Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Galuh Chandra Kirana Sugianto
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan salah satu jenis keganasan tersering penyebab kematian di dunia. Penelitian faktor-faktor prognostik pada Non-Small Cell Lung Carcinoma sangatlah penting karena berpotensi membawa kita kepada tatalaksana pasien yang lebih baik. CYFRA 21-1 dan CEA merupakan penanda tumor yang diketahui memiliki spesifisitas tinggi terhadap NSCLC dan dapat digunakan dalam memperkirakan prognosis. Meskipun demikian, belum ada studi yang mencari hubungan CYFRA 21-1 dan CEA terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di Indonesia dan saat ini belum ada nilai titik potong CYFRA 21-1 dan CEA yang terstandarisasi sebagai faktor prognostik.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar CEA dan CYFRA 21-1 awal dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM dan menentukan titik potong CEA dan CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik.
Metodologi: Desain studi ini adalah kohort retrospektif terhadap 111 subjek penelitian dengan NSCLC stadium lanjut berusia >18 tahun yang terdiagnosa dari Januari 2012 hingga Mei 2018 dan telah diperiksakan CEA dan CYFRA 21-1 saat awal terdiagnosis. Karakteristik nilai CEA dan CYFRA 21-1 awal, status performa, jenis histologi, terapi dan stadium didokumentasikan secara lengkap dan diambil dari data Unit Rekam Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Studi ini menggunakan analisis kesintasan, cox proportional hazards dan log-rank test.
Hasil: Area under the curve (AUC) CEA didapatkan kurang dari 50% (AUC = 0,446) dan tidak bermakna, sebaliknya AUC CYFRA 21-1 cukup bermakna dalam analisis kesintasan ini dengan nilai AUC = 0,741 (0,636-0,847) dan p<0,001. Nilai titik potong CEA didapatkan sebesar >21,285 ng/mL, dengan sensitivitas 48,8% dan spesifisitas 48,3%. Sedangkan nilai titik potong CYFRA 21-1 didapatkan sebesar > 10,9 ng/mL dengan sensitivitas 69,5% dan spesifisitas 65,5%. Variabel-variabel yang memenuhi asumsi proportional hazard pada analisis ini adalah CYFRA 21-1, PS, jenis histologi kanker dan terapi. Nilai p>0,05 didapatkan baik pada kurva analisis CEA maupun stadium sehingga hasil tersebut tidak bermakna pada penelitian ini. CYFRA 21-1 >10,9 ng/mL memiliki HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028). PS dengan ECOG 3-4 memiliki HR 2,434 (HR=2,434;
p=0,026), NSCLC jenis non-adenokarsinoma memiliki HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), dan kelompok yang tidak dikemoterapi memiliki HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015).
Kesimpulan: Nilai CEA awal yang tinggi tidak terbukti berhubungan dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut, sebaliknya nilai CYFRA 21-1 awal yang tinggi terbukti dapat menjadi faktor prognostik yang signifikan terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM. Nilai titik potong CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik adalah sebesar >10,9 ng/mL.

Background: Lung cancer is one of the most common types of malignancy that causes death in the world. Research of prognostic factors in Non-Small Cell Lung Carcinoma is very important because it has the potential to lead us to better patient management going forward. CYFRA 21-1 and CEA are tumor markers that are known to have high specificity to NSCLC and can be used in estimating prognosis. However, there have been no studies looking for the association of CYFRA 21-1 and CEA with one-year survival of advanced stage NSCLC in Indonesia, and there is currently no cut-off value for CYFRA 21-1 and CEA as standardized prognostic factors.
Objective: This study aims to determine the association of initial CEA and CYFRA 21-1 levels with one-year survival NSCLC advanced stage in RSCM and determine the cut-off value of CEA and CYFRA 21-1 as a prognostic factor.
Methodology: The study design was a retrospective cohort of 111 subjects with advanced stage of NSCLC aged > 18 years who were diagnosed from January 2012 to May 2018 and had initial CEA and CYFRA 21-1 value before being treated. Characteristics of the initial CEA and CYFRA 21-1 values, performance status, type of histology, stage of the disease and therapy were fully documented and taken from the Medical Record Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital. This study used survival analysis, cox proportional hazards and log-rank tests.
Results: The CEA’s area under the curve (AUC) was found to be less than 50% (AUC = 0.446) and not significant, whereas AUC of CYFRA 21-1 was quite significant in this survival analysis with AUC = 0.741 (0.636-0.847) and p <0.001. CEA cut-off point were obtained > 21,285 ng / mL, with a sensitivity of 48.8% and specificity of 48.3%. While the CYFRA 21-1 cut point was > 10.9 ng / mL with a sensitivity of 69.5% and a specificity of 65.5%. The variables that meet the proportional hazard assumption in this analysis are CYFRA 21-1, PS, the cancer histology and therapy. A p value > 0.05 was obtained both on the CEA and the stage analysis curve so that the results were not significant in this study. CYFRA 21-1 > 10.9 ng / mL has HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028), PS with ECOG 3-4
had HR 2,434 (HR=2,434; p=0,026), NSCLC non-adenocarcinoma type had HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), and non-chemotherapy group had HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015).
Conclusion: A high initial CEA value was not proven to be associated with one-year survival of advanced stage NSCLC, whereas conversely a high initial CYFRA 21-1 value was shown to be a significant prognostic factor for one-year survival of advanced stage NSCLC in RSCM. The cut-off point of CYFRA 21-1 as a prognostic factor is > 10.9 ng
/mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58950
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrinilla Alresna
"Latar Belakang: Rapid Emergency Medicine Score (REMS) merupakan sistem skor yang sudah tervalidasi dengan baik dalam memprediksi mortalitas selama rawat untuk pasien non bedah yang mengunjungi instalasi gawat daruat (IGD). Namun penggunaanya pada populasi usia lanjut yang umumnya menunjukkan tanda vital normal walaupun kondisi medik berat masih belum diketahui. Kami bertujuan untuk mengevaluasi performa REMS dengan menambahkan nilai kadar natrium dan lingkar lengan atas yang rendah dalam memprediksi mortalitas di rumah sakit pada pasien usia lanjut non bedah yang datang ke IGD.
Tujuan: Untuk mengetahui nilai tambah kadar natrium dan lingkar lengan atas pada skor REMS dalam memprediksi mortalitas di rumah sakit pada pasien usia lanjut non bedah yang datang ke IGD.
Metode: Studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien usia ³60 tahun, non bedah, yang datang ke IGD RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) periode September- Oktober 2018. Subjek diikuti sampai diketahui luaran selama rawat di rumah sakit. Uji Hosmer-Lemeshow dan kurva ROC digunakan untuk mengetahui performa kalibrasi dan diskriminasi dari REMS dan modifikasi REMS.
Hasil: Dari 272 subjek, median usia adalah 66 tahun (rentang 7). Insiden kematian selama rawat di rumah sakit sebesar 22,1%. Nilai Area Under Curve (AUC) untuk REMS adalah 0,72 (95% CI 0,56-0,74), dan modifikasi REMS dengan menambahkan kadar natrium dan lingkar lengan atas adalah 0,79, p=,000 (IK95% 0,72-0,85), dengan nilai performa kalibrasi menggunakan uji Hosmer-Lemeshow yaitu p=0,759.
Simpulan: Kadar natrium dan lingkar lengan atas memiliki nilai tambah pada skor REMS dalam memprediksi mortalitas selama rawat di rumah sakit pada pasien usia lanjut non bedah yang datang ke IGD RSCM.

Background. Rapid Emergency Medicine Score (REMS) is a well validated scoring system in predicting in-hospital mortality for non-surgical patients visiting Emergency Department (ED). None has been known about its use in elderly population who frequently shows normal vital signs despite of severe condition. We aim to evaluate the performance of REMS by adding value of sodium level and mid-upper arm circumference (MUAC), to predict in hospital mortality of elderly visiting ED in Indonesia.
Objective. To evaluate added value of sodium serum level and mid-upper arm circumference to REMS in predicting in-hospital mortality for non-surgical elderly patients visiting Emergency Department (ED).
Methods. A prospective cohort study in non-surgical elderly aged 60 years or older visiting ED of Cipto Mangunkusumo hospital (RSCM) between September to October 2018 was performed. Subjects were followed during hospitalization for outcome assesment. Hosmer-Lemeshow test and area under receiving operating characteristic (ROC) curve were used to determine the calibration and discrimination of REMS and modified REMS.
Results. From the 272 partcipants, the median age was 66 years (range 10). The incidence of in-hospital mortality was 22.1%. The area under curve (AUC) score of REMS was 0,72 (95% CI 0.65-0.80), and the modified REMS by adding sodium level and mid-upper arm circumference was 0.79, p=.000 (IK95% 0.72-0.85), with calibration performance using Hosmer-Lemeshow test showed p=0,759.
Conclusion. Serum sodium level and mid-upper arm circumference have added value to REMS in predicting in-hospital mortality of non-surgical elderly patient visiting RSCM ED.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Widya Khorinal
"ABSTRAK
Latar Belakang. Hiperglikemia yang terjadi selama masa perawatan di rumah sakit pada pasien dengan penyakit kritis telah diketahui akan memberikan luaran klinis yang buruk bahkan dapat berujung pada kematian. Hiperglikemia yang terjadi pada pasien sindrom koroner akut (SKA) akan berakibat pada gangguan regenerasi sel endotel dan pembentukan pembuluh darah kolateral (revaskularisasi). Sayangnya, manajemen hiperglikemia sampai saat ini masih belum dicapai kata sepakat terutama perbedaan dalam menentuksn nilai potong dalam evaluasi glukosa lanjutan.
Tujuan. Untuk mengetahui pengaruh hiperglikemia selama perawatan terhadap kesintasan
(mortalitas) enam bulan pasien SKA dan mencari nilai potong ideal jntuk evaluasi lanjutan dan target kendali selama perawatan
Metodologi. Penelitian dilakukan secara kohort retrospestif pada pasien SKA di dirawat di instalasi ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dengan melibatkan pasien yang dirawat sampai dengan Desember 2011. Pengambilan data subjek penelitian dilakukan melalui data sekunder dengan pendaraan rekam medis dan dilakukan secara konsekutif.
Hasil. Kami mendapatkan 807 pasien SKA selama periode Januari tahun 2000 sampai dengan Desember tahun 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Hiperglikemia selama perawatan terjadi 242 (30 %) subjek penelitian. Hiperglikemia yang memberikan pengaruh pada kesintasan enam bulan dengan meningkatkan resiko kematian (HR 2,16 dengan IK 95% 1,77 sampai 2,63). Nilai potong glukosa darah yang memberikan kemaknaan pada kesintasan berada pada nilai 142,5 mg/dL.
Kesimpulan. Pasien dengan hiperglikemia memiliki kesintasan yang lebih buruk dibandingkan pasien tanpa hiperglikemia. Nilai glukosa darah 142,5 mg/dL dapat dipergunakan sebagai nilai potong untuk evaluasi glukosa darah lanjutan selama masa perawatan.

ABSTRACT
Background. Hyperglicemia during hospitalization especially on critically ill patients has worse clinical outcome and deadly. Patient with hyperglicemiain in acute coronary syndrome (ACS) will hamper endotelial regeneration and revascularization of coronary blood vessels. Unforrtunately, up until now rate of blood glucose cut off in hyperglycemia management had not reached any consession although we undoubtfully agree that this concept is very important in evaluation and choosing goal treatment.
Aim. To determine the impact of hyperglicemia during admission in six month mortality rate of ACS patients and the best blood glucose cut off for evaluation and goal treatment.
Method. This research used retrospective cohort on ACS patients admitted in ICCU, Cipto Mangukusumo Hospital, Jakarta, untill December 2011. Subjects' data were collected through medical records consecutively.
Results. This research found that there were 807 ACS patients admitted during Januari 2000 to December 2011 that met inclusion and exclusion criterias. Hyperglicemia during admission was found on 242 (30 %) subjects. This condition statistically proven to increase six month mortality rate (HR 2, 16 with CI 95% 1,77 till 2,63). The best rate of Blood Glucose cut of for evaluation and management was 142,5mg/dL.
Conclussion. There was significant difference mortality rate between hyperglicemia patients and non hyperglicemia.Blood glucose level on 142, 5 mg/dL could be used as cut off evaluation during admission."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinontoan, Rosnah
"Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang bertujuan mengetahui korelasi antara kadar seng serum dengan aktivitas SOD eritrosit pada pasien geriatri non-frail dan frail di Poliklinik Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada pertengahan bulan Agustus 2014 sampai pertengahan bulan September 2014. Subjek didapatkan secara consecutive sampling, sebanyak 60 orang (30 orang untuk masing-masing kelompok non-frail dan frail) yang memenuhi kriteria penelitian dan mengikuti penelitian sampai selesai. Tidak didapatkan korelasi signifikan antara kadar seng serum dengan aktivitas SOD eritrosit subjek penelitian, baik secara keseluruhan maupun per kelompok.

This cross-sectional study aimed to know the correlation between serum zinc level and the erythrocyte SOD activity both in non-frail and frail geriatric patients. These subjects were collected from mid-August 2014 to mid-September 2014 from the clinic of Geriatric, Cipto Mangunkusumo General Hospital. Through conducting a consecutive sampling, 60 subjects who met the study criteria and completed all study progress, that consisted 30 persons who represent each non- frail and frail group, were enrolled into this study. Serum zinc level did not show significant correlation with erythrocyte SOD activity, both overall and per group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roza Mulyana
"ABSTRAK
Latar Belakang.Ophiocephalus striatus berpotensi meningkatkan kadar IGF-1 dan albumin karena mengandung asam amino, asam lemak, vitamin, dan mineral. Belum ada penelitian menggunakan ekstrak Ophiocephalus striatus khusus pada pasien usia lanjut dengan malnutrisi.Tujuan. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Ophiocephalus striatus terhadap kadar IGF-1 dan albumin pasien usia lanjut dengan malnutrisiMetode. Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada pasien rawat inap yang telah melewati kondisi akut dan dibolehkan pulang, berusia ge; 60 tahun dengan skor Mini Nutritional Assessment le; 23,5 dan kadar albumin < 3,5 g/dL. Dilakukan randomisasi untuk mendapatkan ekstrak Ophiocephalus striatus 10 gram sehari atau plasebo selama 14 hari. Kadar IGF-1 dan albumin diperiksa sebelum dan sesudah perlakuan. Pengaruh pemberian ekstrak OS dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney. Hasil. Randomisasi dilakukan terhadap 109 subjek, sebanyak 90 subjek menyelesaikan penelitian hingga 14 hari masing-masing kelompok45 orang . Median usia 69 64;75 tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2 : 3. Didapatkan perubahan kadar IGF-1 dan albumin sesudah perlakuan pada kelompok ekstrak OS vs plaseboberturut-turut 14,70 0,30;31,50 ng/mL vs 1,00 -6;13,15 ng/mL p = 0,002 dan 0,50 0,15;0,70 g/dL vs 0,10 0,0;0,50 g/dL p = 0,003 . Simpulan. Ekstrak Ophiocephalus striatus dapat meningkatkan kadar IGF-1 dan albumin pasien usia lanjut dengan malnutrisi

ABSTRACT
Backgound.Supplementation with Ophiocephalus striatus is potential to increase IGF 1 and albumin levels in elderly malnourished patients beacause of the contents of amino acids, fatty acids, vitamins, and minerals.Objective.This study was conducted to confirm the effect of Ophiocephalus striatusextract on levels of IGF 1 and albumin in elderly malnourished patients. Method.The study design is a double blind randomized controlledtrial involving hospitalizedmalnourished ge 60 years old patientsin acute ward before discharged, with Mini Nutritional Assessment score le 23.5 and albumin level 3.5 g dL.A total of 109 subjects were randomly divided into two groups including one group received Ophiocephalus striatus extract 10 g per day and another group received plasebo for 14 days. Albumin and IGF 1 levelswere obtained before and after intervention. Results.Ninety subjects completed the study extract group 45 subjects plasebo goup 45 subjects for 14 days. Median of age was 69 64 75 years, with male to female ratio were 2 3. The delta differences of IGF 1 and albumin levels between extract group and placebo group were 14.7 0.30 31.5 ng mL vs 1.00 6 13.15 ng mL p 0.002 and 0.50 0.15 0.70 g dL vs 0.10 0,0 0.50 g dL p 0.003 , respectively. There were significant differences between extract and placebo group. Conclusions. Supplementation with Ophiocephalus striatus extract was associated with a significant increase in IGF 1 and albumin levels."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mudiarnis
"Tujuan.Mendapatkanserta menentukan performa model prediksi delirium pasca-operasi pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi.
Metode. Penelitian dengan desain kohort prospektif pada pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi dari Gedung A dan PJT RSCM, dari 1 Februarisampai 30 April 2018. Prediktor yang dianalisis yaitu usia, frailty, komorbiditas, status nutrisi, kadar albumin, status kognitif, status depresi, polifarmasi dan jenis operasi. Analisis multivariat dengan cox regression untuk mendapatkan Hazzard Ratio dilakukan pada prediktor yang bermakna. Model prediksi dibuat dari prediktor yang bermakna pada analisis multivariat. Kemampuan kalibrasi model prediksi ditentukan dengan uji Hosmer Lameshow dan kemampuan diskriminasinya ditentukan dengan menghitung AUC dari kurva ROC.
Hasil.Terdapat187 pasien dengan median usia 67 tahun rentang 60-69 tahun . Kejadian Delirium pasca-operasi didapatkan sebesar 20,3 . Analisis multivariat mendapatkan usia HR 1,739;IK95 0,914-3,307 , polifarmasi HR 2,125 ;IK95 1,117-4,043 , dan status nutrisi HR 3,044 ; IK95 1,586-5,843 , sebagai prediktor model prediksi. Model Prediksi Delirium berdasarkan jumlah skor dari usia skor 1 , polifarmasi skor 1 , dan status nutrisi skor 2 , distratifikasikan menjadi kelompok risiko rendah skor le; 1 , risiko sedang skor 2-3 , dan risiko tinggi skor 4 . Uji Hosmer-Lemeshow menunjukan kalibrasi yang baik p=0,885 dan AUC menunjukan kemampuan diskriminasiyang cukup baik [ 0,71 IK95 0,614-0,809 ].
Kesimpulan. Model prediksi delirium pasca-operasi pasien usia lanjut menggunakan usia, status nutrisi dan polifarmasi, distratifikasi menjadi 3 kelas risiko rendah, sedang, dan tinggi Model ini memiliki kalibrasi yang baik dan diskriminasi yang cukup."
Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustika Dian Permana
"Latar Belakang. Hanya sepertiga pasien DM tipe 2 yang mencapai target HbA1c yang diharapkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa health coaching terbukti mampu menurunkan kadar HbA1c secara bermakna, namun belum banyak diketahui pengaruh health coaching dalam jangka panjang setelah coaching dihentikan.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh edukasi dan health coaching dalam perbaikan kendali glikemik jangka panjang pada pasien DM tipe 2 rawat jalan di pusat kesehatan nasional tersier.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional lanjutan dari 6 bulan RCT yang dilaksanakan di dua pusat kesehatan nasional tersier untuk membandingkan kombinasi edukasi dan health coaching dengan edukasi saja
pada pasien DM tipe 2 dengan diabetes yang tidak terkontrol. Subjek penelitian diikuti pada bulan ke-6 dan ke-18 dari RCT awal. Keluaran primer adalah beda rerata HbA1c antar kedua kelompok, dan keluaran sekunder adalah beda proporsi subjek yang mengalami penurunan HbA1c ≥1% dari baseline dan beda proporsi subjek yang mencapai target HbA1c <7%. Analisis data menggunakan uji-T independen dan uji Chi-square.
Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 42 dari 60 subjek (70%) yang mengikuti penelitian hingga bulan ke-18. Tidak ada perbedaan yang bermakna rerata HbA1c antara kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (8,70
[±2,00] vs 9,02 [±1,71], p=0,334); dengan rerata HbA1c yang meningkat secara bermakna jika dibandingkan dengan rerata HbA1c bulan ke-6 (8,70 [±2,00] vs 7,83 [±1,80], p=0,016). Keluaran sekunder didapatkan perbedaan yang bermakna
proporsi subjek yang mengalami penurunan kadar HbA1c ≥1% antara kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (41,4% [n=12] vs 10,3% [n=3], p=0,015); serta tidak ada perbedaan yang bermakna proporsi subjek yang mencapai target HbA1c <7% (13,8% [n=4] vs 6,9% [n=2], p=0,670).
Kesimpulan. Health coaching tidak mampu mempertahankan perbaikan kendali glikemik pada pasien DM tipe 2 untuk jangka panjang jika coaching dihentikan, diperlukan pemberian coaching ulang agar perbaikan kendali glikemik dapat menetap.

Background. Only one-third of type 2 DM patients achieved the expected HbA1c
target. Several studies have shown that health coaching has been shown to be able
to significantly reduce HbA1c levels, but it is not widely known the effects of
long-term health coaching after coaching is stopped.
Aim. This study was to determine the effect of education and health coaching in
improving long-term glycemic control in outpatients with type 2 diabetes at a
tertiary national health center.
Method. This study is a follow-up observational study of 6 months RCT
conducted in two tertiary national health centers to compare the combination of
education and health coaching with education alone in type 2 diabetes mellitus
patients with uncontrolled diabetes. Study subjects were followed at 6 and 18
months of baseline RCT. The primary outcome was the difference in the mean
HbA1c between the two groups, and the secondary outcome was the difference in
the proportion of subjects who experienced a decrease in HbA1c ≥1% from
baseline and the difference in the proportion of subjects who achieved the HbA1c
target <7%. Data analysis used independent T-test and Chi-square test.
Result. This study managed to collect 42 out of 60 subjects (70%) who attended
the study until the 18th month. There was no significant difference in the mean
HbA1c between the intervention group and the control group (8.70 [± 2.00] vs
9.02 [± 1.71], p = 0.334); with the mean HbA1c which increased significantly
when compared with the mean HbA1c at 6 months (8.70 [± 2.00] vs 7.83 [± 1.80],
p = 0.016). Secondary outcomes showed a significant difference in the proportion
of subjects who experienced a decrease in HbA1c levels ≥1% between the
intervention group and the control group (41.4% [n = 12] vs 10.3% [n = 3], p =
0.015); and there was no significant difference in the proportion of subjects who achieved the HbA1c target <7% (13.8% [n = 4] vs 6.9% [n = 2], p = 0.670).
Conclusion. Health coaching is unable to maintain improved glycemic control in type 2 DM patients for the long term when coaching is stopped, re-coaching is needed so that improved glycemic control can persist.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Patriotika Ismail
"Latar belakang: Sarkopenia menjadi masalah kesehatan yang penting dan banyak di jumpai di negara maju dan berkembang. Faktor risiko sarkopenia bersifat multifaktor. Data prevalensi dan faktor risiko sarkopenia di Indonesia masih terbatas, khususnya dimasa pandemi COVID-19 yang sudah dihadapi Indonesia selama dua tahun. 
Tujuan: Mengetahui proporsi dan faktor risiko sarkopenia pada populasi usia lanjut di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumopada masa pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian ini menggunakan data primer dengan desain uji potong lintang di poliklinik geriatri dan penyakit dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo mulai dari bulan November hingga Desember 2021. Subjek dengan kriteria usia >60 tahun, tidak terdapat gangguan penyakit akut saat pemeriksaan, serta tidak mengalami depresi atau gangguan kognitif berat yang tidak didampingi caregiver/keluarga diambil sebagai subjek penelitian. Pemeriksaan menggunakan kuesioner SARC-F, dan pasien dengan nilai 4 dianggap sarkopenia. Karakteristik pasien dengan sarkopenia dibandingkan untuk menilai faktor risiko sarkopenia. 
Hasil:  Terdapat 253 subjek penelitian dengan proporsi sarkopenia 41,5% (IK 95% 35,45-47,55%). Faktor risiko yang berhubungan dengan sarkopenia pada penelitian ini adalah jenis kelamin perempuan, aktivitas menurun (sedentary-aktifitas kurang), status fungsional ketergantungan, penyakit hipertensi, dan penyakit jantung (p < 0.05)
Kesimpulan: Proporsi sarkopenia pada penelitian adalah 41,5% dengan faktor risiko yang berhubungan adalah jenis kelamin, hipertensi, penyakit jantung, status fungsional ketergantungan dan aktivitas yang menurun (sedentary-aktifitas kurang). Oleh sebab itu perlu menjadi perhatian dan pencegahan pada subjek dengan karakteristik tersebut. 

Introduction: Sarcopenia is a prevalent and increasing problem in elderly worldwide. It is also related to various debilitating conditions and poor prognosis. Etiology of sarcopenia is multifactorial. However, the data in Indonesia is still limited. Moreover, not much has been discussed about the prevalence and risk factors for sarcopenia, especially during the COVID-19 pandemic.
Aim: To determine the prevalence and risk factors of sarcopenia in elderly patients in Indonesia during the COVID-19 pandemic.
Methods: An observational study with cross-sectional design was performed in Geriatric and internal medicine Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia, on November 2021 to December 2021. Patients 60 years old and suspected to have sarcopenia were included in the study, while patients with conditions making them unable to undergo examination or in acute conditions were excluded. Patients were defined as having sarcopenia if SARC-F showed a total value of 4. Clinical characteristics of patients were compared to predict sarcopenia.
Results: There were 253 subjects included in this study. A total of 105 (41.5%) subjects were diagnosed to suffer from sarcopenia. Predicting factors of sarcopenia in subjects were woman gender, sedentary physical activity, dependent on activities of daily living, hypertension, and heart disease (p < 0.05).
Conclusion: The prevalence of sarcopenia in elderly at Cipto Mangunkusumo was 41.5%. Indonesian elderly with female gender, sedentary-low physical activity, dependent on activities of daily living, hypertension, and heart disease are more prone to suffer from sarcopenia. Therefore, extra attention and prevention are needed for individuals with the characteristics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti Tri Kusumawati
"Latar Belakang: Tingginya pertumbuhan kasus keganasan ginekologi dan organ panggul menyebabkan penggunaan terapi radiasi meningkat. Akan tetapi, terapi radiasi juga cukup banyak menimbulkan proktitis radiasi sebesar 30%. Tatalaksana menggunakan agen topikal seperti SCFA, sukralfat, steroid, formalin, dan 5-ASA diketahui memiliki hasil yang baik, namun belum banyak studi yang membandingkan terapi mana yang lebih superior. Tujuan: Menilai efektivitas beberapa terapi topikal terhadap perbaikan gejala klinis dan gambaran endoskopi pasien proktitis radiasi.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan secara elektronik pada basis data PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, dan Science Direct antara September hingga November 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada referensi studi yang terkait, dan melalui register uji klinis yang tersertifikasi lainnya seperti Global Index Medicus, Garba Rujukan Digital (GARUDA), ClinicalTrial.gov, dan International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP) WHO.
Seleksi Studi: Studi uji klinis acak terkontrol dengan intervensi terapi topikal dibandingkan plasebo atau terapi topikal lainnya atau kombinasi terapi medikamentosa, yang menilai luaran berupa respon gejala klinis dan gambaran endoskopi, serta dapat disertai luaran lain, ataupun tidak. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua orang peninjau independen. Dari total 1786 studi, didapatkan 9 studi memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh dua peninjau independen dan dikonfirmasi pada peninjau ketiga. Konfirmasi data dilakukan dengan menghubungi peneliti dari studi terkait. Tidak didapatkan data tambahan.
Hasil: Studi yang melaporkan efektivitas terapi berupa banyaknya jumlah subjek yang mengalami perbaikan atau penurunan skor klinis dan endoskopi dirangkum secara kualitatif. Masing-masing studi saling membahas antar terapi, dan memiliki heterogenitas yang tinggi. Dua studi mengenai formalin dapat dilakukan meta-analisis dengan hasil perbaikan klinis dan endoskopi, namun tidak bermakna terhadap dua studi tersebut (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15) dan tidak terdapat terapi yang lebih superior dibanding terapi lain dalam meta-analisis tersebut. Empat studi yang membahas formalin 4% memiliki kualitas hasil studi menengah dengan risiko bias rendah. Terdapat 3 dari 9 studi yang membandingkan terapi SCFA dengan plasebo sehingga sulit untuk menyimpulkan terapi mana yang berefek lebih baik, dan memiliki risiko bias tidak jelas, namun dengan jumlah pasien yang sedikitsehingga kualitas studi rendah. Satu studi mengenai efektivitas sukralfat menunjukkan hasil bermakna dengan estimasi risiko rendah (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). Akan tetapi studi mengenai 5-ASA topikal tidak ditemukan dalam inklusi telaah sistematis ini. Secara umum, kualitas hasil studi berdasarkan GRADE dapat dimasukkan ke dalam kategori sedang.
Kesimpulan: Penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema efektif dalam memperbaiki gejala klinis dan gambaran endoskopi proktitis radiasi. Namun, hingga saat ini belum ada studi klinis berkualitas baik sehingga sulit untuk menilai terapi yang terbaik. Sedangkan dari 2 studi formalin 4% yang dapat dilakukan meta-analisis, menunjukkan bahwa tidak ada terapi yang lebih superior dibandingkan lainnya. Selain itu, tidak ditemukan tidak ditemukan efek samping berat pada penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema dalam mengobati proktitis radiasi.

Background: The high incidence of gynecological and pelvic malignancies has led to the usage of radiation therapy. Nonetheless, radiation therapy also causes a significant complication, about 30% of radiation proctitis. Treatments using topical agents such as SCFA, sucralfate, steroids, formalin, and 5-ASA are known to have good results. However, there are only a few studies comparing the superiority of those therapies.
Objectives: To assess the effectiveness of topical therapies in the clinical and endoscopic improvement of radiation proctitis patients.
Data Sources: Primary searching was conducted on electronic databases such as PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, and Science Direct between September and November 2020. Secondary searching was done by snowballing method on the relevant study references and through other certified clinical trial registries (Global Index Medicus, Garba Digital Reference (GARUDA), ClinicalTrial.gov, and WHO's International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP).
Study Selection: A randomized controlled trial comparing topical therapies versus placebo or other topical therapies or combination with medical therapies that evaluating the clinical response and endoscopic response. There is no restriction regarding the year of publication and language. Each study were assessed by two independent reviewers. From a total of 1,786 studies identified, 9 studies met the eligibility criteria.
Data Extraction: Data extraction was performed by two independent reviewers and confirmed by a third reviewer. Data confirmation was made by contacting the first researchers from related studies. No additional information was obtained.
Results: Studies reporting the effectiveness of therapy in the form of a large number of subjects experiencing improvement or reduction in clinical symptoms and endoscopy were summarized qualitatively. Each study discussed the therapies and the heterogeneity that could not be calculated due to the different outcomes. Two studies on formalin were subject to meta-analysis with clinical and endoscopy improvement. However, they were not significant in the two studies (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15), and no better treatment compared with others in those studies. Further, four studies discussing 4% formalin had medium study quality results with a low risk of bias. There are 3 out of 9 studies that compared SCFA therapy with placebo so it is difficult to conclude which therapy has a better effect, and has an unclear risk of bias, but with a small number of patients so that the quality of the study is low. One study using sucralfate showed significant results with a low-risk estimate (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). However, the study of topical 5-ASA was not found in the inclusion of this systematic review. The level of evidence for the majority of outcomes was downgraded using GRADE to a moderate level, due to imprecision and study limitation.
Conclusion: The usage of SCFA enema, topical formalin, topical steroid and sucralfate enema are effective in improving the clinical and endoscopic response in radiation proctitis patient. However, until now, there are no good quality studies, making it difficult to prove the best therapy. A meta-analysis from 2 studies using 4% formalin versus irrigation and antibiotics, shows no therapy is superior to another. Otherwise, no serious side effects were found in the usage of these topical therapies
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoppi Kencana
"ABSTRAK
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebihan di hati. Elastografi Transien (ET) dan metode Controlled Attenuation Parameter (CAP) merupakan metode pemeriksaan non-invasif untuk menilai derajat fibrosis dan steatosis, namun tidak tersedia di seluruh rumah sakit di Indonesia. Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) merupakan penanda peradangan sederhana yang berpotensi memprediksi luaran penyakit. Tujuan : Mengetahui nilai diagnostik RNL sebagai indikator derajat keparahan steatosis dan fibrosis NAFLD. Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang menggunakan data sekunder dari data rekam medis tahun 2016-2018. Analisis statistik deskriptif dan analitik berupa uji korelasi, Receiver Operating Curve (ROC) dan Area Under The Curve (AUC) dipakai untuk mengetahui luaran studi. Hasil : Dari 106 subjek penelitian, kebanyakan pasien adalah perempuan (62,3%) berusia rata-rata 57,29 tahun dan menderita sindrom metabolik (77,4%). Sebagian besar pasien memiliki derajat steatosis sedang-berat (66%) dengan rerata ET 6,14 (2,8-18,2). Terdapat korelasi antara nilai CAP (r=0,648; p<0,001) dan ET (r=0,621; p<0,001) dengan RNL. Penggunaan RNL untuk menilai derajat steatosis sedang-berat memiliki titik potong 1,775 dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN sebesar 81,5%, 80,6%, 89,1%, dan 69,1%; titik potong 2,150 untuk menilai fibrosis signifikan dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN berurutan sebesar 92,3 %; 87,5%; 70,6%; dan 97,2%. Simpulan : RNL memiliki korelasi positif dan signifikan terhadap derajat steatosis (CAP) dan fibrosis (ET) dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi.

ABSTRACT
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is a chronic inflammatory disease with excessive fat accumulation in the liver. Transient Elastography (TE) with Controlled Attenuation Parameter (CAP) is a device and method to examine the degree of fibrosis and steatosis. However, this device is not widely available across Indonesia. Neutrophil and Lymphocyte Ratio (NLR) is a simple marker for inflammation which has a potency to predict disease outcome. This study aims to know the diagnostic value of NLR as the indicator of steatosis and fibrosis severity. Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sample collection. We used secondary data from medical record, starting from 2016-2018. A descriptive and analytic statistic, including correlation test, multivariate linear regression, t test, Receiver Operating Curve (ROC) and Area Under the Curve (AUC) were done to know the outcome of the study. Statistical analyses were performed using Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Version 20.0 (SPSS Inc, Chicago, Illinois). A P value <0.05 was considered as statistically significant. Results: Out of 106 subjects, 62.3% patients were women with the mean of age 57.29 years old and 77.4% had metabolic syndrome. Most patients had moderate to severe steatosis degree (66%) with the mean of ET mean 6.14 (2.8-18.2). There was a positive correlation between CAP and TE compared with NLR with r=0.647 (p<0.001) and r=0.621 (p<0.001) respectively. The use of RNL to assess moderate-severe steatosis has a cutoff point of 1.775 with sensitivity,  specificity, PPV and NPV respectively at 81,5%, 80,6%, 89,1%, and 69,1%; cutoff point 2,150 to assess significant fibrosis with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 92.3 %, 87.5%, 70.6%, and 97.2% respectively. Conclusion: NLR has a positive and significant correlation with the degree of steatosis and fibrosis with high sensitivity and specificity in comparison with TE/CAP.
"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>