Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dzikry Kasman
"Pendahuluan: Fraktur merupakan masalah kesehatan utama karena sering terjadi, pengobatan yang kompleks dan mahal, serta hilangnya produktivitas. Masalah diperberat bila terjadi komplikasi berupa delayed union atau nonunions. Dalam menilai pengaruh suatu tindakan intervensi terhadap penyembuhan fraktur, diperlukan suatu model perlambatan penyembuhan fraktur dan suatu metode penilaian yang akurat yang meliputi radiologi, biomekanik, dan histologi. Berbagai model perlambatan peyembuhan fraktur telah di laporkan dengan melakukan stripping periosteal dengan menggunakan cauter yang menghasilkan tidak hanya efek mekanik namun juga efek termal. Selain itu, metode penilaian akurat radiologi, biomekani modern bergantung terhadap instrumen yang belum tersedia secara masal. Penilaian histologi melalui histomorphometri dapat dikerjakan tanpa bergantung pada instrument modern dan mahal. Hal ini ditunjang dengan tersedianya program image J yang merupakan program dari NIH dan dapat diperoleh secara cumacuma.
Metode: Penelitian dilakukan pada bulan Juli hingga September 2013 di Departement Patologi Anatomi FKUI. Penilaian dilakukan terhadap 24 ekor tikus dengan fraktur dengan dan tanpa perlakuan mekanis pada periosteum yang kemudian dievaluasi pada minggu ke-2 dan minggu ke-4. Perlakuan mekanis pada periosteum berupa Stripping sirkular dengan bistruri sepanjang 10mm disekitar fraktur. Penilaian histomorfometri dilakukan secara semi-automated dengan bantuan program image-j, meliputi penilaian parameter total area kalus, area penulangan, area tulang rawan dan area jaringan fibrosa. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan perubahan pada kelompok 2 minggu, kelompok 4 minggu serta beda kelompok 2 dan 4 minggu.
Hasil: Pemeriksaan Histomorfometri minggu ke-2 dan minggu ke-4 didapatkan area penulangan, area tulang rawan dan area jaringan fibrosa kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan pada kelompok kontrol yang secara statistik bermakna. Pada evaluasi beda histomorfometri minggu ke-2 dan minggu ke-4 antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan didapatkan perlambatan proses penyembuhan yang juga secara statistik berbeda bermakna.
Kesimpulan: Analisa histomormofetri dengan image-J dapat dilakukan tanpa bergantung pada instrumentasi yang modern dan perlakuan mekanik pada periosteum berupa stripping sejauh 5mm dapat menghambat penyembuhan fraktur.

Introduction: Fracture is a major health problem because the complexity and expensive treatment, and also loss of productivity that accompanying. That problem worsened if there is complications such as delayed-union or nonunions. Many intervention was done to prevent that complication. In assessing the effect of intervention, a model and also analytic method that includes radiology, biomechanics, and histology were needed. Various models of delayed fracture healing have been reported by stripping the periosteal with cauter which produces not only mechanical but also thermal effect. Moreover, latest radiological and biomechanical assessment rely on instruments that are not available in every places. Histological assessment through histomorphometri can be done without relying on modern and expensive instruments. This evaluation method is supported by the availability of image-J program which is a program of the NIH, and can be obtained free of charge.
Method: The study is an experimental study that was conducted in the Department of Pathology Faculty of Medicine, University of Indonesia, on July to September 2013. 24 rats was divided into 2 group. 1 group was performed mechanical force to bone only to get fracture and other was done by giving mechanical force to bone and also periosteum. Each group was evaluated at 2 weeks and 4 weeks. Histomorfometri assessment was performed semi-automatically with the aid of image-j software. The paramater that measure was total area of callus, newbone area, cartilage area, and fibrotic area. Evaluation is done by comparing the difference of 2 group in 2 weeks, 4 weeks, and also the changes of 2 and 4 weeks of each group.
Result: From Histomorfometric examination on 2nd week and 4th week, we found that newbone formation area, cartilage area and fibrous tissue area of treatment group smaller than in the control group and statistically significant. We also found that there was delaying of healing process in comparring the changing in 2nd to 4th week of treatment group and it is also statistically significant.
Conclusions: Histomormofetri analysis with image-J can be done without relying on modern instrumentation, mechanical force on periosteum on a fracture site by periosteal stripping could inhibit healing fracture especially in histological pattern.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Rahmat
"Pendahuluan: Congenital Talipes Equinovarus(CTEV) dan Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) merupakan salah satu kelainan kongenital tersering dalam sistem muskuloskeletal. Pada patogenesis CTEV dan DDH, terdapat persamaan kemungkinan etiologi yaitu pada gaya mekanik intra-uterin panggul dan kaki yang menimbulkan gangguan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi pasien CTEV yang menderita DDH, serta hubungan antara CTEV dengan timbulnya DDH.
Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain studi potong lintang. Dari data registrasi CTEV di Poliklinik Orthopaedi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2011-2012 ditemukan 91 orang anak dengan CTEV primer. Dilakukan skrining dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengeksklusi pasien di luar rentang usia 6 bulan hingga 5 tahun, pasien dengan gangguan neuromuskular, dan kelainan kongenital. Terdapat 22 orang pasien yang memenuhi kriteria tersebut dan dilakukan pemeriksaan foto polos panggul untuk mengukur Indeks Acetabular (IA). IA<25° dinyatakan normal, 25-30° dinyatakan borderline DDH, dan >30° dinyatakan displasia berat.
Temuan dan Diskusi Penelitian: Terdapat distribusi pasien yang homogen secara jenis kelamin (50% laki-laki, 50% perempuan), dan lokasi CTEV (50% bilateral, 50% unilateral). Didapatkan 19 subyek dengan IA di bawah 250 dan 1 subyek dengan IA antara 25-300. Didapatkan 2 subyek (9%) yang memiliki dysplastic hip dengan IA di atas nilai normal 300, kedua subyek tersebut memiliki bilateral CTEV dan menjalani serial casting ≥ 8 kali. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara prevalensi DDH dengan rentang usia (p = 1), dengan jenis kelamin (p = 0.89), dengan lokasi CTEV (p = 0.89), dan dengan frekuensi casting (p = 0.05). Walaupun begitu, prevalensi hip dysplasia pada CTEV cenderung terjadi pada anak dengan CTEV bilateral dan menjalani serial casting ≥ 10 kali sehingga temuan ini dapat menjadi makna yang penting secara klinis.
Simpulan: Prevalensi displasia panggul pada anak CTEV berusia 6 bulan hingga 5 tahun pada penelitian ini adalah 9% dan cenderung dialami oleh anak dengan CTEV bilateral dan menjalani serial casting 8 kali atau lebih.

Introduction: Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) and Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) are one of the most common pediatric orthopaedic problems ini musculoskeletal system. There is similar pathogenesis between CTEV and DDH in mechanical force that causes developmental disorders. The goals of this research are to determine the prevalence of CTEV that will suffer DDH in later time, and the relationship between CTEV and DDH.
Methods: This is a descriptive analytic study with cross sectional design. Ninety one patients with primary CTEV were registered in Orthopaedic Clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital between 2011 and 2012. To exclude patients with neuromuscular disorders and congenital problems; screening is performed by conducting historical and physical examination. Patients between age 6 months and 5 years were included in this study. Twenty two patients met the criteria and pelvic x-ray was performed to measure the Acetabular Index (AI). AI<250 was considered normal; AI 25-300 was borderline DDH; and AI >300 was considered severe dysplasia.
Result and Discussion: Patient distribution was homogenous in gender (50% are boys, 50% are girls), and the location of CTEV (50% bilateral and 50%). There were 19 subjects with AI lower than 250 and 1 subject with AI between 250-300. Both subjects underwent ≥ 8 times serial casting. There was no significant difference between DDH prevalence with age range (p = 1), with gender (p = 0.89), with CTEV location (p = 0.89), and with casting frequency (p = 0.05). However, dysplastic hip prevalence in CTEV tend to occur in bilateral CTEV with serial casting ≥ 10 times which could be important on clinical setting.
Conclusion: Hip dysplasia prevalence on children with CTEV aged 6 months to 5 years was 9% and tend to occur in children with bilateral CTEV underwent ≥ 10 times serial casting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Almu Muhamad
"Pendahuluan. Congenital Talipes Equino Varus (CTEV, clubfoot) merupakan salah satu kelainan kaki bawaan yang paling sering ditemui di dunia. Jika tidak ditangani, clubfoot akan mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan. Teknik Ponseti telah diterima secara universal sebagai metode terapi dengan hasil yang sangat memuaskan.
Tujuan. Mengetahui korelasi antara parameter antropometri kaki dengan skor Dimeglio pasca Ponseti.
Metode Penelitian. Penelitian analitik observasional dilakukan dengan desain cross sectional terhadap pasien clubfoot unilateral yang datang ke RSCM 2008-2013. Selain pencatatan data dasar dan jenis tatalaksana yang dilakukan, diukur juga panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis kedua kaki, serta penilaian skor Dimeglio. Uji t digunakan untuk menganalisis perbedaan rerata panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis kaki ctev dengan kaki normal. Sedangkan Uji korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis korelasi antara selisih antropometri dengan Skor Dimeglio.
Temuan dan Diskusi Penelitian. Rerata skor Dimeglio pasca terapi adalah 4,8. Uji t satu arah ditemukan panjang kaki, lebar kaki dan lingkar betis kaki CTEV lebih kecil signifikan dari kaki normal (t0>t, CI 95%). Korelasi selisih panjang kaki dengan Skor Dimeglio 0,694. Korelasi selisih lebar kaki dengan skor Dimeglio 0,367. Korelasi selisih lingkar betis dengan skor Dimeglio 0,305. Uji Korelasi Pearson ditemukan korelasi bermakna antara selisih panjang kaki dengan skor Dimeglio (P<0,01). Sedangkan tidak ditemukan korelasi antara lebar kaki dan lingkar betis dengan skor Dimeglio (P>0,01).
Kesimpulan. Luaran metoda Ponseti dengan skor Dimeglio pada clubfoot unilateral adalah baik. Rerata panjang, lebar, dan lingkar betis kaki CTEV lebih rendah dari kaki normal. Terdapat korelasi antara selisih panjang kaki dengan skor Dimeglio pasca terapi.

Introduction. Clubfoot is one of the most common congenital foot deformity in the world which affect the quality of life. Ponseti technique has been universaly accepted as the method with a very satisfactory result.
Objective. This study aims to find any correlation between Dimeglio score post Ponseti-treated clubfoot with anthropometric parameter of the foot.
Method. This is an observational analytic study with cross sectional design. Unilateral clubfoot patients who came to Cipto Mangunkusumo Hospital from 2008 until 2013 were recruited. Measurement of foot length, foot width, and calf circumference of both feet and Dimeglio score assessment was done. T-test was used to analyze the differences of foot length, foot width, and calf circumference between both feet. Pearson correlation test was used to analyze the correlation between anthropometric differences and severity of clubfoot.
Result and Discussion. The mean of post-treatment Dimeglio score was 4.8. One-way t-test found that the foot length, foot width and calf circumference of clubfeet were significantly smaller than the normal feet (t0>t, CI 95%). The correlation of difference in foot length, foot width, and calf circumference with Dimeglio score was 0.694, 0.367 and 0.305, respectively. Pearson correlation test found significant correlation between the difference in foot length and Dimeglio score (p<0.01).
Conclusion. The outcome of Ponsetti technique for unilateral clubfoot using Dimeglio score is good. The means of foot length, foot width, and calf circumference for clubfoot were found to be less than normal foot. There were correlation between differences of foot length and post treatment Dimeglio score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mirna Phandu
"Pendahuluan: Infeksi tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia terutama negara negara berkembang. Osteoartikular tuberkulosis atau infeksi tuberkulosis pada tulang dan sendi merupakan urutan ketiga atau sekitar 35 dari infeksi tuberkulosis ekstra paru 5 6 7. Arthritis tuberkulosis dapat terjadi pada semua sendi tubuh namun lebih sering terjadi pada sendi sendi yang menopang berat badan seperti sendi panggul dan sakro iliak 1 8. Sesuai dengan prinsip orthopaedi terapi untuk osteoartikular tuberkulosis dibagi menjadi tiga yaitu imobilisasi pembedahan dan terapi fisik. Untuk arthirtis dalam keadaan lanjut. Tahap III IV dan V tujuan tatalaksana meliputi stabilitas sendi hilangnya rasa nyeri dan mempertahankan rentang gerakan yang masih dapat dilakukan. Tindakan pembedahan yang disarankan oleh Tuli meliputi sinovektomi osteotomy artrodesis dan arthroplasti 11 Sampai saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang membahas mengenai luaran fungsional sendi setelah terapi pembedahan untuk arthritis tuberkulosis. Hasil penelitian terebut akan sangat membantu menentukan jenis terapi yang dapat dilakukan dan prognosisnya. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan penelitian untuk mengumpulkan data mengenai luaran fungsional masing masing tindakan pembedahan yang merupakan pilihan terapi pada arthritis tuberkulosis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang meliputi semua pasien tuberkulosis osteoarthritis ekstremitas bawah yang menjalani terapi pembedahan pada periode 2008 2012. Follow up setelah pembedahan dilakukan minimal selama 6 bulan. Luaran fungsional pada pasien kemudian dinilai dengan menggunakan Lower Extremity Functional Score LFES penilaian khusus yang sesuai dengan masing masing sendi yang terinfeksi yaitu Harris Hip Score HHS Knee Society Score KSS dan Foot Ankle Disability Index FADI.
Hasil: Umur rata rata pasien pada saat pembedahan adalah 30 04 SD 16 67 dan 57 1 berjenis kelamin laki laki. Penelitian dilakukan pada pasien pasien osteoarthritis tuberkulosis yang menjalani terapi pembedahan sehingga hanya meliputi osteoarthritis stadium lanjut tahap III semua kasus diikuti selama rata rata 33 68 bulan SD 18 67 terdapat perbedaan yang bermakna p.

Introduction: Tuberculosis infection still one of prominent health problems especially in developing countries Osteoarticular tuberculosis are one third of extra pulmonal infection 5 6 7. Even though tuberculosis infection can occur in all joints it is more frequently on weight bearing joints 1 8. According to orthopedic principles tuberculosis treatment includes anti tuberculosis drugs immobilization surgery and physical therapy. On late stage tuberculosis osteoarthritis more than stage III the treatment goals are to achieve stability pain management and conserving he range of motions. Surgical treatment involved synovectomy osteotomy arthrodesis and arthroplasy11. Results on functional outcome after surgery would be useful to decide appropriate treatments and prognosis. Therefore the purpose of this study is to evaluate the functional outcome of surgical therapy in lower extremity osteoarthritis tuberculosis.
Method: This descriptive analytic study involved all lower extremity tuberculosis osteoarthritis that had surgical procedure at Cipto Mangunkusumo hospital in 5 years periods from 2008 to 2012. Follow up performed for minimal 6 months after surgery Patients were evaluated using Lower Extremity Functional Score LFES and functional score according the joints involved which including Harris Hip Score HHS Knee Society Score KSS and Foot Ankle Disability Index FADI.
Results: The average age of patients at surgery was 30 04 SD 16 67 years old and 57 1 of these patients were male Study was performed only for surgically treated patient therefore it involved only late stage stage III. All cases were followed up for average 33 68 months SD 18 67 There are significant difference p.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Troydimas
"Latar Belakang Hipertensi dan fraktur merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi ACE inhibitor telah dilaporkan dapat mempromosikan diferensiasi osteoblas meningkatkan mineralisasi dan sekresi matriks tulang sehinga konsumsinya diharapkan mampu mempercepat penyembuhan Tujuan Penelitian bertujuan mengetahui efek pemberian ACE inhibitor terhadap proses penyembuhan fraktur model delayed union Metode Enam belas femur tikus yang dibuat sesuai model delayed union dibagi secara acak menjadi kelompok kontrol kelompok perlakuan Captopril dosis 4 mg kgBB kelompok perlakuan Captopril dosis 8 mg kgBB dan kelompok Captopril dosis 16 mg kgBB Evaluasi dilakukan pada minggu ke 4 secara radiologis foto polos dan histomorfometri Hasil Pada histomorfometri minggu ke 4 didapatkan peningkatan area penulangan yang bermakna terhadap kontrol p 0 033 terutama pada pemberian Captopril dosis 8 mg kgBB p 0 008 dan dosis 16 mg kgBB p 0 015 Penurunan area fibrosa yang bermakna terhadap kontrol p 0 042 terjadi pada Captopril dosis 4 mg kgBB p 0 020 dan dosis 8 mg kgBB p 0 012 Secara radiologis didapatkan peningkatan skor RUST semua kelompok perlakuan yang bermakna terhadap kontrol p 0 021 Kesimpulan Pemberian Captopril dapat menstimulasi proses penyembuhan fraktur pada model delayed union secara radiologis dan histomorfometri Captopril dosis 8 mg kgBB menunjukkan efek yang paling signifikan dalam proses penyembuhan fraktur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bunarwan Prihargono
"Delayed union adalah masalah besar pada penyembuhan fraktur. Bone Morphogenetic Protein (BMP) terbukti dapat mempercepat penyembuhan tulang dari 30 sampai 40 persen. Salah satu obat yang dapat digunakan untuk meningkatkan BMP2 dan BMP4 adalah pentoxyfillin. Pada studi eksperimental ini dilakukan untuk menginvestigasi pengaruh pentoxyfillin oral terhadap percepatan penyembuhan tulang pada fraktur dengan periosteal stripping di femur tikus putih Spague Dawley sejumlah 24 ekor. Evaluasi dilakukan secara radiologis dengan skor RUST dan histologis dengan histomorphometri pada minggu ke 4. Terdapat percepatan penyembuhan fraktur pada skor RSUT maupun pada histomorfometri, namun tidak bermakna secara statistik. Namun didapatkan perbedaan bermakna pada area penulangan dan area tulang rawan pada kelompok dengan dosis obat tertentu. Pentoxyfillin oral berpengaruh pada percepatan penyembuhan fraktur pada delayed union, dengan dosis 100mg/KgBB/hari.

Delayed union is an important problem during fracture healing process. Bone Morphogenetic Protein (BMP) has shown to accelerate the bone healing from 30 to 40 percent. Pentoxyfilline is a drug used to increase BMP2 and BMP4. This experimental study was conducted to investigate the effect of oral pentoxyfilline accelerating bone healing process on fractured femur with periosteal strapping on 24 Sprague Dawley Rats. The evaluation of RUST score and histologically on histomorphometric analysis was done on the forth week. There was an enhancement of fracture healing in terms of RUST score and histomorphometric analysis, but statistically not significant. However, the significant difference was observed in area of osseous tissue and cartilage area in the dose group. Oral Pentoxyfilline accelerates the fracture healing process in delayed union model, with dosing of 100mg/KgBW/day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noha Roshadiansyah Soekarno
"Pendahuluan
Infeksi adalah salah satu komplikasi pada patah tulang terbuka. Pada patah tulang terbuka dengan fragmen bebas besar yang terkontaminasi diperlukan sterilisasi untuk direimplantasikan. Iradiasi gelombang mikro sudah terbukti dapat mensterilkan fragmen tulang setelah terpajan selama 7 menit. Sampai saat ini belum ada penelitan yang menilai apakah tulang yang sudah steril tersebut dapat mengalami inkorporasi pada tulang yang sehat. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi dampak dari iradiasi gelombang mikro terhadap kemampuan inkorporasi fragmen bebas yang direimplantasikan kembali pada tulang sehat.
Metode
Studi eksperimental dengan 16 tikus galur Wistar, terbagi secara acak dalam dua kelompok, dan diamati pada minggu ke-2 dan minggu ke-4.Kontrol adalah kelompok tikus yang dilakukan osteotomi segmental pada shaft femur dan fragmen tersebut diimplantasikan kembali.Pada kelompok perlakuan, fragmen femur tersebut diinokulasi kuman, dan diiradiasi dengan gelombang mikro selama 7 menit dahulu sebelum direimplantasikan. Pada minggu ke 2 dan ke 4 dilakukan pemeriksaan histopatologi secara histomorfometri serta pemeriksaan radiologis dengan Radiologic Union Scale of Tibial Fracture (RUST). Pemeriksaan histomorfometri akan menilai parameter penyembuhan tulang yaitu: total fibrosa, total area kartilago, dan area woven bone.
Hasil dan Diskusi
Evaluasi histomorfometri menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada pembentukan kartilago(p=0,010), dan tulang woven di minggu ke 2(p=0,004) namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada pembentukan fibrosa,kartilago, dan tulang woven pada minggu ke 4. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses penyembuhan pada fragmen tulang yang terpajan iradiasi gelombang mikro. Evaluasi radiologis tidak menunjukkan perbedaan bermakna diminggu ke 2 maupun minggu ke 4 (RUST SCORE 8).
Simpulan
Fragmen tulang yang dipajan iradiasi gelombang mikro selama 7 menit dapat mengalami inkorporasi meskipun terjadi perlambatan dalam prosesnya.

Introduction
Infection is one of the most common complication in open fracture. Contaminated large free bone fragment need to be sterilized before reimplantation,in order to avoid infection.Domestic microwave irradiation for 7 minutes has been proven to sterilize a contaminated free bone fragment. However,there is no previous studies investigating the effect of 7-minutes microwave irradiation to the large bone fragment on the incorporation into the normal bone. This study aims to investigate the effect of domestic microwave irradiation to the large bone fragment's incorporation with the intact bone.
Methods
An experimental study using16 wistar rats, randomly divided into two groups and observed in second and 4th weeks. Control was a group done segmental osteotomized femoral shaft and the bone fragment reimplanted back to the intact bone. In the experimental group, the bone fragment was innoculate with microorganism and given microwave irradiation for 7- minutes before reimplanted. Fracture healing process was evaluated by Radiologic Union Scale of Tibial Fracture (RUST) score and histomorphometric analysis in the second week and fouth week. Histomorphometric paramater to be assesed was the total fibrous area, total cartilage area and woven bone area.
Result and Discussion
Histomorphometric analysis showed significant difference in cartilage formation(p=0.010), and woven bone(p=0.004) in 2nd weeks. There is no difference in fibrous, cartilage and woven bone formation, which showed evidence of fracture healing in fracture fragment even after microwave radiation. In addition, radiologic evaluation showed no significant difference in second weeks and fourth weeks (Rust Score 8) between the two groups.
Conclusion
Irradiated bone fragment by domestic microwave for 7 minutes may incorporate to intact bone with slower progession of fracture healing."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felais Hediyanto Pradana
"Pendahuluan: Penanganan nonunion dan delayed union bukanlah penanganan yang murah dan mudah. Berbagai metode telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Beras angkak terbukti memiliki peranan dalam penyembuhan fraktur. Beras angkak, mengandung monakolin, suatu senyawa dengan aktivitas sebanding lovastatin. Pemberian statin secara lokal dan oral terbukti meningkatkan penyembuhan tulang dengan menginduksi diferensiasi osteoblas melalui peningkatan ekspresi BMP-2. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan efektivitas monakolin pada beras angkak dalam meningkatkan ekspresi BMP-2 dan penyembuhan fraktur pada model delayed union tikus sprague- dawley. Material dan Metode: Studi eksperimental pada 24 hewan coba tikus putih Sprague-Dawley (SD) yang telah mengalami patah tulang femur disertasi dengan gangguan vaskularisasi (model delayed-union). Hewan coba dibagi menjadi empat kelompok (n=6) terdiri dari; kelompok pemberian ekstrak monakolin selama empat minggu (PM4), kelompok pemberian ekstrak monakolin selama dua minggu (PM2), kelompok kontrol empat minggu (KM4) dan kelompok kontrol dua minggu (KM2). Setelah dilakukan sacrifice pada minggu kedua dan keempat, dilakukan penilaian ekspresi BMP-2 secara semikuantitatif dengan pewarnaan imunohistokimia melalui skor imunoreaktif (IRS). Analisis histomorfometri untuk menilai penyembuhan fraktur dengan mengukur persentase area fibrosa, tulang rawan dan tulang imatur. Hasil: Pada evaluasi parameter IRS dan histomorfometri didapatkan ekspresi BMP-2 lebih tinggi (p=0.03), persentase area fibrosa lebih sedikit (p=0.005) dan area tulang rawan lebih besar (p=0.04) pada kelompok PM2 dibandingkan dengan kelompok KM2. Selain itu didapatkan pula secara ekspresi BMP-2 lebih tinggi (p=0.011), presentase area tulang imatur lebih besar (p=0.01), dan presentase area fibrosa lebih kecil (p=0.03) pada kelompok PM4 dibandingkan dengan kelompok KM4. Di sisi lain, didapatkan presentase area fibrosa lebih kecil (p=0.02), area tulang rawan lebih sedikit (p=0.05), dan peningkatan area tulang imatur lebih besar (p=0.04) pada kelompok PM4 dibandingkan dengan kelompok PM2. Ekspresi BMP-2 sama-sama meningkat pada kelompok PM2 dan PM4. Kesimpulan: Pemberian monakolin pada beras angkak pada model delayed-union tikus Sprague Dawley terbukti meningkatkan ekspresi BMP-2 dan meningkatkan penyembuhan fraktur.

Introduction: Management of nonunion and delayed union could be difficult and expensive. Various methods have been studied to overcome this problem. Red-yeast-rice has a role in fracture healing. Red-yeast-rice contains monacolin, which has similar activity to lovastatin. Local application and oral administration of statins have been shown to improve bone healing by inducing osteoblast differentiation and matrix production via increasing BMP-2 expression. This study was conducted to prove the effectiveness of monacolins inside red-yeast-rice in increasing the expression of BMP-2 and fracture healing. Methods: This experimental animal study was conducted using 24 delayed union models Sprague-Dawley (SD) Rats. There were 4 groups (n=6), consist of; 4-weeks-given-monacolin group (PM4), 2-weeks-given-monacolin group (PM2), 4-weeks-control group (PM2) and 2-weeks control group (KM2). After they were sacrificed in the second and fourth weeks, immunohistochemical staining was conducted to evaluate BMP-2 expression by Immunoreactive Score (IRS). The histomorphometric evaluation was also conducted to evaluate fracture healing by measuring fibrous area, cartilage area, and woven bone area percentage. Results: There was significantly higher BMP-2 expression (p=0.03), less fibrous area (p=0.05), and larger cartilage area (p= 0.04) in the PM2 group compared to the KM2 group. There was significantly higher expression of BMP-2 (p=0.011), larger woven bone area (p=0.01), and less fibrous area (p = 0.03) in the PM4 group compared to the KM4 group. It was also presented, there was a significantly less fibrous area (p=0,02), larger cartilage area (p=0.05), and larger woven bone area (p=0.04) in the PM4 group compared to the PM2 group. The expression of BMP-2 in the PM2 group was as high as the PM4 group. Conclusion: Monacolin in red-yeast-rice effectively increased BMP-2 expression and fracture healing in the delayed union model of SD rats."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Much Sofwan
"ABSTRAK
Sebagian besar peneliti menyatakan pasien dengan clubfoot idiopatik yang ditatalaksana dengan metode Ponseti memberikan hasil baik. Kekurangan metode Ponseti adalah angka rekurensi yang relatif tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di Poliklinik Orthopaedi Rumah Sakit Ciptomangunkusumo pada tahun 2007 - 2010. Studi ini menunjukkan hanya variabel wilayah tempat tinggal yang mempengaruhi luaran skor Pirani dengan nilai OR 21,60 (95% IK 2,39 – 195,29). Jarak yang jauh dari tempat penyedia fasilitas kesehatan, membuat orang tua pasien mengalami keberatan untuk kontrol rutin. Hal tersebut menyebabkan penatalaksanaan yang tidak optimal sehingga menyebabkan hasil akhir yang kurang baik. Jarak tempat tinggal terhadap tempat layanan kesehatan, berpengaruh terhadap luaran penatalaksanaan Ponseti pada kasus clubfoot di RSCM.

ABSTRACT
Most of the researchers said that patients with idiopathic clubfoot treated by the Ponseti method give good results. However, this method has the disadvantage which is a relatively high recurrence rate which influenced by cultural factors. The study design is retrospective cohort study conducted at the outpatient setting in Ciptomangunkusumo Hospital from 2007 to 2010. This study showed that only the residential distance to the health facility that influence the value of Pirani score outcome OR 21.60 (95% CI 2.39 to 195.29). Patients living far from health facility, tend to miss routine control. This leads to sub-optimal management causing unfavorable outcome. The residential distance to the health service, influence the outcome of the Ponseti treatment of clubfoot cases in the hospital."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Tirtajaya Sastranegara
"ABSTRAK
Pada clubfoot idiopatik, skor pirani mempunyai nilai prediksi terhadap beberapa aspek. Skor pirani dapat berhubungan dengan besar koreksi ekuinus pasca tenotomi tendon achilles perkutaneus teknik Ponseti.Didapatkan 16 pasien dengan 23 kaki clubfoot yang dapat dievaluasi. Dilakukan pengambilan data skor pirani awal serta besar koreksi ekuinus pasca tenotomi tendon Achilles perkutaneus yang didapatkan. Dilakukan uji korelasi. Ekspektasi nilai r adalah 0,5. Hasilnya tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara klinis antara skor Pirani awal dengan besar koreksi ekuinus pasca tenotomi Achilles (p 0,04; r -0,36).

ABSTRACT
Idiopathic clubfoot is common musculosceletal disorder in children. The Ponseti technique will avoid extensive surgery and give a good result. Pirani score is a simple scoring system to use that can have a predictive value of the prognosis of clubfoot. We evaluate 16 patient with 23 clubfeet at the clinic. We collect the Pirani score and the degree of correction of equinus post percutaneus achilles tenotomy. Correlation test was performed with the relationship expectation r 0,5. The result we founded that no clinical relationship between the initial pirani score with the amount of correction post percutaneus achilles tenotomy (p 0,04; r -0,36)."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>