Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salsabila Siliwangi Surtiwa
"

Fungsi advisory adalah salah satu fungsi yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional sebagai organ utama PBB. Terdapat perkembangan untuk membahas pertanyaan hukum yang terkait sengketa berjalan melalui fungsi advisory meski memiliki karakteristik contentious. Perbedaan antara dua fungsi ini adalah signfikansi dari prinsip state consent sebagai landasan. Terdapat dua pandangan bertentangan terkait kedudukan prinsip state consent dalam advisory opinion terkait sengketa berjalan. Pandangan pro state consent menekankan pada kaitannya dengan prinsip international obligation, compliance, dan prinsip yudisial dengan karakteristik serupa yakni res judicata dan lis pendens. Di sisi lain, pandangan yang mengesampingkan state consent menegaskan pada urgensi pada isu tertentu yang berkaitan dengan tujuan PBB sebagai organisasi, salah satunya mengenai isu dekolonialisasi dan pendapat Mahkamah Internasional sebelumnya bahwa state consent tidak dibutuhkan dalam yurisdiksi advisory. Setelah melakukan penelitian dengan metode studi pustaka, dapat disimpulkan bahwa pembahasan suatu sengketa berjalan dalam advisory opinion harus dilihat secara kasus per kasus, dari perumusan pertanyaan hukum yang diajukan, ada tidaknya isu terkait perdamaian dan keamanan dunia, serta keanggotaan dari negara pihak dalam PBB, untuk dapat menentukan dicederainya prinsip state consent. Dalam Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965, terdapat isu dekolonialisasi yang belum terselesaikan karena terdapat pemisahan paksa antara Kepulauan Chagos dengan Mauritius. Selain itu, Mauritius dan Inggris Raya merupakan anggota PBB, yang mana artinya telah memberikan state consent fondasional terhadap yurisdiksi Mahkamah Internasional. Adapun saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya ketentuan lebih mendetail bagi pelaksanaan fungsi advisory opinion, terutama dalam hal pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan sengketa berjalan.

 


The advisory function is one of the functions upheld by the International Court of Justice (ICJ) as one of the principle organs of the United Nations (UN). There is a trend to discuss legal questions related to pending disputes through the advisory function despite having contentious characteristics, where the two functions share different significance of the principle of state consent. The pro state consent view emphasizes its relation to the principles of international obligation, compliance, and judicial principles such as res judicata and lis pendens. The opposing view refers to the mandate of UN to maintain international peace and a previous ICJ opinion which points out that state consent is not required in the advisory jurisdiction. It can be concluded that advisory opinion on pending disputes must be seen on a case-by-case basis; from the formulation of the questions, its relation to international peace, as well as the state membership to the UN, to determine the role of state consent. In the Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965, there is an unresolved issue of decolonialism due to the forced separation between the Chagos Islands and Mauritius. In addition, Mauritius and the United Kingdom are members of the UN, which means they have given their foundational state consent to the jurisdiction of the ICJ. The recommendation that can be given is the need for more detailed provisions for the implementation of the advisory opinion function, especially related to a pending dispute.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Talitha Marie Imomirara
"Adanya kemajuan dari segi teknologi di dunia pelayaran mendorong kebutuhan akan suatu instrumen hukum yang mengatur registrasi kapal sebab. Bagi negara bendera terdapat terdapat hak bagi negara untuk menetapkan syarat pemberian benderanya. Dari hak tersebut, lahirlah rezim-rezim pendaftaran kapal. Salah satu dari pendaftaran tersebut adalah pendaftaran terbuka. Pada pendaftaran terbuka dikenal praktik flag of convenience di mana suatu kapal dapat dimiliki oleh pihak asing secara semu. Karena kepemilikan ini, terdapat permasalahan dalam implementasi kontrol efektif oleh negara bendera dalam hal teknis, administratif, dan sosial sebagaimana dimuat di dalam UNCLOS. Selain itu, pada kapal berbendera flag of convenience, terdapat kekaburan pertanggungjawaban dalam hal terjadi kecelakan di laut. Penelitian ini ditulis dengan menggunakan metode yuridis normatif dan tipologi yang bersifat deskriptif analitis. Melalui penelitian ini, penulis menemukan bahwa masih terdapat permasalahan implementasi kewajiban hukum internasional ke dalam hukum nasional Panama dan Liberia sebagai negara-negara yang mempraktikkan flag of convenience, berbeda dengan Indonesia yang cenderung lengkap dalam mengadopsi ketentuan hukum internasional ke dalam hukum nasionalnya. Ditemukan pula dalam kasus-kasus kecelakaan kapal di mana pertanggungjawaban yang seharusnya dibebankan kepada pemilik kapal menjadi sulit ditentukan karena kepemilikan kapal berbendera flag of convenience. Saran dari penulis adalah perlunya peningkatan kontrol efektif oleh negara bendera yang memiliki kapal-kapal berbendera FoC melalui instrumen hukum nasional dan penghidupan kembali konsep genuine link antara kapal dengan pemilik kapal sebagaimana dirumuskan di dalam UNCLOS.

The technological advancement in the shipping world encourages the need for a legal instrument that regulates ship registration because. For flag states, there is a right for the state to determine the conditions for granting its flag. From this right, ship registration regimes were born. One of these registrations is open registration. Open registration is known as the practice of flag of convenience in which a ship can be quasi-owned by a foreign party. Because of this ownership, there are problems in implementing effective controls by the flag state in technical, administrative and social matters as contained in UNCLOS. In addition, on ships with the flag of convenience, there is a vagueness of responsibility in the event of an accident at sea. This research was written using normative juridical and typological methods that are descriptive analytical. Through this study, the authors find that there are still problems implementing international legal obligations into the national law of Panama and Liberia as countries that practice the flag of convenience, in contrast to Indonesia which tends to be complete in adopting international legal provisions into its national law. It was also found in cases of ship accidents where the responsibility that should be borne by the ship owner becomes difficult to determine because the ownership of the ship has a flag of convenience. Suggestions from the author are the need to increase effective control by flag states that own ships with the FoC flag through national legal instruments and revitalize the concept of genuine link between ships and ship owners as formulated in UNCLOS."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedict Giankana Rangkidompu Sowolino
"Kenaikan Permukaan Laut merupakan salah satu dampak dari Perubahan Iklim yang memiliki dampak tidak hanya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat pesisir, namun juga terhadap Negara Pesisir tersebut. Dampak dari Kenaikan Permukaan Laut tersebut menimbulkan pembahasan mengenai keberlangsungan dari Garis Pangkal suatu Negara, yakni apakah Garis Pangkal tersebut menyesuaikan dengan Kenaikan Permukaan Laut atau tidak. Pembahasan tersebut kemudian membuahkan pembahasan yang lebih mendalam, yakni apakah Kenaikan Permukaan Laut kemudian berdampak secara langsung kepada Perjanjian Delimitasi Maritim. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membahas mengenai bisa atau tidaknya Kenaikan Permukaan Laut dijadikan dasar untuk menerapkan Amandemen Perjanjian ataupun Rebus sic Stantibus terhadap Perjanjian Delimitasi Maritim. Tulisan ini ditulis dengan menggunakan metode penulisan hukum normatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis. Selanjutnya, temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan teori Perjanjian Internasional, Kenaikan Permukaan Laut hanya dapat dijadikan dasar Amandemen Perjanjian Delimitasi Maritim, namun tidak bisa dijadikan dasar penerapan Rebus sic Stantibus dikarenakan tidak memenuhi syarat, namun secara praktik kedua tindakan tersebut ditolak penerapannya oleh Negara-Negara.

Sea Level Rise is one of the direct impacts caused by Climate Change, in which not only does it affect the livelihood of coastal settlements, but also for the Coastal State itself. Its effects had prompted discussions regarding whether the Baselines of a Coastal State act in accordance with the Sea Level Rise, or whether they stay permanent. Said discussion also provides another, more complex, discussion, regarding whether Sea Level Rise has an immediate effect on Maritime Delimitation Agreements. This thesis aims to discuss and analyze whether Sea Level Rise may or may not be used as a means of conducting Treaty Amendment or even Rebus sic Stantibus towards established Maritime Delimitation Agreements. This thesis was written using the normative legal writing method to produce analytical descriptive data. Furthermore, this thesis concludes that, based on legal theories in the Law of Treaties Sea Level Rise may only be used as a basis for the Amendment of Maritime Delimitation Agreements and not the application of the Rebus sic Stantibus doctrine, as it does not fulfill the requirements, but in practice both actions and its application is rejected by a majority of States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randhika Pratama
"Permasalahan IUU Fishing menimbulkan respon berupa dikonvensikannya PSMA yang mengusung pendekatan port state measures dalam mencegah dan memberantas IUU Fishing. Hal ini kemudian menjadi sangat signifikan bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang industri perikanannya mengalami permasalahan IUU Fishing. Penerapan PSMA di kawasan ini kemudian menjadi penting untuk dikaji untuk dapat mengetahui sejauh mana upaya pencegahan dan pemberantasan IUU Fishing di kawasan tersebut telah terwujud. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini kemudian akan menganalisis mengenai bagaimana PSMA mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan IUU Fishing, bagaimana implementasi PSMA dalam hukum nasional negara Thailand, Vietnam, Filipina, dan Indonesia, serta bagaimana praktik Indonesia dalam melaksanakan ketentuan PSMA terhadap kapal yang terlibat IUU Fishing sejauh ini. Dalam menganalisis permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan tipologi deskriptif untuk menjelaskan bagaimana PSMA mencegah dan memberantas IUU Fishing dan mengetahui serta membandingkan penerapannya di negara-negara di Asia Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PSMA mencegah dan memberantas IUU Fishing dengan menentukan standar-standar minimum ketat yang perlu ditetapkan oleh port state, yang mencakup seluruh runtutan kegiatan kapal asing dalam mendaratkan tangkapannya ke pelabuhan sebelum masuk ke pasar. Kemudian, diketahui juga bahwa hukum nasional Thailand, Vietnam, Filipina, dan Indonesia sudah mengatur pelaksanaan PSMA yang mencerminkan alur port state measures, namun belum sepenuhnya mencakup seluruh aspek yang diatur PSMA. Untuk Indonesia sendiri, pelaksanaan PSMA belum dapat dievaluasi karena belum ada kapal perikanan asing yang melakukan permohonan masuk pelabuhan, serta terkendala tumpang tindih kewenangan antar kementerian, dan kekosongan hukum terkait pelabuhan yang tidak ditunjuk sebagai pelaksana PSMA.

The problem of IUU Fishing triggered the creation of PSMA, which advocates port state measures approach in preventing, deterring, and eliminating IUU fishing. This becomes a very significant matter for countries in the Southeast Asia region, whose fishing industry is experiencing problems with IUU fishing. The implementation of PSMA in this area then becomes important to analyze in order to find out how far efforts to prevent and eradicate IUU fishing in the area have been realized. This study will analyze how PSMA regulates the prevention and eradication of IUU Fishing, how PSMA is implemented in Thailand, Vietnam, the Philippines, and Indonesia’s legal systems, and how Indonesia has practiced implementing PSMA provisions on vessels involved in IUU Fishing. In analyzing these problems, this study uses a literature method with a descriptive typology to explain how PSMA prevents and eradicates IUU Fishing and to find out and compares its application in Southeast Asian countries. The results show that PSMA prevents and eradicates IUU fishing by determining strict standards which needs to be set by the port state, which encompasses the entire sequence of activities that foreign ships go through in landing their catches to ports before entering the market. Then, it was also known that the national laws of Thailand, Vietnam, the Philippines, and Indonesia had already regulated the implementation of PSMA which reflected the flow of port state measures, but yet to all aspects in PSMA. For Indonesia itself, the implementation of PSMA cannot be evaluated yet because no foreign fishing vessels have applied for port entry, and are constrained by overlapping authorities between ministries, and legal vacuum related to ports that are not appointed as PSMA implementers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esa Thanico Maulana
"Transshipment adalah praktik umum yang dilakukan oleh individu dalam bisnis perikanan untuk meningkatkan efektivitas penangkapan ikan dan mengurangi biaya bahan bakar dan dapat dianggap sebagai praktik yang hemat biaya. Namun praktik ini menjadi bahan perdebatan karena mengarah pada Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Illegal Transshipment mengaburkan transparansi penangkapan ikan karena sulitnya melacak di mana dan bagaimana ikan ditangkap, dan dengan demikian menyebabkan kurangnya pengawasan dalam praktiknya. Indonesia dan Panama adalah dua dari banyak negara yang wilayahnya menjadi hotspot praktik transshipment. Hal ini karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas dan pusat perdagangan perikanan di Asia Tenggara. Di sisi lain, Panama merupakan salah satu pusat perdagangan di mana sebagian besar kargo dari atau ke Panama tiba di tujuannya melalui proses transshipment. Regulasi antara Indonesia dan Panama mengenai transhipment diatur melalui regulasi nasional masing-masing negara, serta regulasi dari organisasi internasional dan regional seperti Uni Eropa dan Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Melalui metode penelitian hukum normatif akan dianalisis bagaimana prosedur transshipment diatur menurut hukum Indonesia dan Panama, beserta persamaan dan perbedaannya. Penelitian ini juga menjelaskan keterkaitan antara praktik Illegal Transshipment dengan IUU Fishing. Penelitian ini kemudian menyarankan agar prosedur transshipment dibahas dan diatur dalam undang-undang perikanan Indonesia dan Panama, perlunya International Fishing License yang berbeda untuk kapal Indonesia yang melakukan layanan internasional dan harus ada unit penegak hukum dari RFMO yang wilayahnya sering terjadi transshipment.

Transshipment is a common practice carried out by individuals in the fishery business to increase the effectiveness of fishing and reduce fuel costs in order fft to be considered cost-effecive practices. However, this practice has become a matterrof debate because it leads to Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Illegal Transshipment obscures the transparency of fishing due to its difficulty to track where and how the fish are caught, and thus leading to a lack of oversight in the practice. Indonesia and Panama are two of the many countries whose territory is a hotspot for transshipment practices. This is because Indonesia is a vast archipelagic country and fishing trade center in South East Asia. On the other hand, Panama is one of the trade centers where most of the cargo from or to Panama arrives at its destination through the transshipment process. Regulations between Indonesia and Panama regarding transshipment are regulated through the national regulations of their respective countries, as well as regulations from international and regional organizations such as the European Union and Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Through the normative legal research method will analyze how the transshipment procedures are regulated according to Indonesian and Panamanian laws, along with its similarities and differences. This study also explained the link between Illegal Transshipment practices and IUU Fishing. This research then suggests that transshipment procedures is discussed and regulated in the Indonesian and Panamanian fisheries laws, the need for a different International Fishing License for Indonesian vessels that perform international services and there must be a law enforcement unit from RFMOs whose areas often occur transshipment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Joe Christian Yesaya
"Skripsi ini membahas mengenai implementasi ketentuan prompt release pada Konvensi Hukum Laut pada zona ekonomi eksklusif negara Australia, Malaysia, dan Indonesia. Permasalahan ini ditinjau dari perbandingan hukum dengan metode penelitian yuridis normative dan penulisan yang bersifat deskriptif. Data dalam penelitan ini didapat dengan melakukan studi dokumen sebagai data utama dari penulisan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik Australia, Malaysia, dan Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dan perbedaan dalam implementasi ketentuan prompt release. Implementasi tersebut juga ditemukan tidak sesuai dengan perkembangan interpretasi yang dilakukan oleh ITLOS terhadap ketentuan prompt release.

This thesis discusses the implementation of the prompt release provisions of the Law of the Sea Convention in the exclusive economic zones of Australia, Malaysia, and Indonesia. With normative legal research method and descriptive writings, the data in this study were obtained by conducting a document study as the main data of qualitative writing. The results showed that both Australia, Malaysia, and Indonesia have their own characteristics and differences in the implementation of prompt release provisions. The implementation was also found to be inconsistent with the development of the interpretation made by ITLOS on the prompt release provisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library