Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fiananda Lituhayu Narendragharini
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas verba pronominal yang terdapat pada subtitle sepuluh
film pendek dalam film antologi Paris, Je T’aime. Verba pronominal bahasa
Prancis yang memiliki empat makna (makna refleksif, resiprokal, pasif, dan
makna sebenarnya) dianalisis dengan menggunakan teori verba pronominal
bahasa Prancis dari Jean Dubois, teori verba bahasa Indonesia dari Harimurti
Kridalaksana, dan teori subtitling dari Gottlieb. Setelah itu, dilihat pula pergeseran
yang terjadi dan probabilitas perpadanan yang muncul dalam penerjemahan
subtitle tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam sepuluh film pendek
ini, sebagian besar makna gramatikal verba pronominal tampak dalam
padanannya yang bermakna resiprokal dan pasif, tetapi tidak demikian halnya
dengan verba pronominal bermakna refleksif. Sementara itu, untuk verba
pronominal bermakna sebenarnya, padanan yang dihasilkan dalam bahasa sasaran
sebagian besar berhasil diterjemahkan dengan baik.

ABSTRACT
This research studies the pronominal verbs contained in the subtitle of ten short
films in the anthology film Paris, Je T’aime. French pronominal verbs that have
four meanings (reflexive, reciprocal, passive, and idiomatic verbs) were analyzed
by using the theory of French pronominal verbs by Jean Dubois, theory of
Indonesian verbs by Harimurti Kridalaksana, and theory of subtitling by Gottlieb.
In addition, I also look for the translation shift and the equivalence probability
that appear in the subtitle translation. The result shows that in these ten short
films, most of grammatical meanings in pronominal verbs are seen in the
translations of reciprocal and passive meaning, but not in reflexive meaning.
Meanwhile, for idiomatic meaning, the translations in target language are properly
translated."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S54627
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savira Krisdianti Pramuditha
"l’Ecriture inclusive merupakan bentuk penulisan bahasa Prancis yang disarankan oleh Haut Conseil d’Egalite (HCE 2015) yang bertujuan untuk menghindari diskriminasi gender yang terutama dirasakan oleh kaum perempuan karena adanya konotasi negatif terhadap nama jabatan bentuk feminin serta adanya konsep le masculin l’emporte sur le féminin (maskulin mendominasi feminin) dalam aturan tata bahasa Prancis. Hal ini memunculkan perdebatan sejak Hatier, kantor penerbit buku ajar sekolah dasar memutuskan untuk menerapkan l’ecriture inclusive dalam buku ajarnya (2017). Dalam perdebatan tersebut, terlihat adanya keterlibatan media dalam membentuk opini publik terhadap permasalahan ini. Artikel ini bertujuan untuk menentukan posisi diri media Prancis terhadap fenomena l’ecriture inclusive melalui cara penulisan dan pemilihan kata dalam artikel-artikel yang diterbitkannya. Dengan menerapkan metode kualitatif, kajian ini didasari oleh teori morfologi Grevisse (2007) dan aturan-aturan l’ecriture inclusive yang dipaparkan oleh HCE (2015). Melalui analisis, ditemukan bahwa penggunaan l’ecriture inclusive dalam media bukanlah perwujudan pengaruh orientasi politik, melainkan sebuah karakteristik media contrariant (oposisi). Penerapan l’ecriture inclusive yang tidak diterapkan secara keseluruhan menunjukkan bahwa media tetap mengutamakan unsur komunikatif untuk memudahkan penyampaian informasi kepada pembaca. Selain itu, tidak diterapkannya l’ecriture inclusive dalam judul adalah untuk mempermudah pencarian artikel melalui mesin pencari web

l’Ecriture inclusive is a form of French writing suggested by Haut Conseil d’Egalite (HCE 2015) which aims to avoid gender discrimination mainly felt by women due to the negative connotations of feminine job titles as well as the concept of le masculin l’emporte sur le feminin (the masculine dominates feminine) in French grammar. This has sparked debates since Hatier, a publisher of primary school textbooks, decided to apply l’ecriture inclusive in its textbook (2017). In the debates, the media involvements in shaping public opinion on this issue were seen. This study aims to determine the position of French media towards the l’ecriture inclusive phenomenon through the writings and rhetoric in the articles they published. Using qualitative methods, the study is conducted based on Grevisse's morphological theory (2007) and the rules of l’ecriture inclusive presented by HCE (2015). The results show that the use of l’ecriture inclusive in the media was not a form of impact by political orientations, rather a characteristic of the contrariant (opposition) media. The partial application of l’ecriture inclusive shows that the medias still prioritize the communicative elements for the ease of information transmission to readers. In addition, the absence of l’ecriture inclusive in the headlines is to make searches of articles through web search engines easier"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melpa Tresia
"Mariage Pour Tous (MPT) diatur dalam undang-undang pernikahan di Prancis yang memperbolehkan pernikahan bagi pasangan heteroseksual dan homoseksual di Prancis. Pada masa kampanye kepresidenan François Hollande, rencana untuk melegalkan pernikahan sesama jenis adalah salah satu janji yang memicu gerakan untuk melakukan aksi kolektif. Gerakan sosial pendukung pernikahan sesama jenis merupakan contoh dari gerakan sosial baru. Hal tersebut dapat dilihat dari motif dan isu yang disuarakan berkaitan dengan hak-hak sipil di dalam lingkup sosial.  Usaha yang dilakukan oleh gerakan sosial untuk menuntut persamaan hak sipil sudah dilakukan sejak dikeluarkannya Pacte Civil de Solidarité (PACS) pada tahun 1999, tetapi janji kampanye Hollande menjadi pemicu gerakan sosial untuk melakukan aksi kolektif. Segala tindakan yang dilakukan oleh gerakan sosial baru maupun elit politik merupakan bentuk dari komunikasi gerakan kolektif.
Peran yang dilakukan gerakan sosial baru dibagi menjadi tiga bahasan yaitu, advokasi terhadap wacana pernikahan sesama jenis,  menetapkan wacana pernikahan sesama jenis dalam kehidupan politik Prancis, dan aktivitas rutin tahunan gerakan sosial baru. Melalui analisis gerakan sosial baru dan teori aksi gerakan kolektif maka  konsep identitas kolektif, solidaritas, dan komitmen menjadi standar pengukur aksi yang dilakukan oleh gerakan sosial baru. Melalui analisis menggunakan teori tersebut ditemukan peran  paling efektif yang dilakukan oleh gerakan sosial dalam mendukung disahkannya MPT  di Prancis yaitu,  melakukan advokasi terhadap wacana pernikahan sesama jenis setelah Hollande resmi menyampaikan dalam kampanye kepresidenan.

Mariage Pour Tous (MPT) is regulated by a French marriage law that allows marriage for both heterosexual and homosexual couples in France. During François Hollande's presidential campaign, the plan to legalize same-sex marriage was one of the promises that sparked a movement for collective action. The social movement for same-sex marriage is an example of a new social movement. This can be seen from the motives and issues voiced in relation to civil rights in the social sphere. Attempts by social movements to demand equal civil rights have been carried out since the issuance of the Pacte Civil de Solidarity (PACS) in 1999, but Hollande's campaign promises have become a trigger for social movements to take collective action. All actions taken by new social movements and political elites are a form of collective movement communication.
The role played by the new social movement is divided into three topics these are, advocating for same-sex marriage discourse, establishing same-sex marriage discourse in French political life, and the annual routine activities of new social movements. Through the analysis of new social movements and the theory of collective movement action, the concepts of collective identity, solidarity, and commitment become the standard measures of action taken by new social movements. Through analysis using this theory, it was found that the most effective role played by social movements in supporting the legalization of the MPT in France, was advocating for the same-sex marriage discourse after Hollande officially delivered it in the presidential campaign.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arifuddin
"Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 berimplikasi pada adanya tafsir konstitusional pengelolaan hulu minyak dan gas bumi di Indonesia yakni pada pelaksanaan konsep kepenguasaan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis realitas dan implikasi pelaksanaan sistem fiskal dan kelembagaan pengelola hulu minyak dan gas bumi yang sesuai dengan amanat konstitusi. Penelitian ini menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif. Penggunaan metode kualitatif dilakukan untuk melihat bagaimana realitas pelaksanaan sistem fiskal dan kelembagaan pengelola terhadap penerimaan negara dengan teknik analisis deskriptif. Sementara penggunaan metode kuantitatif terbatas untuk membandingkan bagaimana komposisi penerimaan negara dan kontraktor atas penerapan sistem kontrak bagi hasil gross split dan cost recovery dengan teknik analisis regresi berganda.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem kontrak bagi hasil KBH adalah sistem fiskal yang mampu menerjemahkan konsep kepenguasaan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Dalam pelaksanaan sistem KBH Cost Recovery, pemerintah rata-rata mendapatkan komposisi 55,96 persen dari total penerimaan minyak dan gas bumi. Pada tahun 2016, komposisi penerimaan pemerintah adalah sebesar 38,41 persen. Berdasarkan analisis data historis dan proyeksi minyak bumi, komposisi penerimaan pemerintah dan kontraktor tidak berbeda jauh jika menggunakan sistem KBH gross split dimana rentang penerimaan pemerintah adalah 41 - 42 persen sementara kontraktor sebesar 57 - 58 persen dari total penerimaan minyak dan gas bumi. Kelembagaan pengelola yang memiliki risiko fiskal paling rendah adalah berbentuk badan usaha khusus sebab pemerintah tidak menjadi pihak peserta kontrak.

The Constitutional Court 39 s decision on the judicial review of Law Number 22 2001 has impacted to the constitutional interpretation of upstream oil and gas management in Indonesia, namely on the concept of state control and the greatest prosperity of the people. This study aims to analyze the reality and implications of the implementation of the fiscal system and management body of upstream oil and natural gas in accordance with the mandate of the constitution. This research combines qualitative and quantitative methods. The use of qualitative methods is conducted to see how the implementing of the fiscal system and management body to state revenues by descriptive analysis techniques. The use of quantitative methods is limited to compare how the composition of state revenue and contractors on the implementation of gross split and cost recovery production sharing contract with multiple regression analysis techniques.
This study concludes that the production sharing contract PSC is a fiscal system capable for translating the concept of state control and the maximum prosperity of the people as mandated by the constitution. In the implementation of the PSC cost recovery, the government gets average of 55.96 percent of total oil and gas revenues. In 2016, government revenues amounted to 38.41 percent. Based on analysis of historical data and projection of petroleum, government revenue and contractor does not differ much if using gross split PSC where the government revenue range is 41 42 percent while contractor equal to 57 58 percent of total oil and gas revenue. The organizational institution that has the lowest fiscal risk is in the form of a special business entity because the government is not a party to the contract.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azhar Firdaus
"ABSTRAK
Penelitian yang dipaparkan dalam tesis ini adalah mengenai hubungan
pemanfaatan sumber daya alam pesisir oleh masyarakat, korporasi, dan
pemerintah daerah di pesisir selatan Kulon Progo, Yogyakarta. Fokus
penelitian ini terletak pada hubungan pemanfaatan sumber daya alam
pesisir dari masing-masing pihak, yaitu masyarakat, korporasi, dan
pemerintah daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode studi literatur, wawancara mendalam, dan observasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perbedaan dan persamaan pada
pemanfaatan sumber daya alam pesisir terjadi di antara ketiga pihak
tersebut. Masyarakat memanfaatkan lahan pasir untuk pertanian lahan
pasir. Korporasi (PT JMI) memanfaatkan lahan pasir untuk penambangan
pasir besi, dikarenakan jumlah kandungan pasir besi yang cukup tinggi
sebagai bahan baku besi baja. Pemerintah Daerah, dalam hal ini
mendukung kegiatan penambangan pasir besi dan pertanian lahan pasir.
Hal ini dikarenakan dapat meningkatkan APBD, mensejahterakan
masyarakat pesisir, dan melestarikan lingkungan. Namun, rencana
penambangan pasir besi yang dilakukan oleh Korporasi (PT JMI) dan
pemerintah daerah ini tidak berjalan dengan lancar. Menurut mereka,
selama ini kegiatan penambangan merusak lingkungan dan tidak
mensejahterakan masyarakat. Sedangkan, persamaan antara ketiga
pandangan tersebut adalah mengutamakan pertanian lahan pasir, wilayah
cagar alam dan pengembangan masyarakat pesisir. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka dilakukan empat proses minimsasi masalah.
Proses ini mencakup empat aspek, yaitu aspek ekonomi terpenuhi, yaitu
penyerapan tenaga kerja dan ganti rugi lahan, aspek sosial dari
perubahan gaya hidup terpenuhi, aspek lingkungan dengan penambangan
ramah lingkungan, dan pengelolaan teknologi tambang. Keempat aspek
tersebut sebagai rumusan yang bertujuan untuk mencapai keselarasan
(harmony) dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

ABSTRACT
The research presented in this thesis is about the relationship to the
utilization of the coastal natural resources among the community, the
corporation, and the local governments in the South Coastal Areas of
Kulon Progo, Yogyakarta. The focus of this research lies in the relationship
to the utilization of the coastal natural resources for each party, i.e. the
community, the corporations, and the local governments. This research
was carried out by applying a qualitative approach by undertaking
literature studies, in-depth interviews, and observation. The result of this
research shows that the difference of utilization of the coastal natural
resources indeed occurs among the three parties. The people utilize the
sand field for agriculture. The corporation utilizes the sand field for iron
sand mining because of the high amount of sand iron in the area that can
be used as the raw material to make steels. The local government
supports the iron sand mining and sand land for agriculture. Because it is
considered to be able to increase the Local Income and Expense Budget
as well as the level of prosperity in the commnuty, and sustainable
environment. However, the plan to conduct this iron sand mining by the
corporation and the local goverments does not go smoothly. The mining
always causes destruction to the environment and does not bring
prosperity to the community. Besides, the similarity of the utilization of
natural resources is prioritized farmer, sanctuary, and community
development for coastal communities. Considering this, the minimisation
problem should be based on the environmetal problem solving principles.
The principles include four aspects, namely economic aspects, social
aspects for lifestyle changes, environmental aspects with green mining,
and mine management. These four aspects aim to achieve a harmony for
a sustainable development."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T39064
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library