Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Hanifah Oktariani
Abstrak :
Terlepas dari kenyataan bahwa seksualitas adalah identitas yang melekat pada manusia, terdapat banyak kasus dimana negara dan masyarakat secara keseluruhan mendiskriminasi seseorang karena identitas seksualnya, terutama ketika identitas ini berada di luar spektrum biner yang dianggap normal oleh komunitas terkait. Sebagai bidang studi yang turut mengkaji hubungan antara negara dan masyarakatnya, ilmu hubungan internasional, dalam tataran teoritisnya, juga cenderung terlambat dalam memasukan diskusi seksualitas, meskipun kondisinya juga telah berubah secara progresif. Oleh karena itu, tulisan ini senantiasa meninjau bagaimana seksualitas sebagai salah satu bentuk identitas bergerak dalam ruang studi hubungan internasional, baik secara teoritik maupun empirik, dan bagaimana korelasi antara keduanya mampu memaksimalkan studi hubungan internasional sebagai sebuah cabang ilmu dan membantu meminimalisir praktik penindasan terhadap kelompok seksualitas minoritas, yaitu kelompok LGBTQ, secara riil. Tulisan ini akan berupa tinjauan literatur yang disusun menggunakan metode kritis dengan total 28 literatur akademik terakreditasi serta 7 laporan riset dan dikategorisasikan ke dalam tiga tema besar, yaitu: (1) kontestasi teoritis terkait seksualitas dalam studi hubungan internasional; (2) ragam isu seksualitas di ruang transnasional; (3) respon aktor terhadap isu seksualitas di ruang transnasional. Penulis kemudian memetakan konsensus dan perdebatan yang ada terkait narasi seksualitas dalam hubungan internasional ke tiga perspektif studi yang dominan, yaitu dari teori queer HI, feminisme HI, dan studi LGBT. Penulis menemukan bahwa perihal seksualitas dalam ilmu hubungan internasional masih berkutat pada perdebatan abstrak, seperti permasalahan figurasi inti teori, sedangkan realitasnya; seksualitas sudah menjadi problematika yang jauh lebih luas. Maka dari itu, penulis merekomendasikan adanya revitalisasi perdebatan terkait seksualitas dalam hubungan internasional dengan menghadirkan penelitian-penelitian baru yang menyelaraskan antara kondisi empirik dan kerangka teoritik seksualitas dalam hubungan internasional. ......Despite the fact that sexuality is an inherent human identity, there are many cases where the state and society as a whole discriminate against someone because of their sexual identity, particularly when this identity falls outside the binary spectrum that the community in question considers normal. As a field of study that also examines the relationship between the state and its people, the science of international relations, in its theoretical level, also tends to be late in including discussions of sexuality, although the conditions have also changed progressively. Therefore, this paper will review how sexuality as a form of identity moves in the study of international relations, both theoretically and empirically, and how the correlation between the two can maximize the study of international relations as a branch of science while also helping to minimize the practice of oppression of sexuality groups. This paper will be in the form of a literature review compiled using the critical method with a total of 28 accredited academic literature and 7 research reports and categorized into three major themes, namely: (1) theoretical contestation related to sexuality in the study of international relations; (2) various issues of sexuality in the transnational space; (3) the actor's response to the issue of sexuality in the transnational space. The author then organizes the existing consensus and debate on sexuality narratives in international relations into three dominant study perspectives: queer IR theory, IR feminism, and LGBT studies. The author discovers that the issue of sexuality in international relations is still centered on abstract debates, such as the problem of the theory's core figuration, despite the fact that sexuality has become a much broader issue. Therefore, the author recommends revitalizing the debate related to sexuality in international relations by presenting new studies that align the empirical conditions and the theoretical framework of sexuality in international relations.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Binti Nikmatul Afdila
Abstrak :
Pada tahun 2016, Indonesia dinobatkan sebagai hub pariwisata berkelanjutan regional (Regional Tourism Sustainability Hub). Namun di satu sisi untuk pilar keberlanjutan lingkungan, Indonesia berada pada ranking 135 dari 140 negara yang dinilai menurut Daya Saing Perjalanan dan Pariwisata Dunia (WTTC) pada tahun 2019. Fenomena ini menjustifikasi pentingnya mengkaji bagaimana implementasi norma pariwisata berkelanjutan di Indonesia tahun 2014-2019 yang menjadi fokus bahasan studi ini. Metode kualitatif dengan teknik triangulasi dipilih untuk memperdalam analisis bahasan. Pengumpulan data dilakukan melalui literatur studi, proses wawancara semi terstruktur, dan observasi di lapangan. Dengan menggunakan kerangka besar analisis difusi norma yang kemudian secara spesifik membahas politik translokal oleh Alger dan Dauvergne (2020), terdapat 3 temuan besar dari studi ini. Pertama, bahwa ada kompleksitas aktor dalam proses implementasi norma pariwisata berkelanjutan di Indonesia dipengaruhi khususnya keterlibatan aktor industri. Kedua, kebijakan pariwisata berkelanjutan di Indonesia belum komprehensif dan inklusif. Ketiga, berdasarkan aktvitas politik yang berlangsung (pemilihan gubernur lima provinsi pada 2014- 2019, dengan kontribusi PDRB terbesar dari sektor wisata, dan pemilu presiden 2019), studi ini menemukan bahwa pariwisata belum menjadi bagian narasi politik. Dari temuan tersebut, studi ini menyimpulkan dua hal. Pertama, industri memiliki peran signifikan dalam implementasi norma lingkungan – khususnya pariwisata berkelanjutan. Kesimpulan kedua yaitu integrasi kebijakan dan koordinasi antar aktor yang belum optimal berdampak pada level capaian implementasi norma pariwisata berkelanjutan di Indonesia periode 2014-2019. ......In 2016, Indonesia was made a Regional Tourism Sustainability Hub. However, in term of environmental sustainability, Indonesia ranked the 135th among 140 countries in 2019 according to the WTTC assessment. This case justifies the importance to conduct a study on how the implementation of sustainable tourism norms in Indonesia within 2014-2019. The qualitative method with the triangulation analysis technique was selected to deepen the analysis. Data was collected through literature review, semi-structured interviews, and field observation. By applying norm diffusion, specifically translocal politics by Alger and Dauvergne (2020), this study finds the complexity of stakeholders in implementing sustainable tourism in Indonesia specifically affected by the industrial actor. The next finding is that sustainable tourism policy in Indonesia has not yet been comprehensive and inclusive. The last finding of this research was that, based on the 2019 presidential election and the 2014-2019 governor election in five provinces, with tourism sector as the largest contributor to the GDPR, tourism has not been a political narrative. To conclude, first, industry plays a significant role in the implementation of environmental norms, especially sustainable tourism. Second, the not-yet optimal integrated policy and coordination between actors affect the achievement level of the sustainable tourism in Indonesia within 2014-2019.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zelvio Apri Verit
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengapa Indonesia menyepakati liberalisasi perdagangan pada sektor perikanan dalam kerja sama Indonesia-EFTA Comprehensive Partnership Agreement (IE-CEPA). Penelitian ini menggunakan dua konsep. Pertama adalah Society Centered Approached yang dikemukakan oleh Thomas Oatley kemudian yang kedua adalah Two Level Game yang dikemukakan oleh Robert D. Putnam. Adapun metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dengan studi literatur dan wawancara sebagai instrumen dalam pengumpulan data. Penelitian ini menemukan bahwa kelompok kepentingan untuk tujuan umum membentuk aksi kolektif berupa siaran pers bersama yang ditujukan kepada Pemerintah Indonesia guna meninjau kembali kesepakatan sektor perikanan dan IE-CEPA. Berdasarkan negosiasi yang dilakukan oleh kelompok kepentingan dengan pemerintah dapat dilihat bahwa perjanjian yang disepakati mencerminkan kepentingan kelompok ekonomi. Berdasarkan preferensi negosiator Indonesia liberalisasi perdagangan yang dibentuk dalam IE-CEPA dilandaskan pada tiga alasan utama. Pertama, EFTA merupakan kelompok negara yang memiliki daya beli yang tinggi. Kedua, IE-CEPA merupakan milestone Indonesia untuk memasuki pasar Kawasan Eropa. Kemudian yang terakhir berdasarkan request dan offer pada sektor perikanan, negosiator Indonesia memfokuskan negosiasinya pada peningkatan kapasitas guna meningkatkan mutu perikanan Indonesia di pasar Kawasan Eropa dan Amerika. Berdasarkan hal tersebut pada akhirnya mendorong Indonesia untuk meliberalisasi sektor perikanan dalam kerjasama IE-CEPA. ......This study aims to analyze the reason of Indonesia agreed toward liberalization of the fisheries sector in the Indonesia-EFTA Comprehensive Partnership Agreement (IE- CEPA). This study uses two concepts. The first is the Society Centered Approach proposed by Thomas Oatley then the second is the Two Level Game that proposed by Robert D. Putnam. The methodology used in this study is a qualitative method with literature studies and interviews as instruments in collecting the data. This study found that interest groups for the general purpose are forming a collective action in the form of a joint press release addressed to the Government of Indonesia to review the fisheries sector agreement and the IE-CEPA. Based on the negotiations conducted by the interest groups with the government, the agreements reflect the interests of the economic groups. Based on the preferences of Indonesian negotiators, the trade liberalization established in the IE-CEPA is based on three main reasons. First, EFTA is a group of countries that have high purchasing power. Second, IE-CEPA is a milestone for Indonesia to enter the European Region market. Then finally, based on requests and offers in the fisheries sector, Indonesian negotiators focused their negotiations on capacity building to improve the quality of Indonesian fisheries in the European and American markets. Based on the result, it encourages Indonesia to liberalize the fisheries sector in the IE-CEPA.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arinda Widya Laraswati
Abstrak :
Hubungan Uni Eropa (UE) dan Myanmar mengalami pasang surut sejak tahun 1990an hingga saat ini, dan diwarnai banyak pemberian sanksi UE atas Myanmar. Hubungan mereka mulai membaik ketika Myanmar melakukan transisi politik di tahun 2010. Sanksi-sanksi UE dicabut dan peningkatan kerja sama terjadi seiring dengan perubahan politik Myanmar. Namun, pasca demokrasi, hubungan keduanya kembali memanas ketika terjadi penyerangan oleh militer Myanmar terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada tahun 2017. Ribuan etnis Rohingnya dilaporkan menjadi korban dan mengakibatkan arus pengungsi cukup besar keluar Myanmar. UE merespon tindakan militer Myanmar dan mengecam pemerintah yang dianggap tidak melakukan apa-apa. Namun, respon UE kali ini tidak setegas dan sekeras sanksi-sanksi UE sebelumnya. Sanksi UE menuai protes dari NGO dan pembela hak asasi manusia karena dianggap tidak memberikan insentif yang kuat bagi militer Myanmar. Tesis ini bertujuan untuk menganalisis praktik teori Selective Aid Sanctions dalam keputusan sanksi bantuan UE ke Myanmar terkait konflik Rohingya 2017-2019. Penelitian ini bersifat kualitatif dan fokus pada faktor yang mempengaruhi keputusan UE dalam memberikan sanksi kepada Myanmar. Berdasarkan teori Selective Aid Sanctions, keputusan sanksi UE ini kemungkinan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu kondisi hubungan UE-Myanmar, eksternalitas negatif yang ditimbulkan terhadap UE dan pertimbangan jenis sanksi bantuan luar negeri. Penulis menemukan bahwa kondisi hubungan UE-Myanmar yang sudah semakin membaik meningkatkan kepentingan ekonomi maupun keamanan UE di Myanmar sehingga sulit untuk membuat keputusan sanksi seperti dahulu. Sementara untuk dua variabel lainnya, penulis tidak menemukan keterkaitan yang kuat yang dapat mempengaruhi keputusan sanksi UE. ...... The relationship between the EU and Myanmar has had its ups and downs since the 1990s until now and has been marked by many EU sanctions against Myanmar. Their relationship began to improve when Myanmar made a political transition in 2010. EU sanctions were lifted, and increased cooperation occurred as Myanmar's politics changed. However, post-democracy, the relationship between the two became heated again when there was an attack by the Myanmar military against the Rohingya in Rakhine State in 2017. Thousands of Rohingya were reported to have been victims and resulted in a large flow of refugees out of Myanmar. The EU responded to the actions of the Myanmar military and condemned the government for doing nothing. However, the EU's response this time was not as firm and harsh as previous EU sanctions. The EU sanctions have drawn protests from NGOs and human rights defenders because they are deemed not to provide strong incentives for the Myanmar military. This thesis aims to analyze the practice of Selective Aid Sanctions theory in the decision of EU aid sanction to Myanmar related to the 2017-2019 Rohingya conflict. This research is qualitative research and focuses on the factors of EU’s decision in imposing sanctions on Myanmar. Based on the theory of Selective Aid Sanctions, the EU sanctions decision may be influenced by three things, namely the condition of the EU-Myanmar relationship, the negative externalities caused to the EU and the consideration of the types of foreign aid sanctions. The author finds that the improving condition of EU-Myanmar relations has increased the economic and security interests of the EU in Myanmar, making it difficult to make sanctions decisions as in the past. Meanwhile, for the other two variables, the authors did not find a strong relationship that could influence the EU sanctions decision.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Azzahra Puji Lestari
Abstrak :
Kedekatan geografis antara Indonesia dan Australia memperlihatkan hubungan yang harmonis pada kedua negara terutama dalam bidang keamanan. Kerjasama keamanan telah terjalin antara Indonesia dengan Australia. Hubungan pasang surut yang terjadi antara Indonesia dan Australia diakibatkan oleh dinamika politik internasional. Perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu bidang yang menjadi fokus Indonesia dan Australia dalam menjaga keamanan kawasan. Dampak perkembangan tersebut dapat menjadi perselisihan antara Indonesia dengan Australia terutama pada kasus penyadapan oleh Australia terhadap Indonesia melalui penyadapan jaringan komunikasi Presiden Yudhoyono. Pasca kasus penyadapan oleh Australia telah memberikan ketegangan dalam hubungan kedua negara. Namun, pada tahun 2018 Indonesia dan Australia menandatangani MoU dalam cyber security cooperation. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan Indonesia dan Australia memilih untuk tetap melanjutkan kerjasama keamanan dengan Australia melalui cyber security cooperation pasca kasus penyadapan oleh Australia pada tahun 2007 hingga 2013. Penelitian ini menggunakan konsep complex interdependence yang kemudian dianalis menggunakan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya soft power Australia, kredibilitas politik Australia, keunggulan Indonesia dan Australia sebagai negara demokratis, dan sifat saling ketergantungan Indonesia dan Australia kepada jaringan informasi ruang siber menyebabkan Indonesia dan Australia memilih untuk tetap melanjutkan kerjasama dengan Australia pasca kasus penyadapan Australia tahun 2007 hingga 2013. ......The geographical proximity between Indonesia and Australia shows harmonious relations in the two countries, particularly in the security sector. Security cooperation has been established between Indonesia and Australia. The tidal relation that occurs between Indonesia and Australia is caused by the dynamics of international politics. The development of information technology is one of the areas that becomes Indonesia and Australia’s focus in maintaining regional security. The impact of these developments could be a dispute between Indonesia and Australia, particularly on phone tapping by Australia against Indonesia through the tapping of President Yudhoyono's communication network. The post-signal espionage by Australia has provided strain in the relations of the two countries. However, in 2018 Indonesia and Australia signed an MoU on cyber security cooperation. This study aims to find out why Indonesia and Australia chose to continue security cooperation with Australia through cyber security cooperation after signal espionage by Australia in 2007 to 2013. This study used the concept of complex interdependence which then was analyzed by using qualitative analysis methods. The results of the study showed that Australia's soft power resources, Australia's political credibility, the advantages of Indonesia and Australia as democratic countries, and the interdependence of Indonesia and Australia to cyberspace information networks caused Indonesia and Australia chose to continue cooperation with Australia after Australian signal espionage in 2007 to 2013.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Binti Nikmatul Afdila
Abstrak :
Pada tahun 2016, Indonesia dinobatkan sebagai hub pariwisata berkelanjutan regional (Regional Tourism Sustainability Hub). Namun di satu sisi untuk pilar keberlanjutan lingkungan, Indonesia berada pada ranking 135 dari 140 negara yang dinilai menurut Daya Saing Perjalanan dan Pariwisata Dunia (WTTC) pada tahun 2019. Fenomena ini menjustifikasi pentingnya mengkaji bagaimana implementasi norma pariwisata berkelanjutan di Indonesia tahun 2014-2019 yang menjadi fokus bahasan studi ini. Metode kualitatif dengan teknik triangulasi dipilih untuk memperdalam analisis bahasan. Pengumpulan data dilakukan melalui literatur studi, proses wawancara semi terstruktur, dan observasi di lapangan. Dengan menggunakan kerangka besar analisis difusi norma yang kemudian secara spesifik membahas politik translokal oleh Alger dan Dauvergne (2020), terdapat 3 temuan besar dari studi ini. Pertama, bahwa ada kompleksitas aktor dalam proses implementasi norma pariwisata berkelanjutan di Indonesia dipengaruhi khususnya keterlibatan aktor industri. Kedua, kebijakan pariwisata berkelanjutan di Indonesia belum komprehensif dan inklusif. Ketiga, berdasarkan aktvitas politik yang berlangsung (pemilihan gubernur lima provinsi pada 2014- 2019, dengan kontribusi PDRB terbesar dari sektor wisata, dan pemilu presiden 2019), studi ini menemukan bahwa pariwisata belum menjadi bagian narasi politik. Dari temuan tersebut, studi ini menyimpulkan dua hal. Pertama, industri memiliki peran signifikan dalam implementasi norma lingkungan – khususnya pariwisata berkelanjutan. Kesimpulan kedua yaitu integrasi kebijakan dan koordinasi antar aktor yang belum optimal berdampak pada level capaian implementasi norma pariwisata berkelanjutan di Indonesia periode 2014-2019. ......In 2016, Indonesia was made a Regional Tourism Sustainability Hub. However, in term of environmental sustainability, Indonesia ranked the 135th among 140 countries in 2019 according to the WTTC assessment. This case justifies the importance to conduct a study on how the implementation of sustainable tourism norms in Indonesia within 2014-2019. The qualitative method with the triangulation analysis technique was selected to deepen the analysis. Data was collected through literature review, semi-structured interviews, and field observation. By applying norm diffusion, specifically translocal politics by Alger and Dauvergne (2020), this study finds the complexity of stakeholders in implementing sustainable tourism in Indonesia specifically affected by the industrial actor. The next finding is that sustainable tourism policy in Indonesia has not yet been comprehensive and inclusive. The last finding of this research was that, based on the 2019 presidential election and the 2014-2019 governor election in five provinces, with tourism sector as the largest contributor to the GDPR, tourism has not been a political narrative. To conclude, first, industry plays a significant role in the implementation of environmental norms, especially sustainable tourism. Second, the not-yet optimal integrated policy and coordination between actors affect the achievement level of the sustainable tourism in Indonesia within 2014-2019.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tirza Listiarani
Abstrak :
Peristiwa serangan teroris pada 9 September 2001 menjadi sebuah momentum yang mengubah arah kebijakan keamanan global hingga hari ini. Selama 20 tahun terakhir, kebijakan anti terorisme dan anti kekerasan ektrimisme menjadi fokus dalam kebijakan keamanan global. Pergeseran kebijakan ini nyatanya menyebabkan berkembangnya norma negatif tentang pemuda, pemuda dianggap sebagai kelompok yang menjadi ancaman bagi negara karena dianggap aktif dalam konflik dan kekerasan ektrimisme. Hal ini menyebabkan pemuda diasingkan dalam proses pengambilan keputusan, mendapatkan perilaku kekerasan, dan kontribusinya tidak diperhitungkan dalam isu perdamaian. Pada tahun 2012, UNOY sebagai jejaring pemuda bina-damai dari seluruh dunia mendorong advokasi norma tentang ‘partisipasi pemuda yang bermakna’ dalam isu perdamaian dan keamanan. Mereka menginginkan adanya perubahan atas norma negatif yang ada karena pada kenyataanya populasi pemuda yang terlibat dalam konflik jauh lebih jauh dibandingkan populasi pemuda yang berkontribusi secara positif dalam isu perdamaian. Upaya-upaya UNOY sebagai norm entrepreneur didukung oleh PBB dan organisasi internasional lainnya juga Yordania menyebabkan diadopsinya Resolusi DKPBB no.2250 tahun 2015 tentang Pemuda, Perdamaian, dan Keamanan. Menggunakan teori Siklus Hidup Norma milik Finnemore dan Sikkink, perkembangan tentang norma ‘partisipasi pemuda yang berarti’ dalam isu perdamaian dan keamanan dianalisa dan disimpulkan bahwa norma tersebut saat ini berada di tahap norm cascade. Butuh waktu lebih untuk norma ini untuk akhirnya masuk ke tahap internalisasi karena negara belum menganggap norma ini sebagai prioritas dan pembentukan sistem implementasi yang belum terintegrasi dengan baik. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif eksploratif, dimana sumber data utama berasal dari dokumen PBB, jurnal, buku, dan wawancara yang dilakukan. ......The terrorist attack on the 9th September 2001 or called the 9/11 have become a momentum that changed the whole global security agenda. For the past 20 years, policies on countering terrorism and violent extremism had been the focus of global security. This shift of policy in fact have created the development of negative norms about youth, they are perceived as a threat to the state as some of them is playing an active role in conflict and violent extremism. Youth is excluded in decision making process, received act of violence, and their contribution in peace seen as none. In 2012, UNOY as global youth network of young peacebuilders advocate for ‘youth meaningful participation’ norm within peace and security issue. They wanted a change on the existing negative norm based on fact that less youth is being engaged in conflict, most of them is actively participating in peace efforts. UNOY as norm entrepreneur, along with other UN bodies and NGOs as well as Jordan’s endorse successfully lead this advocacy to the adoption of UNSCR 2250 in 2015 on Youth, Peace, and Security. Using Norm Life Cycle theory of Finnemore and Sikkink, these processes are being analyzed and it is concluded that the norm has come to the norm cascade phase. There still time needed in order for this norm to achieve the internalization phase because state still seeing this not as their priority and that the implementing system have not yet been integrated well. This research is done by using qualitative-explorative method where the main data were collected through UN documents, journals, books, and interviews.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Julianto
Abstrak :
Isu penjaga perdamaian merupakan isu yang dianggap sensitif oleh negara-negara anggota ASEAN. Sensitivitas isu tersebut disebabkan oleh adopsi norma non-interferensi dalam hubungan antar-negara di Asia Tenggara. Sensitivitas tersebut juga mengakibatkan kerja sama penjaga perdamaian kurang dieksplorasi. Pada tahun 2011, Indonesia menginisiasi pembentukan ASEAN Peacekeeping Centres Network sebagai kerja sama penjaga perdamaian yang bersifat kolaboratif. Inisiasi tersebut cukup berlawanan dengan sensitivitas regional terhadap isu penjaga perdamaian. Oleh karena itu, penelitian ini membahas mengenai faktor yang melatarbelakangi inisiasi Indonesia dalam mendorong pembentukan ASEAN Peacekeeping Centres Network. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan teori peran oleh K.J Holsti. Penelitian ini berargumen bahwa inisiasi Indonesia dalam mendorong pembentukan ASEAN Peacekeeping Centres Network merupakan performa peran Indonesia sebagai pemimpin regional, khususnya dalam bidang penjaga perdamaian. Kepemimpinan ini terbentuk karena dua faktor. Pertama, konsepsi peran nasional yang merupakan persepsi dari para perumus kebijakan luar negeri. Kedua, preskripsi peran alter yang merupakan sistem internasional di tingkat Asia Tenggara. ......Peacekeeping is an issue that is considered sensitive by the ASEAN member states. The sensitivity of the issue is caused by the adoption of non-interference norm in interstate relations in Southeast Asia. This sensitivity also resulted in less exploration of peacekeeping cooperation. In 2011, Indonesia initiated the establishment of the ASEAN Peacekeeping Centres Network as a collaborative peacekeeping partnership. This initiative is quite contrary to regional sensitivity towards peacekeeping issues. Therefore, this research discusses the factors behind Indonesia’s initiation in encouraging the establishment of ASEAN Peacekeeping Centres Network. This research uses a qualitative research methodology. To answer this problem, this research uses role theory by K.J Holsti. This research argues that Indonesia’s initiation in encouraging the establishment of the ASEAN Peacekeeping Centres Network is Indonesia’s role performance as a regional leader, especially in the field of peacekeeping. This leadership is formed due to two factors. Firstly, the national role conception which is the perception of foreign policy makers. Secondly, alter’s role prescription which is the international system at the Southeast Asian level.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairun Nisya
Abstrak :
=Terdapat beberapa model lokalisasi norma yang dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana norma global dapat diaplikasikan ke sub nasional. Dari berbagai model tersebut, terdapat beberapa komponen yang membedakan satu dengan lainnya. Makalah ini bertujuan untuk melakukan konseptualisasi sebuah model lokalisasi norma yang menjelaskan penerimaan kelompok LGBTQ+ di Sikka, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. komunitas LGBTQ+ di Indonesia telah menerima penolakan dalam lingkungan social, politik, dan religious. Namun, di Sikka, kelompok LGBTQ+ dapat diterima oleh maysarakat yang religious.  Artikel ini menggunakan sebagai komparasi dasar untuk membentuk sebuah model lokalisasi norma yang bersesuaian dengan keadaan Sikka. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa kepribadian dasar masyarakat merupakan kunci terpenting dalam membentuk keadaan ideal untuk menerima norma global dan penerimaan keluarga perlu diperhitungkan untuk mengukur cangkupan penerimaan norma global. Penulis juga menganalisis bahwa norma global yang dibentuk oleh pengalaman barat tidak bersesuaian dengan kebutuhan penerimaan komunitas LGBTQ+ di Sikka. ...... There are various models of norm localisation that can explain a process in which a global norm is being applied to a local setting. There are several different elements in every model. This paper aims to conceptualise a norm localisation model that is applied to the case of LGBTQ+ acceptance in Sikka, East Nusa Tenggara, Indonesia. LGBTQ+ community has been met with rejection in social, political, and religious communities in Indonesia. However, the case in Sikka shows that LGBTQ+ can be accepted by the people of a religious town in Indonesia. This research used norm vernacularisation and norm localisation models as a basic comparison to the conceptualised model of Sikka. This study identified that the basic personality of the people is the most important key in creating an accepting environment for a global norm and family acceptance needs to be put into account to measure the depth of the acceptance of a global norm. It is also analysed that a global norm that is shaped by the Western experience does not serve the needs of acceptance of LGBTQ+ community in Sikka.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marwan
Abstrak :
Pariwisata berkelanjutan merupakan norma global dimana pariwisata harus mengintegrasikan tiga pilar yakni ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Selain telah menjadi norma global, pariwisata berkelanjutan juga memiliki rantai global yang cukup kompleks sehingga harus diwujudkan dengan keterlibatan banyak pihak. Sebagai salah satu destinasi yang masuk dalam KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) yang dikenal juga dengan “10 Bali Baru”, Wakatobi menjadi destinasi pariwisata yang semakin menarik sehingga para aktor baik negara maupun non-negara termasuk aktor domestik dan internasional berupaya untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan di destinasi ini. Hal tersebut menjadi justifikasi dari penelitian ini untuk melihat dinamika kemitraan multi-pihak dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan di Wakatobi. Kerangka analisis yang digunakan adalah multi-stakeholders partnership dan stakeholders. Kerangka analisis ini adalah bagian dari perspektif liberalisme dalam kajian hubungan internasional yang menganggap kerja sama adalah sesuatu yang penting dalam pembangunan internasional. Sementara itu, metode penelitian yang digunakan yakni metode kualitatif dengan jenis studi kasus. Temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa kemitraan multi-pihak dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan di Wakatobi terjadi karena adanya tujuan yang sama dari para aktor yakni mewujudkan pariwisata berkelanjutan. Selain itu, para aktor saling membutuhkan satu sama lain. Hal tersebut disebabkan oleh sumber daya yang berbeda-beda dimana masing-masing aktor memiliki keunggulan sumber daya yang dibutuhkan oleh aktor lain. Dalam dinamikanya, kemitraan-multi-pihak tersebut menghadapi beberapa tantangan yakni kepemimpinan Pemerintah Daerah Wakatobi yang kurang efektif, minimnya anggaran, kepentingan ekonomi yang dominan (kapitalisme) dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan. ......Sustainable tourism is a global norm in which tourism should integrate the three pillars of economy, socio-culture, and environment. As it has become a global norm, sustainable tourism also has a complex global chain and therefore, its implementation will require various parties' involvement. As one of the National Tourism Strategic Areas (KSPN) or commonly known as "10 new Bali", Wakatobi has become a more attractive tourism destination so many actors either state or non-state including domestic and international actors try to implement the sustainable tourism in this destination. This study aims to examine the dynamics of multi-stakeholders partnerships in sustainable tourism development in Wakatobi. The applied framework analysis is multi-stakeholders partnership and stakeholders. This framework is a part of liberalism perspective in international relation studies which consider that collaboration is a crucial thing in international development. This study is a case study employing a qualitative method. The findings suggested that the implementation of multi-stakeholders partnership in the sustainable tourism development of Wakatobi was performed due to the mutual goal in accomplishing sustainable tourism. In addition, the partnership actors are interdependent. Such interdependence was promoted by different available resources that enabled interdependent relationships among the partnership actors. In its dynamics, multi-stakeholders partnership has encountered a number of challenges such as ineffective regional government leadership, minimum budget, dominant economic interest (capitalism), and lack of local community awareness in the realization of sustainable tourism.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library