. Kedalaman sedasi diukur dengan menggunakan Ramsay Sedation Scale (RSS). Hasil: Dari hasil penelitian didapatkan rerata konsumsi propofol permenit kelompok campuran ketamin propofol (ketofol) ( 93,71±11,82) lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan kelompok propofol fentanil (141,18±19,23) (p<0.05). Jumlah median kebutuhan fentanil pada kelompok ketofol ( 0,00(0-25)) lebih rendah bermakna dibandingkan kelompok propofol fentanil (25,00 (25-50)) (p<0.05). Mula kerja dan waktu pulih pada kelompok propofol fentanil (3,00(2-4)) dan (5,00(2-15)) lebih cepat dibandingkan kelompok ketofol (4,50(2-5)) dan (15,00 (5-20)) (p<0.05). Kejadian hipotensi pada kelompok ketofol 1,00 (5,56%) tidak berbeda bermakna secara statistik dengan kelompok propofol fentanil 3 (16,67%) (p=0,603). Tidak didapatkan kejadian desaturasi dan mual/muntah pada kedua kelompok. Kesimpulan: Campuran ketamin propofol (ketofol) efektif dalam menjaga kedalaman sedasi dan analgesia serta memiliki efek samping yang minimal. ...... Background: The effectiveness of sedation is the ability of the drugs to maintain the depth of sedation and analgesia as well as to control the patient movement during the ERCP procedure. Propofol is a sedation agent that has no analgesia effect and has cardiovascular and respiratory depressant effect which is dose dependent. The addition of small dose of ketamin is expected to reduce the dose required to maintain hemodinamic and respiratory stability. This study will compare the effectiveness of sedation between the used of 1:4 of ketamin propofol mixtures (ketofol) and propofol fentanyl in ERCP procedure. Methods: This study is a double blind randomised clinical trial in 36 patients who underwent ERCP procedure, aged 18-60 y.o, ASA I-III, BMI 18-30 kg / m2, which is divided into two groups: KF (n = 18) and the PF group (n = 18). Both group is using continuous syringe pump infusion. The depth of sedation was measured by using Ramsay Sedation Scale (RSS). Results: From the results, the average consumption of propofol per minute of group propofol ketamine mixtures (ketofol) (93.71 ± 11.82) was significantly lower than fentanyl propofol group (141.18 ± 19.23) (p <0.05). The median fentanyl consumption of ketofol group (0.00 (0- 25)) was significantly lower than fentanyl propofol group (25.00 (25-50)) (p <0.05). The onset and the time to recover in fentanyl propofol group (3.00 (2-4)) and (5.00 (2-15)) were faster than ketofol group (4.50 (2-5)) and (15.00 (5-20)) (p <0.05). The incidence of hypotension in group ketofol 1.00 (5.56%) was not significantly different from fentanyl propofol group 3 (16.67%) (p = 0.603). There were no desaturation events or nausea/vomiting in both groups. Conclusion: The mixture of ketamine propofol (ketofol) is effective in maintaining the depth of sedation and analgesia and has minimal side effects.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55722
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>