Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Winnugroho Wiratman
"Latar Belakang. Sebagian besar pasien kanker akan mengalami neuropati. Gejala
neuropatik yang muncul akibat kemoterapi dapat menghambat proses terapi.
Cisplatin merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan dalam terapi
kanker nasofaring (KNF) dan banyak menyebabkan neuropati perifer. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui gambaran neuropati pada pasien KNF yang
mendapat kemoterapi di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Metode. Subyek penelitian ini adalah pasien KNF yang dikemoterapi dengan
cisplatin kurang dari 6 bulan sebelum pemeriksaan, baik tunggal, sebagai
kemoadjuvant maupun kombinasi dengan kemoterapi lain yang tidak
menyebabkan neuropati perifer. Pasien Diabetes Mellitus serta gangguan
neurologis sebelumnya disingkirkan dari penelitian. Dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis, dan elektroneurografi (ENG). Penelitian dilakukan
dengan menggunakan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Februari hingga Mei 2013.
Hasil. Sebanyak 100 subyek penelitian yang terdiri dari 81 subjek laki-laki dan 19
subyek perempuan diikutsertakan dalam penelitian ini. Usia dari subjek penelitian
berkisar antara 30-60 tahun. Didapatkan 76% subjek mengalami neuropati, 51
subjek diantaranya mengalami neuropati ENG, 25 subjek mengalami neuropati
secara klinis dan ENG. Didapatkan neuropati sensorik 82.89%, neuropati motorik
80,26%, dan 51,32% mengalami neuropati otonom. Berdsarkan tipenya 89,47%
mengalami degenerasi aksonal dan tidak satupun mengalami yang mengalami
demielinisasi murni. Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara usia
dan dosis dengan kejadia neuropati secara klinis (masing-masing p < 0,05).
Kesimpulan. Telah didapatkan yang mendapat kemoterapi cisplatin di RSUPN
Cipto Mangunkusumo termasuk tinggi yaitu sebesar 76%, dan hanya 25% yang
mengalami gejala neuropati secara klinis. Lebih dari setengah (51%) pasien
mengalami neuropati subklinis prevalensi neuropati perifer. Neuropati sensorik
merupakan neropati paling banyak terjadi. Hampir semua pasien yang mendapat
kemoterapi cisplatin mengalami neuropati aksonal. Usia lebih tua dan dosis total
yang lebih besar merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi neuropati pada
pasien KNF yang mendapat kemoterapi cisplatin

Background. The majority of cancer patients will experience neuropathy.
Neuropathic symptoms arising from chemotherapy can inhibit the therapeutic
process. Cisplatin is the most widely used chemotherapy in the treatment of
nasopharyngeal cancer (NPC) and the many causes of peripheral neuropathy. This
study aims to describe the neuropathy in NPC patients who received
chemotherapy in Cipto Mangunkusumo and the factors that influence it.
Method. The study subjects were NPC patients whose chemotherapy with
cisplatin less than 6 months before the examination, whether single, as
kemoadjuvant or in combination with other chemotherapy that does not cause
peripheral neuropathy. Diabetes Mellitus and patients with neurological disorders
previously excluded from the study. Anamnesis, neurological physical
examination, and elektroneurografi (ENG) were done. The study was conducted
using a cross-sectional design. The data was collected between February and May
2013.
Results. A total of 100 study subjects consisted of 81 male subjects and 19 female
subjects were included in this study. Age of study subjects ranged from 30-60
years. There were 76% of the subjects had neuropathy, 51 subjects had
neuropathy based on ENG only, 25 subjects based on clinical and ENG. There
were 82.89% had sensory neuropathy, 80.26% had motor neuropathy, and 51.32%
had autonomic neuropathy. Most (89.47%) had axonal degeneration and none had
the experience of pure demyelination. There is a statistically significant
relationship between age and dose with the incidence of clinical neuropathy (each
p <0,05).
Conclusion. The prevalence of neuropathy in cisplatin chemotherapy in NPC
patients in Cipto Mangunkusumo was as high as 76%, and only 25% who
experienced clinical symptoms. More than half (51%) patients had subclinical
neuropathy of peripheral neuropathy. Older age and greater total doses are all
factors that influence the KNF neuropathy in patients receiving cisplatin
chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fiqih
"Sindrom mielodisplasia (Myelodysplastic Syndrome, MDS) adalah sejumlah gangguan yang terjadi akibat sumsum tulang tidak mampu menghasilkan sel-sel darah yang sehat.1 Diferensiasi sel prekursor darahterganggu, 2 dan apoptosis meningkat dengan signifikan sehingga sel-sel darah menjadi abnormal yang tidak sepenuhnya berkembang. 3 Gen PI-PLCß1 terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi. Mutasi gen PI-PLCß1 dapat memengaruhi peningkatan proliferasi sel blast pada MDS dan cenderung bertransformasi menjadi Leukemia Mieloblastik Akut (Acute Myeloblastic Leukemia, AML). Diketahui PI-PLCβ1 berperan dalam kontrol siklus sel pada transisi G1/S dan perkembangan G2/M. Disregulasi ekspresi gen PI-PLCß1 menyebabkan gangguan pada jalur pensinyalan yang melibatkan proses diferensiasi sel, sehingga terjadi perubahan diferensiasi sel prekursor darah yang menyimpang. Banyak faktor yang menyulitkan pengamatan dalam pemeriksaan sitogenetika pada pasien MDS. Sehingga pemeriksaan ekspresi gen PI-PLCß1 diharapkan akan menjadi pengkajian awal dalam menilai prognostik MDS. Desain penelitian deskriptif dan analitik pada 4 subjek penelitian (3 pasien MDS-MLD, 1 pasien MDS yang telah menjadi AML), dan kontrol pasien dengan kelainan hematologi lain (Multiple Mieloma) sebanyak 1 pasien, serta 1 kontrol sehat. Sebanyak 3/5 (80%) memiliki kelainan kariotip kompleks, dan 1/5 (20%) memiliki kelainan kariotip ganda, dan 1/5 (20%) memiliki kelainan kariotip tunggal. Ekspresi gen PI-PLCß1 lebih rendah pada 4 pasien (MDS dan AML). Sedangkan pada 1 kontrol pasien dengan kelainan hematologi lainnya memiliki ekspresi gen PI-PLCß1 lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sehat. Ekspresi gen PI-PLCß1 lebih rendah pada pasien MDS dengan prognosis yang lebih buruk menurut skoring IPSS-R.

Myelodysplastic syndrome (MDS) is a number of disorders that occur due to the bone marrow is not able to produce healthy blood cells. 1 The differentiation of blood precursor cells is impaired, 2 and apoptosis increases significantly that the blood cells become abnormal and do not fully develop. 3 The PI-PLCß1 gene is involved in proliferation and differentiation. PI-PLCß1 gene mutations can affect the increase in blast cell proliferation in MDS and tend to transform into Acute Myeloid Leukemia (AML). It is known that PI-PLCβ1 plays a role in cell cycle control in the G1/S transition and G2/M development. Dysregulation of PI-PLCß1 gene expression causes disruption of signaling pathways that involve the process of cell differentiation, resulting in aberrant changes in blood precursor cell differentiation. Many factors complicate observations in the cytogenetic studies of MDS patients. Therefore, it is hoped that the examination of PI-PLCß1 gene expression will be an initial assessment in assessing the prognostic value of MDS. The study design was descriptive and analytic in 5 study subjects (3 MDS-MLD patients, 1 AML patient, and 1 MM patient). Most of the patients had complex karyotype abnormalities, the rest had multiple karyotype abnormalities and single karyotype abnormalities. PI-PLCß1 gene expression was decreased in all MDS and AML patients. Meanwhile, MM patients had normal PI-PLCß1 gene expression. However, the increase in IPSS-R scores in patients was not significantly associated with a decrease in the expression of the PI-PLCß1 gene."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diany Nurliana Taher
"Latar belakang Depresi berhubWlgan dengan meningkatnya angka kesakitan dan kematian terutama pada pasien pasca infark miokard. Prevalensi depresi pada pasien infark miokard diperlcirakan berkisar antara 16%-190/0. Risiko kematian meningkat menjadi 3,5 kali lebih besar pada pasien pasca infark miokard yang menderita depresi dibanding yang tidak depresi. Menurunnya variabilitas denyut jantung merupakan faktor risi.ko kematian pada pasien pasca infark miokard yang disertai adanya depresi Hal ini disebabkan karena terjadinya disfungsi otonom.1 ). Carney mendapatkan semua parameter yang dinilai pada variabilitas denyut jantung (ultrQ low frekuensi, very low frekuensi, low frekuensi dan high frekuensl) secara bermakna lebih rendah pada pasien yang didapatkan adanya depresi dibanding yang tidak disertai depresi? Adapun tujuan dari pene1itian ini a.dalah lUltuk me1ihat apakah rerdapat beda rerata variabilitas denyut jantung antara pasien pasca infark miokard yang mengalami depresi dil>anding yang tidak depresi. Bahan daD metode Pene1itian ini merupakan studi potong lintang. Pada pasien pasca Infark Miokard yang telah melewati masa akut penyakitnya.Dilakukan di subbagian jantung dan psikosomatik bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN-CM antara bulan April200S- Agustus 200S Diperoleh subyek sebesar 24 orang untuk. ke10mp0k. pasien yang menderita depresi dan 24 orang kelompok yang tidak didapatkan adanya depresi. Pada kedua kelompok kemudian dipasang Holter monitoring, untuk melihat variabilitas denyut jantungnya. Hasil : Rerata usia pada kelompok depresi lebih muda daripada kelompok tidak depresi.(depresi 55,21±9,23 , tidak depresi 57,83 ±8,75). Pasien laki laki didapatkan lebih banyak baik pada ke10mp0k depresi mauplUl tidak depresi. Tingkat pendidikan subyek terbanyak adalah SMA (depresi(50,0%) tidakdepresi(66,7%)). Riwayat Diabetes Melitus terbanyak didapatkan pada kelompok depresi (50%) hipertensi juga didapatkan terbanyak pada kelompok depresi 79,20/0. Sekitar 75 % pasien dengan depresi mempunyai kebiasaan merokok, sementara pada kelompok yang tidak depresi, kebiasaan merokok didapatkan sebesar 37,5% . Sedangkan dari basil analisis bivariat, pada ketiga komponen Holter Monitoring dengan domain frekuensi didapatkan beda rerata yang bermakna dari variabilitas denyut jantung, antara pasien infark miokard yang menderita depresi dibanding tanpa depresi. Dimana pada pasien yang disertai adanya depresi didapatkan variabilitas denyut jantungnya lebih rendah. Pada Very Low Frekuensi didapatkan rerata yang lebih rendah pada kelompok depresi dibandiog yang tidak depresi (2,470±1,12 >< 2,9030±1,31 P 0,0 IS), rerata Low Fre1cuensi juga didapatkan lebih rendah pada kelompok yang depresi ( 1 ,958± 1,11 >< 2,520± 1,28 P 0~007) Demikian juga pada High Frekuensi , didapatkan rerata yang lebih rendah pada pasien yang disertai adanyadepresi ( 1,645±1,10 >< 2,143±1,11 P 0,003 ) Kesimpulan Pasien pasca infark miokard yang disertai adanya depresi mempunyai variabilitas denyut jantung yang lebih rendah dibanding yang tidak depresi.

Introduction Depression is associated with an increased risk of morbidity and mortality especially after acute myocardial infarction. The prevalence of depression patient after acute myocardial infarction ranging 16% to 19".4. The mortality rate is increase 3,5 fold in patient myocardial infarction with depression compare not depression.The decrease of heart rate variability is reflection of the mortality risk patient acute myocardial infarction with depression. Altered cardiac autonomic tone remains one of the most plausible explanations.1 ,2 Carney study demonstrated that all 4 log-transformed frequency domain indices of HRV ( ULF,VLF,LF and HF) were significantly lower in post MI patients with depression than in post MI patients without depression.2 The purpose of this study was to compare the heart rate variability between in post MI patients with depression than in post MI patients without depression. Methods A cross-sectional study.Patient with a recent acute MI who were depressed.Al1 patients admitted between Aprill-Augustus 2008 to Cardiology unit and Psycosomatic division in CiptoMangunkusumo Hospital. During that time, 24 patients post myocardial infarction with depression and 24 patients post myocardial infarction without depression took part in our study. The Heart rate Variability measured by Holter Monitoring. Result Comparison between depressed and nondepressed patients: depressed patients were slightly younger ( 55,21±9,23 ,57,83 ±8,75). Were likely to be male , level of education was Senior High School, to have diabetes mellitus (50010) hypertension 79,2% and to be current cigarette smoker compared with nondepressed patients. All 3 log- transformed frequency domain indices of HRV ( VLF,LF and HF) were significantly lower in post-MI patients with depression than in post-MI without depression. Mean Very Low Frequensi lower in depressed group than the group without depression (2,47O±1,12 >< 2,9030±1,31 P 0,018), Mean Low Ftekuensi also lower in depressed group than nondepressed group (1,958±1,11 >< 2,520±1,28 P 0,007) Mean High Frekuensi also lower in depressed group than in nondepressed group ( 1,645±1,10 ><2,143±1,1l p 0,003 ) Conclusion Post myocardial infarction patients with depression had a lower heart rate variability than in post myocardial infarction patients without Oepression."
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2008
T59042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityawati Ganggaiswari
"Latar belakang : Beberapa data dari luar negri menunjukkan kanker kolorektal predominan terjadi pada populasi usia yang lebih tua (lebih dari 60 tahun). Kanker kolorektal yang terjadi pada usia lebih muda (kurang dari 40 tahun) hanya berkisar antara 3-6%. Dari penelitian terdahulu dilaporkan bahwa kanker kolorektal pada pasien usia muda cenderung memiliki gambaran perilaku tumor yang agresif dengan prognosis buruk. Pada beberapa penelitian, progresivitas dan prognosis yang buruk pada kanker kolorektal, dikaitkan dengan peristiwa angiogenesis. VEGF merupakan salah satu sitokin poten yang terlibat dalam proses angiogenesis seh.ingga tingginya kadar ekspresi VEGF berhubungan dengan progresivitas penyakit yang 1ebih tinggi dan prognosis yang burnk. Cancer-associated stroma mengalami perubahan-perubahan dinamis yang menyerupai reaksi penyembuhan luka, disebut sebagai reaksi desmoplastik. Reaksi ini didukung terutama oleh aktivasi "myofibroblas;'. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa myofibroblas mempuuyai peran untuk roemfasilitasi tumorigenesis dan progresi beberapa karsinoma, dan dikenal sebagai suatu petanda penting yang potensial untuk diagnosis, pengobatan dan prognosis kanker.
Hasil : Pada penelitian ini terlihat ekspreSi VEGFA tidak berbeda, namun terdapat perbedaan yang bennakna pada reaksi desmoplastik usia muda dibanndingkan pada usia tua. Nampak pula hubungan yang sejaJan antara ekspresi VEGF-A positif kuat dengan reaksi desmoplastik yang keras pada kanker kolorektal usia muda. Hal ini menyokong hepotesa kedua dan ketiga dari penelitian ini.
Kesimpulan : Progresivitas penyakit yang lebih tinggi dan prognosis yang buruk pada pasien kanker kolorektal usia muda kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor lain selain VEGF, yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32365
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Afriani
"ABSTRAK
Kanker kolorektal merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ketiga terbanyak pada laki-laki maupun perempuan di seluruh dunia. Penelitian ekspresi HER2 pada kanker kolorektal memiliki rentang yang cukup jauh yaitu 0-83% dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi HER2 pada kanker kolorektal serta dihubungkan dengan parameter prognostik histopatologi berupa jumlah mitosis per 10 LPB, kedalaman invasi sel kanker, dan invasi sel kanker di limfovaskuler. Penelitian menggunakan desain retrospektif terhadap 51 sediaan blok parafin kanker kolorektal rentang tahun Januari 2011-Desember 2012. Penilaian karakteristik sampel diambil dari rekam medis dan penilaian parameter prognosis histopatologi dinilai dari sediaan HE pasien kanker kolorektal. Pulasan imunohistokimia HER2 menggunakan antibodi poliklonal anti HER2(DAKO). Rata-rata usia penderita adalah 57.8±13.54 tahun, 58.8% penderita adalah laki-laki dan 41.2% perempuan. Hitung mitosis per 10 LPB didapatkan median 11 mitosis dengan rentang 3-34 mitosis per 10 LPB. Berdasarkan grading histopatologi, ditemukan low grade sebanyak 39(76.5%) dan high grade sebanyak 12(23.5%) kasus. Invasi sel kanker di limfovaskuler ditemukan sebanyak 37(72.5%) kasus. Ekspresi HER2 positif ditemukan sebanyak 5(9.8%) kasus. Semua kasus positif terdapat pada invasi sel tumor sedalam serosa (pT3). Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara ekspresi HER2 dengan derajat diferensiasi (p=0.663), mitosis (p=0.354), kedalaman invasi (p=0.983), dan invasi limfovaskuler (p=0.790).

ABSTRACT
Kanker kolorektal merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ketiga terbanyak pada laki-laki maupun perempuan di seluruh dunia. Penelitian ekspresi HER2 pada kanker kolorektal memiliki rentang yang cukup jauh yaitu 0-83% dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi HER2 pada kanker kolorektal serta dihubungkan dengan parameter prognostik histopatologi berupa jumlah mitosis per 10 LPB, kedalaman invasi sel kanker, dan invasi sel kanker di limfovaskuler. Penelitian menggunakan desain retrospektif terhadap 51 sediaan blok parafin kanker kolorektal rentang tahun Januari 2011-Desember 2012. Penilaian karakteristik sampel diambil dari rekam medis dan penilaian parameter prognosis histopatologi dinilai dari sediaan HE pasien kanker kolorektal. Pulasan imunohistokimia HER2 menggunakan antibodi poliklonal anti HER2(DAKO). Rata-rata usia penderita adalah 57.8±13.54 tahun, 58.8% penderita adalah laki-laki dan 41.2% perempuan. Hitung mitosis per 10 LPB didapatkan median 11 mitosis dengan rentang 3-34 mitosis per 10 LPB. Berdasarkan grading histopatologi, ditemukan low grade sebanyak 39(76.5%) dan high grade sebanyak 12(23.5%) kasus. Invasi sel kanker di limfovaskuler ditemukan sebanyak 37(72.5%) kasus. Ekspresi HER2 positif ditemukan sebanyak 5(9.8%) kasus. Semua kasus positif terdapat pada invasi sel tumor sedalam serosa (pT3). Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara ekspresi HER2 dengan derajat diferensiasi (p=0.663), mitosis (p=0.354), kedalaman invasi (p=0.983), dan invasi limfovaskuler (p=0.790)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoma Sari Namara
"Latar Belakang: Pasien yang datang ke IGD memiliki penyakit yang berbeda dan tingkat keparahan yang juga berbeda. Sistem skor dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan pasien IGD dan dapat memprediksi mortalitas pasien. Simple Model Score (SMS) yang merupakan sistem skor yang menggunakan data laboratorium dasar disertai umur sebagai variabelnya, telah terbukti memiliki performa yang baik. Namun untuk dapat digunakan pada karakteristik pasien yang berbeda, SMS perlu divalidasi.
Tujuan: Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi SMS dalam memprediksi mortalitas tujuh hari perawatan pasien gawat darurat non bedah yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IGD RSCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan subjek pasien non bedah yang masuk ke IGD RSCM pada bulan Oktober-November 2012. Data usia, hemoglobin, trombosit, leukosit, ureum, natrium, dan glukosa saat pasien masuk ke IGD digunakan untuk penilaian SMS. Luaran dinilai pada tujuh hari perawatan (hidup atau meninggal). Performa kalibrasi dinilai dengan plot kalibrasi dan uji Hosmer-Lemeshow. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve (AUC).
Hasil: Terdapat 701 pasien yang memenuhi kriteria penelitian ini. Pasien yang meninggal sebanyak 92 pasien (13,12%). Plot kalibrasi SMS menunjukkan koefisien korelasi r=0,639 dan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,749. Performa diskriminasi ditunjukkan dengan nilai AUC 0,665 (IK 95% 0,610; 0,719).
Simpulan: Simple Model Score memiliki performa kalibrasi yang baik namun performa diskriminasi yang kurang baik untuk memprediksi mortalitas tujuh hari perawatan pasien non bedah yang masuk ke IGD RSCM.

Background: Patients who came to emergency department (ED) had different diagnosis and severity spectrums. Scoring system could stratify the risk of ED patients and predict their mortality. Simple Model Score (SMS) utilizing age and laboratory data as variables was already proven as a instrument with good performance. Nevertheles, the application of SMS in different characteristic population, should be validated.
Objective: To evaluate calibration and discrimination of SMS in predicting seven day in hospital mortality of nonsurgical ED patients at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: This was a retrospective cohort study of nonsurgical patients who attended to ED of Cipto Mangunkusumo Hospital in October-November 2012. The data of age, hemoglobin, platelet count, white blood count, ureum, sodium and blood glucose level when the patient was admitted to emergency room used to perform the calculation of SMS. The primary outcome was seven day in hospital mortality. Calibration was evaluated with calibration plot and Hosmer-Lemeshow test while discrimination was evaluated with area under the curve (AUC).
Results: There were 701npatients who met the criteria were recruited to this study. Mortality was observed in 92 patients (13.12%). Calibration plot of SMS showed r = 0.639 and Hosmer-Lemeshow test showed p = 0.749. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0.665 (CI 95% 0.610; 0.719).
Conclusion: Simple Model Score showed a good calibration despites less satisfying discrimination in predicting seven day in hospital mortality of nonsurgical ED patients at Cipto Mangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigail Prasetyaningtyas
"Latar Belakang : Palliative prognostic index (PPI) adalah skor prognostik yang umum digunakan di unit perawatan paliatif. PPI mencakup lima variabel klinis yang didasari oleh penelitian Morita dkk pada tahun 1999, untuk menilai kesintasan kurang dari 3 minggu, 3 - 6 minggu atau lebih dari 6 minggu. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi skor PPI pada pasien kanker stadium lanjut yang dikonsulkan ke tim paliatif di RSCM.
Tujuan : Menilai performa model skor PPI dalam memprediksi kesintasan pasien stadium lanjut di RSCM.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan di rumah sakit tersier terhadap pasien kanker stadium lanjut yang dikonsulkan ke tim paliatif pada Juli 2017 sampai Desember 2018S. Performa kalibrasi skor PPI dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow dan plot kalibrasi. Untuk menilai akurasi prediktif skor PPI, sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV dan akurasi setiap grup skor PPI dihitung. Diskriminasi dinilai dengan area under the reciever operating characteristic curve (AUC).
Hasil Penelitian : Sebanyak 160 pasien dengan rentang usia 20–83 tahun masuk dalam penelitian ini. Performa kalibrasi skor PPI berdasarkan uji Hosmer menunjukan nilai P=0,259. Akurasi skor PPI dalam memprediksi kesintasan pasien kanker stadium lanjut penelitian untuk kesintasan < 3 minggu 81% , dengan sensitivitas 85%, spesifisitas 70%, PPV 86%, dan NPV 67%. Akurasi untuk prediksi kesintasan 3-6 minggu 76%, sensitivitas 66%, spesifisitas 88%, PPV 85% dan NPV 70%. Performa diskriminasi skor PPI ditunjukkan dengan nilai AUC sebesar 0,822 (IK95% 0,749-0,895).
Simpulan : Skor Palliative Prognostic Index memiliki performa akurasi dan diskriminasi yang baik dalam memprediksi kesintasan pasien kanker stadium lanjut dalam perawatan paliatif di RSCM.

Background : Palliative prognostic index (PPI) is a prognostic score that is commonly used in palliative care units. PPI includes five clinical variables based on the study of Morita et al in 1999, to assess survival in less than 3 weeks, 3-6 weeks or more than 6 weeks. This study aims to validate PPI scores in advanced cancer patients who are consulted to the palliative team at our hospital.
Objective : To assess the performance of the PPI score model in predicting survival in advanced cancerpatients at Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods : This research is a retrospective cohort study conducted in a tertiary hospital of advanced cancer patients who were consulted to the palliative team from July 2017 to December 2018S. PPI score calibration performance was assessed with the Hosmer-Lemeshow test and calibration plot. To assess the predictive accuracy of PPI scores, sensitivity, specificity, PPV, NPV and accuracy of each PPI score group are calculated. Discrimination is assessed with area under the reciever operating characteristic curve (AUC).
Results : Total of 160 patients with an age range of 20-83 years participated in this study. PPI score calibration performance based on the Hosmer Lemeshow test in patients with advanced cancer showed a P value of 0.259. The accuracy of PPI scores in predicting survival in advanced cancer patients in studies for survival <3 weeks 81%, with a sensitivity of 85%, specificity 70%, PPV 86%, and NPV 67%. Accuracy for prediction of survival 3-6 weeks 76%, sensitivity 66%, specificity 88%, PPV 85% and NPV 70%. PPI score discrimination performance is shown with AUC value of 0.822 (IK95% 0.749-0.895).
Conclusion : Palliative Prognostic Index scores have good accuracy and discrimination in predicting the survival of advanced cancer patients in palliative care at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiana Kurniawati
"ABSTRAK
Latar Belakang
Trakeostomi merupakan tindakan yang umum dilakukan di unit perawatan intensif. Tindakan trakeostomi dapat menurunkan hambatan udara jalan napas, memiliki potensi untuk menurunkan obat sedasi dan pneumonia terkait ventilator sehingga diharapkan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien di unit perawatan intensif. Namun batasan waktu untuk melakukan trakeostomi pada pasien kritis yang diprediksikan akan memerlukan bantuan ventilasi jangka panjang hingga saat ini masih dalam perdebatan karena berbagai penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang berbeda-beda.
Tujuan
Mengetahui hubungan antara saat trakeostomi dengan mortalitas perawatan unit intensif. Mengetahui insiden mortalitas antara trakeostomi dini dan lanjut pada pasien perawatan unit intensif dengan ventilasi mekanik.
Metodologi
Penelitian dengan desain kohort retrospektif, dilakukan terhadap 162 pasien kritis dengan ventilasi mekanik yang menerima tindakan trakeostomi selama perawatan intensif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada kurun waktu Januari 2008-Desember 2012. Data saat untuk melakukan trakeostomi, klinis, laboratorium, dan radiologis dikumpulkan. Pasien diamati untuk melihat kejadian mortalitas selama perawatan intensif. Analisis hubungan antara saat trakeostomi dengan mortalitas perawatan intensif menggunakan tes X2. Analisis multivariat dengan regresi logistik digunakan untuk menghitung adjusted odds ratio (dan interval kepercayaan 95%) antara kelompok trakeostomi dini dan lanjut untuk terjadinya mortalitas perawatan intensif dengan memasukkan variabel-variabel perancu sebagai kovariat.
Hasil
Terdapat hubungan yang tidak bermakna antara trakeostomi dini dan lanjut dengan mortalitas unit perawatan intensif pada uji X2 (p=0,07) dengan RR 0,67 (IK95% 0,51-1,05). Insiden mortalitas pada trakeostomi dini dan lanjut sebesar 28,4% dan 42%.
Kesimpulan
Kelompok trakeostomi dini cenderung untuk memiliki insiden mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan trakeostomi lanjut. Namun saat trakeostomi tidak berhubungan dengan mortalitas unit perawatan intensif secara statistik.

ABSTRACT
Background
Tracheostomy is a common procedure in the intensive care unit . Tracheostomy can reduce airway resistance, the usage of sedation and ventilator-associated pneumonia. Based on these advantages, tracheostomy can potentially reduce ICU mortality and morbidity . But the timing to perform a tracheostomy in critically ill patients who are predicted to require long-term ventilatory support is still under debate, because previous studies showed different results.
Objective
Investigating the association between tracheostomy timing with intensive care unit mortality. Knowing the incidence of ICU mortality between early and late tracheostomy in patients with mechanical ventilation in intensive care unit.
Methods
Retrospective cohort study design was conducted on 162 critically ill patients in mechanical ventilation. These patients also underwent tracheostomy procedure during intensive care treatment in Cipto Mangunkusumo during period from January 2008-December 2012. The timing to tracheostomy, clinical, laboratory, and radiological data were collected . Patients were observed for the incidence of mortality during intensive care. Chi Square test was used to analyze the relationship between tracheostomy timing with intensive care unit mortality. Multivariate analysis with logistic regression was used to calculate adjusted odds ratios ( and 95% confidence intervals ) between early and late tracheostomy group to the intensive care mortality by including confounding variables as covariates .
Results
There is no significant association between early and late tracheostomy with the intensive care unit mortality ( p = 0.07 ) with a risk ratio (RR) of 0.67 ( CI 95 % 0.51 to 1.05 ) . The incidence of mortality in early and late tracheostomy was 28.4 % and 42 % .
Conclusion
Early tracheostomy group tended to have a lower mortality incidence compared with late tracheostomy. Association between timing to tracheostomy with the intensive care unit mortality was not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Dewi
"[ABSTRAK
Latar Belakang : Sindrom frailty berkaitan dengan angka morbiditas dan
kematian yang lebih tinggi, sehingga dipakai sebagai prediktor kesehatan pada
orang usia lanjut (usila). Polifarmasi sebagai salah satu faktor risiko sindrom
frailty, dapat berkaitan dengan obat PPI yang sering diberikan pada usila, atas
indikasi adanya keluhan gangguan saluran cerna bagian atas. Sampai saat ini
belum ada penelitian yang mempelajari hubungan PPI jangka panjang dan
sindrom frailty pada usila. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data
mengenai penggunaan PPI jangka panjang (≥ 6 bulan) terhadap risiko sindrom
frailty pada usila.
Metode : Desain studi kasus kontrol dengan kriteria inklusi subjek penelitian 60
tahun ke atas dan berstatus kognitif baik. Kriteria ekslusi adalah data yg tidak
lengkap atau terdapat kontraindikasi PPI. Kasus adalah usila terdiagnosis Frailty
menurut FI-40 item dan kontrol adalah usila yang tidak frailty berdasarkan
instrumen yang sama. Pengambilan data primer termasuk status frailty telah
dilakukan bulan Maret-Juni 2013 oleh Seto E dan Sumantri S. Pengambilan data
sekunder yang digunakan pada penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-
November 2014 dari data primer tersebut, ditambah dengan data dari rekam medis
poliklinik Geriatri dan poliklinik diabetes RS Cipto Mangunkusumo.
Hasil : Didapatkan 225 subjek (75 kasus:150 kontrol), 59,6% berjenis kelamin
perempuan (rerata usia 72,14 tahun; simpang baku ± 6,4 tathun) dan 47,1%
berpendidikan tinggi. Subjek yang berpendidikan rendah, berstatus cerai mati,
berstatus nutrisi lebih buruk, tidak mandiri, memerlukan caregiver, hidup tidak
berkecukupan dan kondisi kesehatan yang lebih buruk lebih banyak didapatkan
pada kelompok frailty dibandingkan kelompok yang tidak frail. Proporsi
pengguna PPI Jangka Panjang sebesar 40,9%. Penggunaan PPI jangka panjang
meningkatkan risiko sindrom frailty (Crude OR 2,15; IK 95% 1,22-3,78; p<0,007)
dengan adjusted OR 1,83 (IK 1,0-3,36) terhadap variabel nutrisi dan merokok.
Kesimpulan : Penggunaan PPI jangka panjang (≥ 6 bulan) secara independen
meningkatkan salah satu risiko sindrom frailty pada usila.

ABSTRACT
Background: Frailty syndrome as being used as the newest elderly health
predictor, associated with higher morbidity and mortality. PPI are often used in
elderly due to presence of upper gastrointestinal complaints, and related with
polypharmacy as one of the risk factor for frailty syndrome. No study has studied
the relationship of long term PPI and frailty syndrome in elderly. The objective of
the study is to find whether long term use of PPI (≥ 6 months) would increase the
risk of frailty syndrome in the elderly.
Methods: A case control study includes subjects 60 years and above with good
cognitive status. All subject with history of hypersensitivity of PPI is excluded.
Elderly diagnosed as frailty based in FI-40 item is defined as cases, while
individuals that are not frailty are classified as the control. Primary data
(included frailty status) was collected on March-June 2013 by Seto E and
Sumantri S, et al. Secondary data used in the current study was gathered on
October-November 2014, from the primary data above and from the medical
record taken from geriatric and diabetic outpatient clinics Cipto Mangunkusumo
Hospital.
Result: There were 225 subjects collected (75 cases : 150 controls), 59,6% were
female (mean age 72,14 years old, SD ± 6,4 years) and 47,1% with higher
education. Lower education, divorced, poor nutrition, dependent, needed
caregiver, economicaly insufficient, more comorbidity and poor health condition
are seen in frailty group.The proportion of long term PPI use were 40,9%. Long
term PPI medication increase the risk of frailty syndrome (Crude OR 2,154; CI
95% 1,225-3,778; p<0,007) with adjusted OR 1,83 (CI 95% 1,02-3,37) after
adjusting to nutrition and smoking variables.
Conclusion: Long term use of PPI significantly increase the risk of frailty
syndrome compared to the non-users.;Background: Frailty syndrome as being used as the newest elderly health
predictor, associated with higher morbidity and mortality. PPI are often used in
elderly due to presence of upper gastrointestinal complaints, and related with
polypharmacy as one of the risk factor for frailty syndrome. No study has studied
the relationship of long term PPI and frailty syndrome in elderly. The objective of
the study is to find whether long term use of PPI (≥ 6 months) would increase the
risk of frailty syndrome in the elderly.
Methods: A case control study includes subjects 60 years and above with good
cognitive status. All subject with history of hypersensitivity of PPI is excluded.
Elderly diagnosed as frailty based in FI-40 item is defined as cases, while
individuals that are not frailty are classified as the control. Primary data
(included frailty status) was collected on March-June 2013 by Seto E and
Sumantri S, et al. Secondary data used in the current study was gathered on
October-November 2014, from the primary data above and from the medical
record taken from geriatric and diabetic outpatient clinics Cipto Mangunkusumo
Hospital.
Result: There were 225 subjects collected (75 cases : 150 controls), 59,6% were
female (mean age 72,14 years old, SD ± 6,4 years) and 47,1% with higher
education. Lower education, divorced, poor nutrition, dependent, needed
caregiver, economicaly insufficient, more comorbidity and poor health condition
are seen in frailty group.The proportion of long term PPI use were 40,9%. Long
term PPI medication increase the risk of frailty syndrome (Crude OR 2,154; CI
95% 1,225-3,778; p<0,007) with adjusted OR 1,83 (CI 95% 1,02-3,37) after
adjusting to nutrition and smoking variables.
Conclusion: Long term use of PPI significantly increase the risk of frailty
syndrome compared to the non-users., Background: Frailty syndrome as being used as the newest elderly health
predictor, associated with higher morbidity and mortality. PPI are often used in
elderly due to presence of upper gastrointestinal complaints, and related with
polypharmacy as one of the risk factor for frailty syndrome. No study has studied
the relationship of long term PPI and frailty syndrome in elderly. The objective of
the study is to find whether long term use of PPI (≥ 6 months) would increase the
risk of frailty syndrome in the elderly.
Methods: A case control study includes subjects 60 years and above with good
cognitive status. All subject with history of hypersensitivity of PPI is excluded.
Elderly diagnosed as frailty based in FI-40 item is defined as cases, while
individuals that are not frailty are classified as the control. Primary data
(included frailty status) was collected on March-June 2013 by Seto E and
Sumantri S, et al. Secondary data used in the current study was gathered on
October-November 2014, from the primary data above and from the medical
record taken from geriatric and diabetic outpatient clinics Cipto Mangunkusumo
Hospital.
Result: There were 225 subjects collected (75 cases : 150 controls), 59,6% were
female (mean age 72,14 years old, SD ± 6,4 years) and 47,1% with higher
education. Lower education, divorced, poor nutrition, dependent, needed
caregiver, economicaly insufficient, more comorbidity and poor health condition
are seen in frailty group.The proportion of long term PPI use were 40,9%. Long
term PPI medication increase the risk of frailty syndrome (Crude OR 2,154; CI
95% 1,225-3,778; p<0,007) with adjusted OR 1,83 (CI 95% 1,02-3,37) after
adjusting to nutrition and smoking variables.
Conclusion: Long term use of PPI significantly increase the risk of frailty
syndrome compared to the non-users.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sawitri Darmiati
"[ABSTRAK
Latar belakang: Respons tumor setelah pemberian sitostatik sebagai kemoterapi neoajuvan pada pasien kanker payudara masih belum memuaskan dan respons tumor baru dapat dinilai setelah siklus ke-3; untuk mengurangi efek samping sitostatik dan penghematan biaya bagi yang tidak respons dibutuhkan faktor prediksi respons tumor lebih awal.
Tujuan penelitian: Untuk mengetahui apakah perubahan rasio choline/water pada pemeriksaan magnetic resonance spectroscopy (MRS) dapat digunakan sebagai faktor prediksi awal respons tumor pasien kanker payudara yang memperoleh sitostatik sebagai kemoterapi neoajuvan dan menganalisis korelasi persentase perubahan rasio choline/water eksternal dengan internal.
Bahan dan cara: Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan Agustus 2011 sampai April 2014. Subjek memperoleh sitostatik sebagai kemoterapi neoajuvan. Pemeriksaan MRI/MRS 1,5 T dilakukan sebelum sitostatik I, 20 atau 21 hari setelah sitostatik I dan setelah sitostatik III, menggunakan program syngo-GRACE untuk MRS. Tumor diukur berdasarkan RECIST 1.1. Respons tumor ≥ 30% dinyatakan positif, dan < 30% dinyatakan negatif. Hasil: Diperoleh 40 subjek dengan kanker payudara ukuran tumor ≥ 5 cm tanpa ulkus respons tumor positif 47,5%, peningkatan rasio choline/water eksternal 35% dan choline/water internal 42,5%. Peningkatan rasio choline/water eksternal pada MRS I- MRS II pada hari ke-20 atau ke-21 setelah pemberian sitostatik 1 menunjukkan respons tumor positif, RR=0,49 (IK 0,26-0,90) terutama untuk stadium < IIIC. Pada peningkatan rasio choline/water internal RR=0,54 (IK 0,28-1,04) dan penurunan nilai Apparent Diffusion Coefficient (ADC) RR= 0,51 (IK 0,23-1,13), didapatkan hubungan yang sama tetapi lebih lemah. Didapatkan pula korelasi sedang arah positif antara persentase perubahan rasio choline/water eksternal dengan persentase perubahan rasio choline/water internal (r=0,572, p=0,000). Derajat keganasan, Ki67, Bcl2 dan MVD tidak dapat digunakan sebagai faktor prediksi respons tumor. Pada Ki67 sama dengan atau lebih dari 14%, masih diperoleh repons tumor positif sedangkan pada Ki67 kurang dari 14%, tidak ditemukan respon tumor positif.
Simpulan: Peningkatan rasio choline/water eksternal pada MRS I-MRS II pada hari ke-20 atau ke-21 setelah pemberian sitostatik 1 sebagai kemoterapi neoajuvan dapat memprediksi pengecilan tumor setelah sitostatik III sama dengan atau lebih besar dari 30% terutama untuk stadium < IIIC. Perubahan rasio choline/water eksternal dan internal dapat digunakan untuk memprediksi respons tumor setelah pemberian sitostatik.;

ABSTRACT
Background : Cytostatics administration as neoadjuvant chemotherapy does not provided satisfactory tumor response in breast cancer patients and could be asses after 3rd cycle. To minimize the side effects and cost of cytostatics, early predictive factor of tumor response following neoadjuvant therapy in breast cancer patients is required. Objectives: The purpose of this study was, to asses of choline/water ratio by using
magnetic resonance spectroscopy (MRS) as an early predictive factor of cytostatics response after neoadjuvant therapy in breast cancer patients, secondly to analyze the correlation between external choline/water ratio and internal choline/water ratio.
Material and method: This study was conducted at Cipto Mangunkusumo National General Hospital since August 2011 to April 2014. Subjects received cytostatics as neoadjuvant chemotherapy underwent MRI/MRS prior to cytostatics I, 20/21 days after having cytostatics I and after cytostatics III. MRI 1.5 T was used for MRI examination and syngo-GRACE program for MRS. Tumor measurement was based on RECIST 1.1, tumor response of ≥ 30% is considered positive, and < 30% is considered negative.
Results: Among 40 non-ulcerating breast cancer subjects with tumor size of more or equal to 5 cm, 47.5% show positive response. MRS I and II showed escalation of external choline/water ratio on days 20/21 after the introduction of cytostatic I as neoadjuvant treatment, which could be used to predict tumor shrinkage after cytostatic III as high as 30% or more, RR = 0.49 (CI 0.26 - 0.90), especially for < IIIC stage. Changes of internal choline/water ratio, RR= 0.54 (CI 0.28 - 1.04) and Apparent Diffusion Coefficient (ADC) changes, RR= 0.51 (CI 0.23-1.13) show similar result but less related. A positive moderate correlation between changes of external choline/water ratio and changes of internal choline/water ratio is seen (r=0,572, p=0,000). No correlation between degree of malignancy, Bcl2, Ki67 dan MVD with tumor response. Changes of choline/water ratio combined with Ki67 higher than or equal with 14% could give positive tumor response, on the other hand, declining of choline/water ratio combined with Ki67 less than 14%, no positive tumor response could be found. Conclusion: Increased of external choline/water ratio on MRS I-MRS II on day 20 or 21 following cytostatic 1 as neoadjuvant chemotherapy can predict tumor shrinkage following cytostatic III of equal or more than 30%, especiallyfor < IIIC stage. Changes of external and internal choline/water ratio could be used to predict tumor response following cytostastic administration., Background : Cytostatics administration as neoadjuvant chemotherapy does not provided satisfactory tumor response in breast cancer patients and could be asses after 3rd cycle. To minimize the side effects and cost of cytostatics, early predictive factor of tumor response following neoadjuvant therapy in breast cancer patients is required. Objectives: The purpose of this study was, to asses of choline/water ratio by using
magnetic resonance spectroscopy (MRS) as an early predictive factor of cytostatics response after neoadjuvant therapy in breast cancer patients, secondly to analyze the correlation between external choline/water ratio and internal choline/water ratio.
Material and method: This study was conducted at Cipto Mangunkusumo National General Hospital since August 2011 to April 2014. Subjects received cytostatics as neoadjuvant chemotherapy underwent MRI/MRS prior to cytostatics I, 20/21 days after having cytostatics I and after cytostatics III. MRI 1.5 T was used for MRI examination and syngo-GRACE program for MRS. Tumor measurement was based on RECIST 1.1, tumor response of ≥ 30% is considered positive, and < 30% is considered negative.
Results: Among 40 non-ulcerating breast cancer subjects with tumor size of more or equal to 5 cm, 47.5% show positive response. MRS I and II showed escalation of external choline/water ratio on days 20/21 after the introduction of cytostatic I as neoadjuvant treatment, which could be used to predict tumor shrinkage after cytostatic III as high as 30% or more, RR = 0.49 (CI 0.26 - 0.90), especially for < IIIC stage. Changes of internal choline/water ratio, RR= 0.54 (CI 0.28 - 1.04) and Apparent Diffusion Coefficient (ADC) changes, RR= 0.51 (CI 0.23-1.13) show similar result but less related. A positive moderate correlation between changes of external choline/water ratio and changes of internal choline/water ratio is seen (r=0,572, p=0,000). No correlation between degree of malignancy, Bcl2, Ki67 dan MVD with tumor response. Changes of choline/water ratio combined with Ki67 higher than or equal with 14% could give positive tumor response, on the other hand, declining of choline/water ratio combined with Ki67 less than 14%, no positive tumor response could be found. Conclusion: Increased of external choline/water ratio on MRS I-MRS II on day 20 or 21 following cytostatic 1 as neoadjuvant chemotherapy can predict tumor shrinkage following cytostatic III of equal or more than 30%, especiallyfor < IIIC stage. Changes of external and internal choline/water ratio could be used to predict tumor response following cytostastic administration.]"
2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>